Chapter 51. How to Talk to Someone You Love Without Making Her Angry?
Chapter 98 sudah update di karyakarsa.
Dua part lagi tamat.
Part-part akhir ini nantinya nggak akan ada di Wattpad ^^
Selamat mendukung dan membaca!
Chapter 51
How to talk to someone you love without making her angry.
"Nggrid...."
Aku mengeratkan rahang. Kalau kulepas, takutnya air mataku menetes. Walau posisiku membelakanginya, aku nggak mau mataku sampai berkaca-kaca. Aku harus pura-pura tegar pada diriku sendiri. Bukannya ini yang kumau? Ya memang ini yang kumau, tapi aku maunya aku yang bilang ke dia aku nggak mau jemput dia lagi. Bukan sebaliknya. Daguku terangkat lebih tinggi. Kupeluk map kerjaku lebih erat dan kugeser pintu ruang inspeksi lebih lebar, tapi Pramana memanggil namaku sekali lagi. Aku berhenti di ambang pintu yang setengah terbuka.
"Itu kan yang kamu mau?" tanyanya.
Aku nggak ngomong apa-apa.
"Kayaknya... barusan kamu kesel banget dimintain tolong nganter aku pulang. Kamu juga nggak mau lagi jemput aku ke kantor, kan? Daripada kamu bingung gimana bilangnya ke aku besok... alasan ban sebelah mana lagi yang kempes... mending aku aja yang bilang, kan?"
Aku berbalik dan langsung menuduh, "Kamu nguping pembicaraanku di ruang sampel?"
"Nggak usah nguping juga aku denger, Nggrid," decihnya.
Makin kesal aja aku dibuatnya, "Terus? Kenapa kamu nggak konfrontasi begitu kamu selesai menguping? Karena masih mau denger aku konfirm ke kamu siapa teman kencanku?"
"Tadinya aku sama sekali nggak berniat konfrontasi apa-apa, tapi kamu nggak bilang besok kita gimana. Ya kalau armadaku besok udah ada, kalau belum?"
"Ya udah!" solotku.
"Ya udah apa?"
"Ya udah kalau maumu berangkat sendiri dan kita cuman ketemu di kantor, malah bagus. Nggak usah nanya-nanya mauku apa!"
"Lho... kan kamu yang bilang duluan... mendingan kita cuma ketemuan di kantor aja. Kamu marah-marah... tapi nggak jelas marahmu gara-gara apa."
"Nggak jelas marahku gara-gara apa?!" aku memekik sambil membanting pintu geser sampai menutup rapat kembali. Pramana membelalakkan mata, sekaligus mundur selangkah meski jarak kami berjauhan. "Kamu nggak perlu nanya-nanya alasan marahku yang mana. Semua yang kamu lakuin itu salah! Memangnya menurutmu ada yang bener sama kelakuan dan pilihan katamu tadi pagi? Kamu udah tahu salahmu di mana, kamu udah sebutin satu per satu, kamu nggak perlu nanya yang mana. Semuanya!"
"Kalau begini kan jelas," gumamnya.
"Kalau begini kan jelas-kalau begini kan jelas," aku membeo dengan nada melecehkan. "Aku bukannya nggak bisa nerima kejujuran, ya, Pram. Mohon maaf banget kalau kamu tersinggung, tapi aku mau nanya... kamu tuh ngomong kayak gitu mikir dulu enggak, sih? Aku nggak mau tidur sama kamu, kamu malah nawarin jadi fuck buddy. Logikamu di mana?!"
"Sabar, Nggrid...."
"Jangan suruh aku sabar!"
"Suaramu kenceng banget," katanya, tertahan. Aku sendiri baru sadar barusan aku memekik sepanjang kalimat. Kuredam napasku dan kuembuskan lewat mulut panjang-panjang. "Biar aku jelasin dulu."
"Aku nggak punya waktu dengerin penjelasanmu! Mending aku ngurusin hal yang pasti-pasti aja!"
"Hal yang pasti-pastimu itu ada di sini," sahut Pramana. "Di depanmu."
Daguku tertarik ke belakang. Di depanmu? Maksudnya? "Maksudmu?"
"Pekerjaan ini," katanya. "Dan aku...."
Dih.
Aku memutar bola mata. "Kamu cuma mau ngulur-ngulur waktuku aja. Bagus-bagus kita tadi diem-dieman, nggak perang mulut. Biarin aja kayak begitu kenapa, sih? Biar tenang. Kamu besok nggak mau dijemput, kan? Ya nggak akan kujemput! Itu maumu, ya, bukan mauku. Aku barusan nolak ngantar kamu pulang malam ini karena aku harus nemuin Gandhi. Yang bilang besok nggak usah dijemput, tuh kamu. Bukan aku. Jangan mencla-mencle!"
"Jadi kamu mau jemput aku besok?"
"Enggak!"
"Ya itu kamu barusan bilang?"
Aaarrrghhh... orang ini lama-lama bisa bikin aku darah tinggi.
"Selama belum ada armada dan aku nggak ada kepentingan apa-apa, aku kan cuma kacung di sini, kalau disuruh jemput, ya jemput. Cuma kamu tadi kan nggak mau!"
"Aku nggak mau karena kupikir kamu yang nggak mau!"
"Ya aku memang nggak mau sebenarnya! Kamu udah kelewat nyebelin, Pram. Kelewat seenakmu sendiri. Dikit-dikit minta maaf, dikit-dikit bikin salah lagi. Pusing aku tahu, enggak? Mendingan aku pergi nemuin Gandhi di Spiegel... santai-santai, makan gratis, daripada ngadepin kamu yang makin ke sini makin ajaib. Kamu bilang apa? Kalau kena tanggung melulu kamu bisa gila? Aku udah gila duluan, Praaam!"
"Nggrid...."
"Just stop," aku memperingatkan. "Just let me go. Aku harus ketemu sama Gandhi sekarang juga. Kamu masih bisa ngajak aku berantem besok... atau nanti...."
"Jam berapa kamu pulang dari Spiegel?'
"Seriously, Pram? Waktu kubilang nanti... bukan dalam arti yang sebenarnya!"
"Aku tahu. Aku cuman nanyaaak. Kamu mau pulang jam berapa dari Spiegel nanti?" geramnya. Kesabarannya yang setipis tisu udah mulai habis. "Aku gantian mau ngomong sama kamu."
"Ngomong lagi... ngomong terus...," gerutuku. "Capek!"
"Ya udah terserah kamu aja lah!" dengkusnya jengkel denger aku mendumal. "Kalau kamu masih mau denger saranku, mendingan kamu stay di sini. Kerjain sampelmu dan lupain janji ketemu sama Gandhi. Nggak usah ngurusin temuan itu. Kalau temuan itu ada, ya udah... pasti nyampe ke sini. Kalau nggak nyampe sini... berarti nggak ada!"
"Kamu enak ngomong gitu, ini nggak ada hubungannya sama kamu. Sama kerjaan kamu. Sama nasib temen-temenku yang bisa kehilangan kerjaan kalau Lanoste minta ganti rugi besar. Kamu nggak pernah kerja di pabrik kayak gini, sih, Pram. Orang datang dan pergi tiap bulan, tiap minggu. Perusahaan tinggal berhentiin orang kalau ada kesalahan, tapi orang yang dipecat urusannya masih panjang. Kalau ada yang bisa kulakuin... bakal kulakuin!"
"Gandhi cuma akan manfaatin kamu kalau cara pikirmu udah gitu duluan. Makin kamu memperlihatkan ke dia kalau ini masalah serius, dia makin gampang minta sesuatu dari kamu sebagai imbalan!"
"Aku bisa jaga diri, Pram!"
"Okay... fine... temuin aja dia. Kamu juga nggak bakal puas sebelum ketemu sama dia!"
"Maksudmu tuh apa? Kamu cemburu?"
"Iya! Kamu pake nanya? Kalau kamu mau balikan sama aku, udah aku larang kamu ketemu sama dia."
"Enteng banget, sih, kamu ngomong kayak gitu? Sikapmu ke aku aja nggak ada baggus-bagusnya, Pram... siapa juga yang mau balikan sama orang kayak kamu!"
"Kamu mau aku bersikap 'bagus' ke kamu kayak apa, sih? Bawain kamu sampel mahal biar kamu mau nemenin aku tidur di hotel?"
Mataku mencelang. "Apa...?"
"Blus lengan balon warna merah yang kamu pakai waktu peluncuran bukumu beberapa minggu lalu, itu sampel terbatasnya Chantal. Aku tahu. Gandhi pasti dapat limited sample itu dari salah satu relasinya di sana. Blus itu nyaris sekelas sama gaun yang kamu coba di apartemenku kemarin. Apa yang dia minta dari kamu sebagai ganti gaun itu?"
Aku nggak bisa berkata-kata.
"Nggak mungkin, kan, cuma minta kamu jadi peraga aja kayak apa yang kuminta dari kamu? Dia nggak ada kepentingan apa-apa sama sampel itu. Aku percaya kamu nggak tidur sama dia, tapi aku yakin dia sama sekali nggak dibikin kena tanggung sama kamu. Iya, kan?"
Napasku.
Astaga... napasku. Di mana napasku? Aku sampai lupa bernapas dan seketika megap-megap. Lengan yang mendekap setumpuk map dan sampelku bergetar, aku melemparnya ke arah Pramana. Dia bergeming meski pekerjaanku menimpuk muka dan dadanya lalu jatuh berhamburan di lantai, sementara seluruh tubuhku bergetar.
"Inggrid!"
Pramana berusaha mengejar.
"I am sorry."
"Don't!" cegahku, sebelum dia semakin dekat. "Just... stop...," pintaku. Air mataku menetes sudah. "I had enough of you, Pram. Kamu nggak punya hak menguliti urusan pribadiku sama sekali. And please stop saying sorry if you don't mean it!"
"But I mean it!"
"No, you dooon't!" aku melolong. "Cukup!"
"Inggrid...."
"Kalau kamu nggak mau aku teriak-teriak, jangan mendekat, jangan katakan apapun, just... don't. Please... please...."
"Nggrid... dengerin aku... kamu harus dengar apa yang kuomongin sebelum mutusin ke Spiegel nemuin Gandhi."
"Apa sih salahnya nemuin Gandhi di Spiegel?" seruku gemas. "It's just Spiegel. Restoran. Aku mau ngapain sama Gandhi di restoran? Kamu yang sebaiknya dengerin aku, Pram. Kalaupun... nggak ada isu temuan yang mau aku bicarain sama Gandhi di Spiegel, aku tetap bakal nemuin dia di Spiegel. Just to have dinner, ngobrol, atau apapun. Aku berhak dan bebas mau nemuin dia di Spiegel. Kamu ngerti?"
Pram mengedip lambat, lalu menatapku bulat-bulat. "Meski nggak ada isu temuan... dan meski ada aku di sini?" tanyanya.
"Semuanya akan jadi lebih mudah kalau kamu nggak ada di sini, tapi ya... aku bakal tetap pergi meski kamu ada di sini. Dia temenku."
Senyum Pram terkulum miring, "He's not your friend," katanya. "He's trying to fuck you."
"You offered me to be your fuck buddy. What makes you better than him?"
Senyum itu lantas pudar dalam sekejap dan aku nggak memberinya waktu lagi untuk membalas. Kubiarin map kerja dan sampelku berserak di lantai ruang inspeksi saat kutinggalkan tanpa menoleh lagi. Aku kembali ke ruang kerjaku untuk mengemasi barang-barang, memperbaiki riasan wajah dan menghapus bekas air mata, lalu mencetak kartu absen dan pergi.
Jutaan tetes air hujan menyambutku di luar. Saat aku duduk di balik roda kemudi, pandanganku sangat buram. Hujannya lumayan deras. Sambil berusaha mengeluarkan mobil dari lahan parkir, aku menyalakan wiper buat mengusir tetesan air hujan dari kaca depan. Beberapa saat kemudian aku sadar, bukan wiper-ku yang rusak. Pandanganku mengabur gara-gara air mata yang menggenang.
Mati-matian aku berusaha menguasai diri di tengah kemacetan dan derasnya hujan. Klakson dibunyikan di sana-sini. Orang-orang mulai panik ingin buru-buru meloloskan diri dari Kawasan Berikat yang selalu terancam banjir tiap hujan turun. Kalau biasanya aku bakal panik dan tersendat berkali-kali, secara mengejutkan aku justru menyetir dengan tenang. Pikiranku kosong. Hanya ucapan-ucapan Pramana yang terus terngiang di telingaku. Entengnya dia melukai hatiku. Lalu kenapa kalau aku mau nemenin Gandhi tidur di hotel demi sebuah blus? Aku perempuan bebas. Dia bukan cuma nggak punya hak, tapi juga nggak punya alasan buat menghakimiku.
Dadaku sesak. Tanganku terus menekan klakson buat mengusir puluhan buruh yang lalu lalang berusaha mengeluarkan motor mereka di tengah hujan lebat menghalangi jalanku. Meski Pramana nggak punya hak menghakimi apa yang kuperbuat demi blus merah itu, aku tetap merasa malu, jengkel, dan konyol. Jadi selama ini dia bisa langsung menduga blus yang kukenakan itu dari Gandhi? Rasanya aku pengin mengoyak gaun ala Taylor Swift yang mau dihadiahkan padaku. Gara-gara apa yang dilontarkannya barusan, aku jadi tahu dia ngasih aku gaun itu sebagai bentuk sindiran. Dasar cowok terkutuk.
Belasan tahun berlalu, aku masih saja menangis tersedu-sedu gara-gara pria yang sama.
Jarak tempuh ke Spiegel yang harusnya cuma makan waktu sepuluh menit menjadi hampir setengah jam. Banjir dan macet di mana-mana. Sepanjang Jalan Ronggowarsito yang selalu penuh sesak pada jam bubar pabrik semakin nggak keruan ruwetnya karena hujan. Setibanya di parkiran mobil seputar Kota Lama, kejengkelanku pada Pramana sudah menguap dan beralih sepenuhnya pada padatnya lalu lintas kota. Jalan sebesar apapun rasanya nggak cukup.
Begitu keluar dari mobil, Gandhi sudah terlihat menunggu.
Baca lanjutan part ini di karyakarsa ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top