Chapter 33. Cantik? Ingin Rasa Hati Berbisik (BACA DULUAN CHAPTER 42-43)
Yuhu...
Part ini lagi-lagi aku minta kalau bisa votes maratus deh, komen HARUS minimal 100. No spam, yah...
Lengkapnya chapter 34 bisa kamu baca di Karyakarsa.
Untuk chapter 42-43 juga udah ada loh di sana. Langsung baca aja kalau cape nunggu dan mau baca yang lebih lengkap.
Selamat membaca!
Chapter 33
Cantik? Ingin Rasa Hati Berbisik
"Hooowww... wow... wow... wooow! Easy... easy, Inggrid...!"
Gandhi meremas pergelangan tanganku sambil meringis kesakitan. Dia tahu aku nggak main-main.
Walaupun aku masih perawan, aku tahu kelemahan laki-laki terletak pada bijinya. Bukan di batangnya. Kalau aku mau menghentikan seorang laki-laki yang kurang ajar padaku dan kebetulan sudah ereksi, meremas batangnya salah-salah malah akan bikin mereka keenakan. Remas sepasang bola bulat di bawah batang kejantanan mereka, atau tendang jika memungkinkan. Setelah tiga kali berkata jangan dan Gandhi tetap nggak mau dengar, aku pura-pura ngikutin permainannya. Begitu ia lengah, aku merenggut di antara selangkangannya dan meremas lato-latonya. Gandhi langsung lemas. Warna mukanya yang sempat merah membara terbakar gairah seketika membiru. Pucat seperti kertas baru.
"Kamu nggak bisa ditolak baik-baik," kataku.
"Sss—sakit, Nggrid... le—lepasin... punyaku bisa pecah...."
"Biar pecah sekalian. Biar kamu nggak bisa memproduksi sperma dan buntingin perawan-perawan kayak aku sembarangan!"
"Jangan ngawur kamu, Nggrid... aku nggak pernah kayak begitu sama perempuaaan... Inggrid! Lepasin!"
"Aku lepasin, tapi kamu harus janji... kamu akan biarin aku turun dari ranjang dan pakai pakaianku. Kalau kamu kurang ajar lagi sama aku... aku nggak akan kasih kamu ampun...."
"Okay... okayyy... astaga... Inggriiid... haduuuhhhh...," Gandhi tumbang.
Tentu saja, aku nggak lepasin bola bekelnya begitu aja. Aku udah nggak percaya lagi sama dia. Aku tetap meremasnya sedikit, tapi nggak sampai pecah. Pokoknya cukup supaya Gandhi meringkuk kesakitan dan aku bisa manfaatin waktu buat membenahi pakaian, lari ke sofa ngambil tasku dan melarikan diri.
Aku udah buru-buru, tapi Gandhi pulih dengan cepat. Dia berhasil mengejarku sampai ke sofa, hampir menangkapku sedetik sebelum aku merampas tas tangan, sekaligus menyahut leher botol anggur yang tinggal setengah.
"Maju kamu... aku pecahin botol ini ke kepalamu," ancamku.
Gandhi mundur selangkah. "Nggrid... kamu nggak perlu kayak gini, kita bisa bicara baik-baik...."
"Bicara baik-baik, bicara baik-baik... kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik, dasar Laki-Laki Tai Babi!"
"Inggrid!" Gandhi menghardik.
"Apa?" tantangku. "Kamu pikir aku nggak bisa misuhin kamu? Mentang-mentang aku diem aja, kamu mau berbuat semau-maunya. Kamu nggak mau nolongin aku? Aku nggak peduli. Mau ngehancurin karirku, hancurin aja. Kayak aku butuh aja kerjaan kayak gitu. Jadi pegawai indomaret juga aku masih bisa kalau nggak bisa jadi buyer QA. Orang tuaku masih bisa bayarin cicilan mobilku! Kamu pikir aku mau nyerahin perawanku demi kerjaan? Udah kubilang... ini nggak sepadan, kamu masih nekat!"
"Nggrid...."
"Nggak usah Nggrid, Nggrid, Nggrid, Nggrid!" aku memekik jengkel. "Emang bajingan kamu ya, Ndhi! Emang kamu nggak bisa apa deketin perempuan baik-baik? Ha? Ngeweee aja yang ada di kepala kamu! Kalau kamu deketin aku secara manusiawi, aku juga nggak akan kayak begini sama kamu! Tiaaap kali ngobrol di telepon bahasanmu seputar seks melulu. Kamu nggak bisa ngomongin hal lain? Aku tuh udah hampir suka sama kamu, Ndhi... kamunya malah kayak gini. Mundur nggak kamu?!"
"Inggrid... aku ngerti... aku minta maaf, Sayang... aku nggak akan ngelakuin itu lagi. Aku janji. Aku akan nolongin kamu... please... jangan kayak gini... kasih aku kesempatan... sekaliii lagi—'
"Nggak! Mundur kataku, atau aku samber muka kamu pakai botol ini, aku nggak main-main, Gandhi!"
"Okay... okay... aku mundur," katanya. "Udah?"
"Aku mau pulang," kataku.
"Udah malem, Nggrid...."
"Tuuuh kaaan? Kamu masih aja mau usaha!" jeritku frustrasi.
"Enggak gitu, Inggrid... emang udah malam. Bahaya kamu pulang sendirian. You stay here, okay? Aku tidur di sofa."
"Enggak! Aku mau pulang. Kamu jangan berani-berani ngejar aku."
"Nggrid—"
Tululululuuut...!
"Apa itu?" tanyaku kaget.
"Suara telepon," jawab Gandhi. "Mungkin dari pihak hotel."
Tululululuuut...!
"Nah, kan... mereka pasti mau memperingatkan kamu karena kamu mau merkosa aku. Pasti ada CCTV di dalam kamar ini. Kalau kamu nggak ngizinin aku pulang, aku laporin kamu ke Lanoste pakai bukti rekaman CCTV itu."
"Mana ada kayak begitu," sergah Gandhi sambil geleng-geleng kepala. "Nggak ada CCTV di dalam kamar. Kamu jangan gila, dong. Aku udah minta maaf---"
Tululululuuut...!
"Kita selesaiin semuanya baik-baik. Maaf aku udah bikin kamu marah. Mulai sekarang, kita benar-benar cuma akan bicara. Diskusiin apa yang mau kulakuin demi kamu... asal...."
Tululululuuut...!
"Asal apa?"
"Asal kamu nggak macem-macem. Nggak cerita soal ini ke siapapun. Okay, Inggrid?"
"Angkat teleponnya."
"Kamu diam di situ tapi... jangan lari, ya?"
Mana ada jangan lari-jangan lari. Begitu Gandhi melipir ke nakas buat menjawab telepon, aku langsung ngibrit ke pintu dan ambil langkah seribu ke arah lift tanpa nengok-nengok ke belakang lagi. Nasib baik, lift-nya langsung nyahut panggilanku dan Gandhi yang mengejarku nggak sempat melompat masuk. Aku sampai di basement dengan cepat, nyari mobilku dan langsung masuk. Mesin menyala, tapi mobil nggak mau bergerak.
Ponselku tahu-tahu berdering.
"Pram!" jeritku, menjawab panggilan telepon Pram sebelum dering kedua. Aku histeris. "Mobilku kenapa? Mobilku kenapaaa? Kamu apain mobilkuuu???"
Pram terdengar kebingungan, kayaknya dia udah ngantuk. "Hey... aku nelepon mau ngucapin selamat tidur. Kamu yang kenapa?"
Napasku tersengal. Menoleh ke belakang, Gandhi belum tampak batang idungnya.
Pram menyerocos, "Kamu di mana? Ngapain kamu nanya-nanya mobil jam segini? Mau keluar nyari makan? Tuh, kan... kamu belum makan. Tadi dipesenin pizza nggak mau. Pesan pakai aplikasi aja. Udah malem. Kan udah kubilang... nggak usah panik. Besok aku bantu benerin. Banmu kempes yang belakang. Jangan dibawa ke mana-mana dulu. Nggrid...? Inggrid...?"
Aku masih terengah, tapi perasaanku udah jauh lebih tenang setelah dengar suara Pramana. "A—aku nggak apa-apa."
"Di mana kamu sekarang?" tanyanya curiga. Suara kantuknya udah lenyap. "Tell me you're at home."
Aku berdeham. "I am at home...," dustaku.
"Of course you're at home. Kamu nggak bisa ke mana-mana dengan ban kayak gitu. Mungkin ketusuk kerikil tajem waktu mobilnya kukeluarin dari pelataran sekolah tadi. Terus kamu kenapa panik? Kamu mau ke mana malam-malam gini nanyain mobil? Ada yang sakit?"
"Eng—nggak ada, Pram...."
"Innalillahi... siapa yang meninggal?"
"Enggak adaaa...," jawabku, makin lemes antara mau ketawa sama masih deg-degan. Duh... kenapa dengerin suara dia aja hatiku malah tentram gini, sih?
"Terus kenapa, dong? Kamu kenapaaa?!" seru Pram, gantian panik. "Aku ke sana aja sekarang."
"Jangan!" pekikku tertahan. "Jangan... a—aku nggak apa-apa. Tadi Benny mau pinjem mobilku buat keluar. A—aku telepon dia dulu aja, ngasih tahu mobilnya nggak bisa dipake. Aku nggak apa-apa, kok... aku nggak apa-apa."
"Kamu yakin?" selidik Pram. "Kamu nggak kejebak di suatu tempat terus nggak bisa pulang karena banmu makin kempes, kan? Kalau emang kayak gitu... jangan telepon adikmu. Nanti orang rumahmu khawatir. Biar aku aja yang ke sana—"
"Jangan, Pram. Nggak usah!"
Tok... tok... tok!
Aku melonjak.
Gandhi ternyata udah sampai di samping mobilku bersama seseorang dari pihak hotel. Dia mengetuk jendela dan membujuk, "Inggrid... come on... buka pintunya. Ban mobilmu kempes. Tadi teleponnya ngasih tahu itu. Ini aku datang sama orang hotel... mereka mau bantuin kamu...."
"Inggrid?" panggil Pramana. "Siapa itu? Kok aku denger suara?"
"I—itu Benny."
"Benny? Bukannya baru mau kamu telepon? Inggrid? Are you sure? Inggrid?!"
"Aku tutup dulu teleponnya, Pram. Aku nggak apa-apa,kok. Itu cuma Benny. Kamu nggak usah ke rumahku besok pagi, mobilku udah diurus. Okay? Bye, Pram. Good night!"
"Inggrid!"
Sambungan telepon terputus.
Jendela mobil kuturunkan setengah, tapi aku tetap nggak mau menatap muka Gandhi.
"Nggrid...,"panggilnya, memelas. "Ayok... turun... kita bicara, sementara mobilmu dibenerin. Ada ban serep di belakang, kan?"
Aku mengangguk.
"Come on, Inggrid...," bujuk Gandhi lembut. "I swear... it won't happen again. Please, Nggrid... you can't do this to me. Kamu masih butuh aku dan aku nggak mau hubungan kita jadi kayak begini. Aku minta maaf. Aku salah... please...."
"Ban mobilnya kempes parah ini, Ibu," beritahu staf hotel. "Kalau diizinkan, kami bisa bantu ganti ban-nya, sementara ibu dan bapak istirahat di dalam. Semoga aja nggak lama."
"Aku mau langsung pulang habis ban-nya diganti," kataku. Gandhi mengangguk setuju. Aku juga nggak punya pilihan lain dan nggak enak sama mas-mas yang berbaik hati ngasih tahu tentang ban mobilku dengan menelepon ke kamar Gandhi. Mereka notice soal ban mobilku dari awal aku masuk dan tahu aku tamu kamar Gandhi dari CCTV.
Tunggu punya tunggu, ban-ku baru selesai diberesin pukul satu dini hari. Pram berusaha menghubungiku lagi berkali-kali, tapi aku nggak menggubrisnya. Aku khawatir pembicaraanku dan Pram mengarah ke Gandhi dan semuanya malah jadi makin berantakan. Gandhi belum tahu aku sudah ngebocorin soal temuan itu ke Pram.
Aku terkuap-kuap selama menunggu. Memang capek banget badan dan mataku. Entah aku bisa beneran nyampe rumah atau enggak kalau nekat nyetir sendiri jam segini. Gandhi pun bersikeras supaya aku menginap ngelihat kondisiku, atau aku harus mau disetirin pulang sama dia.
Selama kami nunggu, dia udah membuktikan niat baiknya. Dia nggak menyentuhku dan berkali-kali minta maaf. Daripada dia nganter aku ke rumah dan gantian maksa nginap di rumahku, aku mutusin buat percaya lagi sama Gandhi. "QA Baronnes itu... siapa namanya?"
"Pramana," jawabku.
"Gimana dia di kantormu? Is he nicer? Atau masih segalak waktu kamu ceritain beberapa hari lalu."
"Yah... dia... udah agak mendingan."
Kami udah make out di sekolah lamaku, sambungku di dalam hati. Baru beberapa jam lalu sebelum kamu berusaha nidurin aku.
Oh my God... it sounds so wrong.
Gandhi mengangguk-angguk. "That's good. Kalau kamu yang ngadepin, singa sebuas apapun... pasti cepat tunduk."
Lidahku mendecap, tapi kemudian aku teringat akan sesuatu. "Oh iya... kamu dulu pernah bilang katanya ingat sesuatu tentang dia, kan? Katamu... dia mau nikah, tapi batal. Kamu belum jadi cerita apa sebabnya."
Soalnya waktu itu dia malah ribut nyuruh aku ngirimin foto pakai baju tidur tanpa BEHA, jadi aku pura-pura ketiduran.
"Oh ya... honestly... aku nggak terlalu ngerti juga—"
"Kamu nggak nanya-nanya ke rekan-rekan QA-mu? Gosip kayak gitu biasanya cepat nyebar, kan?"
"Nggak juga, sih... Baronnes tergolong baru memasuki pasar Asia Tenggara, apalagi Indonesia. Nggak banyak yang kenal dia. Aku cuma dengar selentingan kabar aja. Aku sendiri cuma kenal muka sama dia, cuma kejadiannya waktu itu memang pas pelatihan akbar QA Se-Indonesia di Bogor...."
"Kejadian apa?"
"Hey... why are you so attracted to him?" potong Gandhi sambil menatapku curiga. "Jangan bilang kamu naksir sama dia?"
"Dia temen lamaku di sekolah dulu," aku berkilah. "Aku cuma penasaran aja, kok. Lebih banyak tahu tentang buyer QA, lebih baik, kan? Jadi aku nggak salah treatment, atau apa, gitu?"
"Wait... teman lamamu di sekolah? Apa dia ada di bukumu?"
"Ha?"
"Buku yang kamu tulis itu, Nggrid... itu tentang mantan-mantan pacarmu, kan?"
"Dia bukan mantan pacarku. Kok kamu bisa ngelompat ke sana, sih? Nggak ada hubungannya!"
"Oh... yah... kirain kenapa kamu penasaran banget sama dia."
"Yaaa... kan... sama aja kayak kamu dulu waktu kerja sama kami, banyak juga yang lantas ngasih tahu aku latar belakangmu, kan? Aku cuman pengin tahu buat... membaca karakter...? Dia galak banget dan susah diajak kompromi. Kupikir... kalau kami tahu sedikit tentang dia... nggak ada ruginya, kan?"
"Katanya tadi udah mendingan galaknya?"
"Ya... kadang-kadang suka kumat rabiesnya."
"Kalau kamu temannya di sekolah dulu, kenapa kamu nggak nanya langsung ke dia?"
"Itu kan topik yang sensitif...."
Gandhi mengangguk dan kelihatannya setuju dengan dalihku. Belakangan, dia berhenti mengorek dan mulai mengingat-ingat, "Gimana ya dulu ceritanya? Kalau nggak salah... ceweknya datang ke pelatihan itu, terus mereka sempat berantem di bar dan kebetulan aku lagi ada di situ."
"Ceweknya pengacara, kan?" serobotku.
"Masa?" Gandhi malah bingung.
"Iya... ceweknya pengacara, kok."
"Nggak tahu aku. Nggak jelas. Yang jelas cantik... cantik banget."
Alisku mengerut. Cantik banget? Masa, sih? Aku mengingat-ingat. Memang mukanya waktu itu kurang kuperhatiin, sih, tapi kalau menurut penilaianku... nggak yang cantik banget sampai cowok kayak Gandhi aja ngulang kata cantik sampai dua kali, padahal mereka nggak lagi di atas ranjang. Kalau dia muji cantiknya pas cewek itu mau dia tidurin, aku nggak akan heran. Tapi kalau posisinya dibilang cantik pas ngobrol sama cewek lain gini, artinya dia cantik banget.
Pagi harinya, aku bangun duluan. Gandhi masih mendengkur di sofa waktu aku berjingkat-jingkat ninggalin kamar hotelnya. Di dalam mobil, baru aku teringat sama pesan-pesan Pramana yang nggak jadi kubuka semalam.
2 missed calls.
Angkat teleponnya.
3 missed calls.
Inggrid.
1 missed call.
Kamu udah bobo?
Tadi kamu jadinya makan malam, enggak?
Aku baru ingat setelah slice ke-lima, di tengah rewatch True Detective, aku makan banyak banget di Toko Oen bareng kamu itu baru siangnya. I ate pizza like I didn't eat anything seharian. Aneh, ya? Dua hari kemarin... rasanya kayak panjang banget, padahal cuman bentar.
2 missed calls.
Kamu bener-bener tidur setelah bikin aku jadi nggak ngantuk mikirin kamu, ya? Kamu kenapa, sih, tadi???
Aku tersenyum membaca pesannya.
Tepat saat chat-nya tercentang biru usai kubaca, kulihat dia mengetik di bawah nama akun WA-nya.
Shit. Dia udah bangun.
Kamu tahu di mana makan bubur ayam yang enak?
Aku di depan rumahmu, Inggrid.
Keluar.
Chapter 42-43 udah tersedia di karyakarsa. Lebih cepat dan puasss!
Btw follow instagramku dong...
Oh iya... jangan lupa di chapter 34 nanti ada POV Pramana yang cuman aku post di karyakarsa, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top