Chapter 37. Tukang Bubur Naik Pitam (BACA DULUAN CHAPTER 49-50, 51-52)

Hai...

Udah ketinggalan berapa part baca duluan di karyakarsa? wkwk

Di sana udah sampe part 52, ya...

Part 48 Mini special part, terus part 49-50 sama 51-52 ini ada POV PRAM. Seperti biasa, special part dan POV Pram nggak akan ada di Wattpad. Buruan baca di karyakarsa, ya

Untuk part ini kayak biasa aku mau 500 votes 100 komen aja, nanti kulanjut.

Love you all!


Chapter 37

Tukang Bubur Naik Pitam

"Aku nggak pakai kacang, ya, Pram!" seruku.

Pram balik lagi buat mengubah pesanannya ke tukang bubur.

Pas mau nyampe ke mobil, aku lupa bilang, "Teh-ku tawar, kan?"

Pram menatapku tajam, lalu dia berbalik dan agak berteriak, "Mas, tehnya tadi yang satu tawar, ya!"

"Es, Pram," tambahku.

"Nggak," gelengnya. "Masih pagi.'

"Maksudnya punyaku. Es. Aku nggak suka minum panas-panas. Bulan lalu aku habis bedah gigi, sampai sekarang aku belum bisa minum yang terlalu panas."

Alis Pramana mengerut. "Tadi pagi kamu minum kopi."

Yah... ketahuan.

"Ya udah. Aku bilang sendiri aja."

"Udah, udah, udah. Biar aku sekalian aja," katanya sebal, nggak jadi buka pintu mobil dan balik lagi ke warung. Kutunggu lama dia nggak balik-balik, ternyata dia kirim pesan WA. "Kamu pikir aku nggak tahu akal bulusmu?" tulisnya. "Satenya mau yang telur puyuh, usus, ati ampela, atau yang campur?"

Hehe... aku menyengir di depan layar ponselku. "Yang puyuh," jawabku.

Gara-gara nerima telepon Gandhi, tempat duduk yang diawasi Pramana ditempatin orang. Terpaksa, kami makan di mobil. Pram baru aja kembali duduk. Jendela diturunkan lebar-lebar.

Hati-hati, aku nanya, "Tadi... punyaku nggak pakai daun bawang?"

Pram menoleh sambil memelotot penuh kesumat. Dia nggak ngomong apa-apa, cuma menghempaskan punggungnya dua kali ke sandaran jok dengan kasar, lalu berniat mendorong pintu mobil dengan bahunya.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku.

"Katanya punyamu nggak pakai daun bawang?!" semprotnya.

"Siapa bilang?"

"Tadi?"

"Kan aku nanya, punyaku nggak pakai daun bawang?"

Pram menjawab, ekspresinya waspada, "Pake...."

"Ya udah. Soalnya si Benny suka malas pesan beda-beda. Dia kan nggak suka pakai daun bawang, tapi pakai kacang. Aku nggak suka pakai kacang, tapi pakai daun bawang. Jadi dia cuman bilang yang punyaku nggak pakai apa-apa. Aku jadi kudu balik lagi ke tukangnya, terus minta daun bawang."

"Terus? Misalnya aku tadi beneran nggak pakein daun bawang, kenapa kamu nggak inisiatif aja nanti balik ke sana minta daun bawang? Kenapa kamu seolah nyuruh aku balik lagi buat bilang ke tukang buburnya buat nambahin daun bawang?"

"Kan ini hari minggu, Pram."

Pram udah mulai kesel.

"Dan kamu bukan Benny. Benny suka transferin aku duit kalau tanggung bulan. Dan dia gampang dikibulin, jadi aku sering nggak bayar utang. Uangnya udah kebanyakan, sementara anaknya nggak banyak mau. Of course aku rela balik lagi ke tukang bubur demi Benny."

"Aku buyer QA-mu!" katanya.

"Aku nggak peduli. Di mataku di hari minggu, kamu bukan buyer QA. Kamu cuma cowok yang barusan bilang suka ke aku. Kamu cowok yang naksir aku. Kalau nanti mas-masnya ke sini nggak bawain kecap, kamu yang balik ke sana."

"Kan bisa nyuruh dia."

"Suka lama."

"Kamu juga yang biasa ambilin kecap kalau makan bubur sama Benny?"

"Iya."

"Who gave you the audacity buat nyuruh-nyuruh aku ambilin botol kecap segala?" tanya Pram geram waktu kebetulan hal yang kutakutkan beneran terjadi. Si mas yang nganter bubur nggak bawain botol kecap. Udah diminta, sampai lima menit nggak keluar juga. Biasa terjadi. Sama kayak kalau kamu minta ashtray di kedai-kedai kopi.

"Sunday gave me. And you. Because you said you like me," kataku, giving him a side eye.

"You're gonna pay for this," gumamnya. Surprisingly, dia beneran keluar dan kembali dengan sebotol kecap. "Kalau ada lagi yang kamu butuhin, aku nggak akan turun dari mobil ini lagi."

Hidungku mengerut, gigi-gigiku meringis. "Tusuk gigi...?"

"Kamu nggak perlu tusuk gigi," katanya. "Buburmu nggak pakai kacang!"

"Buat kamu, loh...."

"Nggak usah sok perhatian!"

Pintu mobil dibanting.

Pramana memesan bubur komplit lengkap dengan sate usus dan telur puyuh yang dimasak bumbu kuning. Aku sendiri setia dengan bubur tanpa kacang kedelai dan sate telur puyuh. Sebelum makan buburnya, Pram makan satenya duluan sampai habis. Dua-duanya. Aku baru selesai melucuti sateku dan menguburnya dalam bubur ketika Pram mulai mengeksekusi bubur ayamnya.

Aku sengaja sih bikin dia kesal, supaya pikirannya teralihkan dari pembahasan tentang Gandhi. Coba aja enggak, dia bakal ngerusak acara sarapan bergizi kami dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Gandhi. Sejauh ini Pramana belum nanya detail apa aja yang sebenarnya terjadi semalam. Aku yakin dia bakal mengungkitnya, nggak mungkin enggak. Yang kulakukan cuma mengulur waktu aja.

Untuk beberapa saat, aku bisa tenang menyantap semangkuk bubur yang kuaduk dengan sangat sopan dan beradab. Sedikit-sedikit dan teratur. Takutnya, Pram bukan penganut sekte bubur diaduk kayak aku sama Benny. Aku nggak mau dihakimi.

Tapi, kekhawatiranku mungkin sedikit berlebihan. Kelihatannya Pramana nggak peduli gimana caraku makan bubur. Pram terlalu fokus sama semangkuk bubur di tangannya. Dia makan dengan cepat dan lahap.  Waktu aku baru mulai, dia sudah habis separuhnya. Setelah melirik isi mangkukku yang masih penuh, kecepatan makan Pram melambat.

"Lama banget, sih makannya?" dia mencemooh. "Orang kalau makannya lelet, kerjanya juga nggak beres-beres."

Aku melengos nggak peduli, "Aku ini tipe penikmat makanan," kataku setelah menyuap dan menelan. "Makan buatku bukan cuma supaya kenyang, tapi juga untuk dihayati dan disyukuri. Ayah dan ibuku selalu ngingetin buat ngunyah makanan dengan baik, demi meringankan kerja lambung. Nasehat yang sama tentang pekerjaan, selalu ingat untuk meringankan pekerjaan orang lain."

Apa aku menyindir? Tentu aja.

Nggak kayak orang ini. Taunya cepet aja, beres aja, nyusahin orang apa enggak, dia mana peduli?

"Orang makan bubur mau dikunyah apanya?" Pram masih nggak terima. "Lambung juga ngiranya kamu lagi minum doang. Bubur ginian setelah proses masuk kerongkongan hancur lebur, tinggal air doang. Beda sama makanan padat, mesti dikunyah pelan-pelan dulu. Lumat, jadi bolus, masuk kerongkongan. Digiling sama otot-otot lambungnya lebih gampang. Kalau bubur begitu masuk mulut kita juga udah lebih lembut dari bolus."

"Hah? Bolus?"

"Makanya nggak usah sok pinter sama orang yang beneran pinter!"

"Bolus apaan?"

"Googling aja lah sana!" suruhnya, sendoknya sudah mencapai dasar mangkuk.

"Jorok, ya, Pram?" tuduhku.

"Jorok-jorok aja pikiranmu," katanya. "Ngomong-ngomong jorok... udah ngapain aja kamu sama Mahatma Gandhi semalam? Okay... dia nggak tidur sama kamu, tapi kamu udah diapain? Udah ngapain? Apa dia udah ngelihat kamu telanjang?"

Nah... kan?

Terang saja, tikungan yang terlalu curam bikin aku sontak terbatuk-batuk. Suapan bubur terakhir yang belum sempat kutelan nyaris keluar lagi lewat lubang hidung. Tanganku menggapai-gapai pundak Pramana, menyabetinya supaya dia mengangsurkan kotak tisu buatku. Ingus dan air mataku bercucuran.

Melihatku menderita, Pram malah mengernyit jijik. "Kalau aku ngelihat kamu kayak gini semalem, aku nggak bakal nafsu, Nggrid," gumamnya sadis. "Lagian kamu tuh, ya... habis sama aku... terus sama Gandhi. Ngapain aja kamu sama dia? Lebih jauh mana kamu semalam sama Gandhi dibanding sama aku?"

Setelah menyeka hidung dan meredakan batuk dengan segumpal tisu, aku langsung menyembur dengan suara sumbang, "Kamu nggak liat aku hampir mati?!"

"Iiih... mucrat," katanya, mengusap lengannya yang emang kena semprotan ludahku.

"Salah siapa aku jadi kayak gini?! Nanya begituan nggak pake aba-aba! Kamu pikir orang mati kesedak itu cuma mitos, apa gimana? Kalau aku tadi lagi nelen telur puyuh, apa enggak nyangkut di tenggorokan?"

"Aku kan cuman nanya," katanya enteng seraya mengorek sisa-sisa bubur di mangkuknya. Tapi, sebelum melahap sesendok terakhir itu, Pram malah bergidik. "Aku jadi nggak nafsu makan. Tadi ingusmu masuk ke mangkuk bubur, Nggrid."

"Aku juga udah nggak nafsu!" bentakku, nyaris kubanting mangkuk bubur yang tinggal setengah itu ke dashboard.

Aku nggak tahu, ya, cara kerja otak Pramana tuh gimana. Barusan dia bilang nggak nafsu, menit berikutnya dia melongok ke luar jendela sambil memesan mangkuk kedua. "Dua, ya, Mas!"

"Aku nggak mau lagi!" bentakku jengkel. Buburku aja masih nyisa dan itu adalah suapan-suapan terbaik. Karena buburnya kuaduk, biasanya potongan besar ayam dan telur puyuh berada di endapan terakhir.

"Yah... kalau aku makannya kayak gitu... aku juga nggak akan selera makan lagi, sih," ejek Pramana sambil mengernyit melihat mangkuk buburku.

"Makan bubur nggak diaduk itu nggak ada seninya," sergahku membela diri. "Tiap suapannya pasti hambar, kurang meledak di mulut. Nggak usah ngehakimin aku, deh. Aku nggak habis juga gara-gara kamu."

"Ya udah pesen lagi, yah?"

Aku menggeleng, cemberut, dan buang muka. Bubur Pramana diantar nggak lama kemudian, kali ini dia minta sate ayam. Sama dengan sebelumnya, satenya dimakan duluan. 

"Kenapa sih kamu makan satenya duluan?" protesku. Aku nanya bukan buat ngalihin pembicaraan dari pembahasan soal Gandhi doang, tapi beneran ngerasa terganggu ngeliatnya. " Sate-satean kan dibikin buat dijadiin lauk, Pram. Bukan buat dimakan duluan, terus buburnya menyusul. Emang Mamamu waktu kamu masih kecil nggak ngasih tahu soal ini?"

"Enggak," jawabnya dengan mulut penuh. "Aku makan duluan karena enak. Aku makan yang enak-enak duluan."

"Kalau kamu makan enaknya di awal, gimana kamu mau ngabisin isi piringmu? Lauk kan dibikin biar proses makan kita jauh lebih menyenangkan. Jadi kamu nggak bosan makan nasi, atau bubur, yang jumlahnya lebih banyak dari lauk pauk."

Pram menatapku aneh, "Mamamu sepeduli itu?"

Keningku mengernyit, "Tentu aja. Nasi dan lauk harus habis bersamaan."

"Terus... kalau nasinya nggak habis, nggak disuruh habisin aja lauknya karena itu enak dan biasanya tinggi protein? Protein bagus buat tubuh, dibanding karbohidrat. Kamu diajarin gitu juga nggak sama Mamamu?"

"Ya... iya."

"Ya udah," katanya. "Aku nggak diajarin, tapi aku tahu. Lagian ini kan bubur, nggak dimakan pakai sate juga udah enak. Why everything has to bother you?"

"Kamu juga ngatain caraku makan bubur yang diaduk!"

"Kapan? Aku cuman bilang, kalau makananku kayak gitu aku nggak akan selera. Did I ask you why you do that? I did not. You're the one who decide to explain. Like everything you need to explain, tapi pertanyaan yang jelas-jelas harus kamu jawab aja nggak kamu jawab. Kamu ngapain aja sama Gandhi semalam?"

"Cuma bicara."

"Sambil telanjang?"

"Pram!"

Pram mendengus. Dia mencoba melanjutkan makan dengan cara yang lebih berisik dari sebelumnya. Sendoknya sengaja dipukulkan ke mangkuk sampai berdenting, suapannya kasar, dengkusan hidungnya bikin aku gelisah.

Aku nggak tahan lagi. "Aku nggak telanjang," kataku akhirnya. "Cuma hampir."

Pram menggebrak dashboard dengan mangkuknya. Aku kaget bukan cuma karena gebrakannya, tapi karena isinya udah habis. Mangkuknya licin. "Kenapa cuma hampir?"

"Kamu maunya aku sampai telanjang sama dia?"

"Bukan gitu, what stopped you, what stopped him?" tanya Pram tajam. "Kamu nggak mau tidur sama dia karena kamu masih perawan, I get it. What stopped him?"

Aku berdeham. Nggak langsung menjawab, malah termangu-mangu. Teringat kejadian semalam, aku meringis sendiri. Miris juga kalau kupikir-pikir. Sebenarnya, aku nggak berencana menceritakan apapun pada siapapun soal semalam. Kasihan juga Gandhi. Harga dirinya bisa terluka dan nggak bisa sembuh lagi.

Lagipula... buat cowok... apa yang kulakukan semalam itu mungkin agak terlalu... brutal? Aku sendiri kesulitan melupakan gimana rasanya mencengkeram dua bola yang terus mencoba menggulir dari tanganku, apalagi dengan kulitnya yang tipis... dan sedikit bulu-bulu...?

"Kurasa kamu nggak perlu tahu," putusku.

"I wanna know, Inggrid," tandas Pram. "Daripada aku cari tahu ke dia sendiri?"

"Jangan, dong, Praaam!" rengekku. "Okay... tapi kamu janji dulu... kamu nggak akan mikir yang enggak-enggak?"

"Janji."

"Okay... aku... ehm... aku... jadi... dia di atasku. Aku bilang udah cukup, tapi dia nggak berhenti. Mungkin karena sebelumnya aku nggak keberatan, dia pikir sekarang aku juga bakal berubah pikiran. Aku biarin dia. Kalau kulawan saat itu juga, aku nggak kuat. Waktu dia lengah... habis dia buka celananya... aku... aku ngeremas... (suaraku memelan) scrotum-nya."

Pramana nggak dengar, "Apa?"

"Scrotum... nya...."

"Apaan, Nggrid... nggak kedengara—n"

"Telornya! Aku remas telornya. Sekarang kamu dengar?!"  jeritku kesal. "Habis itu aku lari... aku ancam mau pukul dia pakai botol anggur kalau dia mendekat. Makanya aku kedengeran panik waktu kamu nelepon aku. Tapi habis itu... kami udah baikan, kok. Gandhi minta maaf, aku maafin dia. Dia juga janji... tetap mau bantuin aku... no body hurts... I swear...."

Pram masih ternganga-nganga beberapa saat setelah ceritaku berakhir. "Serius?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk.

Kedua mata Pram mengerjap. Baru setelahnya dia tertawa. Awalnya pelan, lama-lama terbahak-bahak. "Kamu remas telornya...telornya!"—dia nyebut itu berulang-ulang— "HUAHAHAHA!"

Pram tertawa sampai megangin perutnya, sampai hampir netesin air mata. "I know exactly how hurt is that," katanya, berjuang untuk berhenti tertawa. "Asal kamu tahu... semua cowok di dunia ini berharap hal kayak gitu nggak pernah terjadi sama mereka. Seumur hidur. Break our heart whatever you like, just stay away from our balls."

Kutunggu sampai tawa Pram benar-benar berhenti.

"I guess I shouldn't be worried about you, Inggrid," tutup Pram sambil menghapus air mata. "Sebaliknya... mungkin aku harus mulai mengkhawatirkan diriku sendiri...."

Aku keluar duluan buat membayar makanan kami. Sesudah bekerja sama membersihkan mobil dari remah kerupuk, tusuk sate, tisu bekas, dan mangkuk bubur, Pramana membawa mobilku lurus ke arah Jalan Setiabudi. Tadinya aku diam aja. Kalau belok kiri toh kami kembali ke jalan menuju kompleks perumahanku.

Mobil berhenti di depan lampu merah, tepat di samping Patung Pangeran Diponegoro. Ketika lampu berganti hijau, Pram menyalakan sein kanan.

"Aku kan udah bilang, aku mau santai-santai aja di rumah," sungutku sebal, sekaligus pasrah. Mau gimana lagi? Dia yang bawa mobil. Pramana membawa mobilku menyeberang, mengambil lajur kiri dan menyetir ke arah Semarang bawah. "Kita mau ke mana lagi, sih, Pram?"

"Ke apartemenku sebentar," jawabnya.

Disuruh ngapain nih Inggrid sama Pram di apartemennya? Baca aja versi lengkapnya yang supergovlok di karyakarsa!

Udah gemes pengin tahu Gandhi di-ulti sama Pram? Jangan lupa baca duluan sampai part 52 di karyakarsa. Ada POV PRAM yg gak akan kupost di sini

Beli koin dan dukungnya via web aja ya? Biar konversi koinnya sama kayak rupiah. Nggak ada tambahan harga kayak beli koin atau dukung di aplikasi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top