Chapter 49. That Hurts, Inggrid

Chapter 95 Mini Special Part udah hadir ya di Karyakarsa.

Ini special part terakhir sebelum badai melanda yang berujung ke akhir cerita.

Lima part lagi tamat di sana.

Silakan membaca. Jangan lupa kumpulin bukti dukungannya ^^




Chapter 49

Okay... that hurts, Inggrid

POV Pramana

Urusan yang bukan urusanku?

Memangnya ada urusannya yang bukan urusanku?

"Hey...! Inggrid!"

Sayangnya, aku mesti nahan langkah. Orang-orang kantor penghuni lantai dua serempak mendongak dari pekerjaan mereka ngelihat aku berusaha mengejar Inggrid ke bawah. Know your place, Pram. Ini bukan arena bercinta di mana kamu bebas kejar-kejaran kayak di film India. Di sini semua orang lagi serius bekerja (well... kecuali yang duduk di pojokan itu. Dia jelas-jelas lagi ngorok.)

Terpaksa aku balik kanan kembali ke ruang inspeksi sambil nahan kesal. Kenapa sih perempuan ini sebenarnya? Salahku apa coba? Orang tadinya mau-mau aja. Dia mendesah. Aku nggak maksa. Cuma gara-gara celetukan gitu doang, marahnya ke mana-mana. Ini cuma perkara kena tanggung, kan?

Ya kan emang aku kena tanggung. Kalau dibiarin, lama-lama aku bisa gila. Salahnya di mana? Aku kan cuma bicara jujur. Cewek memang susah banget ditelateninnya kalau pakai perasaan. Dijujurin, ngambek. Dibohongin, lebih ngamuk lagi. Yang satu ini bener-bener bikin aku pusing. Diajak balikan, nggak mau. Diajak lebih intim tanpa status, marah. Aku mesti gimana? Maunya apa? Lama-lama capek juga aku mondar-mandir begini. Aku duduk. Mendengkus-dengkus di depan laptop. Mengecek surel. Belum ada kabar juga. Kututup lagi laptopku, kembali bekerja. Beberapa menit kemudian, kuputuskan aku butuh break buat merokok. 

Baru soal beginian aja udah nggak mau dipegang lagi, gimana kalau kubeberin seluruh kisah hidupku?

"Sore, Pak Malik...."

Baru dibilang kena tanggung aja udah tersinggung, padahal aku juga nggak nyalahin dia. Aku cuma kena tanggung! Nggak nyalahin siapa-siapa. Cuma ngomong aja. Susah banget, sih jelasinnya? Aku kan nggak bilang, kalau nggak  mau aku kena tanggung, aku harus penetrasi di badan kamu, Inggrid. ENGGAK. I didn't say that. I would never say that. I respect her decission. Dia harusnya tahu, kan, ada banyak sekali cara supaya laki-laki nggak kena tanggung tanpa harus melakukan intercourse?

Just don't always cut me in the middle! Kubilang, I know what I am doing. Terjemahannya, aku tahu apa yang kulakukan. Artinya, aku tahu gimana aku bisa nggak kena tanggung, dianya juga ngerasain enak, tapi nggak ada yang rugi. Nggak ada yang harus kehilangan apapun. She always cut me in the middle thinking I am a highschooler yang tahunya soal seks cuma penetrasi doang!

Oh God damned it!

Aku mengayun kaki buat nendang tempat sampah.

"Pak Malik!"

Tapi nggak jadi.

Ini working environment, Pram. Bukan tempat meluapkan kekesalan.

Seandainya ada alat supaya isi otakku bisa dibaca tanpa mulutku harus mengucapkannya. Gimana caranya ngejelasin semua itu di depan Inggrid tanpa berakhir dengan predikat cabul, atau cowok brengsek?

"PAK MALIK SYARIFUDIEN PRAMANA!"

Aku tersentak. Berhenti dan berbalik. Dian, staf HRD, terengah-engah di belakangku. "Kamu ngapain?"

"Bapak dipanggil-panggil diam aja!"

"Oh... sorry, Dian.... Aku ngelamun. Are you okay?"

"Saya ngejar bapak dari lantai dua," katanya ngos-ngosan.

"Berarti kamu baik-baik aja," gumamku. "Gimana?"

"Bapak mau ke mana?"

"Ke ruang merokok. Apa dibuka kalau lagi jam kerja?" tanyaku.

"Ada yang jaga di sana. Bapak minta dibukain aja. Anu... ini saya mau mastiin sesuatu sebelum beneran saya kerjain. Bapak beneran nggak mau disewain mobil sama sopirnya? Mau disewain motor aja?"

"Iya."

"Kenapa, ya, Pak? Bukannya enakan naik mobil? Bapak nggak capek...? Takutnya saya yang kena marah kalau QA-nya bawa motor. Di luar sering rob, lho, Pak. Banjir dari laut. Ini juga lagi musim ujan. Apa nggak malah repot?"

"Nggak apa-apa. Aku kangen bawa motor di Semarang. Cariin aja yang agak gede, terus yang di belakangnya dipasangin sesuatu buat nyimpen tas kerjaku. Okay, Dian? Kalau Inggrid nyariin aku... bilang aku di smoking room. Atau mungkin nggak usah... palingan dia baru kelar jam limaan nanti. Kalau ada yang nyariin aku selain Inggrid... bilang aja aku sibuk."

"Sibuk ngapain, Pak?"

"Ha?"

"Biasanya kan kalau orang nanyain terus dijawab sibuk, pertanyaannya berlanjut, sibuk ngapain? Sibuk masa di smoking room? Sibuk apaan di smoking room? Sibuk overthinking?"

"Kamu nggak harus bilang aku lagi di smoking"—aku mendesah berat—"Ya udah... bilang aja aku sibuk overthinking."

"Tapi, Pak—"

"Dian... kamu nggak cocok jadi inhouse QC. Kamu terlalu banyak nanya!"

"Saya emang HRD, Pak! Tugas saya nanya!"

Aaarrrggghhh!

Aku nyampe di smoking room yang letaknya agak di luar area pabrik, tapi dari dalam ruangan itu aku masih bisa ngelihat-ngelihat ke dalam. Di sana ada beberapa orang mekanik yang shif kontrolnya lagi off. Aku bergabung. Baru satu dua isapan rokok, ponselku berdering.

"Pak RW?" sapa suara tua nenek. "Jalan di depan masjid itu kok belum dibenerin juga, ya? Saya kejeblos lagi tadi waktu subuhan, Pak. Katanya mau ditambal hari minggu kemarin waktu kerja bakti? Kok belum jadi?"

Aku mengerang, "Makanya... udah tua itu pake kacamata ditaruh di hidung... jangan dicantelin di jidat, biar kalau jalan ada lubang kelihatan."

Gemap napas nenek terdengar.

"Ini Pram!" seruku. "Bukan Priya!"

"Lah kok kamu bisa pegang nomor Pak Priya?" protes Nenek. "Ada hubungan apa kamu sama Pak Priya?"

Dasar nenek-nenek kebanyakan nonton FTV. "Bukan pegang nomor Pak Priya, Neeek. Nenek pasti mencet P sama R doang di kontak, terus main teken aja. Namaku pasti keluar duluan soalnya huruf ketiganya 'A'."

"Oh... ya udah... sorry, Pram. Nenek mau nelepon Pak Priya."

"E—ehh...," cegahku.

Terlambat. Udah ditutup duluan. Tapi beberapa saat kemudian sebelum rokok kembali kuisap, nenek nelepon lagi. "Pak RW," katanya.

"Masih Praaam!" suaraku nyaris melengking. "E—ehhh... jangan ditutup. Udah telanjur nelepon sampai dua kali, emang nggak mau ngobrol sama cucunya, apa?"

"Kaki nenek keseleo, lho ini," Nenek merintih-rintih. "Gara-gara kejeblos di lubang depan masjid tadi pagi. Sakit buanget—"

"Terus... kenapa protes duluan? Bukannya manggil tukang pijet, sih, Nek?" tanyaku prihatin. "Nenek baik-baik aja enggak?"

"Ya tadi udah dipijetin ibu-ibu sebelah rumah, tapi kurang sip. Maunya sih manggil tukang urut, tapi tukang urut langganan nenek udah pulang duluan...."

"Pulang ke mana?"

"Ke Rahmatullah lah, Pram."

"Ya lagian nenek bahasanya pake pulang-pulang segala. Meninggal kek gitu kan lebih mudah dipahami."

"Kamu soale masih muda, jadi ngomong meninggal itu enak aja. Enteng. Kalau orang udah mendekati pintu kayak nenek... rasanya nggak enak pakai kata-kata mati, meninggal, atau semacamnya."

Aku penasaran aja, sih, lalu nanya, "Mendekati pintu? Pintu apa?"

"Pintu ajal."

Huhuhu... rokokku nggak sengaja keremas. Untung baranya udah mati duluan kelamaan nggak diisap. "Terus... nenek nggak punya referensi tukang urut yang lain?"

"Nggak punya," jawabnya lesu. "Udahlah nanti juga sembuh sendiri. Yang penting lubangnya itu, lho... harus segera ditambal. Kalau enggak... bisa-bisa nenek ntar kejeblos lagi."

"Makanya kacamatanya dipakai, Nek, kacamataaa...!"

"Kacamatanya aja naruh di mana suka lupa, Pram... namanya juga udah nenek-nenek."

"Ya udah... nanti aku coba nanya Inggrid. Siapa tahu dia punya tukang urut langganan orang tuanya. Pasti kan orang-orang dekat situ juga. Nenek yang sabar, ya? Nggak usah pecicilan dulu. Kalau mau ke masjid, pake kursi roda. Suruh Prapto dorongin, atau siapa gitu yang biasa barengan ke masjid. Yah? Apa mau Pram beliin kursi roda listrik?"

"Nggak usah. Panggilin tukang urut aja kalau emang ada. Inggrid-Inggrid ini siapa? Ojo-ojo yang kamu bilang jodoh lima puluh langkah itu?" terka nenek terus terang. Aku jadi tersipu-sipu nggak jelas. "Masih dekat toh kamu sama Inggrid, Pram?"

Alisku mengerut heran. "Kok... nenek bisa tahu soal Inggrid?"

"Dia bukannya pacarmu zaman SMA? Yang anaknya agak kemayu dan suka main ke rumah itu?"

Kemayu? Centil?

Aku langsung paham bahwa nenek keliru. "Bukan... itu Diana. Lain. Ini teman lamaku waktu SMA juga, tapi bukan Diana. Ada lagi nggak, Nek, temen cewek yang pernah kubawa ke rumah?"

"Cuma satu itu aja. Ya yang kemayu itu. Itu Diana?" Nenek malah nanya, lalu mengekeh, "Oalah... kamu ini... pacaran sama Diana... tapi yang kamu coret-coret di buku diare malah nama bocah perempuan yang lain. Agak laen kamu memang anaknya...."

Tunggu dulu... kali ini aku nggak mungkin salah tangkap.  "Buku diare?" ulangku, mastiin. "Buku Diary maksud nenek? Jurnalku? Wait... Nenek waktu itu kan bilang... ada nemu kotak barang-barangku yang disimpan Mama dan mau dibuang, tapi nenek simpan. Udah ketemu emang, Nek?"

"Udah," jawabnya santai.

"Terus? Kok nenek nggak bilang kalau kotaknya ketemu?"

"Nenek lupa habis ketemu kotaknya mesti ngapain. Nelepon kamu, apa nelepon mama kamu. Takut salah, jadi nenek nggak nelepon siapa-siapa. Nenek diemin aja kotaknya di rumah. Jadi kamu ya yang nyuruh nelepon lagi kalau kotaknya ketemu?"

Astaga....

Singkatnya, Nenek melanjutkan menghubungi Pak Priya buat memprotes lubang di jalan yang belum sempat ditambal, sementara aku menyalakan rokok baru sambil mikir gimana caranya ngobrol sama Inggrid buat nanyain tukang urut yang available dekat-dekat rumah nenek. Di satu sisi, aku ngerasa itu bisa jadi kesempatanku ngobrol lagi sama dia, tapi di lain sisi aku yakin Inggrid pasti mikir aku cuman mengada-ada. Apalagi kalau entar ternyata kaki nenek cuma sakit-sakit dikit dan nggak betulan butuh tukang urut.

Tck....

Nama Inggrid kucoret-coret di buku jurnalku zaman SMA?

Well... yah... masuk akal, sih. Kami kan pernah pacaran. Kalau Inggrid bilang kami pacarannya cuman sebentar, bisa jadi aku nggak sempat bawa dia ke rumah. Apapun itu, aku penasaran pengin lihat isi jurnal masa SMA-ku lagi. Aku nggak pernah ngelihat, atau ingat tentang jurnal itu sebelum disebut-sebut sama Nenek. Apa yang mau disembunyiin Mama dariku? Kenapa jurnal itu nggak ada di kamarku lagi setelah kecelakaan?


Inti dari part ini sih ngasih tahu ada jurnal yang berisi pengungkapan teka-teki masa lalu Pramana, tapi... chapter ini masih puanjang di Karyakarsa dan pertengkaran Inggrid-Pram di chapter 49 ini epic dan lucu banget, sih. wkwk...

Kenapa Pram sampai bilang, that hurts, Inggrid... juga kamu bisa baca lengkap di Karyakarsa, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top