Chapter 40. Push Day (BACA DULUAN CHAPTER 65)

Chapter 63-64 udah update di Karyakarsa, ya...

Pramana udah ketemu sama Diana, Inggrid udah ketemu sang respectable young lawyer. Tolong jangan spoiler yang udah baca di sana dan tetap setia baca di sini, yaaa!

Udah baca belum?

Kalau udah, save semua bukti dukunganmu dari sekarang, ya. Cuma yang part-nya lengkap yang akan bisa save PDF versi karyakarsa nantinya.


Part ini karena Special part, aku cuma bisa kasih 1/3 aja. Versi karyakarsanya hampir tiga kali lebih lebih panjang dan lebih... ehmmm... wkwk...

Silakan lanjut baca di sana kalau penasaran se-steamy apa special part-nya Inggrid dan Pram.

Seperti  biasa, 500 votes dan 100 komen.


Chapter 40

Push Day

"Auuuwww!!! Pram! Stooop! Ah! Pram! Stooop! STOPPP!!!"

"Ah... ah... Praaam... aaah... aaah," jeritanku berubah menjadi desahan dengan cepat. Pramana terus bertahan saat aku menggelinjang menolak dan meronta, sampai akhirnya... perlahan aku menyerah.

Dia bersikeras menekan tubuhku dengan seluruh berat tubuhnya. Dua ibu jarinya yang mengancam di ketiakku akhirnya dilepas. Telapak tangannya meremat dadaku, memijat, membuat gerakan memutar di seputar areola-ku dengan lidahnya.

Mulutnya mengunyah lembut putingku, menjilat dan mengecup. Aku menggelegak. Setiap usapan lidahnya di puncak dadaku membuat sekujur tubuhku tersengat. Aku menggigit jari supaya berhenti mendesah, tapi kadang usahaku percuma.

Langit-langit apartemen Pramana menjadi alternatif pemandangan bagiku setiap kali dia menangkap basah tatapanku yang diam-diam mengawasi betapa buas, tapi juga sangat lembut dia menikmati tubuhku. Aku harusnya merasa malu, tapi seluruh tubuhku bereaksi sebaliknya. Aku menyukainya.

Tiba-tiba, Pramana berhenti memijat sensual payudaraku yang nggak terkunyah di mulutnya.

Ke mana tangannya pergi?

"Aaahk!" pekikku kaget.

Pramana menyeringai. "Dinosaurusnya udah berubah jadi kodok, Nggrid," cengirnya. Aku mengernyit nggak paham. "Soalnya kamu basah."

Shit!

Dia harusnya nggak ngomong gitu.

Rasa malu yang tadinya udah sembunyi-sembunyi kembali hadir. Aku merasa harus marah, dong. "Brengsek kamu, Pram! Lepasin!"

"Lho? Kenapa? Kalau kamu nggak basah, malah aneh. Aku juga basah, kok, cuma kamu belum lihat aja."

Diiih!

"Stop. Stop. Kamu nggak perlu ngomong kayak gitu!"

"Ngomong apa? Ngomongin hal kayak gitu di atas ranjang waktu kita mau bercinta ya normal, lah. Kamu pikir semua orang ngomongin cinta di atas tempat tidur? Chill... okay... aku tarik kembali kata-kataku. Fine... okay... let me think... Oh, Inggrid... cairan cintamu mengalir—aduh! Iya, kan? Itu malah menjijikkan. Kamu kubolehin menjitak kepalaku."

Aku makin gemas dan geregetan maksimal. "I—ini pelecehan seksual namanya! Aku... aku bakal ngadu ke manajemenmu!"

"Ngadu aja. Aku bukan pengecut. Kalau kamu memang keberatan, aku bisa mengundurkan diri kapan aja."

"Kok mengundurkan diri kapan aja? Kamu sama sekali nggak khawatir sama apa yang aku rasain sekarang? Gimana kalau aku memang ngerasa dilecehkan?!"

"Were you?" sambarnya. "Were you feeling harrassed?"

Aku nggak bisa berbohong begitu aja. I kinda like it. Aku suka bagaimana Pramana mengisap putingku, membuatku meringis kesakitan, lalu memanjakannya dengan kecupan dan basah ludahnya yang hangat. Waktu dia menggesekkannya dengan batang hidungnya, aku melayang kegelian. I was not harrassed. I enjoy it.

"Kalau memang iya... berarti aku udah salah nangkap sinyalmu," katanya.

"Sinyal? Sinyal apa?"

"Kamu bersikap persis kayak remaja yang lagi naksir cowok ke aku, Nggrid. Kamu mati-matian menghindar, nunjukkin keenggaksukaanmu ke aku, that you hate me, you fight me all the time, but then you told me we used to date. Dan buku itu... alasan kita putus... the unfinished business between us... I thought you also want this. I just need to try harder than you because... you are a girl. I make a move."

"Aku... aku...."

"Kamu nggak bisa berkata-kata karena kamu sendiri nggak sadar kamu udah bersikap kekanak-kanakkan," vonisnya. "That's fine. Some girls... growing up too late. Beberapa yang langka. Biasanya cewek memang lebih cepat dewasa, tapi dalam hal-hal seperti seks... memang ada yang kayak kamu."

"Oh ya? Seberapa sering kamu nemuin yang kayak aku?"

"Nggak pernah—"

"So how did you know? Bagaimana kamu membuktikan kata-katamu? Bukannya aku, ya, cewek yang berani nulis hal-hal yang nggak kubuktikan lebih dulu?"

"Because I feel like I know you," katanya. "Aku memang nggak ingat apa-apa tentang kita, tapi aku ingat kamu. Aku ngerasa... udah kenal kamu lama. Aku percaya sama kamu karena selama ini... buatku kamu nggak asing. Terus ternyata kita pernah pacaran, kan? Perasaanku tentang kamu jadi masuk akal. Kamu belum move on dari aku, Nggrid. That's why you wrote that book. Apapun alasanmu belum move on, aku nggak tahu. Aku juga belum. Bukan sekadar belum, aku ngerasain perasaan yang benar-benar baru. That's why I thought... you want this as much as I do."

Oh... Pram....

"Nggrid...."

Pandanganku buram.

"Don't cry...," Pramana membelai pipiku. "Harusnya aku nggak ngomong hal-hal konyol kayak gitu. You're still living in your princess bubble, you can't stand a dirty words."

Aku semakin ingin mewek dan mengadu, "Aku paling benci kalau Gandhi gituin aku."

"Because you don't like him"—Pramana mengecup pipiku—"Kamu nggak suka dia, kan? Hm? Waktu dia maksain dirinya ke kamu semalam... apa kamu juga mendesah kayak barusan? Enggak, kan?"

"Aku nggak mau ngomongin apa yang terjadi semalam."

"Okay... dia memang brengsek, nggak pantas dibahas."

"Bukan gitu. Apa yang terjadi sama aku itu nggak enak banget diomongin, terutama karena aku tahu dia bukan orang jahat, cuman kadang caranya aja yang salah. Aku senang kami baikan, bukan berarti aku mau bahas-bahas terus. Malah kamu bandingin sama desahanku barusan. Kok kamu jadi kayak terobsesi sama Gandhi gitu?"

"What?" Pramana gantian tersinggung, dia menarik mukanya dari pipiku. "Aku nanya soalnya aku nggak terima! Bukan karena terobsesi. Ngapain aku terobsesi sama dia? Aku jengkel karena habis kita begituan, malemnya kamu ngedatengin cowok lain. Aku udah kasih kamu warning supaya nggak ngebiarin Gandhi ngelakuin hal yang kita lakuin, kamu masih aja nyamperin dia. Kamu ngapain aja sama dia, sejauh apa dia ngelecehin kamu... kamu nggak mau bilang—"

"Aku udah bilang!"

"Tapi nggak jelas!"

"Ya terus aku mesti bikin kronologi kejadian, apa gimana?!"

"Ya enggak, tapi itu bikin aku kesal, Nggrid. If I was obsessed, it's not with him. I am obsessed with you. With us!"

"Kamu juga udah tahu alasannya, aku udah cerita. Kenapa masih kesal juga?"

"Kamu ini ditegasin baik-baik malah tanggapannya kayak gitu. I said I liked you, I am obsessed with you!"

"You also said kamu cuman bilang bahwa kamu suka sama aku, bukan lantas kamu nunggu jawabanku. Kamu baru bilang gitu belum ada dua jam yang lalu."

"Well I lied!" bentaknya. "I want you to say yes. Me too. I like you too."

"Biar apa, sih?" tantangku. "Biar apa kamu cepat-cepat pengin aku bilang I like you too? Buat ngelampiasin kemarahanmu? Buat ganti rugi karena udah bikin kamu putus sama tunangan kamu?"

Pram tersentak.

"Gara-gara aku, kan, kamu nggak jadi nikah?" imbuhku. "Kenapa kamu nggak berusaha memperbaiki hubungan itu, malah buru-buru mau nidurin aku, Pram?"

Ekspresi Pramana langsung berubah.

Dia resah dan salah tingkah. Perlahan, dia menyingkir dari tubuhku.

Kelihatannya, kecurigaanku benar. Pram cuma ngada-ngada. Sudah lama hubungannya sama sang pengacara itu retak, kemudian dia melimpahkan kesalahan padaku. Mungkin, kebetulan aja benar, pengacara itu pembacaku dan dia mendapatkan alasan lebih kuat untuk melepaskan diri dari Pram lewat bukuku. Pram mungkin juga udah lama letih mempertahankannya. Itulah kenapa yang kurasakan darinya hanya dendam kesumat, nggak ada kesedihan atau penyesalan setelah hubungannya kandas.

Pasti sudah lama hatinya gersang, kalau enggak, ngapain dia sibuk-sibuk cemburu begini, bukannya memperbaiki hubungan dengan calon istri, padahal aku sudah menawarkan diri menjelaskan duduk persoalannya? Salahku juga main-main sama ingatannya segala, tapi hanya ini satu-satunya cara supaya lepas dari tuntutan pencemaran nama baik itu.

"Kamu nggak perlu jawab itu," ucapku seraya beringsut dari sisinya. "Aku juga nggak akan nanya-nanya lagi. Itu urusanmu. Tapi... kalau memang benar kamu habis putus hubungan sama calon istrimu... mungkin kamu butuh waktu buat dirimu sendiri dulu, Pram."

Pramana hanya tercenung. Dia nggak bereaksi banyak mendengar ucapanku, tapi urat-urat di sekitar pelipisnya perlahan menipis dan menghilang. Dia juga mengambil napas panjang yang diembuskannya dengan tenang. Sejurus kemudian, dari pantulan di cermin, dia memandangiku bergerak turun dari ranjang.

"Kamu mau aku lepasin gaunnya sekarang?" tanyaku.

Dia membisu.

Kupunguti pakaianku dan kusampirkan di lengan, "Aku balikin besok aja, yah? Di kantor? Nanti ku-steam dulu biar nggak kusut."

Pramana meneguk ludah hingga jakunnya bergerak kasar sebelum mengangguk.

"Aku pulang, ya, Pram," pamitku.

Nggak ada sahutan sampai aku tiba di pintu kamar yang dibiarkannya terbuka. Kugenggam handle pintu itu erat-erat. Aku bisa saja keluar dari sana dan membiarkan Pramana kecewa. Bertahun-tahun aku menjalani hidup tanpa kepastian dan kekecewaan. Sekarang setelah kami bertemu lagi pun, sepertinya aku tetap nggak akan mendapat jawaban apakah dia terlibat dalam insiden yang mengguncang masa remajaku, atau enggak. Apakah dia yang menulis sepucuk cinta di kertas merah jambu itu, atau bukan. Namun, sesakit apapun aku... kurasa perasaan sayangku pada Pramana belum sepenuhnya kandas.

Aku mendapati diriku berdiri di ambang pintu yang terbuka, bebas untuk pergi, tapi kakiku nggak kunjung melewatinya.

Napas berat terbuang lewat mulutku. Aku berbalik menyongsong tatapan Pramana yang mengawasi punggungku.

"Apa kamu masih cinta sama dia?" tanyaku, suaraku gemetar. "Apa kamu masih cinta sama dia, makanya kamu ngelampiasin hasratmu ke aku? Atau kamu selama ini bohong? Kamu cuma pura-pura supaya aku ngerasa bersalah sudah nulis buku itu?"

"Aku mau kamu ngerasa bersalah udah nulis buku itu," akunya, dingin.

Aku mengangguk. Nggak sepenuhnya menjawab pertanyaanku, tapi paling enggak dia mengaku. Aku bisa mengoreknya lagi kapan-kapan, yang penting toh dia udah janji nggak akan menuntutku.

Tapi aku belum puas, "Do you still love her?"

"No."

"No?"

"No. I don't."

"Kamu bahkan nggak butuh waktu buat ngejawab. Kenapa kamu mendadak jadi dingin banget? Dia mantan calon istri kamu, Pram."

"Dia yang mutusin aku."

"Kalau aku yang mutusin kamu, kamu juga bakal bersikap dingin kayak gini kalau ditanyain tentang aku sama cewek yang lagi dekat sama kamu?"

"Inggrid...," sebut Pram sabar. Dia akhirnya bangkit dan duduk di tepi ranjang. "Kamu bahkan belum bilang kamu juga suka sama aku...."

"Tapi aku juga nggak bilang enggak...!"

...

...

Alis Pramana perlahan menukik sebelah.

Dia mencerna.

Aku menunggu.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik, mata Pramana mencelang lebih lebar.

Dia sengaja mengentak kakinya di lantai dan membuat gerakan mengejutkan. Aku terlonjak dan sontak menjerit, melesat keluar dari kamar. Sebelum detik ketiga berpindah ke detik keempat, Pramana melompat, mengejarku yang lari tunggang langgang menyerbu pintu. Pram menerkam tepat sebelum tanganku berhasil mencapainya.

Pinggangku direnggut menjauh.

Mendekap erat pinggangku, Pram mengangkatku ke udara. Aku meronta, kakiku menjejak-jejak. Aku terpingkal-pingkal dalam pelukan eratnya yang membawaku kembali ke kamar. Dia melemparku begitu saja di atas tempat tidur, lalu sebelum menggulatku mesra di sana, Pram mengunci pintu dari dalam dan melempar kuncinya ke sembarang arah supaya aku nggak bisa pulang. Aku tergelak.

Saat tawaku berhenti, aku sadar, aku nggak mungkin mundur lagi. Dentum jantungku menguat seiring mendekatnya Pramana ke tempat tidur. Bibirku tergigit. Fokus mata Pramana hanya padaku. Aliran darahku bergolak. Dadaku seperti akan meledak. Aku terduduk lemas di atas permukaan kasur yang empuk, menunggu Pramana memanjat naik menghampiriku.

"Jangan lari lagi," bisiknya, membelai pipiku dan melekatkan bibirnya di sana.

Ludahku tertelan, jarak antara hidungku dan hidung Pramana hampir tak ada. Aroma tubuhnya melayang-layang di sekitar indra penciumanku. Mataku memejam, napasnya yang merasuk ke celah kecil di antara bibirku membelai lembut sel-sel di otakku. Saat bibir Pramana menyapu bibirku, tubuhku bergetar.

Ciuman itu singkat.

Saat aku membuka mata, Pram sedang mengelus-elus lenganku. Entah apa yang dipikirkannya, tapi dia tersenyum-senyum.

Aku mengawasinya dengan gerakan bola mata, "Kalau... gaunnya rusak... apa kamu bakal dipecat?"

"Kemungkinan besar," angguk Pram serius sembari memainkan tali-tali di bahuku. "Mungkin aku bakal dituntut dan dijebloskan ke penjara."

Aku pura-pura kaget.

"Kamu mau aku dipecat... dan dijebloskan ke penjara?" tanyanya, satu tali di bahu yang ada di jarinya ditariknya menjauh, lalu dikembalikan ke tempatnya semula. Pramana membuat garis menyusuri tulang selangkaku membentuk huruf V, yang lantas mempertemukan dua jarinya di perpotongan dadaku. Terus ke bawah. Dadaku nyaris terpapar.

Bibirku tergigit lagi.

"Hm?"

Aku menggeleng.

Pram menyunggingkan senyum miring merespons anggukanku. Aku bergeming menahan seluruh desah dan napasku ketika jemarinya menyusuri lekuk-lekuk tubuhku dan dengan sangat hati-hati menarik bagian bawah gaun itu hingga ke pinggang.

Celana dalam dinosaurusku terlihat....

Lanjut ke karyakarsa yuuuuk! Masih panjaaang tapi intinya yaaa steamyyyy 😅😅😅

Oh iya... kalian udah tahu belum aku bikin Extra part baru Trapping Mr. Mahmoud di Karyakarsa?

Baca ya yang ngikutin TMM dan kangen sama romantis dan huh hah-nya rumah tangga Mumu dan Minul.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top