Chapter 39. Kodok atau Dinosaurus? (BACA DULUAN CHAPTER 60)

Hai...

Berhubung ini special part, yang bisa ku-update cuman sedikit, ya. Huhu... selanjutnya terlalu huhah buat diupdate di wattpad. Silakan ke karyakarsa aja. Ini kalau dukung di KK bisa baca sekalian part 40. Special part juga.

Selain itu... di Karyakarsa udah sampai part 60, ya.

Part 60 barusan aku update ^^

Selamat membaca!

Kali ini aku cuman menuntut 500 votes dan 50 komen aja, deh. Soalnya part buat dikomenin lebih pendek dari chapter sebelumnya. Kalau mau baca special part lengkap cus ke KK ya


Chapter 39

Kodok atau Dinosaurus?


Ketika tatapan Pramana tertangkap basah sedang melirik ke arah cermin olehku, aku masih mencoba berpikiran positif.

Waktu ngelihat aku telanjang bulat pertama kali, kejadiannya terlalu cepat. Walau dari ujung rambut sampai kuku-kuku kakiku kelihatan, besar kemungkinan Pramana bahkan nggak sempat merekam apa yang disaksikannya dalam sekelebatan mata. Aku langsung terduduk, dia juga langsung balik badan.

Waktu kami makeout di dalam kelas, nggak ada lampu yang menyala. Gelap gulita. Satu-satunya sumber cahaya hanya lampu dari lorong menuju kelas. Pramana kemugkinan cuma bisa merasakan tubuhku dengan indra peraba (dan pengecapnya). Apalagi, dia harusnya pakai kacamata supaya bisa ngelihat jelas, malam itu dia menanggalkannya.

Mungkin, Pramana sama gugupnya denganku. Technically, pagi ini dia baru benar-benar melihatku bulat-bulat, meski tubuhku nggak setelanjang bulat sebelumnya. Sinar matahari menyorot seluruh penjuru ruangan lewat satu-satunya jendela yang tirainya udah disingkap. Pantulan tubuhku berkerubut gaun velvet sebatas pinggang terpampang nyata di cermin rias. Rambutku yang awur-awuran, tete-ku yang mencong sebelah, bahkan sebelah kupingku yang merah habis kesangkut tali terekspos di cermin itu. Motif dinosaurus hijau di cawatku sudah sangat pudar. Bentuknya pun udah nggak mirip dino chibi lagi, malahan mirip kodok. Aku harusnya udah ngebuang celana dalam berpinggang tinggi itu bertahun-tahun lalu. Aku masih mempertahankannya karena celana dalam lama selalu lebih nyaman dipakai. Mana kutahu aku bakal terjebak dalam situasi kayak begini?

Melihat tubuhku di cermin bisa kuanggap sebagai hal yang nggak bisa dia hindari. Akan tetapi, saat dia berhasil membetulkan letak tali-tali di punggung dan berniat menggeser bagian depan gaun, aku yakin dia sengaja mencubit putingku.

"Aw! Itu putingku!"

"Oh!" serunya. "Sorry... kupikir kancing."

"Kancing-kancing, kamu pikir ini baju pramuka?!" semprotku. Sakitnya sih nggak seberapa, malunya itu, lho. Mana dalam keadaan kayak gini putingku pakai mencuat segala, jadi gampang banget kegencet di jari-jari Pramana.

"Praaam!" aku mencubit kulit di tangannya. "Lepaaasin...!"

"Gemes, sih," bisiknya. "Kok bisa keras, sih, Nggrid?"

Aku mengerang jengkel.

"Okay... okay... aku nggak sengaja," kibulnya.

Mana ada pake nyubit bilang nggak sengaja. Aku langsung menelangkup kedua susuku dengan telapak tangan.

"Jangan dicengkeram, dong, Nggrid...," larangnya.

"Kalau nggak aku cengkeram, nanti tanganmu celamitan!"

"Nggak bisa digeser, lho, gaunnya kalau kamu kekepin gitu. Mau lepas, enggak?"

"Biar aku lepas sendiri aja. Kamu keluar aja sana!"

"Nggak mungkin bisa, talinya masih ada yang melilit di belakang. Kalau kamu paksa, nanti makin banyak yang harus dibenerin," katanya.

Rahangku mengencang. Di cermin, tatapan tajamku beradu dengan bola mata Pramana yang berusaha meyakinkanku bahwa dia nggak bohong. Bahuku jatuh. Sebelah tanganku memang masih masuk di lubang tali yang salah. Ketiakku agak pedas tergesek tali tipis yang mengetat semakin banyak aku bergerak. Aku nggak punya pilihan, tapi masih berusaha mempertahankan harga diri. "Kasih arahan aja, aku mesti gimana!"

"Tanganmu mesti dikeluarin dari tali yang salah. Harusnya masuk ke lubang yang depan. Masalahnya... lubang yang kamu masukin tangan itu sempit, sebab dia sebenarnya cuma celah antar tali yang harusnya bersilang-silangan di punggungmu—"

"Aku nggak perlu tahu itu, Pram. Kasih tahu aja caraku lepas dari tali yang salah itu gimana?!"

"Ya nggak bisa kalau diarahin, emangnya aku Google Maps!" solotnya. "Aku meski megang buat ngebebasin tanganmu. Dikeluarin pelan-pelan. Bagian depannya mesti digeser dulu, biar nggak makin sempit ruang buat ngeluarin tanganmu. Lemesin tangannya, talinya mau kulolosin ke bawah."

Hidungku mendengus. Penjelasan Pram terdengar masuk akal. "Tapi jangan sampai kepegang lagi putingnya, Pram...," pintaku, memelas.

"Nggak akan... orang tadi aku sengaja."

"Emang bajingan kamu, ya!"

Pramana mengekeh, dia menyentuh tulang hastaku dan melemaskannya di sisi-sisi pinggul. Sentuhannya yang sangat samar malah bikin pori-pori di lenganku merebak. Aku yakin Pramana bisa merasakannya sewaktu dia menggeser buku-buku jarinya kembali ke atas. Entah apa yang dia lakukan di balik punggung, tapi dia membuatku percaya bahwa dia sedang mengusahakan sesuatu. Waktu dia bicara, embusan napas hangatnya membelai pundakku. "Sakit memangnya?"

"Ha?"

"Waktu dicubit."

Aku mengentak pundakku ke belakang. "Bisa nggak kamu nggak usah nanya macem-macem?"

"Jangan banyak gerak," imbaunya. "Lemesin bahunya. Aku cuma nanya biar kamu nggak tegang. Di pabrikmu ada mesin jahit yang lebih kecil dari 12 Gauge nggak?"

Aku mengingat-ingat. "Kenapa?"

"Kayaknya ini harus dilepas jahitannya. Kalau dipotong, nanti high-low kiri kanannya. Kalau dilepas jahitannya, masih ada kemungkinan selamat."

Napasku tertahan. Aku kembali merasa bersalah. Pram masih mencoba mengutak-atik, tapi kelihatannya dia putus asa. "Wait a sec," katanya. "Biar kuambil dulu peralatan jahitku."

Aku mengangguk, bergeming menunggu Pramana. Sebelum dia balik ke kamar, aku mengambil inisiatif berbalik menghadap pintu. Dengan begini, Pramana nggak akan bisa melihatku lewat pantulan di cermin.

Baru saat Pramana datang, aku sadar, posisiku sekarang justru bisa dilihat Pramana langsung dari depan, bukan lewat cermin lagi.

Pram meringis. "Cute panties."

"Aaaarggghhh," aku mengerang sambil berbalik memunggunginya lagi. Mau dari depan, atau belakang, dia tetap bisa lihat juga. "Aku benci kamu!"

"Apa sih itu gambarnya? Kodok, ya?"

"Dinosaurus!"

"Kok kayak kodok? Coba kulihat yang jelas."

"Kamu mau mati?" ancamku. "Cepetan ah, Praaam! Sakit keti aku kejepiiit!"

"Iyaaa..., ya udah kamu madep sini aja, biar aku duduk. Ini mesti ati-ati banget lepasin jahitannya," suruh Pram.

Aku menurut dengan patuh sementara Pramana mulai mengutak-atik. Jarinya menyelip di antara pangkal tali di dekat ketiakku yang mau dia lepasin jahitannya. Dengan hati-hati, dia menariknya ke depan. Mempelajari alur jahitan supaya dia bisa mengurai tanpa membuat luka baru di bahan beludu gaunnya.

"Okay," katanya. "Udah ketemu. Jangan banyak gerak, ya? Nanti kamu ketusuk."

Kepalaku mengangguk, menunggu dengan perasaan lebih tegang dari sebelumnya. "Pram...."

"Hm?"

"Kalau dijahit ulang, Elliot bakal tahu, enggak?"

"Kalau dibalikin ke dia ya bakal langsung tahu, tapi kalau cuman difoto aja di badan kamu nanti, nggak akan tahu. Nanti kucek lagi mereka pakai mesin apa, kalau di tempatmu nggak ada, harus kujahit manual. Kamu nggak keberatan, kan, nyimpen gaun rombakan?"

Aku tersenyum, "Aku malah yang nggak enak. Maafin aku, ya, Pram?"

"Makanya lain kali nurut. Kalau kusuruh buka baju di depanku, buka baju di depanku. Kalau kamu tadi dengerin aku, kan, hal kayak gini nggak akan terjadi."

"Kalau tadi aku nurut sama kamu, yang ada aku nggak akan jadi make gaun ini sama sekali...," gumamku.

Gerakan tangan Pram di kulitku terhenti. Aku jadi ikut-ikutan nahan napas. Sial. Omonganku barusan mancing-mancing banget kalau dipikir-pikir. Mukaku merah padam.

"Aku butuh konsentrasi tinggi, Nggrid," katanya. "Jangan malah bikin tegang. Ntar aku salah megang kodok di bokongmu lagi."

Dih.

Digodain gitu bukannya marah kamu, Nggrid, malah tersipu-sipu. Emang udah sama gilanya kamu sama Pramintul.

"Oh iya Nggrid... aku penasaran...."

"Apa?"

"Tadi kamu belum jawab...."

"Apaan, sih?"

"Itu... emang beneran sakit ya waktu kecubit tadi?"

Aku menggeram.

"Kan kamu duluan yang mancing-mancing."

"Pertama-tama...  kamu udah ngaku, itu bukan KECUBIT, tapi NYUBIT.  Bukan masalah sakit apa enggaknya. Kamu tuh megang nggak pakai izin, Pram. Mana udah dikasih tahu bukan dilepas, malah mau kamu pelintir!"

Pram mengekeh lagi.

Lalu hening.

Kupikir dia mau balik konsentrasi lagi ke jahitannya, ternyata dia nanya. "Kalau izin..., memangnya boleh, Nggrid?"

"Praaam...," erangku geregetan.

"Jangan emosi," imbaunya. "Nanti ketusuk, lho. Tajem banget ini, aku pakai jarum yang paling kecil. Gimana? Boleh?"

"Nggak boleh!"

"Terus gimana kalau aku pengin megang?"

"Jangan nanya-nanya gitu, ah, Pram. Aku geliii...," raungku pasrah. Ini kalau aku nggak lagi terancam jarum, aku pasti udah meronta dan melarikan diri. Mana dari tadi nggak selesai-selesai. Kan harusnya begitu diurai ujungnya, benangnya tinggal ditarik aja. Mungkin karena materialnya mahal, Pram harus ekstra hati-hati.

"Kamu jijik, ya, Nggrid dipegang sama aku kayak gitu?" tanyanya lagi. Kali ini nadanya sedih dan terhina banget.

Aku jadi trenyuh dengernya. "Ya... bukan jijik, Pram...."

"Terus... ? Enak?"

Salah banget aku trenyuh sama orang kayak dia. "YA ENGGAK JUGA!!!"

"E—e—ehhh...," celetuk Pram.

Aku teringat lagi buat nggak banyak gerak. "Itu puting, lho, Pram. Kamu main pegang sembarangan. Aku punya harga diri. Mana ada sih cewek tahu-tahu dicubit putingnya kayak aku? Ini kalau cewek lain, kamu pasti udah ditonjok. Kalau aku nggak kebelit gaun seharga seribu dolar juga, kamu pasti udah kutonjok."

"I know... aku minta maaf, ya, Nggrid...?" bisiknya, terdengar tulus.

"Udah lepas, ya, Pram?" tanyaku.

"Udah...."

"Alhamdulillah," ucapku penuh syukur. "Ya udah... sekarang udah bisa kulepas sendiri, kan, Pram, gaunnya?"

"Udah," jawabnya sambil membetulkan letak gaun yang menyingsing di pinggulku gara-gara terlilit tadi. Sekarang, tubuhku udah sepenuhnya terbalut gaun. Aku baru mau berbalik supaya bisa ngelihat gimana penampilanku di cermin, tapi Pramana menahan kedua sisi pinggulku dan berdiri. Dadanya perlahan melekat di punggungku yang terbuka sampai di lekuk tulang ekorku. Dengan pinggulku tercengkeram longgar oleh kedua tangannya, dia memuji penampilanku, "Gaunnya cantik di kamu."

Aku berdeham. "Ehm... thanks...."

Pramana belum selesai, dia membungkuk sedikit ke depan, membisik lirih di telingaku,  "It's dinosour."

Aku nggak dengar. "A—apa?"

"Dinosaurus hijau," imbuhnya. "Berapa umurnya?"

"Ha?"

Umur? Umur apa?

Bibir Pram semakin dekat di sisi kupingku. Detak jantungku berhenti. Aku masih nggak paham dia sebenarnya nanyain apa, terlebih panas napasnya menjalar di kulitku. Aku merinding. "Your panties, Inggrid."

"Umur... panties... ku...?"

"Semoga nggak setua dinosaurus-dinosaurus itu. Soalnya terlihat sedikiiit seperti habis digali dari dalam tanah bersama fosil-fosil."

Sialan.

Aku mengaum marah, tapi Pram malah tertawa gemas. Dia bukannya ngebiarin aku lepas, justru dengan berani memeluk pinggangku erat dari belakang. Lengan Pram menopang payudaraku ke atas, menyembul bulat di balik bahan beludu yang bertumpuk.

"Pram... stop harassing me," cicitku, mencoba menggeliat dari pelukan Pramana yang mengikat ketat tubuhku. Panas tubuhnya berpindah padaku, memompa jantungku begitu cepat. Bibirnya mencuri-curi kecup di lekuk leherku, mengembusinya dengan uap panas. Pram membara. Sekujur tubuhku, terutama lututku terasa lemas. Tanpa kusadari, aku bertopang pada dekapan kencang lengannya.

"I am not harrassing you, Inggrid. I am harrassing your panties," kilahnya. "Which honestly... I don't mind at all. Aku suka celana dalam dinosaurusmu."

"Kamu benar-benar menyebalkan, Pram," kataku lemah nggak berdaya. Aku nggak bisa memikirkan kata-kata hinaan yang cerdas, atau terdengar tidak terintimidasi. Kenyataannya, aku sangat-sangat terintimidasi. Sebagai usaha terakhir. aku mengangkat sebelah pundakku hingga bersentuhan dengan daun telinga untuk mengusir invasi muka Pram dari sana. Dengan lincah, Pramana beralih ke lekuk leherku yang lain. Kali itu, aku hanya bisa pasrah.

Pram menanamkan kecupan dalam di bahuku.

Aku mendesah, menyebut namanya supaya dia berhenti melakukan itu, tapi Pramana nggak mengacuhkannya. Dia malah merenggut rahangku hingga aku menoleh ke samping dan mengusap agresif bibirku dengan ibu jarinya. Mataku membelalak lebar, sebelum bisa kucegah, Pramana  mencaplok bibirku...

"Pram... mmmhhh!"

... dan melumat seenak jidatnya.

Masih ada kira2 2000 kata sisanya di karyakarsa buat bab ini doang. Bab ini di KK dipost bareng sama part 40 yang special part juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top