Chapter 60. The Boy's Trauma (BACA JUGA EXTRA PART 6. GARIS DUA

Mana nih vote sama komennya? Views-nya masih lumayan, tapi vote sama komen dikit banget.

Nggak tau caranya appreciate penulis?

Sini aku ajarin, gampang.

1. Klik Vote

2. Klik simbol di sebelahnya dan tulis komentar

3. Baca semua bukan cuma isi cerita, siapa tahu ada yang mau disampaikan si penulis

4. Follow sosial medianya


wkwk...

Udah follow instagram baruku, kincirmainan_19?

Aku bakal banyak-banyak share part di sana buat cerita baru nantinya ah.

Kan sekarang udah ada flipside di instagram. Semacam halaman rahasia antara creator dan teman yang dipilih, jadi nggak ganggu timeline utama. Nanti aku bakal mulai sering-sering posting lanjutan bab wattpad di sana, atau part rahasia, selain di karyakarsa.

Cerita baruku nanti judulnya antara dua ini, belum tau yang mana duluan
1. Unmatched The Parents
2. Lawan Duda (Neighbor with Benefit)

Udah baca Extra part 6 di Karyakarsa?

Chapter 60

POV PRAMANA

Boy's Trauma

Seperempat film berjalan, bukan aku sama Inggrid yang nonton film. Film yang nontonin kami. Biar dia nggak terus-terusan kepikiran soal kotak itu, aku sengaja menjahilinya. Aku tahu, kalau didiemin, cepat atau lambat dia pasti ngajak ngebahas lagi. Lama-lama dia kesal aku terus-terusan berusaha mengendus rambutnya. Begitu dia mendongak buat memprotes, bibirnya kutangkap dengan bibirku dan kukulum. I really like the sound she made when my lips shut her mouth immediately. Kayak ada suara terjepit yang menggemaskan, sebelum akhirnya dia menyerah dan mendesah. Biasanya, dia akan ngasih sedikit perlawanan yang sangat mudah ditaklukkan. Kurasa, semua perempuan suka melakukannya.

Jujur. Aku nggak tahu apa aja isi kotak itu.

Bener-bener nggak ada clue.

Oh... Inggrid menyerahkan diri. Dia menyambut kuluman bibirku dan membiarkanku membaringkannya ke sofa dengan lambat. Sesaat, ketika tubuh Inggrid sudah sejajar dengan permukaan sofa dan aku menindihnya samar dengan berat tubuhku, bibirku dan bibirnya yang saling memagut sama-sama terputus. Aku menatapnya, dia menatapku. Ada tegukan ludah yang nyaris tak kentara. Kemudian aku memupus jarak lagi. Perlahan kedua tangan Inggrid yang semula menahan dadaku berpindah ke leher dan mengalung erat di sana. Dia masih malu-malu dengan kakinya, jadi aku mengelus sebelah pahanya dan menaruhnya di pinggulku.

Mengingat pasca kecelakaan itu aku hampir nggak pernah kembali ke lantai atas, dirawat intensif di kamar tamu lantai bawah supaya nggak naik-turun tangga sebelum dipindahkan ke Surabaya, kemungkinan barang-barang di kotak itu berisi printilan masa remajaku yang berhasil diselamatkan Nenek. Barang-barang yang menurut Mama nggak perlu dibawa pindah. Buktinya, benda pertama yang kukeluarkan dari sana adalah mainan lama yang sudah rusak.

Mmmhhh....

Kutarik bibirku sebentar buat mengagumi kekenyalan bibir Inggrid. Dia kelihatan bingung. Ujung jariku menyentuhnya, memastikan apa yang kurasakan sama dengan saat bibirku menyentuhnya. Apa yang dipakainya tiap hari buat mendapatkan bibir sesehat ini? "Whatever you do to this lips everyday... keep doing it," kataku.

Alis Inggrid mengerut.

Sebelum dia nanya-nanya apa maksudku, aku menikmatinya lagi. That pink soft flesh terkunyah lembut di mulutku. Inggrid mengimbangi malu-malu.

Aku mengerti rasa penasaran Inggrid. Pasti dia mau lihat juga apa yang ada di dalam kotak. Kalau itu kotaknya, aku juga pasti ingin tahu. Akan tetapi, entah kenapa aku khawatir ada satu dan lain hal yang menurutku nggak harus dilihat Inggrid. Aku curiga kami nggak pernah pacaran. Garis bawahi kata curiga. Aku belum tentu benar. Justru itu yang bikin aku ngerasa sebelum melihatnya bersama Inggrid, aku harus tahu dulu apa hubunganku dan Inggrid di masa lalu.

We were just kids back then. Apa yang bikin Inggrid punya dendam sebesar itu padaku, dan kalau kecurigaanku benar, apa yang disembunyikannya di balik keterangan palsu itu?

Inggrid mendesah.

"Sorry," ucapku. Nggak sadar, aku terlalu kuat mengisap bibir bawahnya.

Hujan di luar makin deras. Petir beberapa kali menyambar. Inggrid kehilangan konsentrasi dan melirik cemas ke arah jendela. Dia khawatir lampu kembali padam seperti kemarin, sementara aku sedikit berharap kebalikannya.

"Hey...," panggilku. Kuusap rambut dan kukecup keningnya. "It's okay... ada aku di sini, Nggrid."

"K—kamu ada emergency lamp?"

Aku menggeleng.

"Lilin?"

"Mungkin...."

"Oh, Pram...," kesahnya, menggeliat dan menghindar dari bibirku yang bermaksud kembali menyasarnya.

"Memangnya kenapa sama gigiku?"

"Pram! Aku mau udahan!"

"Tapi kita baru mau mulai," kataku.

Bola matanya menyorot tajam. "Aku nggak nyaman... mulutmu bau bawang."

Sialan. "Emangnya mulutmu enggak? Kita sama-sama makan makanan yang sama. Jangan banyak alasan. Kamu menikmatinya, Nggrid. Jangan bohong," kataku kesal. Kubalikin lengannya supaya mau melingkar di leherku lagi. Aku mengulum, mengulum, dan mengulum, tapi Inggrid nggak kunjung ngasih balasan.

Aku menyerah dan beranjak dari tubuhnya.

Inggrid ikut-ikutan duduk. Mungkin dia tahu aku kesal. Kupikir dia bakal menjauh, ternyata mendekat. Kurentangkan lenganku di sandaran sofa supaya dia bersandar di sana dan dia melakukannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Kate Hudson tengah muncul dalam gaun emas ikoniknya saat menemui Matthew Mccounaghey. Film sedang menuju babak penentuan di mana perasaan Andie pada Benjamin Barry akan menentukan keberhasilannya memenangkan tender iklan berlian. Aku dan Sab selalu suka bagian ini. Puluhan kali kami menontonnya bersama dan bagian ini nggak pernah kami lewatkan.

Namun, pada saat yang sama, tubuh Inggrid semakin merapat padaku. Lenganku berpindah dari bahu ke lekuk pinggangnya. Jelas sekali dia sedang berusaha mengatakan sesuatu, dia terus bergerak gelisah dan membuyarkan konsentrasiku. Darahku ikut berdesir resah. Kucoba terus memfokuskan perhatian dan mataku pada layar, tapi nggak bisa.

Apa sih maunya?

Rumit. Perempuan selalu rumit.

Akhirnya aku menunduk saat Inggrid tengah mendongak padaku.

Kusambar pengendali jarak jauh di dekat pinggulnya dan kubekukan adegan favoritku untuk sementara.

"Okay, what is it?" tanyaku gemas. "Kamu mau nonton filmnya, atau mau lanjut makeout sama aku?"

"Nggak mau dua-duanya," jawabnya.

"Bohong."

"Pram!" Inggrid memekik. Aku mengekeh senang mendengar reaksi kagetnya yang selalu menggelitik telinga dan bikin aku semakin ingin menjahilinya. Dia meronta, tapi aku berhasil kembali membantingnya ke atas permukaan sofa tanpa kesulitan yang berarti.

Cewek itu mengerang, perlawananya kali ini lebih serius dari sebelumnya. Dia sungguh-sungguh berusaha menekan dadaku menjauh. Aku nekat menindihnya. Kurenggut kedua pergelangan tangannya dan kusatukan di atas kepala dengan satu tanganku, sementara tanganku yang lain mengangkat pahanya mengikat pinggangku dan menaruh telapak kakinya tepat di bongkahan pantatku. Inggrid menahan napas. Kakinya sendiri yang kini menekan bagian depan pinggangku ke pahanya yang terbuka.

Aku nanya lagi. Celah mungil di antara bibirnya membayangi lubang pernapasanku. "Kalau nggak mau dua-duanya... lantas kamu mau apa?"

"Mau bicara," katanya.

"Aku nggak mau bicara," tolakku.

"Aku mau lihat kotakmu, Pram," pintanya. Rupanya dari tadi cuma itu yang ada di pikirannya? Jadi tadi dia dengan mudah kutaklukkan di awal supaya aku mau membuka kotak itu bersamanya?

"What about me?" balasku.

Inggrid nggak paham apa maksudku.

"What about what I want?" tanyaku. "Gimana kalau kamu ngikutin mauku duluan, baru aku ngikutin apa maumu?"

Mata Inggrid memincing curiga. "Tapi habis itu kamu buka kotaknya, ya?"

"Iya...."

"Sama aku? Ah... Praaam!" jeritnya.

Inggrid meronta, berkelit dari lidahku yang menggeltik cuping telinganya. Dia mendongak, tanpa sadar malah memberiku akses lebih luas buat mengecupi leher jenjangnya yang mulus dan harum. Dia mulai menggemeretakkan rahangnya. Kejengkelannya membuatku lebih waspada. Aku tahu dia bisa senekat apa kalau udah kesal.

Surprisingly, nggak ada yang terjadi. Dia diam saja menyadari semua usahanya menghentikanku sia-sia. Aku tetap menahan pergelangan tangannya di atas kepala—kali ini dengan kedua tanganku—mengajaknya berciuman. Inggrid mengerang saat aku—perlahan namun penuh tekanan—menggesekkan kelaki-lakianku yang mulai mengencang ke pinggangnya.

Aku menggigit bibir di depan wajahnya. "Don't judge me," kataku. "Kamu pasti tahu, kan, dari tadi aku pengin giniin kamu?"

"Dari awal kamu ngundang aku makan malam, aku udah tahu," katanya.

"And yet... kamu tetap ke sini."

"Kalau aku nggak ke sini, kamu yang akan ke rumahku."

"Memangnya kenapa kalau aku yang ke rumahmu? Paling enggak... dengan begitu... you can freely judge me."

"Apa untungnya nge-judge kamu? Ditolak, atau enggak... kamu juga bakal nekat. Emang kamunya aja yang kayak begini. Suka memaksakan kehendak."

Suka memaksakan kehendak? Aku terhenyak. Ucapan Inggrid memukulku telak. Is that what I did to her in the past? Did I force her? Apa itu yang bikin dia begitu dendam sama aku? Tanganku yang mencengkeram pergelangan tangannya melonggar. Inggrid menyadari itu. Bukannya meloloskan diri, dia justru bertanya aku kenapa.

"Aku cuma becanda...," katanya.

Okay... mungkin kecurigaanku semula terlalu berlebihan. Mungkin memang benar aku pernah pacaran sama Inggrid dan bikin dia trauma. Jangan-jangan dulu aku memaksanya melakukan hal yang nggak dia inginkan?

"Did I rape you?" tanyaku.

"Apa?"

"Kamu bilang tadi... aku suka memaksakan kehendak... apa maksudmu... itu dulu? Apa aku pernah nyakitin kamu?"

Mata inggrid membola. "Aku nggak tahu," katanya.

"Kamu nggak tahu? How can you don't know?" tanyaku heran. "Kalau aku memaksamu, orang yang paling tahu itu kamu. Sebagai orang yang dipaksa. Orang yang memaksa kadang nggak sadar sama perbuatannya, apalagi kalau mereka sedang dalam hubungan. I learned that growing up. Karena adanya hubungan, kadang laki-laki merasa berhak ngelakuin apa aja.

"Pram," cegahnya.

"Apa?"

"Kamu mengoceh nggak jelas."

Aku meneguk ludah. My inner trauma has just taken control. "Sorry," ucapku. "I am sorry, Inggrid...."

"Kamu overthinking."

Napasku tersengal. Kepalaku berusaha mengangguk menyetujui tuduhannya. Little did she know, I didn't. Mulutku mengucapkan kata maaf berulang kali. Satu kata yang berhenti sedikit-sedikit kuucapkan setelah keluar dari rumah ini. Aku nggak salah. Aku nggak perlu minta maaf. Just because I am the normal one, I don't have to say sorry. Aku juga berhak dilimpahi kasih sayang lebih meski aku bukan anak yang spesial.

Tiba-tiba aku merasa letih dan ambruk di atas tubuh Inggrid.

"Pram... are you okay?" tanya Inggrid.

"Just a moment," bisikku.

"Okay...."

Aku membenahi posisi dan meletakkan sisi wajahku tepat di perpotongan dada Iggrid. Jantungnya bertalu, tapi seiring dengan waktu degupnya kembali berirama. Aku menghirup aroma tubuhnya dalam napasku. Menenangkanku. "Inggrid...," panggilku.

"Hm?"

"Pindah ke kamar tidur, ya?"

Lidah Inggrid mendecap. Dia pasti berpikir aku mau lanjut ngerayu. "Di luar ujan, Nggrid... mending kamu nginep sini aja. Aku janji aku nggak akan ngapa-ngapain."

"Kamu? Nggak akan ngapa-ngapain? Aku lebih percaya besok pagi udah kiamat dibanding kamu nggak ngapa-ngapain kalau aku tidur sini."

"Hus... jangan ngomong gitu, Nggrid. Bisa jadi besok kiamat kecil buat hidup orang lain," kataku.

"Maksudmu hidupku, kan? Kalau aku nginep sini?!"

"Masa iya aku mau bunuh kamu? Ya enggak, lah... malah lebih besar kemungkinan... kita bikin kehidupan baru—"

"Nah... kan?"

"Cuma becanda, Inggrid...," rengekku. Kupeluk tubuhnya erat-erat. "Aku pengin bobo di sini sampai pagi."

"Ya aku nggak bisa napas, dong, Praaam!"

"Ya nggak literally... pengin peluk kamu sampai pagi."

Lanjutkan chapter ini di Karyakarsa, ya...

ini baru setengahnya.

Jangan lupa follow instagram baruku dan nunggu aba2 dariku kapan kamu bisa request masuk flipside-ku biar bisa baca part khusus followers IG.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top