Chapter 43. Tiada Maaf Bagimu (BACA DULUAN CHAPTER 78)

Chapter 78 available only on Karyakarsa.

Factory Romance Chapter 76-77 udah update di karyakarsa, ya. Silakan baca duluan.

Yang chapter 74-75 udah dibaca belum? Makin seru, lho, karena mulai melibatkan keluarga Inggrid dan tokoh misterius di masa lalu Pramintul.

Seperti biasa, kalau kamu dukung semua part, aku mungkin bakal kasih pdf gratis. So, save bukti dukungan kamu, ya.

Chapter 44 kutunggu 500 votes dan 100 komen lagi, atau kamu harus nunggu sampai aku capek.


Chapter 43

Tidak Ada Maaf Bagimu

Aku memang berhasil meyakinkan Pramana bahwa ketemu Gandhi di sini lebih baik daripada di tempat lain, tapi nggak lantas bikin mood-nya balik kayak tadi pagi. Waktu aku balik ke ruangannya bareng Ms. Fok buat first checking material fit sample sebelum dikerjain, kulihat di tempat sampah, pukis yang masih enak tadi pagi dicampakkannya di sana.

Oh... udah nggak mau makan pukisku, nih, ceritanya?

Tapi aku nggak ngomong gitu.

Aku cuma nanya, "Kenapa dibuang? Kan masih enak."

"Aku udah nggak pengin makan pukis lagi," jawabnya.


Kutinggalin dia di ruang inspeksi sendirian buat nyusul Ms. Fok ke ruang sample development tanpa komentar apa-apa.

Waktu aku mengecek ponsel beberapa menit kemudian, dia menulis pesan. "Kalau aku tadi nggak maksa kamu ikut makan siang, kamu nggak berniat bilang soal kunjungan Gandhi ke pabrik, kan? Apa alasannya?"

Kubalas, "Aku udah bilang alasannya apa. Di luar urusan pribadi kita, ini urusanku sama Gandhi. Kamu nggak perlu tahu semuanya. Dari awal, harusnya aku nggak ngasih tahu kamu tentang temuan itu."

Lama kunanti-nanti, nggak ada balasan.

Baru setelah material fit sample yang mau kukerjain selesai dipotong, ponselku bunyi lagi.

"Kamu benar. Ini bukan urusanku," katanya.

"Okay," balasku dingin.

"Kita cuma makeout. Nggak ada yang istimewa. Iya, kan?"

Aku sampai terpaku membaca pesannya. Dia nggak tahu betapa menyakitkan membaca pesan itu, meski kutahu dia cuma lagi emosi karena cemburu. Kubiarkan pesan itu nggak terbalas. Kuselesaikan pekerjaanku tahap demi tahap, sampai kemudian Ms. Fok mengusulkan supaya aku bikin satu sample dulu aja, lalu diserahin ke Pramana sebelum lanjut menyelesaikan semua set dalam ketentuan fit sample.

"Jadi buat kamu... itu memang cuman makeout biasa? Nggak ada yang istimewa?"

Harusnya, aku membantah Ms. Fok lebih gigih. Kalau aku menghabiskan waktu lebih banyak menyelesaikan semua set fit sample, aku nggak perlu ketemu Pramana sampai dia balik dari makan siang mewahnya di Xiang Yuen.

Seolah pertanyaan itu nggak cukup, dia menambahi, "Why are you still virgin? Are you satisfied with just... making out?"

"Kesabaran orang ada batasnya, Pram," ucapku.

"I am sorry," bisiknya.

Aku cuma diam bernapas.

"Kamu nggak nanya buat apa?" tanyanya.

Kepalaku menggeleng samar, tubuhku bergerak resah dalam lingkup lengannya. "Itu urusan pribadiku, Pram," kataku. "Bukan urusanmu."

"I know...."

"If you keep asking... I don't think you understand," tukasku, gemetar. "Aku tahu kenapa kamu nanya. Kamu mau ngejek aku, kan? Kamu tahu aku hampir ngasih ituku ke kamu, tapi kamu nggak mau. Kamu mau ngerendahin aku. Kamu mau bilang... kalau sama kamu aku mau... kamu khawatir aku juga bisa segampang itu ngasih ke orang lain, kan? Ke Gandhi, misalnya?"

"Aku memang brengsek," katanya, semakin merapat padaku. "Aku emosi. Aku harusnya bisa mikir... kamu nggak akan ngapa-ngapain ke Gandhi... you just want to do it with someone you want... and he's not who you want."

"Pram...," aku menggeliat, semakin resah. Pramana bernapas hangat di tengkukku dan mulai menyapa kulitku dengan bibirnya. "Aku agak nggak nyaman kalau kita terus-terusan melakukan kontak fisik begini di kantor...."

Pramana membayangi daun telingaku dengan tiupan samar napasnya, "Jadi kamu nggak melakukan kontak fisik terus-terusan kayak begini di kantor waktu dekat sama Gandhi?"

"Kalau kamu memang mau tahu... awalnya aku berharap ke Gandhi... sebelum aku tahu dia masih punya istri. So yes... we made out all the time."

"Lalu kenapa kamu nggak mau sering-sering kontak fisik sama aku di kantor? Kamu nggak berharap sama aku?"

"Aku nggak tahu apa-apa tentang kamu, Pram," tandasku. "Aku nggak mau kecewa untuk kedua kalinya—"

"Kecewa? Kenapa kamu pikir kamu bakal kecewa sama aku?"

"Pram... come on...," kesahku. "Sampai kapan kamu mau menghindar dari pembahasan tentang mantan calon istrimu? Aku tahu apa tentang dia? Kamu udah berbuat sedikit terlalu jauh untuk ukuran laki-laki yang nggak jelas hubungan percintaannya sama perempuan lain."

Kuputar tubuhku menghadapinya setelah aku yakin kami nggak lagi berdiri terlalu dekat satu sama lain. Kepercayaan dirinya seakan beralih padaku. Aku jelas melihat bagaimana dia nggak ingin membahas semua itu, berbanding terbalik dengan hasratnya membicarakan kehidupan seksualku.

"You don't wanna talk about it, do you?" tuduhku.

Dia menggeleng, manik matanya pada manik mataku.

Alisku mengerut, "Maksudmu?"

"Hal-hal... yang belum siap kubeberkan ke kamu," imbuhnya.

"Let's keep it that way, Pram," kataku.

"Terlepas dari hal-hal yang belum bisa kuungkap ke kamu, Nggrid... apa yang kita miliki—"

"Apa yang kita miliki?" aku memotong. Nggak bisa kupungkiri, suaraku agak terlalu melengking. Jelas-jelas aku sakit hati karena dia belum mempercayaiku, sama kayak aku nggak mempercayainya. "Kita nggak punya apa-apa, Pram. Nggak ada—"

"But you're my ex girlfriend," katanya, bingung.

Sial. Aku hampir lupa soal itu.

"Lalu kenapa kalau aku mantan pacarmu?" tanyaku, angkuh.

"Kamu bisa menyangkal sesuka hatimu, Nggrid... dulu... aku mungkin udah melakukan kesalahan yang nggak bisa kamu maafin. To be honest, kalau itu benar... aku nggak heran. Dulu aku memang brengsek. Aku bisa berubah sekarang... tapi itu nggak akan mengubah masa laluku."

Ha?

Apa maksudnya?

Pram mengakui bahwa dirinya dulu brengsek di luar ingatannya tentang kejadian di gudang sore itu? Jadi mungkin saja... kejadian waktu itu adalah bentuk dari kebrengsekannya di masa lalu? Aku memaku.

Pramana memincingkan mata dan menyorotkan tatapan tajam padaku, "

Aku meneguk ludah. Kalimat Pramana barusan seperti pukulan telak di ulu hatiku. "Kamu nggak mau jelasin apa-apa soal hubungan itu karena kamu nggak mau ngaku bahwa kamu udah bohong sama aku, Pramana!"

"Bohong? Bohong soal apa?"

"Kamu mungkin udah putus sama dia, kamu nggak jadi nikah sama dia, tapi itu bukan salahku. Kalian memang udah putus jauh sebelumnya. Bukan gara-gara bukuku. Iya, kan? Kalau aku salah... berarti ada yang salah sama kamu! Ada yang nggak beres sama diri kamu, Pram! Gimana mungkin, orang yang baru putus sama mantan calon istrinya bersikap setenang kamu?!"

"Hey... sebelum terjadi sesuatu di ruang kelas kita malam itu... aku udah bertekad bulat mau nuntut kamu atas pencemaran nama baik yang merugikanku secara moral, maupun material, lho, Nggrid. Jangan bilang itu nggak ada efeknya sama aku. I dropped it off because I believe in you. I dropped it off karena aku lebih ingin tahu masa laluku. Aku percaya... kita punya ikatan yang lebih kuat, yang mungkin lebih berharga dari hubunganku yang nggak terselamatkan. Do not judge how I overcome my broken heart, Inggrid. I've been struggling with broken heart all my life.

Pramana terengah.

Aku tertegun.

Jantungku mencelus. Apa yang terjadi? Apa saja yang dia omongin dalam satu tarikan napas tadi? Aku berusaha mengingat-ingat, tapi percuma. Terlalu banyak informasi dalam waktu yang sangat singkat. Aku seperti melihat Pramana yang lain. Lain dari Pramana belasan tahun lalu. Lain dari Pramana yang mengisi hari-hariku sepekan ini. Tenggorokanku tercekat.

Tiba-tiba saja, air mataku merebak.

Aku mengenalinya. Ledakan amarah yang barusan. Aku mengenalinya... sebab aku pernah merasakannya.

Bibirku bergetar, "M—maaf...," ucapku.

Pramana mengatur napas, "Aku juga minta maaf," katanya.

Aku melangkah, mendekat, menghampiri Pamana yang memaku menanti uluran tanganku mengelus pipinya. Apa yang terjadi padamu, Pramana? Pertanyaan itu terasa begitu aneh di lidahku, sehingga aku nggak pernah mengucapkannya. Aku hanya tahu, sedetik kemudian, bibirku sudah memagut lembut bibirnya.

Pramana bernapas di celah bibirku, "Mmmmhhh...," desahnya. "Aku suka ini, Inggrid...."

"Tutup mulutmu," erangku. "Kenapa kamu selalu paling bisa ngerusak suasana?"

"I am sorry," katanya, maju dan gantian menciumku. "Let's stop forcing ourselves about things that are too personal. Okay...? Until we are ready. Aku cuma mau tahu... eng... berapa persen kemungkinan kamu mau mengubah keputusanmu soal... itu...."

"Soal apa?"

"Inget-inget, dong... aku tadi nanya apa sampai kamu marah dan tersinggung?"

Aku tersentak, menutup mulutku dengan tangan. "Ke—keperawananku, Pram?"

Apa hubungannya keperawananku sama perasaan cemburunya ke Gandhi?

Pramana menjelaskan, "Well... aku mau ninggalin kamu makan siang di Xiang Yuen sama orang yang belum lama ini makeout sama kamu di setiap sudut pabrik ini—"

"Pram... kamu benar-benar... unbelievable, Pramana... in a very bad way," aku mengerang penuh kesumat, kesabaranku habis sudah. "Kamu nggak cuma cemburu buta, kamu udah gila! Kupikir kamu cuma ngada-ngada karena Gandhi mau datang, kamu bikin-bikin masalah biar kita berantem, atau apa... ternyata kamu benar-benar punya pandangan serendah itu, ya, ke aku?!"

Pram masih berusaha menghalangiku. "Inggrid... I am sorry. Aku nggak seharusnya ngomong gitu."

"Kamu pikir aku lonte?!" salakku beringas. Pramana terhenyak. "Kamu pikir aku berubah pikiran segampang itu? Hanya karena dalam beberapa hari hubungan kita naik ke atas tempat tidur, kamu pikir aku bisa ditinggal dua jam dan udah tidur sama laki-laki lain?"

"Inggrid... come on... okay... aku minta maaf...."

"Nggak ada maaf bagimu!"

"Inggrid...."

Aku menyingkirkan Pramana dengan mudah. Ms. Cissy sudah nggak nggak ada di depan pintu, dia beberapa langkah di depanku. Aku berbalik lagi buat menghadapi Pramana yang terdiam pucat di ambang pintu. "Please...," pelasnya. "Kita bicarain ini dengan kepala dingin nanti sepulang aku dari Xiang Yuen, ya?"

"Okay."

"Okay...?"

"Okay... kalau aku nggak kecapean habis diewong sama Gandhi, ya?"

"Inggriiiddd...."

Aku berjalan cepat ninggalin Pramana yang bersandar lemas di daun pintu ruang inspeksi. Sementara itu, Gandhi sudah sangat dekat dengan area factory.

Pramana kayaknya perlu dikasih sedikit pelajaran.

Kindly follow my social media dan update story2 instagramku karena biasanya aku update kalau aku udah update di sana. Notif2 di karyakarsa sering banget eror.

Chapter ini seperti biasa juga, bisa kamu baca dua kali lebih panjang di karyakarsa.

Love you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top