Chapter 41. Pukis Kismis Thien Thien Lay (BACA DULUAN SPECIAL PART 71)
Special chapters hadir tiga part berturut-turut di karyakarsa, ya. 69-71.
Silakan baca duluan di sana karena adult content gak akan diup di wattpad ya!
PART INI AYO BURUAN 500 VOTES DONG SAYANG BIAR BISA AKU UPLOAD LAGI.
Chapter 41
Pukis Kismis Thien-Thien Lay
***
part ini berisi 4500 kata, yang ku-update di wattpad hanya 2000 kata karena 2500 sisanya masih special part. Jadi kalau kamu mau baca lengkap, baca chapter 41 juga di Karyakarsa, ya
***
Aku nggak nungguin Pramana. Gila apa? Aku kabur waktu dia bilang mau packing bajunya buat ngantor Senin besok. Bodo amat. Dia marah-marah, tapi nggak kugubris sampai aku nyampe di rumah. Pas di rumah, kubilang aku nginep di tempat Ayah. Untung dia nggak nekat. Kuhabiskan sisa hari mingguku dengan tidur nyenyak habis makan malam keluarga.
Paginya aku bangun lebih segar tanpa gangguan karena ponselku sepenuhnya mati waktu kuisi daya. Baik Pramana atau Gandhi nggak ada yang bisa mengusikku. Aku tiba di apartemen Pram tepat waktu, membiarkannya mengambil aih kemudi sambil ngomel-ngomel. Kami masuk ke area pabrik sendiri-sendiri meski hampir semua orang tahu aku dan Pram jalan bareng ke kantor.
Ada alasan kenapa aku ngotot memperjuangkan hakku untuk beristirahat di hari minggu. Senin selalu jadi pagi yang sibuk. Walaupun setiap hari sebelum semua aktivitas dimulai seluruh staf yang ada kaitannya dengan produksi harus mengikuti briefing pagi di ruang pertemuan, tapi briefing pada hari Senin seolah harus lebih sakral, padat, dan melelahkan.
Ritual Senin pagi dimulai dengan laporan produktivitas dari tim IE. Selama sepuluh menit yang membosankan dan nggak seorang pun peduli, mereka akan memberikan rangkuman kinerja minggu sebelumnya, sekaligus target produksi seminggu ke depan.
Menu utamanya adalah laporan lapangan tiap departemen di lantai produksi. Di kesempatan ini, semua supervisor diberi kesempatan mengeluhkan kesulitan masing-masing dan menyalahkan departemen lain kalau terjadi kekacauan. Segmen ini bila dibiarkan akan berlarut-larut sampai jam makan siang. Ms. Fok biasanya nggak pernah absen menyemburkan amukan, terutama kalau dia dengar kendala atau alasan-alasan nggak masuk akal yang berakibat pada keterlambatan dari production plan.
Pembacaan laporan penerimaan barang di gudang yang dipaparkan terlalu detail padahal setiap sore kami menerima laporan inventaris melalui surel menyumbangkan poin besar dalam memperburuk mood Senin pagi, apalagi pidato dari manajemen yang seringkali hanya berisi kutipan-kutipan motivasi hasil nyontek di internet. Hanya pengumuman-pengumuman ajaib dari personalia yang bisa memberikan angin segar, sebab itu berarti briefing pagi sudah hampir usai.
Usai briefing nanti, baru kesibukan hari Senin yang sebenarnya dimulai. Hari pertama yang mengawali minggu penuh siksaan, hari yang nggak pernah gagal mengintimidasi budak-budak korporat menulis surat pengunduran diri yang nggak pernah kunjung diserahkan, sebab separah apapun stres yang timbul gara-gara pekerjaan, masih lebih mengerikan setumpuk tagihan yang bakal nggak bisa dibayar. Akibatnya, bahkan sebelum benar-benar bekerja, semua orang udah kena mental.
Weekend-ku yang mendebarkan bersama Pramana sama sekali nggak menyelamatkan mood-ku pagi itu.
Di tengah pidato manajemen yang berapi-api tentang manajemen keuangan, Vero membisik di telingaku, "Kok Final Inspection Report dari Lanoste belum dikirim ya, Nggrid?"
Aku nggak sempat gelagapan menanggapi pertanyaan Vero soal Lanoste. Perhatianku keburu teralihkan pada suara pintu yang berderit. Seperti sebagian besar peserta briefing, aku dan Vero menoleh.
Tatapanku bersirobok dengan manik mata Pramana yang langsung bisa menemukanku. Sebelum dia kembali menutup pintu dan berjalan pelan sekali, lalu duduk di barisan paling belakang, aku udah menghadap ke depan lagi. Semangat Senin Pagi-ku yang nyaris meleyot gara-gara dengerin orang ngeluh, Ms. Fok marah-marah, ditambah motivasi omong kosong silih berganti dari manajemen seakan hidup kembali.
Jantungku berdebar. Padahal kami baru berpisah kurang dari satu jam yang lalu, tapi kok rasanya ada kangen-kangennya? Pramana ngapain lagi join briefing produksi segala? Dia bisa bikin meeting sendiri kapan aja kalau ada yang mau disampaikan.
Vero menyenggol lenganku.
"Apa?"
"Final inspection report Lanoste!" geramnya.
"Nggak ngerti aku," jawabku. Selain memang aku nggak punya jawaban untuk pertanyaan itu, aku berharap final inspection report-nya baru terbit dua bulan lagi. Lagian, aku lagi sibuk menata detak jantungku. Menyadari Pramana berada di dalam ruangan yang sama denganku dan kami nggak sendirian bikin perutku mulas. Rambut-rambut di tengkukku meremang, aku bisa merasakan tatapannya tertuju padaku persis seperti belasan tahun yang lalu.
"Aneh, biasanya maksimal sebulan udah nyampe final report begituan," gumam Vero lagi. "Jangan-jangan ada masalah."
Aku meliriknya sekilas, bersikeras hanya memberikan tanggapan berupa kedikan bahu.
"Gandhi is in town," bisiknya lagi. "Kamu nggak tahu?"
Ludahku tertelan, pada saat yang sama, tatapan Ms. Fok yang duduk di baris depan menghadapi peserta briefing menjurus tepat ke arahku dan Vero, sementara cewek di sampingku itu terus mencerocos dengan suara tertahan, "Bukannya harusnya Lanoste nggak akan turun sampai tiga bulan ke depan? Ngapain Gandhi di sini?"
Aku menutupi mulutku dan menoleh ke arah Vero, "Kita omongin entar aja. Ms. Fok lagi ngeliat ke sini."
"Di Semarang cuma pabrik kita kan yang megang Lanoste? Perasaanku nggak enak. Semalam anak produksi ada yang laporan, katanya ngelihat Gandhi berkeliaran di Paragon, nonton bioskop sendirian. Makan udon, terus ngopi sampai mal tutup—"
"Pertanyaannya... ngapain orang itu nguntitin Gandhi sampai mal tutup?"
"Pertanyaannya... kalau dia ke sini bukan buat urusan produksi di pabrik kita, lalu buat apa? Jangan-jangan ada masalah lain... dia ke pabrik buat mastiin sesuat—"
Aku baru mau memperingatkan Vero sekali lagi gara-gara kulihat Ms. Fok sudah mulai membidikkan pulpen terbangnya, tapi telat. Sebelum kalimat Vero berakhir, benda itu sudah melayang di udara. Sayangnya, pulpen logam yang kuduga sengaja dibelinya saat berlibur di Bangkok dua tahun lalu cuma buat merundung staf yang tertangkap kasak-kusuk atau mengantuk tiap briefing pagi itu mendarat bukan di jidat Vero, tapi di jidatku.
"Haiya Inggrida! Omong telus dari tadi a, mau omong-omong di depan ah?!" bentaknya.
Lah... kok aku?!
Seisi ruangan menertawakanku sementara Vero bisa-bisanya melipat tangan di depan dada sambil geleng-geleng seolah bukan dia yang bikin aku kena getahnya. Team Leader Washing Departemen yang duduk di depanku memungut pulpen itu sambil berseloroh, "Yang satunya belum kena, Ms. Fok. Lempar sekali lagi!"
Paling enggak, keheningan mematikan itu berubah penuh derai tawa.
Kayaknya Ms. Fok sengaja menghardik karena dia sendiri bosan mendengarkan Ati—akuntan, sekaligus perwakilan Ms. Cissy kalau beliau nggak bisa menghadiri briefing—berpidato panjang lebar tentang manajemen keuangan.
Walau Ms. Fok menyebalkan, tapi seringkali dia mengeluh padaku tentang kinerja karyawan yang buruk dikarenakan upah buruh yang terlalu kecil. Dia curiga banyak buruh yang berlama-lama mengerjakan bulk production di jam kerja utama supaya mereka bisa bekerja lembur dan mendapat uang tambahan. Ms. Fok selalu memandang sebelah mata sama karyawan-karyawan yang duduk di lantai dua. Mereka bekerja di ruang ber-AC, nggak ditarget macam-macam, tapi gajian lebih banyak dari buruh yang tiap hari banting tulang. Siapa yang perlu dengar pidato tentang keuangan kalau gaji aja kurang buat makan dan bayar kontrakan tiap bulan?
Tapi, lagi-lagi, aku dijadikan tumbal.
"Brengsek!" umpatku setelah huru-hara itu berakhir.
Pramana didaulat bicara di ujung pertemuan. Ms. Fok menanyakan tentang perkembangan sampel yang kami kerjakan minggu lalu. Dengan percaya diri, Pramana mengatakan, "It's not worth your time to listen to me mumbling about samples that are not yet running in your mass production, Ms. Fok. I and Inggrid will take care of it today and I will make sure she report to you once we finished. I depend on your generosity to lend her as my in house QC and... personal assistant."
Dih.
Personal assistant.
Baru ini QA buyer minta personal assistant segala. Asisten buat apa? Asisten buat memijat kemaluannya?
Aku merasa direndahkan, tapi gimana lagi?
Akunya juga nggak bisa lupa sama rasanya di tanganku.
Astaga... apa yang kupikirkan???
Briefing pagi dibubarkan lebih awal berkat jidatku yang benjol dan deklarasi Pramana yang bikin sebagian staf—terutama yang tahu dulu aku dekat dengan Gandhi—senyum-senyum penuh arti. Pasti mereka bisa menduga ada sesuatu di balik kalimat Pramana itu. Kenapa nggak sekalian aja dia ngasih tahu semua orang kemarin aku nyaris tidur sama dia?
"Aku lihat kamu udah mulihin akun nulis kamu, Nggrid," bisik Vero sambil menyamai langkah-langkahku menuju ruangan kami. Ada yang harus kuambil sebelum bergabung dengan Pram di ruang inspeksi dan sample development. "Udah berhasil damai berarti kan sama Malik Syarifudien Praaamaaana? Hm?"
Aku cuma meliriknya sambil sibuk mengecek ponsel. "Ceritanya panjang."
"Panjangan mana sama ceritamu ama Gandhi?" sindirnya, naik turunin alis nggak jelas. "Look, dear... I know you're single, I know you're free... but trust me... jangan taruh posisimu di antara dua cowok dengan power sama besar terhadap karirmu. Itu aja nasehatku, okay?"
"Thanks, Ver. Aku bisa jaga diri."
"I know you can," katanya pendek.
Aku menatapnya saat dia mengucapkan itu dan kulihat jelas sorot khawatir yang tulus di matanya.
"Gandhi technically still married, dan katamu Pramana gagal nikah gara-gara tulisanmu, kan?"
Aku menjatuhkan bahu seiring terembusnya napas yang sejak tadi begitu berat mengganjali dadaku. Seolah tubuhku sudah kelelahan seharian bekerja padahal hari Senin baru dimulai, aku terduduk lemas di kursi kerjaku, "Aku nggak punya niat apa-apa sama Gandhi, it just happened, it's just a fling."
"Lalu Pram?"
"Aku bikin dia berpikir sesuatu sudah terjadi dengan kami di masa lalu. Aku terpaksa, Ver. Kalau enggak, dia bakal nuntut aku dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sekarang aku udah lolos dari maut, tapi aku nggak tahu sampai kapan. Bisa aja dia nanti akan tahu kalau aku bohong, dan semuanya akan makin berantakan."
"Kamu bilang apa sama dia?"
"Kalau kami dulu pacaran...?"
"Hah?"
"Dia cerita, ternyata dia pernah ngalamin kecelakaan selepas lulus SMA dan itu bikin sebagian ingatannya carut marut nggak jelas. Dia punya ingatan tentang aku, yang nggak bisa digali seperti ingatan-ingatannya tentang teman-teman kami yang lain. Terus aku... aku bilang dia sendiri yang ngomong bahwa dia... gay... seperti yang tertulis di bukuku. Aku juga bilang... dia ngomong gitu waktu mutusin aku pas kami masih remaja dulu."
Vero terpaku sepanjang penjelasan yang kupersingkat itu. Dia baru menarik wajahnya sedetik setelah keteranganku usai, lalu memejamkan mata dan membelalakkannya lebar sejurus kemudian. "Itu hal paling aneh yang pernah kudengar, Nggrid. Bahkan cerita-cerita karanganmu di platform menulis nggak ada yang seaneh ini."
"Kamu nggak percaya?"
"Aku justru percaya karena kamu adalah penulis paling enggak imajinatif yang pernah kukenal."
"Aku nggak tahu aku mesti senang karena kamu percaya, atau tersinggung gara-gara omonganmu barusan."
"Tulisan-tulisanmu terlalu realistis, aku yakin kalau kamu bohong... kamu nggak akan mengarang kebohongan seaneh ini."
"Kalau kamu seyakin itu... kamu harusnya nyadar juga, kan... semua bagian tentang Pramana di bukuku itu bohong?"
Vero tertegun. "Iya juga, ya? Astaga... berarti kamu tukang bohong yang lumayan juga. Aku salah menilaimu selama ini, Nggrid. But anyway... jadi... kamu sama Pram sekarang...?"
"Aku nggak tahu aku sama Pram sekarang kayak apa," kesahku. Kuletakkan sikuku di meja dan kusisir anak-anak rambutku ke belakang dengan jari-jariku. "Dan sekarang Gandhi ada di sini, dia terus mendesak supaya aku mau nemenin dia."
"Jadi kamu juga tahu Gandhi ada di sini?" Vero menepuk jidatnya. "Tentu aja kamu tahu! Nggak mungkin dia di sini terus nggak ngasih tahu kamu, kecuali dia udah punya QC factory lain buat diajak makeout di bawah meja inspeksi!"
Aku mengabaikan detail itu. "Sabtu malam lalu, aku ke hotelnya. Aku nyaris mecahin kepalanya—"
"Kepala atas atau bawah?"
Aku mendengus. "Atas sama bawah...."
"Wow... terus-terus?"
"Seharian kemarin dia neror aku buat nemenin dia makan, ini, itu, sementara aku juga nggak bisa lepas begitu aja dari Pramana...."
"Kenapa kamu harus kayak... terikat gitu sama Gandhi?" Vero menyela. "Selain bahwa... yah... okelah... dia bakal pegang perusahaan kita lagi beberapa bulan ke depan, tapi bukan berarti kamu mesti entertain dia terus-terusan, kan? You said it's just a fling. He's a grown up man, kayak dia nggak pernah having a fling aja sama factory QC lainnya sebelum kamu."
Aku nggak bisa menjawab pertanyaan Vero karena kalau kujawab berarti aku membocorkan kepada satu orang lagi sebuah rahasia yang bahkan belum kutahu pasti kebenarannya. Akan tetapi, Vero cukup tajam untuk membaca sesuatu yang nggak beres hanya dari raut wajahku yang gamang.
"Ada masalah, ya, sama final inspection report-nya Lanoste?" tembaknya.
Kulepaskan jari-jari tangan yang menahan rambutku ke belakang sampai kulit kepalaku terasa nyeri untuk menoleh dan bertukar tatapan dengan Vero yang berdiri di sampingku.
"Aku belum tahu pasti," kataku akhirnya.
"Tapi ada indikasi ke arah sana?" cecarnya.
Aku mengangguk.
"Shit, kuharap bukan sesuatu yang sampai bakal bikin kita dipecat," gumamnya. "Kamu udah ngasih tahu Ms. Fok?"
"Jangan ngasih tahu dia, Ver!"
"Aku kan nanyain kamu, bukan mau ngasih tahu Ms. Fok!"
"Ya... aku cuma ngebaca dari sikap Gandhi, sama kemunculannya ke sini yang tiba-tiba," bualku, semata-mata supaya Vero berpikir itu hanya asumsiku aja. "Okay... aku harus ke sample room sekarang. Aku mesti ngejar fit sample-ku supaya kelar hari ini, kalau enggak dia bisa ngamuk. Kita omongin lagi nanti, ya? Kalau ada kabar dari Lanoste masuk ke emailmu pas aku lagi sibuk di floor, langsung panggil aku ya, Ver."
"Okay. Aku juga harus ngerjain sampel dobel gara-gara kerjaanmu dilimpahin ke aku semua sekarang!"
Aku meringis, "Sorry."
Aku keluar ruangan duluan karena Vero masih harus mencetak beberapa update measurement sheet untuk sampel-sampel yang tengah dikerjakannya. Berbicara dengan Vero sedikit banyak bikin perasaanku lega. Ponselku bergetar dari tadi. Pram udah bawel nyuruh aku cepat-cepat masuk ruangan dan membawakannya kopi, jadi aku mampir pantri dulu. Di sana aku ketemu Dian, staf HRD yang Senin itu mendapat jatah jaga meja selama briefing pagi berlangsung.
Waktu melihatku masuk, dia langsung mengecek catatan kecilnya, "Kebetulan, Nggrid.... Tadi pas briefing Pak Gandhi telepon. Bentar, aku lihat di catatanku dulu pesannya. Oh iya... nih, aku disuruh ngasi tahu kamu, dia mau mampir habis jam makan siang buat ngecek mesin-mesin needle detector. Dia juga bilang... kalau bisa ini dianggap kunjungan kekeluargaan biasa, bukan official visit. Dia mau kamu nemenin dia ke ruang teknisi."
Duh.
"Oh satu lagi," seru Dian. "Ini dari Pak Malik. Katanya, kamu disuruh bawa pukis yang dia taruh di jok belakang mobilmu tadi pagi. Dia bilang, kamu disuruh angetin pukismu dulu... buat dia sarapan."
Sialan.
BACA PART 41 LENGKAP DI KARYAKARSA. PART 41 INI JUGA SPECIAL PART YA.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top