Chapter 50. Hati-Hati di Jalan (BACA DULUAN CHAPTER 96-97)

Chapter 96-97 udah hadir di Karyakarsa, ya.

Pram dan Inggrid akhirnya siap menghadapi Pak Hendrik dan istrinya. Siapa tamu nggak diundang yang ikutan hadir di acara makan malam itu?
Kamu pasti bisa nebak lah siapa.

Apakah semuanya berjalan lancar mengingat ceritanya bakal segera berakhir?

Hmmm...

Selamat membaca!

Chapter 50

Hati-Hati di Jalan

"Aku ada kencan malam ini."

Rasanya puas bisa ngomong gitu di depannya. Biar kata bohong juga bodo amat.

Kupikir, itu udah cara paling dramatis buat mengakhiri pembicaraanku sama Pramana. Aku tinggal melengos dengan rambut terkibas, bakal kubiarin pintu geser ruangannya tetap terbuka supaya dia bisa terus melongo merhatiin punggungku menjauh.

Kakiku baru selangkah melewati ambang pintu. Jangankan melongo, Pram udah kembali menggulung measurement tape di tangannya waktu dia menghardikku, "Tutup lagi pintunya."

Sial.

"Kalau kamu nggak lembur," imbuhnya. "Berarti minor defect-nya harus udah direvisi dan ada di atas mejaku sebelum pukul lima. Sekalian dicek, dan difoto ke peraga."

Aku nggak ngomong apa-apa.

"Harusnya bisa, dong? Kencannya paling lima kilometer dari sini, kan? Kalau lewat-lewat dikit dari jam lima... kamu nggak akan telat, kan?"

Lima kilo meter itu jarak antara kawasan factory ke hotel tempat Gandhi menginap.

"Bisa, memang itu yang mau kulakukan," jawabku. "Nggak sampai lima kilometer, kok. Kira-kira paling tiga kilo. Kebetulan kalau aku keluar lewat dari jam pulang karyawan, jalanannya malah nggak macet."

Pram menatapku dan kubiarkan terus begitu sampai pintu geser sepenuhnya menghalangi pandangan kami satu sama lain. Baru setelah pintu itu sepenuhnya menutup, napasku terembus agak panjang. Aku mundur, berjalan tegap melintasi jajaran kubikel penghuni lantai dua sambil sesekali menebar senyum.

Kamu nggak jadi lembur?

Dia cuma nanya itu? Setelah aku panjang lebar menegaskan aku nggak mau dipegang-pegang lagi, dia cuma nanyain itu? Dasar kurang asem. Masa, sih, dia bener-bener nggak ngerti salahnya di mana? Semuanya salah, tahu, enggak? Soal dia bawa-bawa kena tanggung itu salah. Soal dia nawarin jadi fuck buddy, juga salah. Apalagi waktu dia ngatain aku nggak bisa nerima kejujuran. Salah besar. Pokoknya salah semua. Salah. Salah. Salah. Dia pake nanya lagi. Harusnya kan dia tinggal sebutin semuanya, minta maaf buat semua poin itu, nggak usah nanya satu-satu. Kemarin udah diajarin nge-list kesalahan satu-satu yang mau dimintain maaf yang mana aja, ini diulangin lagi. Malah dikira aku ngambek gara-gara dia nolak logonya pula. Dia pikir aku anak kecil apa?

Tersinggung banget lho aku waktu dia nyebut-nyebut kena tanggung. Ya terus aku mesti gimana? Kalau dia lanjut, kami jadinya berhubungan seksual, kan? Kan aku nggak mau. Emangnya kalau kubiarin dia sampai tuntas dan nggak kena tanggung, rudalnya mau diapain? Dimasukkin ke mana? Ke kupingku? Kalau lanjut, pasti arahnya ke situ, kan?

Iya, kan?

Harus dimasukkin, kan?

Atau enggak?

Atau dia punya cara melampiaskan hasrat yang lain selain dengan penetrasi? Alisku mengerut. Kayak apa misalnya? Oh...! Aku menepuk jidatku sendiri di dalam toilet kantor. Astaga... kok nggak kepikiran sama aku sebelumnya? Kan aku sama Gandhi pernah kayak begitu.  Kami makeout, aku nggak terbujuk rayuannya, terus dia gesekkin punyanya di pahaku sampai pahaku basah. Iiihhh... aku nggak bisa bayangin aku sama Pramana ngelakuin hal kayak gitu. Dia kan bukan Gandhi....

Ya terus... kamu maunya gimana kalau sama Pramana?

Aku terdiam, padahal sejak tadi juga aku diam. Yang ngomong suara-suara di dalam kepalaku. Sekarang semua suara itu membisu.

Kamu maunya gimana, Nggrid, kalau sama Pramana?

Nikah?

Punya anak?

Langgeng sampai kakek nenek?

Gimana caranya langgeng sampai kakek nenek, sih, sama cowok kayak gitu? Yang ada aku nggak akan lewat umur empat puluh tahun kali kalau nikah ama dia. Berantem belum kelar, minta maaf belum beres, udah berani sinis. Kencanmu paling cuma lima kilometer dari sini, kan? Dia udah menduga aku mau ketemuan sama Gandhi. Dia pikir kalau dia cemburu gitu, dia bebas dari kewajibannya nyelesaiin masalah sama aku?

Dua menit kemudian, aku sudah berkeliaran lagi di lantai produksi, memperbaiki minor defect yang ditunjuk Pramana dengan tanganku sendiri supaya aku bisa cepat-cepat pulang. Lima menit sebelum pukul lima petang, aku kembali ke ruangannya dengan tiga fit sample yang sudah kuteliti kembali lebih dari seratus kali.

"Okay. Menurutku ini sudah cukup," kata Pram. "Kamu masih ada waktu buat masangin ke model dan peraga?"

"Masih," jawabku pendek seraya mengemasi sampel-sampelku dengan tenang.

"Kencanmu nggak akan telat?"

Aku nggak menanggapi pertanyaan Pramana. Skala prioritas. Sekarang ini prioritasku adalah cepat-cepat ketemu sama Gandhi. Aku meninggalkan ruangan dan langsung ke Store Room Office. Di sana aku meminta seseorang bawain manekin peraga ke lantai dua. Setelah semuanya siap, Pramana memintaku mengundang Ms. Fok ke ruangannya untuk mendengarkan penjelasan singkatnya mengenai desain dan fit sampel yang baru selesai kukerjakan. Seperti biasa, Ms. Fok membawa perwakilan dari setiap departemen, dan aku mengajak Vero bersamaku. Pertemuan kecil itu juga melibatkan Eliot, supervisor Pramana dari kantornya di Perancis lewat zoom meeting.

Tujuan dibuatnya Fit Sample, seperti namanya, adalah untuk melihat bagaimana desain itu saat dikenakan oleh model dan peraga. Sampel-sampel dikerjakan berdasarkan measurement spec sheet dan design sketch dari buyer. Jika fit sampel sudah sesuai, buyer akan segera menerbitkan verified measurement spec, atau pedoman pengukuran paling akhir yang harus diikuti dalam proses selanjutnya. Koreksi-koreksi minor mungkin akan menyusul, tapi sementara itu proses pengerjaan sampel selanjutnya bisa tetap diteruskan.

"Nggrid, apa kain buat bulk production udah nyampe semua dari Perancis? Tolong di-cek," suruh Pramana, aku belum selesai memberesi meja dan menyimpan sampel-sampelku ke dalam approved bag. Sudah mau pukul enam, dia terus ngasih aku kerjaan.

"Aku cek ulang habis ini, tapi sepertinya udah," kataku.

"Size set sample-nya langsung dikerjain aja, nggak usah nunggu verified. Aku udah ngerjain mini produksi style ini di Itali, jadi nggak akan ada koreksi. Bikin masing-masing dua pieces untuk size XS, S, L, sama XXL, pakai material yang sama kayak fit sampel ini aja kalau masih ada. Kalau nggak ada, hubungi merchandiser-ku, suruh mereka langsung kirim besok pagi."

"Kelihatannya masih ada, kok. Mereka kirim cukup banyak kemarin."

"Okay. Good. Tapi untuk Salesmen Sample tetep nunggu original fabric."

Itu pengetahuan umum dalam dunia quality controlling. Setelah size set, semua sampel dikerjakan dengan kain yang akan dipakai di mass production. Aku nggak tahu dia ngingetin aku gara-gara kelancanganku memasang logo ke fit sample, atau cuma mau mengulur-ulur waktu.

Aku tersenyum, "Noted, thanks, tapi sebenarnya aku udah tahu."

Pramana mengedip. "Of course you know," katanya, sepercik ketertegunan tersirat. "Aku cuman ngingetin aja, Inggrid."

Pertama kalinya sesorean ini, kami saling menatap. Aku mengguntingnya duluan, lalu kembali menyibukkan diri. Kutahan bibirku dari mengucapkan terima kasih. Itu bahkan bukan pujian. I am done appreciating the bare minimum.

Pramana duduk di balik meja kerjanya. Aku bisa merasakan tatapannya terus mengikuti gerak-gerikku. Kadang aku mengira dia seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi tidak pernah terjadi. Aku mendahuluinya, "Ini di-storing di sample room dulu aja, atau mau ku-arrange buat dikirim ke Perancis?" tanyaku dengan setumpuk sampel di pelukan.

"Bukannya kamu ada kencan?" sindirnya. "Nggak jadi?"

"Jadi," jawabku. "Dekat juga, kok, tempat kencannya. Kalau mau di-arrange kirim sekarang juga aku minta tolong anak packing, habis itu sebelum pulang aku taruh di departemen shipping. Kan bukan aku sendiri yang antar ke ekspedisi, Pram...."

"Just store it," cebiknya ketus. "Nanti kirim sekalian sama Size Set aja. Aku nanya kencanmu jadi apa enggak karena buat kirim fit sampel ke Perancis butuh dokumen verifikasi. Bikinnya butuh paling enggak dua jam. Makanya aku nanya kencanmu jadi apa enggak. Bukan asal kirim-kirim doang, emang belanja online?"

Kenaaa lagi....

"Okay, sorry," aku menanggapi dengan tenang meski hatiku pecah berantakan saking malunya. Tanpa melempar senyum, atau apapun, kutinggalkan Pramana ke bilik sebelah buat storing. Selama aku menyimpan approved bag di sample room, dia berkutat di laptop dengan kacamata baca bertengger di hidungnya.

"Kamu jadinya lembur, kan?"

Pramana menggaruk bagian bawah hidungnya, lalu menoleh, "Kenapa? Kamu nggak lembur, kan?"

Secara otomatis, aku melihat jam di dinding. Hampir pukul enam petang, "Technically, ini udah diitung lembur buatku, tapi karena kita tadi nyampenya telat... berarti iya... aku nggak lembur," jawabku acuh tak acuh. "Besok pagi aku mulai ngerjain size set sample-nya. Enakan mulai dari awal hari kalau bikin sampel."

Kuputuskan mengabaikan bagaimana Pramana mencoba mengungkit-ungkit tentang kencan yang kuucapkan hanya gara-gara aku kesal sama dia.

"Kalau kamu mau duluan... duluan aja. Aku masih mau ngerjain sesuatu," putusnya dingin.

Dih... belum diketusin udah ketus duluan.

"Aku pesenin dinner-mu dulu sebelum pulang. Kamu bisa ikut mobil Ms. Fok ntar baliknya. Kelihatannya dia ngikutin departemen sewing lembur buat ngejar target minggu ini," beritahuku. 

Pramana hanya memainkan  tetikus di tangan kanannya. Nggak berkomentar. Aku tinggal menyahut pouch dan map kerja yang sudah kutumpuk di tepi meja inspeksi lalu pergi dari sana, tapi masih ragu harus mengatakan apa untuk berpamitan.

Sebelum aku sempat berkata-kata. Tanpa mengalihkan muka dari layar laptop, dia nanya, "Siapa teman kencanmu?"

Nadanya sangat meremehkan. Bikin aku nggak tahan.

"Paling-paling juga Gandhi, kan?" tebaknya.

"Maybe," kataku singkat seraya meraih barang-barangku. Bagus, deh, dia bersikap kayak gini. Jadi aku nggak usah repot-repot pamitan.

"Ketagihan, apa gimana?" imbuhnya.

"Ketagihan kayaknya," sahutku enteng. "Udah, ya? Kasihan ntar kalau teman kencanku nungguin."

"Jadi beneran Gandhi?"

Langkahku tertunda lagi.

"Mau ke mana?" cecarnya.

Aku bisa aja nggak ngasih tahu, tapi entah kenapa aku nggak mau Pramana berpikir aku mau ke hotel Gandhi dan menginap di sana kayak sebelumnya, "Spiegel."

"Yang di Kota Lama itu?" terkanya.

"Ya."

"Aku juga pengin ke sana," gumamnya.

Sontak aja aku balik badan menghadap ke arahnya. Yang bener aja???

"Nggak sekarang," katanya.

Kuembuskan napas secara terang-terangan.

"Masa aku mau gangguin kencan kalian, sih? Omong-omong... itu kencan... atau baru bakal jadi kencan kalau udah ada keputusan dari dia?"

"Maksudmu apa?"

"Ya... kalau dia bilang... dia mau menyulap temuan itu dari ada jadi nggak ada... siapa tahu kencan itu yang jadi imbalannya, kan? Makanya aku nanya... itu memang kencan... atau baru bakal jadi kencan?"

"Maksudmu aku mau tidur bareng sama dia apa enggak, gitu?"

"Aku nggak ngomong gitu... kencan kan bisa berarti ngelakuin hal-hal lain. Nggak selalu menjurus ke sana. Aku yakin Gandhi juga menghargai prinsipmu, kan?"

Dengan mudahnya, aku kepancing. Padahal sejak tadi aku udah nelen ludah berkali-kali dan merapal mantra supaya sabar ke diriku sendiri. Lampu khayalan dalam kepalaku terus menyala kuning. Ngingetin aku supaya hati-hati. "Tidur bareng sama dia juga nggak selalu menjurus ke sana. Bisa aja orgasme bareng tanpa harus melanggar prinsipku, kan?"

Mata Pramana membola.

Aku memutuskan menerabas lampu merah. "Biar nggak ada yang kena tanggung?"

Kulihat rahang Pramana mulai mengetat. Pasti dia juga lagi merapalkan mantra sabar ke dirinya sendiri. Ibarat palang kereta api yang kuterabas, dia keretanya. Kalau dia nggak bisa ngerem, lagi-lagi akan terjadi tabrakan. Akan tetapi lain denganku, Pram kayaknya lebih berhasil mengendalikan diri. Dia tersenyum, "Itu kamu tahu...," katanya. "Ya udah... selamat bersenang-senang kalau gitu. Firasatku, sih... kayaknya Gandhi berhasil nge-drop temuan itu."

"Maksudmu apa, sih?" tanyaku curiga.

"Nggak ada. Cuma firasatku aja. Kalau dia berhasil nge-drop temuan itu... jangan lupa telepon Benny. Takutnya ntar dia ke rumahmu mau minjem mobil... kamunya nggak ada di rumah."

Dadaku membusung penuh gejolak amarah, bukan lagi tarikan napas. Ingin rasanya aku menyembur, tapi kalau kulakukan, paling-paling aku cuma bakal nangis doang. Kupeluk map kerjaku erat-erat. "Aku duluan," pamitku singkat.

"Hati-hati di jalan," pesannya.

Pintu geser terbuka olehku, tapi namaku dipanggil sekali lagi.

Aku menoleh.

"Besok pagi... kamu nggak usah jemput aku," katanya. "Sampai HRD dapat armada, aku naik taksi online aja. Kupikir kamu benar. Sebaiknya mulai sekarang... kita cuma ketemu di tempat kerja."

Gemingku hampir bergetar.

Okay... that hurts, Pramana....

Baca part 50 lebih lengkap di Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top