Chapter 56. Another Level (POV PRAMANA)
Komen dulu yang mau lanjut baca cerita ini ^^
Jangan lupa sih baca Extra Part 2 di Karyakarsa. Udah aku terbitin, ya.
Dan buat yang males lanjutin satuan, aku udah paket-paketin juga dengan harga agak lebih murah.
Part 56 ini puanjang dan special part di karyakarsa. Konten 21+ jadi maaf, kalau mau baca bagian hoam haem, silakan ke sana. Wkwk...
Chapter 56
Another Level
PRAMANA
Atas tuduhan menghalang-halangi hak seseorang untuk mencicipi surga.
Itu adalah sebait rayuan paling murahan yang pernah terbersit di benakku, that's why I didn't say it. Aku tahu, aku nggak akan bisa berpikir lurus. Lebih masuk akal kalau sekarang aku berbuat kesalahan, mengatakan sesuatu yang nggak seharusnya kukatakan, atau lebih parah, nggak bisa mengendalikan diri dan orgasme terlalu cepat. I mean, something between her legs... is beyond my imagination.
Bukan berarti aku pernah membayangkan sesuatu di antara kaki Inggrid, nggak sespesifik itu, tapi ini benar-benar di luar ekspektasiku. It takes my breath away. It melts me. Begitu lututnya kupisahkan satu sama lain, ludah terkumpul di rongga mulutku. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana mulutku bisa tetap mengatup. Tapi, bulu kudukku meremang, syaraf-syarafku dengan cepat seakan tersengat di sana-sini dan menggelitik di balik kulitku. Aku terpesona. Perlahan, namun pasti, pori-poriku meremang. Dari ujung rambut hingga kaki. Aliran darahku menggelegak, jantungku berdegup lebih kencang. Dadaku berdeburan seperti ombak. Sebaliknya, tulang-tulangku justru lembek. Aku khawatir mukaku jatuh di atasnya.
"Pram...?" panggil Inggrid, menyadarkanku dari lamunan, suaranya cemas. "Are you okay?"
Aku buru-buru menelan ludah dan tercekat. "Y—ya... yeah I am okay...."
"Kamu ngelihatin apa, sih, Pram? You're making me nervous. Is there something wrong?"
"No! There is nothing wrong to have something very beautiful, very... breath-taking," seruku. Beberapa saat belakangan, setelah kupikir-pikir, harusnya aku cuma menjawab 'no' lalu berhenti bicara. It sounds so creepy. Sebelum Inggrid memikirkan kembali keputusannya karena aku bersikap terlalu norak, aku menghilang dari pandangannya dan kehilangan pandanganku sendiri.
Lidahku menyentuh dan membelai dengan sangat hati-hati, sampai kemudian aku yakin nggak akan ada yang rusak kalau aku sedikit lebih berani. Mulutku memagut, melumat. Menjilat dan menjelajah ke sana kemari. Inggrid menggelinjang-gelinjang liar sementara aku tenggelam dalam kenikmatanku sendiri.
"Oh, Pram... oh... Pram," racaunya. "Oh... oh... oh... Praaam...!"
Setiap kali nadanya meninggi, aku tahu aku sudah melakukan sesuatu yang benar. Aku tinggal mengulanginya lagi dan lagi sampai kaki Inggrid bergetar. Aku hanya perlu menyaksikan tubuhnya menggelepar, menyingkap boxer, dan menyelesaikan urusanku sendiri sambil menyecap sisa-sisa orgasme Inggrid yang sangat panas dengan memagut bibirnya.
"That's it?" tanyanya.
"Yup."
"Kenapa kalau di toilet suka lama?"
"Nggrid... nggak ada yang lebih ampuh daripada menyaksikan sesuatu yang nyata di depanmu," jawabku sambil menyimpannya kembali ke dalam boxer. Inggrid menyisih ke tepi, memberiku ruang di sisinya yang dengan senang hati langsung kutempati. Dia bahkan mengangkat kepalanya buat dipindahkan ke lenganku. I am happy.
"Cuma ngelihat aja secepat itu selesainya...," dia menggumam. "Gimana kalau terjadi betulan?"
"Pertama, kalau aku tahu bakal terjadi intercourse, foreplay-nya nggak akan kulakukan selama itu—"
"Kenapa?" tanya Inggrid kecewa.
Aku mem-blup gemas hidungnya dengan jariku. "Supaya kita selesai bersama-sama," jawabku meyakinkan. Inggrid menatapku curiga. "Okay... apa aja yang kamu baca di internet?"
"That women fake orgasm?"
"Did you?"
"Barusan? Enggak, tapi makanya aku nanya, kenapa kalau terjadi intercourse... justru foreplay-nya nggak selama itu? What if you finished quick? Saat kamu melakukan foreplay, meski aku yang ngerasain, tubuhmu juga bereaksi, kan? Lalu saat 'play', kamu dan aku sama-sama setengah jalan. Dari banyak yang kubaca, laki-laki lebih sering selesai duluan, that's why women fake their orgasm."
"For someone who never did it, kamu tahu cukup banyak."
"It's called research."
"Well... aku nggak tahu ya, Nggrid... tapi melihatmu menggelepar was so arousing," terangku. Aku ngerasa nggak perlu membungkusnya dengan kata-kata manis lagi because... we did what we did. "Banyak hal bisa terjadi dalam hubungan intim. Kamu nggak bisa berharap hal yang memuaskan terjadi setiap kali bercinta, hal-hal mengejutkan selalu terjadi. Sometimes you have a bad day, sometimes you don't. Kalau aku harus melakukannya dengan tanganku sendiri, ngapain aku berlama-lama? Untuk laki-laki, puncak kenikmatan terjadi detik-detik menjelang orgasme. Kami menundanya berkali-kali hanya untuk orang yang kami sukai, we calm it back down, berlama-lama... demi cinta. Kalau aku tahu kamu akan mengizinkan adanya penetrasi... aku nggak akan menuntaskannya secepat itu... cause I like you."
Inggrid menukikkan alis. Ekspresinya mencemooh. "Hmmmm...."
"Oh... kamu mau bukti?" tantangku, pura-pura mau menyerang lagi. Inggrid meronta-ronta manja menghindar dari jari-jariku yang menggelitiki tubuhnya. Makin lama dia makin menggemaskan aja. Aku memeluknya. "I really like you," bisikku. "I don't know what happen in the past, but I really like you now...."
Inggrid membiarkanku mengecup bibirnya singkat. Kami begitu dekat sehingga dengan mudah aku bisa menangkap tanda tanya pada tatapan matanya. "What is it?"
"Kamu masih punya pacar?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Can we take a step back and talk about it?" pintanya.
Aku menggeleng lagi. "I don't want to take a step back. Aku udah naik ke level 12. If I step back... belum tentu aku bisa mencapai level yang sama lagi. We keep going," tegasku. "Ask what you want to ask."
"Apa kamu menciumku karena aku bekas pacarmu di SMA dulu?"
"I don't even remember that. Itu tugasmu untuk ngingetin aku supaya tuduhan pencemaran nama baikku bisa kutangguhkan. Tapi, karena aku nggak bisa menahan diri malam itu... aku kehilangan daya tawarku. If I make it this far... it means you also want it. Pertanyaannya justru... apa kamu melakukan ini karena aku mantan pacarmu di SMA dulu?"
"Tapi kamu berkali-kali sempat bilang... I am the one who got away."
"That's what I feel after we kissed, not the reason I kiss you. Kamu nanyain yang mana? Justru harusnya aku yang nanya ke kamu. Apa karena aku hantu masa lalumu? Karena aku nyakitin kamu saat kita masih di sekolah dulu? Apa rencanamu, Nggrid? Sebab jujur... aku ngerasa aneh. Aku ingat kamu, tapi aku nggak ingat apapun saat kita bareng. Jangan-jangan... ini misi balas dendammu?"
Inggrid menarik diri dari pelukanku.
"Hey...," cegahku. "Do you still like me?"
Dia menghindar lagi.
"Kayaknya... kamu berat banget ngakuin hal itu," kataku. "Kenapa, sih?"
"Nggak apa-apa, Pram... aku mau bangun dulu... mandi. Kamu juga sebaiknya mandi, nanti masuk angin."
"Inggrid... stop it."
Inggrid terhempas kembali ke atas ranjang. "Seenggaknya, kasih tahu aku gimana perasaanmu sekarang," aku mendesak. "Kalau kamu masih nggak mau bilang... pasti ini ada hubungannya sama masa lalu kita, kan? What did I do to you Inggrid? Waktu kita masih remaja... apa yang kulakukan ke kamu? I saw something... hurtful in your eyes... setiap kali kita ngomongin ini, tapi kamu nggak pernah mau bilang. Sebelum malam ini... aku selalu ngerasa kamu terus hanyut, tapi selalu seperti ada hal lain yang mengingatkanmu untuk waspada. Tell me... what did I do to you?"
"You dumped me," jawabnya. Pendek. "It... still hurts."
Rasanya nggak tahan buat bilang bahwa jawabannya terlalu dangkal. Tapi, aku juga nggak mau segalanya kembali berantakan. Mungkin saja luka dicampakkan itu membekas di benak Inggrid sampai sekarang. Mungkin dulu aku terlalu kejam. "Maafin aku, Nggrid," ucapku. "Dulu mungkin aku sudah minta maaf, tapi sekarang—"
"Kamu belum minta maaf," potongnya. "Dulu... kamu nggak pernah minta maaf."
Perbendaharaan kata berhamburan kabur dari otakku. Aku nggak bisa terhubung dengan luka Inggrid sebesar apapun keinginanku untuk melakukannya. We were just kids. Semua remaja putus cinta di tengah jalan. Pasti ada hal lain. Pasti.
"Aku masih ada pertanyaan lagi," kata Inggrid. Lamunanku buyar dan aku langsung mengangguk. "I want you to be honest with me... okay?"
"Okay," ucapku, ngerasa nggak ada lagi hal yang kira-kira dia sudah tahu dan akan mengejutkanku.
"Kamu nggak putus sama pacarmu gara-gara aku, kan?"
Shit.
Gandhi pasti dulu ngelihat aku perang mulut sama Sab di acara akbar itu. Mukaku pucat. Well, Sab urusan gampang. Yang sulit untuk dijelaskan nanti adalah masa laluku dan Amara. It's something you can't washed away because it has stain.
"Gandhi bilang... dia ngelihat kamu ribut besar sama pacarmu di acara akbar QA se-Indonesia sekitar setahun lebih yang lalu. Di situ dia juga dengar kalian sudah hampir menikah, tapi sampai satu tahun kemudian nggak ada kabar. Pram... pernikahan kamu nggak kandas di jalan gara-gara tulisanku, kan?"
Aku masih nggak bereaksi. Pikiranku melayang ke hal-hal lain yang jauh lebih penting.
"Aku nggak marah," kata Inggrid lagi. "Aku cuma mau kamu jujur. Pram...."
Oh, Inggrid... kuharap kamu masih bisa semurah hati ini nanti kalau sesuatu yang benar-benar gila dibeberkan di depan matamu. Sejauh mana Gandhi mencari tahu tentangku? Sebatas apa yang dilihatnya tahun lalu? Atau lebih?
"Apa lagi yang dia bilang soal aku?" tanyaku, mencoba tetap tenang. "Apa dia juga ngorek-ngorek tentang kehidupanku buat ngejatuhin aku di depan kamu?"
"Enggak. Honestly... Gandhi orangnya nggak kayak gitu. Dia ngasih tahu karena aku nanya. Dia nggak berusaha mencari-cari informasi, atau ngasih aku keterangan yang dia sendiri nggak yakin tentang kamu. Aku cuma mau tahu aja. Kenapa kamu bilang pernikahanmu kandas gara-gara aku? Apa benar dia baca tulisanku?"
Entah tarikan napas panjang ke berapa, tapi aku melakukannya lagi. Kali ini, aku nggak punya pilihan selain jujur. "No."
Sambungku, meski Inggrid terlihat amat terpukul. "There is no respectable lawyer who read your story, Inggrid... I am sorry...."
Surprisingly, mata Inggrid berkaca-kaca. Aku nggak tahu tulisan-tulisan itu benar-benar besar artinya buat dia.
Aku ngerasa bersalah. "Inggrid... I am so... so sorry... aku cuma berimprovisasi. Aku udah pernah bilang, kan? Aku selalu nyari tahu dengan siapa aku akan kerja sama. So I learn from your CV. Aku tahu kita satu sekolah, aku tahu kamu menulis. Aku iseng membaca dan menemukan namaku. Aku keberatan, tentu saja, disebut begitu. Kupikir... untuk lebih meyakinkan keberatanku... aku harus menderita kerugian besar. Aku harus punya taruhan besar. Jujur... aku cuma ingin tahu lebih jelas tentang puzzle-puzzle acak-acakan di kepalaku tentang masa remajaku. Nggrid... aku nggak mengada-ngada... mukamu familiar banget di kepalaku dan aku nggak ngerti apa alasannya. Sampai sekarang... aku masih nggak yakin aku benar-benar ngomong begitu ke kamu. I mean why? Why would I let you go like that?"
"Jadi kamu nggak pernah berniat menuntutku sama sekali?"
"Now... that I fall for you... mana mungkin aku menuntut? Well... aku menuntut pembersihan nama baik, tentu saja, can you do that?"
"Aku cuma nerbitin terbatas buku-buku itu. Aku juga sudah menghapusnya dari platform. Aku bisa menulis permintaan maaf dan mengganti harga bukunya supaya dimusnahkan. Aku akan bersaksi bahwa aku menulisnya tanpa bukti yang memadai, aku mungkin bakal dihujat, but I take that as a risk. Is that enough?"
Aku mencubit dagunya. Kalau aja dia tahu aku sama sekali nggak peduli. "It's enough," jawabku.
"Tapi terus... urusan kamu sama pacar kamu gimana?"
"Urusanku sama pacarku?"
"Pacarmu. Yang waktu itu kamu bilang. Dia mantanmu, a respectable lawyer. Kurasa kalian masih punya hubungan baik, kan, sampai-sampai dia mau datang dan jadi penasehat hukum kamu, ngebicarain kasus ini? Kalau enggak... kenapa dia ada di apartemen kamu? Atau jangan-jangan... kalian masih... pacaran?" tuduhnya bertubi-tubi.
"Sama sekali enggak," tegasku bulat. Kurasa, ini penjelasan yang lebih mudah. Toh, Sabrina nggak akan mencampuri hidupku lagi. "Kami sudah... benar-benar... putus. Dia... udah punya... orang lain. Dia sudah bahagia sama orang lain."
"Kenapa kamu masih minta bantuan dia kalau dia udah bahagia sama orang lain?" cecarnya. "Sebenarnya kapan kamu putus dari dia, Pram?"
"Udah lama, Nggrid...."
"Terus kenapa dia masih ada di sini? Apa yang dia lakukan di sini? Di Semarang pula. Bukannya udah lama kamu nggak balik ke sini? Artinya kalian masih punya urusan, kan?! Aku nggak mau, ya, Pram... jadi perusak hubungan orang lain. Apa bedanya hubungan ini sama hubunganku dengan Gandhi?"
Kutahan pinggul Inggrid dengan tancapan kuku-kukuku. Kupastikan dia nggak bisa bergerak, tapi juga nggak terlalu menyakitinya. "It's a long run. Aku dan Sab... sudah ngerencanain semuanya... dan gagal. Jadi yah... aku masih punya urusan sama dia... tapi waktu itu... waktu kita berpapasan di apartemen... itu yang terakhir, Nggrid. Urusanku sama dia benar-benar udah tuntas. Kamu nggak ngerusak hubungan siapapun... aku janji."
"Sab?"
Aku menatap wajah Inggrid. Nggak tahu apa yang salah.
"Kupikir namanya Gendhis...?" katanya.
Baca part huhah lebih lengkap di Karyakarsa ya
Chapter 57 juga mini special part.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top