Chapter 34. Jodoh Lima Puluh Langkah dari Rumah (BACA DULUAN CHAPTER 44-45)

Morning...~

Aku post agak panjang, nih, jadi kalau votes-nya nggak 500 sama komennya minimal 100, aku ngambek. Wkwkw... Mana part ini gemes lagi.

Oh iya... part 44-45 udah up di karyakarsa, ya. Yang penasaran sama momen Gandhi-Pram akhirnya head to head, buruan bacaaa!


Chapter 34

POV PRAM

Jodoh Lima Puluh Langkah dari Rumah

(POV Pramana bisa kamu baca di Karyakarsa, ya)

Di sini kamu akan tahu kenapa judulnya JODOH LIMA PULUH LANGKAH DARI RUMAH


INGGRID

Mesin mobil mati, aku turun, buka pintu belakang, ngeluarin semua barang. Mendekap tas tangan di dadaku, aku melintasi halaman menuju rumah.

"Hai," aku menyapa.

"Hai," jawabnya.

Stone cold. Seperti udara dingin yang menusuk tulang sebelum badai datang.

Aku biarkan pintu tetap terbuka supaya Pram bisa ikut masuk.

"What are you doing?" tanyaku.

Pram mengerutkan alis bingung.

"Ngapain kamu ngikutin aku sampai depan kamarku, Pram?"

"Kirain kamu nyuruh aku ngikutin kamu," jawabnya enteng.

"Yup... ngikutin masuk rumah...?"

"Oh... you should say something. Kirain kamu sengaja mau ngajak aku ngobrol...."

"In my room?"

"Why not? It's more private than the living room," dia bilang, tanpa dosa.

"Tunggu di ruang tamu!" tegasku.

Pram membuang napas, menatapku intens. Dia menempelkan hasta di kusen pintu di mana punggungku menempel di daunnya. Jarak antara wajahnya dan mukaku memupus. Dia nggak bisa menahan dirinya, "Where have you been last night?"

Sebaliknya, aku menarik napas, "Wait. For. Me. In. The. Living. Room. Jangan sekali-sekali kamu masuk ke sini. Apapun yang terjadi."

Rahang Pramana mengetat. Kelihatan sekali dia berusaha keras menahan kesal satu jam belakangan. "Aku nungguin kamu di luar satu jam lebih, Inggrid Clara Yuniar. Do you think I deserve and apology?"

"Kamu menginvasi hari liburku, Malik Syarifudien Pramana. I am the one who deserve an apology," kataku.

"Aku memang ke sini buat minta maaf, tapi bukan soal itu."

Mukaku mengerut.

"Soal semalam," imbuhnya.

Mukaku panas.

"I am sorry... did I say sorry when I kissed you last night?"

Mukaku merah.

"Inggrid...?"

Tenggorokanku tercekat.

"Nggrid!"

"Seingatku enggak," sambarku cepat, begitu aku ingat buat kembali bernapas. Aku mengingat-ingat lagi. I remember he said, "I know it's crazy, right?" waktu aku ngingetin dia bahwa dia barusan nyium aku. Did he say sorry? I can't remember.

"Well... I am sorry. Before we put on another fight, aku mau minta maaf dulu soal yang itu. I should have asked you first."

So he's sorry? Sorry dalam artian dia menyesal, atau sorry karena udah lancang? Aku berpaling, menghindari tatapan Pramana karena jantungku berdebar lebih kencang.

"I was too excited," tambahnya. "Aku terlalu percaya diri dan menganggap... karena dulu kita pernah pacaran... karena kamu nggak nabok, atau menjotos rusukku kayak waktu aku godain kamu tentang pergi ke toilet sama aku setelahnya... kamu pasti mau. It was wrong. Aku nggak mau kamu berpikir... aku kurang ajar—"

"Kamu memang kurang ajar," aku menyahut.

"So you hate it?"

Ludahku terteguk. Did I hate it? Did you, Inggrid? "Aku... eum... aku...."

Pramana menunggu. "Itu pertanyaan sederhana. Apa yang kamu rasain saat itu. So you hate it or you don't hate it?"

"Aku... aku nggak mau jawab," tukasku, berpaling ke arah yang lain lagi. Kurasakan tatapan Pramana menusuk ubun-ubun kepalaku.

"Inggrid...," panggilnya, lembut. Dia mencubit daguku dan maksa aku mendongak membalas tatapannya.

Oh... shit. Aku benci tekanan seperti ini. Pandanganku memburam tanpa alasan. Bola matanya yang indah itu... menyelam di kedalaman jiwa yang mati-matian kuselimuti, kusembunyikan darinya.

"Okay...," katanya sabar. "Don't cry... aku nggak akan nanya lagi, tapi... kalau aku menyimpulkan seperti yang kumau... kamu nggak boleh protes. Deal?"

"Deal apa?"

"Nggrid... aku nggak nyium kamu tanpa alasan. Aku nggak nyium kamu karena relasi kuasa, atau entah apa yang ada di kepalamu. Eits... jangan protes... kamu yang tadi nggak mau jawab," sergahnya mewanti-wanti ngeliat aku buka mulut. "I did that because—"

"Terbawa suasana?" terkaku, aku nggak mau mendengar Pramana mengatakan sesuatu yang nggak dia yakini. Dia nggak ngerasain itu. Dia cuma tertipu sama kebohonganku. Jangan bikin aku jatuh di lubang yang sama, Pram.... "Nafsu? Sexually frustrated? Ngebayangin aku pakai putih abu-abu dan bikin kamu terangsang?"

Pram tertawa kecil, "Maybe... but not in a wrong way," katanya, ngasih disclaimer. "Aku jadi lupa aku mau ngomong apa tadi. Pokoknya... aku menyesal—"

"Aku ngerti—"

"Aku nyesel karena kita makeout dan posisinya aku lagi jadi buyer QA ditempatmu kerja dan mungkin kesannya kayak... kamu nggak punya pilihan selain nurutin kemauanku."

Aku menggeleng. "Kamu bikin aku nggak punya pilihan karena kamu nyaranin aku buat nyuap kamu dengan seks."

"Itu juga," katanya. "Aku hampir lupa minta maaf soal itu juga. I was wrong. I was a jerk. But... aku udah batalin. Aku tetap nggak akan nuntut kamu. Aku nggak bilang aku akan berhenti ngebahas soal buku dan tulisanmu, tapi aku nggak akan nuntut kamu."

"Okay," ucapku. "Apology's accepted. Sekarang, tolong tunggu di ruang tamu, aku mau ganti baju."

"One more thing."

"No."

"Just one more."

Aku menyerah,

"Jadi kamu benar-benar ngebiarin aku ngelakuin semua itu ke kamu karena kubilang aku nggak akan nuntut kamu?"

Iya. Bilang iya, Inggrid. BILANG IYA!

"Aku kebelet pipis," aku berkelit.

"Nggrid... please...."

"Aku nggak akan mau menukar harga diriku buat apapun... selain cinta," kataku, pita suaraku bergetar. Mata Pramana membola. Aku memakai kesempatan itu buat diam-diam memutar handle pintu kamarku, tapi Pramana keburu sadar dan menahan pergelangan tanganku.

"Apa maksudnya?" tanyanya.

"Apa yang nggak kamu pahami, sih, Pram? Aku nggak akan mau tidur sama orang buat ditukar sama apapun. Please. Aku udah hampir ngompol, nihhh!"

"Wait... just wait a sec... tapi kamu hampir aja... kamu hampir aja... mau, kan?"

"Tapi nggak terjadi, kan?"

"Maksudmu... kalau aku nggak pernah bawa-bawa soal tuntutan itu... apa yang terjadi semalam... bakal tetap terjadi?"

"Maksudmu... satu-satunya alasanku berhenti di tengah jalan semalam itu... karena aku nggak mau tidur sama kamu demi lepas dari tuntutan pencemaran nama baik?"

Pramana mengangguk.

"Oh... Pram...," kesahku. Kutarik-embuskan napas dan kubelai rahang Pramana dengan kedua tanganku. Sedikit lagi, kubiarkan bibir Pram menempel di bibirku, sebelum renggutan tanganku di rahangnya kuketatkan dan bikin dia meringis kesakitan. "Aku bahkan nggak akan mau kamu paksa balik ke sekolah itu kalau bukan karena ancaman tuntutan pencemaran nama baikmu! Now back off, sebelum aku pipis di celana."

BRAK.

Pintu kubanting tepat di depan mukanya.

Kenapa dia nanya-nanya kayak gitu, sih? Bikin orang jantungan aja. Kenapa dia nggak ngasih aku kesempatan buat benci dia lagi kayak dulu? Ini momennya pas. Meskipun Pramana nggak kayak Gandhi yang tetap maksa meski sudah kutolak, tapi dua-duanya sempat punya niat yang sama. Ngajak aku tidur buat pertukaran. Now he said sorry. Aku lupa aku bahkan butuh permintaan maaf dari Pram karena aku... sejujurnya... aku nggak benci sama apa yang kami lakuin di kelas semalam.

Aku merenggut mukaku. Ngerasa malu. Pramana mungkin menyesal udah ngelakuin itu aku, sedangkan aku nggak ngerasa butuh penyesalannya. Merananya aku. Aku masih cinta sama dia rupanya. Kutahan tangisku dengan membanting diriku ke kasur, tapi gara-gara badanku memantul terlalu tinggi, jam wakerku ikut terpental dari atas nakas.

"Nggrid...? Are you okay?" seru Pramana dari luar.

"Y—ya... aku nggak apa-apa. Aku keluar sebentar lagi...."

Pramana lagi meneliti foto-foto yang kugantung di dinding saat aku keluar kamar. Dia menoleh dua kali. Mungkin harusnya aku pakai celana yang lebih panjang.

"Kenapa nggak ada foto-foto masa sekolahmu di sini?" tanyanya.

"Buat apa? Nggak ada yang membanggakan buat dipasang di sana," kataku. "Kamu mau minum apa? Air putih? Tuh... ada Aqua...."

Pram nyengir, "Kopi, dong... atau teh..."

"Udah nggak zaman tahu... tamu disuguhih kopi, atau teh. Bikin repot aja. Aku cuma punya kopi instan."

"Nggak apa-apa, emang aku ngarep kamu punya biji kopi dan coffee maker kayak punya Starbucks apa gimana?"

Dih. Udah mulai lagi aja dia.

Aku nyelonong ke dapur buat nyeduh dua cangkir kopi. Langkah-langkah kaki Pram nggak terdengar, tahu-tahu dia sudah sampai di ambang pintu dapur. Jarak kami cukup jauh, tapi merasakan kehadirannya di sana udah cukup bikin aku kikuk. Kopi instan sudah kutuang di dalam cangkir. Nggak ada kegiatan lain selain nunggu air mendidih. Tubuhku susah bergerak.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," dia buka suara. "Dari mana aja kamu semalam?"

Kutarik napasku dalam-dalam. Kepalaku menoleh di atas pundak. Bayangannya semakin sulit kutangkap karena pupusnya jarak. Aku merapat ke tepi meja di mana dua cangkirku menunggu air panas dituang ke dalamnya, aroma sabun dan cologne Pramana membelai indra penciumanku.

"Aku baru mau memperlakukanmu dengan baik karena kamu bersikap baik. Kupikir barusan minta maafnya termasuk kamu nggak akan nanya-nanya lagi urusan pribadiku," kataku, mengatasi rasa gugup.

Pramana membayangi gerak-gerikku, tanpa menyentuh, tanpa melekatkan tubuhnya ke tubuhku. "Nggak," katanya. "Itu nggak termasuk. "Kalau kamu bilang kamu tidur di tempat ayahmu, kamu baca pesanku lebih dari satu jam yang lalu. Orang tuamu tinggal sepuluh menit dari sini jalan cepat, sepuluh menit juga pakai mobil karena kamu nggak mahir memarkir. Di mana lima puluh menit sisanya? Dan kenapa kamu masih pakai pakaianmu semalam?"

"Bukan urusanmu, Pram...," tegasku.

"Kamu sengaja bikin aku kesel dengan nyuruh aku nunggu sejam lebih?"

"Iya, ini hari mingguku," aku berkilah. "Sekarang kamu bisa mundur, nggak? Aku mau ngangkat air dan nyeduh kopi."

Nggak segera, tapi akhirnya dia mundur juga. Jantungku berdegup kencang mengetahui Pramana nggak berhenti mengawasi. Butuh konsentrasi tinggi sekadar buat menuang air panas dari teko ke dalam cangkir. Kuaduk lambat satu per satu cangkir itu. Pramana berpindah posisi di sisiku, menggeser salah satu cangkir kopi ke depannya.

Aku masih terus mengaduk cangkirku, "Mau ngapain sih kamu ke sini, Pram?" tanyaku.

"Mau ngajak makan bubur," jawabnya.

"Aku kan nggak bilang aku mau," kataku jengkel sambil menoleh. Figur wajahnya dari samping menyongsongku. Hidung yang mancung, garis rahang yang tajam, alis yang indah, dan saat dia balas menoleh, aku tergemap. Nggak kuasa mempertahankan diri saat tatapannya menyeretku ke dalam gelombang pusaran masa lalu di mana aku jatuh bangun jatuh cinta padanya.

Permukaan kopiku menggambar pusaran serupa yang terbayang di benakku sekarang. Aku mengetukkan sendok di tepi cangkir, mengangkat gerabah bercat putih itu beserta tatakannya, dan perlahan sekali menghirupnya.

"Bawa-bawa tas kerja segala...," komentarku gugup.

Pramana cuma menghirup uap kopinya, nggak jadi minum.

"Kenapa?" cecarku. "Nggak enak kopinya?"

"Enggak... aku udah kebanyakan kopi pagi ini."

"Kayak gitu ditawarin aqua nggak mau. Emang niat mau ngerjain orang aja kamu, tuh!"

"Nanti kan bisa kuminum lagi sambil kerja. Di sini kan ada printer berwarna. Kamu keberatan?"

"Astaga, Pram. Ini, tuh, hari minggu. Satu-satunya hari libur kita."

"Aku tahu kamu bakal ngomong gitu, makanya aku ngajak kamu makan bubur. Aku nggak akan ngajak kamu kerja, kok."

"Terus... kenapa bawa-bawa tas kerja?"

"Kalau aku kerja, kan kamu nggak otomatis harus kerja juga...."

"You're not only violating my rights, but also your body to rest!"

"Makasih perhatiannya, Inggrid, tapi aku nggak biasa nggak produktif even in my day off. Kupikir, nanti kalau kamu tidur siang, atau istirahat, aku bisa duduk di ruang kerjamu, pakai printermu, bayar waktu lembur kita yang batal buat jalan-jalan ke sekolah lama kemarin—"

Kepalaku menggeleng. Takjub. Entah sama dedikasi, atau kegilaannya itu. "Orang yang gila kerja itu biasanya lagi lari dari kenyataan, tapi terserah kamu lah. Pokoknya... I am not leaving the house."

"You're cooking?"

"What?"

"Kalau kamu nggak keluar, seharian kamu makan apa?"

"Pram... seriusan, deh, kok bahkan setelah minta maaf... kamu tetap nyebelin, ya? Annoying dengan cara yang beda, gitu?"

"Beda gimana, sih? I am trying to be nicer."

"Ya beda... beda aja," kataku gemas, nggak tahu gimana jelasinnya.

"Jadi aku mending gimana, dong? Atau aku nggak usah berubah, datang ke sini pakai power-ku sebagai buyer QA yang keinginannya harus kamu turutin? Minta dengan tegas buat ditemenin makan bubur dalam pakaian yang lebih pantas?"

"Oh... oh... wow... sekarang kamu mau ngritik caraku berpakaian? Nggak ada lho yang nyuruh kamu datang minggu-minggu, Pram. Hakku mau pakai pakaian apa aja, salahmu sendiri ada di sini dan terpaksa lihat piama kumalku, bukan salahku."

"I don't mind. Actually...," katanya kalem. "I like your Sunday look. What I am trying to say is... kalau kamu mau makan bubur di warung, celanamu agak terlalu pendek. Tapi kalau kamu mau masak di rumah, celana itu udah pas banget, kok... aku... suka."

Aku memekik, "Suka???"

"Iya...?" jawabnya, kayak nggak ada yang salah. "You look... cute... gemes... seksi?"

Aku jadi makin berasap, persis seperti banteng di depan matador yang mengibaskan bendera merah di depan hidungku.

"Oh my God... aku salah apa lagi?" tanyanya, clueless ngelihat aku menggeram dengan dua tangan terkepal di sisi pinggang.

Pengin buru-buru ninggalin dia sendirian di dapur, aku mengentakkan kaki. Emosi yang meluap bikin aku gerakanku nggak terkontrol. Tulang pinggangku menabrak kursi makan, menyengatku dengan rasa sakit yang secara spontan mengganggu keseimbanganku. Pramana bereaksi cepat saat tubuhku oleng ke sisi berlawanan dan tanganku menggapai ke tepi meja kopi. Kalau dia nggak lebih dulu mencekal tanganku, mungkin air panas di cangkir kopi itu udah membakar kulitku.

Dia mengentak tanganku menjauh dari meja.

Wajah kami bertemu. Waktu seakan membeku.

Mataku membola lebar, menelan bulat-bulat manik mata Pramana yang menatapku, "Hati-hati," katanya.

Ludahku tertelan. Cangkir kopiku jatuh dan berguling di tepi meja. Cairan panasnya mengucur. Pram membimbingku mundur membentur meja dapur dan memblokku dari cipratan air yang membanjiri lantai.

"I take back what I said," katanya.

Aku nggak tahu mau bilang apa. Dadaku nyaris melekat di dadanya.

Sambungnya, "Celana pendeknya ternyata kurang aman buat dipakai masak di rumah. Takut nanti kulit kamu kena yang panas-panas...."

Lidahku mendecap. Aku mengerang, "Pram... kamu terlalu dekat...."

"Hm...? Masa...?"

"Iya... aku sesak, Pram...."

Pram malah makin maju lagi, sementara tempatku buat mundur udah habis. "Nggrid...?"

Aku menaikkan bola mata, dadaku sesak, hidungku mendengkus panas, tapi suaraku lemah, "Apaaa...?"

"Aku lapar...," bisiknya, tepat di sisi telingaku.

Jantungku mencelus. Bisikan Pramana bikin darahku berdesir. Lapar? Perutnya yang lapar... atau...? Atau apanya? Soalnya... astaga... Tuhan... tolong jangan bilang yang keras-keras menusuk perutku ini, tuh... itu...? Aku menekan dada Pramana dan mendorongnya mundur. Kepalaku refleks menunduk, mengecek apa yang barusan menyundul-nyundul perutku.

"Ikat pinggang," katanya.

"Ikat pinggang apaan tuh kok nonjol gitu?"

"Oh...," Pramana membetulkannya. "Kurang ditekan."

Aku menggeliat. "Ya udah mundur..., gerah, Praaam...."

"Terus aku gimana?"

"Gimana apanya?"

"Aku lapar," bisiknya lagi.

"Apaan, sih, Pram...? Kalau lapar, ya lapar aja... kenapa pakai bisik-bisik segala? Kamu bikin aku merinding...!"

Pram menyengir. "Yah... lapar memang selalu punya dua makna, sih, Nggrid. Kamu maunya yang mana? Aku sih... unless you let me eat you now... mending kamu temani aku makan bubur ayam sekarang. Yah?"

Baca POV Pramana di chapter 34 karyakarsa

Chapter 44-45 udah update juga. Buruan baca ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top