Chapter 54. No, More, and Unless

Komen dulu di sini, siapa yang masih baca cerita ini. Kalau nggak ada komen, nggak aku lanjut di wattpad ^^

Extra Part 2 belum ada, ya... aku belum bisa nulis lagi. Hehe... masih occupied sama isu lain. Belum bisa diajak nulis. Anyway FREE PALESTINE 🇵🇸

***

Oh iya kalau ada yang nanya, Kak, yang di Wattpad sama Karyakarsa tuh beda gak, sih? Jawabannya BEDA BANGET, ya. Di Karyakarsa lebih panjang.

Kalau kamu mau baca versi panjang dan udah tamat ada di sana. Aku juga udah bikin paket-paket baca dari chapter 15 sampai 100. Karena ini baru part 54 di wattpad, kamu bisa dukung paket baca chapter 51-75 sama 76-100 di karyakarsa. Harga paket agak lebih murah.



Seperti yang pernah kukasih tahu di awal, di wattpad paling aku post sampai chapter 70, sama kayak MMS dan TMM dulu ^^

Buat yang dukung semua part satuan maupun paket, akan dapat exclusive pdf versi karyakarsa yang nggak akan kujual bebas.

Part ini juga lebih lengkap di karyakarsa

Chapter 54
No, More and Unless

"Ada ban serep di belakang?" tanyanya di tengah hujan lebat.

"Ha?"

"Ban cadangan," ulangnya. "Ada?"

"Ada, tapi untuk apa?"

"Just in case. Ban depanmu sudah lumayan tipis, Nggrid. Kebayang nggak bahayanya kalau kubiarin kamu nyetir sambil marah-marah? Bisa selip, atau meletus di tengah jalan, dan... boom! Kita mati muda."

"Pram!" seruku memperingatkan.

"Somebody has to say something," katanya pelan.

"Dari Kota Lama sampai sini kamu juga diem aja... kenapa mesti aku yang bicara? Kamu kan juga punya mulut," gerutuku. "Iya... ya.... Untung kamu yang nyetir, bukan aku."

"Kalau tadi aku betulan naik taksi, terus ujan deras begini dan ban-nya meletus—"

"Iyaaa!" potongku gerah. "Kan aku udah bilang iya. Untung ada kamu, Pram. Makasih, udah nyelametin aku sampai dua kali malam ini. Aku utang budi sama kamu. Puas?"

Pramana mengekeh. "Lumayan...," katanya. "Kalau kamu masih bisa bitter gitu, aku agak lega. Kirain kamu bakal depresi semalaman cuma gara-gara Gandhi. You know you don't have to worry about him, do you?"

Aku mengangguk.

"Kalau ada yang harus kamu khawatirkan sekarang... cuma ban mobilmu. Baru kerasa banget pas ujan deras begini. Tolong jangan rusak konsentrasiku dulu."

"Siapa juga sih yang mau ngerusak konsentrasimu? Aku sebenarnya udah tahu... tapi aku baru punya duit buat ganti ban nanti... kalau udah gajian. Sekarang aja sisa hidupku disokong sama Benny. Makanya... kalau kamu berniat nuntut pencemaran nama baik, tuh... mau nuntut apa? Aku nggak ada uang lebih. Kalau duitnya lebih, sih... mungkin dari kemarin aku udah tidur sama Gandhi. Mempertahankan pekerjaan ini nggak se-worth it itu."

"Astaga Inggrid...," kata Pram. "Dosa, Nggrid...."

Aku menyambar lengannya buat kucubit. "Bener, nih, dosa?"

"Iya, dosa... tapi kan nanti bisa tobat."

"Iya kalau keburu tobat... kalau setelah ini ban depannya selip, terus kita terjun bebas?"

"Ya kan belum kejadian...."

"Apanya? Terjun bebasnya?"

"Bikin dosanya, Nggrid...."

"Ihhh!!!"

Cubitan keduaku mendarat di pahanya. Sebelum kulepas, Pramana keburu menangkap tanganku dan menggenggamnya. Tanganku dan tangannya ada di pangkuannya. Aku mengalihkan tatapan ke luar jendela. Pipiku panas bersemu.

Keadaan kembali sunyi, tapi kali ini kurasakan suasana di sekitar kami mulai mencair meski jantungku terus berdebar. Aku baru menyadari sejak tadi bukan hanya tatapanku yang kosong, pikiranku juga. Hampir nggak ada yang kupikirkan setelah salah satu beban di pundakku terangkat dengan bantuan Pramana.

Aku bahkan nggak sempat mengucapkan terima kasih secara pantas. Rasanya malas ngucapin terima kasih setelah dia bikin aku sakit hati berat, sampai-sampai kepikiran buat mempertimbangkan cinta Gandhi. Atas jasanya, mungkin aku benar-benar bakal dapat surat rekomendasi beberapa bulan lagi. Kutarik embuskan napas. Sambil pura-pura menyelipkan rambut ke balik daun telinga, .aku menoleh.

Pada saat yang sama, tatapan Pram juga teralih dari depan. Kami bersitatap sekilas karena dia harus kembali fokus ke depan. Mobil sedang menanjak di jalan Gombel yang lumayan curam. Aku sedang mempertimbangkan apa yang mau kuucapkan. Tahu-tahu Pramana buka mulut duluan, "Say it."

"Kamu duluan," kataku masih memandang figur samping wajahnya yang rupawan. He aged like fine wine meski kami memang masih muda. Aku yakin, Pramana belum tiba di puncak ketampanannya. Paling enggak, dia tetap akan semempesona ini sampai dua puluh tahun ke depan. Itu waktu yang sangat panjang. Dua kali lebih lama dibanding absennya dari hidupku selama ini. Siapa yang nyangka aku akan bisa memandang Pramana lebih dari lima detik belasan tahun kemudian dalam jarak yang sangat dekat? Ini impian masa remajaku. Duduk sedekat ini dengannya, memandangnya dengan bebas dan membuat pipinya yang bersemu, bukan cuma pipiku. Apalagi... melihatnya melakukan sesuatu demi aku.

"Come on, Inggrid... I deserve it," desaknya. Bolak-balik dia menoleh padaku saat menanyakannya. Ada seringai tawa kecil yang kutahu nggak bisa ditahannya karena perasaan bahagia, sebab aku juga merasakannya. Kemudian saat dia menyadari aku menatapnya dengan intens, dia menoleh sekali lagi, kali ini sedikit lebih lama. "Nggrid... what do you want me to say? I've said it all. Aku udah minta maaf... apa lagi? Nyebutin semua kesalahanku? Ya... aku tempatnya salah, kamu yang selalu benar...."

"Tuh, kan... kamu mainin kartu murahan itu lagi. Kamu memang salah, kok, bukan karena aku selalu benar!"

"Iya... iya... aku memang salah. Aku minta maaf. But I did a great job, didn't I?"

"Tapi kamu nggak langsung bilang. Di situlah masalahnya! Kenapa kamu mesti nyusul aku ke Spiegel? Kenapa kamu nggak bilang aja di pabrik."

Pram membuang napas pendek. "Okay...."

"Okay apa? Kamu mau dengar aku bilang apa? Iya, Pram... kamu benar? Gitu?"

"Aku cuma kesal karena kamu kayaknya jauh lebih gampang maafin Gandhi daripada maafin aku. That guy is walking red flag. Aku nggak tahu gimana kamu bisa nggak ngelihat itu. Padahal mataku yang agak rabun. Bukan matamu!"

"Pram!"

"Aku nggak memaki! Maksudku matamu... ya matamu, kan? Astaga, Inggrid! I am driving. Don't tease me!"

Aku tertawa.

Setelah mobil membelok di samping patung kuda di jalan Setia Budi karena biasanya pertigaan lampu merah Swalayan Ada macet total hujan deras begini, aku mengalah, "Makasih, ya, Pram...," ucapku.

"Aku sebenarnya lebih mengharapkan kata maaf, sih," katanya, terus terang. "I hate the way you prioritize him."

"Karena kupikir aku harus melakukannya...," kataku membela diri. "Lagian... kamu memang ngeselin banget, sih. Aku, tuh... aku nggak bisa mikirin gimana caranya bikin kamu nggak kena tanggung...," imbuhku lirih. "Aku sebenarnya tahu... tapi aku nggak bisa ngebayangin itu sama kamu. Rasanya... kalau sama kamu... aku...."

"Wow...," celetuk Pram, dia tahu aku nggak akan mungkin melanjutkan kalimat itu sampai tuntas. "Jujur... aku nggak berharap kamu membahas urusan ranjang kita sampai sejauh itu. Aduh!"—aku mencubit lagi—"Aku ngerti maksudmu, tapi asal kamu tahu... aku laki-laki... sama kayak Gandhi. Aku bisa ngerti... kamu butuh kesiapan... tapi aku masih bisa lanjut tanpa merugikanmu. Kalau kamu ngerti maksudku...."

"Aku ngerti... tapi aku lebih senang kalau kita berhenti membicarakannya."

"Kita udah sama-sama dewasa. Lebih baik diomongin daripada nanti ada penyesalan, atau ucapan yang bakal menyakitkan. I just can't stop thinking about that. Kalau sama Gandhi... dia nggak—"

"Pram...."

"Let me finish."

"Nggak!" tegasku. "Aku udah ngerti. Kalau sama Gandhi... dia nggak kena tanggung. Dia bisa menyelesaikannya sendiri di tubuhku, tanpa merugikanku... dan tanpa terang-terangan mau menuntaskannya di toilet."

"I just can't do it in front of you setelah kamu memintaku berhenti."

"Aku nggak bisa bayangin kamu ngelakuin hal itu di tubuhku, Pram!"

"Jadi kalau sama aku... kamu ngebayangin... hal yang lebih serius?"

Aku nggak mau jawab. Soalnya dia benar. Mungkin karena aku masih... dan selalu punya rasa padanya, tiap kali Pram menjelajah ke daerah terlarang, aku seperti dituntut untuk menyerahkan sesuatu. Aku bisa cuma main-main sama Gandhi, tapi nggak bisa sama Pram.

Kami terus saling diam sampai hampir tiba di tujuan.

"Untuk apa?" tanya Pram tiba-tiba.

"Untuk apa, apanya?"

"Kamu tadi bilang makasih ke aku, kan? Untuk apa? Atau kamu mau kita ngelanjutin pembahasan rating dewasa?"

"Sama-sama bikin males. Pasti kamu bakal membangga-banggakan diri lagi. Gimana kalau kita ngomongin... makan malam apa kita habis ini? Udah mau dekat sama rumah, nih."

"Aku mau makan kamu aja sih kalau boleh."

"Kamu tahu aku ngucapin makasih untuk apa," sambarku, mengembalikan pembicaraan ke tempat semula supaya omongan Pram nggak makin melantur. Pram tertawa renyah. "Makasih... karena kamu udah datang jauh-jauh ke Spiegel meski harusnya kalau kamu ngasih tahu di pabrik... kita sama-sama nggak perlu keujanan dan nyaris kesambar geledek. Makasih karena kamu udah berhasil membujuk seseorang mempertaruhkan pekerjaannya untuk membocorkan rahasia Gandhi—"

"Itu bukan rahasia, semua orang di perusahaan itu sudah tahu," potong Pramana.

"Dia bilang... dia juga bisa ngelaporin orang itu untuk tuntutan membocorkan rahasia perusahaan."

"He won't do that... kalau sampai dia berani begitu... kamu juga bisa ngelakuin hal yang sama ke dia. Gandhi lah yang mempertaruhkan pekerjaannya di sini. Aku justru nyelametin dia sebelum bertindak terlalu jauh. Waktu dia datang ke kantormu diam-diam... aku yakin dia udah mulai nekat dan kehabisan akal buat ngedeketin kamu."

"Tapi, Pram... temuan itu memang ada?"

"Menurut informasi yang kuterima... memang ada temuan. Dia nggak sepenuhnya mengada-ada. Bedanya... temuannya nggak terdapat di bulk production seperti dalam keterangannya."

"What?!" seruku nggak percaya.

"Yup."

"Pantesan Lanoste dengan gampang nge-drop temuannya. Jadi itu nggak terjadi di produk yang bakal diterima retail-nya?"

"Exactly. There's no way sebuah temuan di-drop atau ditunda pemberitahuannya jika terjadi di bulk production. Aku curiga... kalaupun ada... temuan itu terdapat di final inspection sample di mana dia fully in charge saat development di perusahaanmu. My assumption was right. Dia diskors untuk itu. Lanoste bahkan nggak menunjukkannya pada perusahaanmu bahwa temuan itu ada. It's such a shame for them. So they decide to close the case internally."

"Dari laporan Budi, metal detector yang dipakai saat pemeriksaan akhir itu memang ternyata ada masalah. Seminggu kemudian mesin itu menjalani penggantian spare part pada pemeriksaan berkalanya... I guess... kami beruntung karena bulk production-nya justru aman-aman saja, kan?"

"Yah... antara beruntung... atau kalian punya team inspeksi yang bagus."

Dadaku membusung. Senyumku mengembang.

Namun, senyum itu langsung pudar ketika Pramana menambahkan, "Yang aneh... ribuan bulk production bisa lolos tanpa cacat serupa yang ditemukan di segelintir final inspection sample. Pastinya... ada sesuatu yang mengalihkan perhatian Samudra Gandhi demikian hebatnya sampai itu terjadi...."

Aku memutar bola mata dan membuang mukaku lagi ke jendela.

"And you refused to kiss me in your working environment," imbuhnya penuh kesumat. "Working environment my ass."

Aku melipat bibir untuk menahan tawa. "You sounds very upset."

"I am," angguknya tegas. "Makanya aku repot-repot mencari tahu ke rekan kerja lamaku yang cuma dapat kerjaan di Lanoste, bukan di Baronnes."

"Oh My God... kamu masih aja ngesok kayak gitu soal kerjaanmu."

"Kenyataannya... aku memang lebih baik dari Samudra Gandhi. Coba tanyain ke dia, berapa gajinya per tahun, bandingkan denganku. Nggak ada yang bisa menipu itu. My work ethic is much better than him whatsoever. Kalau aku holding a final inspection at your factory, Inggrid... kamu bisa telanjang di depanku dan aku akan nyuruh kamu pakai baju... because I am sorry... with all do respect... my important job and responsibility is waiting. A man has to know which come first before the other. I can eat your pussy later—ouch!!!"

"Brengsek!" makiku kesal.

Dia malah ketawa. "It's a metaphor, Inggrid... jangan marah," gelaknya.

"Metaphor apaan? Itu mah jorok bukan metaphor!"

Tawa Pram berderai.

Satu putaran kemudi terakhir dan mobil membelok ke kompleks perumahanku. Pramana membuka kaca jendela di samping pos keamanan. Mereka mengenali wajah dan mobilku lalu membukakan gerbang. Hujan membuat perumahan sepi itu tampak makin senyap. Jantungku berdebar. Laju mobil melambat. Hujan masih mengguyur lumayan deras. Jari-jariku terjalin cemas. Aku mulai resah menerka ke mana arah kalimat Pramana selanjutnya. 

Pramana keluar duluan buat membuka pagar. Mobil diparkir di depan pintu garasi, lalu dari sana kami berlarian di bawah hujan melintasi halaman dan berteduh di teras. Aku memasukkan kunci ke pintu, tapi setelah beberapa saat termenung, kunci itu kubiarkan di sana. Tubuhku memutar dan kami berhadapan.

"You're not going to let me in?" tanyanya.

Aku menimang.

"Aku basah kuyup."

"It's late."

"Baru jam delapan," katanya. "Dan aku basah kuyup."

Aku menjilat bibirku yang beku dan dingin, berpaling ke arah lain dan melabuhkan tatapanku ke pot-pot bunga kecil yang kubeli saat pindah kemari tapi nggak pernah kutanami sesuatu. Pramana maju memupus jarak di antara kami. Dia mencubit daguku dan memaksaku membalas tatapannya. Dadaku sesak, tarikan napasku terbatas karena lelaki itu membayangi wajahku dengan wajahnya. Aku mempertahankan diri supaya mataku nggak memejam, sebab dia pasti akan melekatkan bibirnya ke bibirku.

"Kamu benar," ucapnya sekonyong-konyong, mengernyitkan keningku. Suaranya berat teredam. Napasnya hangat mengembus. Fokus tatapannya pada bibirku yang dagunya masih tercubit jari-jarinya. "It's not metaphor. It's bullshit. Aku bisa mencela Gandhi karena sudah menipumu because I would never do something like that. Tapi... aku nggak bisa sepenuhnya menyalahkan Gandhi."

Kerutan di antara alisku semakin dalam.

Bisiknya, "If I saw you naked... I'd leave anything in this world behind me, Inggrid...."

Aku tergemap. Sempat berpikir untuk meninju rusuknya, tapi cara Pramana mengucapkannya seakan menghipnotisku. Jantungku nggak lagi berpacu kencang, jantungku meleleh seperti es batu yang dilempar ke bawah sinar matahari kota Semarang. Sendi-sendi tubuhku meleyot lemas, terlebih saat dia nekat mengecup dan membasahi bibirku dengan jilatan lidahnya.

"Your lips... it looks cold," katanya. Bibirnya membentuk garis melintang miring. "So I warm you a little bit. Do you like it?"

Aku menggeleng.

"Aku bisa mencoba lagi, siapa tahu kali ini kamu suka."

Kutarik mundur wajahku. "I don't want to kiss you anymore," tukasku tegas.

Pramana tersentak. Senyum yang membayangi wajahnya pelan-pelan memudar.

Sebelum dia mengambil kesimpulan lain, aku menambahkan, "Unless this is it."

"Apa?"

"Unless this is it. You and I. No more arguing. No more fighting. Aku capek, Pram...."

"Oh... Inggrid," kesah Pramana. Tawanya baru lepas tertahan beberapa detik kemudian. "You scared the fuck out of me... kirain kamu beneran nggak mau dicium lagi. Aku bisa stres, Nggrid. Of course, Baby... this is it. Harusnya aku yang bilang begitu. Masalahnya... aku selalu pengin nyium kamu... nggak mungkin aku dapat kesempatan buat ngomong begitu...."

Follow sosmedku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top