Chapter 31. Did You Date Me? Fvck Me? Marry Me? (BACA DULUAN SPECIAL PART 39-40)

Halooo

Vote dan komen duluuu
Lanjutin chapter ini di karyakarsa, ya

Selain itu di karyakarsa udah ada Special Chapter baru. Chapter 39-40. Bacanya pas udah buka ya kalau kamu puasa. Wkwk soalnya ya gituuu fanassss 😅😅😅
Kayak biasa adegan mature nggak akan aku post di wattpad.

Dan karena chapter 39-40 puanjang, mungkin harganya akan berubah lebih mahal setelah lebaran. Makanya buruan dukung yaaa

Chapter 31

Did You Date Me?

Did You Fuck Me?

Did You Marry Me?

Napas Gandhi beraroma mint. Mungkin dari mouthwash atau pasta giginya. Wangi sabun menguar dari badannya yang rapat mendesakku ke dinding. Dia terus melumat dan melumat. Melumat dan melumat lagi. Matanya memejam, menikmati dirinya sendiri. Bibir bawahnya yang penuh dan agak tebal terus mengulum bibirku seperti permen karet. Bibirku sampai bergetar. Sejak tadi dia belum mengundang lidahku, atau mengambil inisiatif memasukkan lidahku ke mulutnya.

"Makanan dan air terakhir yang masuk ke mulutku kira-kira jam dua siang tadi," aku memberitahu. "Siapa tahu kamu bertanya-tanya kenapa mulutku bau lambung."

Gandhi menatap wajahku sambil memijat-mijat bibir bawahku dengan ibu jarinya, "Aku cuma nggak mau melangkah terlalu cepat, Nggrid. Nggak ada masalah sama bau mulutmu. Kenapa kamu selalu mikir yang jelek-jelek tentang aku?"

"Maksudmu tentang orang yang tiap nelepon nanya aku pakai baju apa, pakai pakaian dalam atau enggak, terus nanya... oh iya, Nggrid... kamu beneran belum pernah VCS? Wow that's crazy. Dan itu berkali-kali supaya kamu bisa ngebujuk aku buat VCS sama kamu?"

"Aku cuman ngajakin kamu VCS sekali, Nggrid," Gandhi tertawa. "Habis kamu bikin aku panas dingin, terus kamu tinggal pulang gitu aja."

"Yang terang-terangan memang cuman sekali, yang tersirat ratusan kali!" aku menghardik. "PAP tete?"

"Aku lagi mabuk waktu itu," dia terus berkelit. "Come on... isn't it normal? What we had was special, Inggrid. Kalau in real life kita nggak intim, mana mungkin aku berani kayak gitu?"

"Masalahnya kamu minta VCS sama PAP tete setelah kita nggak pernah ketemu. Pas kita sering ketemu, you sounded like a respectful gentleman."

"Ya ngapain aku minta VCS sama PAP kalau kita sering ketemu? Aku bisa buka baju kamu kapan aja aku mau—"

"Sialan!"

"Aduh...," Gandhi meringis. Mundur selangkah setelah kupukul dadanya, lalu maju lagi. Sambil mengulas senyum tampan di bibirnya, dia membelai pipiku dan mengusap-usapnya dengan ibu jari. Kemudian, dia memindai wajahku dari kening ke kening, mata ke mata, hidung, bibir, lalu kembali ke manik mataku. Setelah matanya mengedip lambat, aku justu memutar bola mata tepat di depannya. Gandhi sontak ketawa lagi. "Apa?" tanyanya geli ngelihat ekspresiku. "Aku beneran kangen banget sama kamu, Nggrid. That's not an act...."

"No one blink that slow in real life, Gandhi. Nggak semua cewek bisa kamu sihir sama kedipan-kedipan lambat ala pemeran utama di film romance—"

"Kamu dulu bisa," katanya, menggoda.

"And did you get what you want?" tanyaku. "Did you fuck me, did you date me, did you marry me?"

"No," jawab Gandhi. "Sebaliknya, it gain me nothing, and only cost me everything."

Alisku mengerut.

"Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu," katanya, sambil mengusap rambutku dan menyelipkannya di balik telinga. "Kamu tahu apa yang kupikirkan waktu kudengar mereka nemuin jarum di lipatan jahitan?"

"Oh shit I am gonna get fired?" tebakku.

"Itu juga," kata Gandhi. "Aku senang karena aku tahu... cepat atau lambat... aku bisa ngehubungin kamu lagi, bisa ketemu kamu lagi, kamu bakal jawab teleponku secepat dulu lagi. Sebelum kamu tahu aku udah punya istri."

"Uggghhh... Gandhi, you're a psycho!" potongku kesal sambil berkelit lepas darinya. Gandhi membiarkanku lepas dan mengikuti langkah-langkahku menjelajahi kamar hotelnya. "Kamu bikin kesalahan fatal dan mereka ngasih kamu hotel sebagus ini? Aku kerja siang malam bagai kuda nggak pernah sekalipun diinepin di hotel kayak begini."

"Makanya... baik-baik kamu ngatasin case yang ini biar bisa jadi Buyer QA," kata Gandhi sambil menghampiri mini bar-nya, "Mau anggur (wine)?"

"Nggak usah, trims. Diet coke aja."

"Oh come on, Inggrid... temani aku minum, ya?"

"Aku nggak minum miras, Ndhi, aku muslim. Kamu lupa?"

"Kamu minum waktu kita ke klab?"

"Aku lagi datang bulan—"

Gandhi lagi-lagi tertawa. "Ini lho yang kusuka dari kamu. Kamu tuh suka ngaco anaknya, tapi dari cara kamu bicara... I can't tell that you're joking, or not. Let's be honest. Kalau kamu datang bulan waktu itu... aku pasti sudah bersimbah darah," katanya. Aku langsung mau muntah. "Lagian... memangnya kalau lagi datang bulan, kamu jadi boleh minum miras?"

"Nggak juga."

Kerutan di antara alis Gandhi semakin dalam. "So... what are you trying to say, Inggrid?"

"That I don't drink tonight...?" jawabku.

"Oh Inggrid...," keluh Gandhi kecewa. Leher botol anggur yang sudah digenggamnya diletakkan kembali di meja mini bar. "Jangan bilang kamu takut sama aku?"

"Aku nggak takut sama kamu, aku takut sama pengaruh dari anggur itu. Kalau terjadi apa-apa, kamu bisa bilang... soalnya aku mabuk...."

"Kamu juga bisa bilang begitu."

"Memang, tapi yang kehilangan keperawanan, atau malah bunting kan bukan kamu. Aku. Masa seumur hidup aku harus bilang ke orang-orang... soalnya malam itu mabuk? Kan capek."

Aku nggak tahu di mana lucunya omonganku. I am dead serious, tapi Gandhi tertawa terbahak-bahak. Soalnya dia belum pernah jadi perempuan, sih.

"Anyway... who's paying for the wine?" tanyaku. "Seingatku... hotelmu dulu nggak ada mini bar-nya."

"Ini—"

Aku memotong dengan nada curiga, "Jangan-jangan kalian udah punya niatan mau charge denda selangit ya ke pabrikku? Makanya kamu dikasih anggur buat ngerayain itu? Terus... kamu ngajak aku minum? Kamu ngajak aku party di atas penderitaan ribuan buruh yang terancam dipecat dari Cinderatex Alami Busana?"

"Ini aku upgrade sendiri," kata Gandhi. "Kelas yang sesuai budget-ku baru ada besok, atau lusa. Makanya aku upgrade daripada mesti cari hotel lain."

"Oh..."

"Oh, oh!" celetuk Gandhi jengkel. "Anggurnya juga nggak harus diminum kalau nggak mau bayar. Kamu pikir gratisan?"

Aku cengengesan.

"Aku cuman mau ngerayain pertemuan kembali sama kamu, Nggrid. Aku kangen sama kamu. Apa salahnya kita minum dikit, biar relaks? Pembicaraan kita bakal agak serius, kan? I think it's a good idea to pop a wine...?"

Kepalaku mengangguk, "Ya... maaf... aku udah nuduh yang bukan-bukan."

"It's fine. Jadi... kamu mau minum anggur sama aku?"

"Enggak. Diet coke aja."

Gandhi mengesah panjang, tapi akhirnya menyerah. Sebuah kaleng diet coke diserahkannya padaku, sedangkan dia sendiri mengambil gelas anggur yang sudah didinginkan, lalu menuang untuk dirinya sendiri. Kami duduk berbagi sofa di dekat balkon sambil diskusi mau makan apa. Aku teringat seloyang pizza gara-gara Pram bilang dia mau makan pizza dan Gandhi langsung setuju sama usulanku. Singkat cerita, Gandhi memesan dari gerai terdekat, pizza-nya datang, dan kami makan malam. Malam makin larut, tapi belum terjadi pembicaraan apa-apa tentang pekerjaan, padahal kami udah kekenyangan dan Gandhi telanjur minum lumayan banyak.

"Habis?" tanya Gandhi. Dia melihatku menenggak kaleng untuk menghabiskan beberapa tetes terakhir di dalamnya. "Biar kuambilin lagi."

"It's okay, aku aja."

"No... no... no, aku aja," sergah Gandhi sambil menahan pahaku supaya aku tetap duduk dan dia yang berdiri. Aku nggak tahu dia udah semabuk apa, yang jelas sebelum dia melangkah, dia terhuyung dan badannya jatuh menimpaku.

"Gandhi!" seruku, tertindih.

"Ups... sorry," Gandhi mengekeh, aroma alkohol dari anggur yang diminumnya menguar. "Aku punya darah rendah. Jangan marah, Inggrid...."

"Ya udah... minggir, dong," pintaku, mencoba membalik tubuhnya supaya mengguling dari atasku, tapi Gandhi bergeming. Aku nggak berkutik. Gandhi malah menyamankan dirinya yang menimpa badanku. Kalau sebelumnya kubilang dia nggak pernah membuatku sesak saat badannya menindihku, kali ini aku agak sulit bernapas. Gandhi nggak sedang merangkak rendah di atasku supaya kami bisa bercumbu, he's literally lying above me. Aku baru sadar, he is not in his flirty mode. Dia sedang... terpuruk?

Kurasa, sebelum efek kasus jarum di dalam seam menimpaku, itu udah menimpa Gandhi duluan.

"Hey...," bisikku. "Are you okay?"

"U hum," jawabnya, di lekuk leherku. "Just need some time like this."

Okay... mungkin aku nggak sepenuhnya benar tentang Gandhi. Mungkin dia sama aja kayak orang pada umumnya yang bisa jatuh, bisa kecewa, dan butuh sandaran. Aku mulai mengusap rambutnya. Sampai kemudian, aku merasakan gerakan dan laki-laki itu udah merayap di atas tubuhku, mempertemukan bibirnya dengan bibirku.

Apa aku tadi bilang Gandhi is not in his flirty mode?

Well, I take it back.

"Oh... Gandhi... mmmppphhh...," aku mulai kewalahan menerima serangan bertubi-tubi dari mulut, bibir, dan lidah Gandhi yang memagut, melumat, menyedot, mencokot, mengunyah bibir dan lidahku sekaligus seperti kaki-kaki gurita. Belum lagi tangannya yang begitu cepat beralih dari satu bagian tubuhku ke bagian yang lain. Berada di satu tempat, dan sebelum kuhentikan, sudah menjelajah ke tempat-tempat yang lain.

Kadang aku bertanya-tanya, kenapa serangan panik nggak pernah datang pada saat-saat seperti ini? Apa karena Gandhi nggak mengingatkanku pada apa yang dilakukan Pandu saat itu? Apa karena mulut Gandhi selalu wangi?

Kemudian aku sadar, I am much bigger girl now, I can stand up for myself, and I know this is going to happen. Daripada sibuk mencegah Gandhi dan tangan seribu bayangannya, aku mencengkeram pundaknya, menanamkan kuku-kukuku di sana dan mencakarnya. Susah payah, aku berhasil melepaskan diri dari pagutan bibir Gandhi yang lapar. Mulutnya menggeram di depan mukaku, meski mulutnya enggan berpisah dari bibirku.

"Aku ke sini untuk bicara, Gandhi," erangku.

"This intro will make us relax," katanya enteng, maju mengulum bibirku lagi. "Trust me...."

"Relax?" pekikku tertahan. "You ate my mouth, Gandhi."

"Oh really?" celetuk Gandhi pura-pura kaget. Bibirnya lalu membuka menerkam bibir bawahku. "Masih ada, kok, di sini. Sebentar lagi, Inggrid. Please...."

Tubuhku menjengit. Aku sudah kehilangan jejak tangannya sejak mengubah strategi dengan menancapkan kuku di lehernya. Ternyata, tangan-tangan itu terselip di antara sofa dan bokongku, mencengkeram erat. Jari-jari tangannya terbuka hanya untuk ditekuknya kembali dan ditangkupkan tepat di kedua belah daging pantatku.

"Gandhiii...," geramku. Kutabrakkan dahiku ke keningnya, kupaksakan sorot mataku ke manik matanya. "Stooop...."

Gandhi membebaskan bokongku dan memindah tangannya ke pinggang, tergelak kecil tanda dia memahami keberatanku.

"Move," perintahku.

"I can't," katanya, menggeleng. Bibirnya tergigit hingga bisa kubayangkan betapa sakit dia menahan gairah. Kudiamkan tangannya yang menjalar dari pinggang ke perutku, meremas dadaku dan akhirnya merenggut rahang dan leherku. Semudah itu, tanganku yang tadi memerangkap lehernya terlepas. Gandhi merenggut dan bernapas di celah bibirku. "I want you...."

"Gandhi... kamu mabuk," aku mengingatkannya. "Jangan bikin aku benci sama kamu."

"I am not drunk. Aku sadar dan aku bisa berhenti kapan aja," katanya.

"Kalau begitu stop, please," bujukku. "Let's talk first.".

"Let's talk later," dia menawar, melekatkan bibirnya pada bibirku, menggesekkan kemaluannya ke selangkanganku dan meliuk maju mundur, atau naik turun, entahlah. Pokoknya aku bisa merasakan gesekan benda keras di antara pahaku dan malam itu aku masih mengenakan rok. "You're so warm, Inggrid. Do you know how long since I last do this?"

"Selama apapun, aku cuma mau kamu tahu, aku nggak akan terkesan. Hentikan, Gandhi, your jeans... hurt... my... pussy," geramku malu. Habis, memang itu yang kurasain. Aku cuman pakai celana dalam, sedangkan kejantanannya yang keras dibungkus bahan denim tebal.

"Sorry," Gandhi meringis, mengangkat pinggulnya dari pinggangku.

"Bukannya kamu udah puas main-main sama gadis-gadis Turki yang katamu bisa dipake bokongnya? Nggak usah sok udah lama nggak beginian, Ndhi. Percuma. Aku ke sini cuman untuk bicara."

"I am just playing with you, Nggrid, you know... making you jealous and everything," akunya malu-malu. "Aku nggak tahu kenapa... aku nggak bisa deket-deket sama cewek lain setelah ketemu kamu," bisiknya, serak dan dalam, terdengar mengerikan. "Aku nggak pernah ngerasin hal seperti ini sebelumnya."

Ada di poin berapa di bukuku, ya, kata-kata seperti itu?

Yang jelas ada. Itu udah kayak default mode di otak semua pria.

Jakun Gandhi mulai bergerak lagi, dia menelan ludah. Kayaknya, dia terbakar hasrat dari ucapannya sendiri. Mungkin menurutnya itu panas dan menggairahkan, sementara aku sendiri berusaha keras buat nggak menguap. Meski buat cewek yang jarang dirayu, kata-kata seperti 'I've never felt this before' malah jadi kayak turn off nggak, sih? Terutama kalau kita nggak ngerasain hal yang sama dengan orang yang mengatakannya.

Sekali lagi begitu aku sedikit lengah, Gandhi memiringkan kepalanya.

Here we go again, pikirku.


Baca chapter spesial 39-40 di karyakarsa.
Warning: Mengandung konten dewasa syalala

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top