Chapter 27. Hatiku Cenat-Cenut (BACA DULUAN CHAPTER 32-33)

Vote dan komennya dulu, dooong...!

Yang aku kasih (...) titik-titik di part ini cuma bisa kamu baca di Karyakarsa, ya. Ada 1700 kata lebihnya dari versi ini.
Soalnya... ya tahu sendiri, lah. Tapi di sini, kamu masih bisa ketawa bareng Inggrid dan Pram, kok.

Part 32-33 udah ada juga di Karyakarsa. Yuk, baca! Aku udah mau update chapter 34 dan di situ ada POV Pramana


Chapter 27

Hatiku Cenat-Cenut

Wait the minute, what?

Tidur bersama? Maksudnya... seks?

Did he just ask me to have sex with him?

"Don't think," bisik Pramana, merayu, mengecupi leherku. "Okay... you can think... but do it fast. Yes or no?"

"Pram... kamu barusan ngajak aku berhubungan seks supaya kamu nggak jadi nuntut aku?" seruku kesal. "Apa bedanya kamu sama Gandhi?"

"Aku laki-laki bebas," kata Pramana. Dia mengulurkan tangannya yang semula melingkar di pinggangku ke depan, menunjukkan jari-jarinya yang kosong nggak berhias. "Do I sound like an asshole?"

"Yes!" pekikku tanpa ragu.

"But I want you," katanya, memelas.

"Maksudmu... tubuhku?"

"No... you...," sangkalnya. "All of you, Inggrid. Aku nggak peduli sama apa yang terjadi di The Vow. Aku percaya bahwa perasaan lebih dalam dari ingatan. Waktu kamu bilang kita pernah pacaran, meski aku tetap nggak ingat apa-apa soal itu, aku langsung tahu kenapa mukamu nggak bisa kulupain. Aku bukan Gandhi. Aku nggak akan ngomong gitu kalau orang yang mencemarkan nama baikku bukan kamu!"

"Tapi... Pram...."

"Hssst...," bisiknya.

Oh Siaaal...!

Pramana mengendusi aroma tubuhku dan mengecupi tengkukku. Kedua tangannya menangkup erat pinggangku, meremas, dan merambat naik hingga menyetuh garis penutup dada di balik blusku.  Dia berhenti di sana. "Say no again if you hate this... I will stop."

"Kamu nggak akan nuntut?" tanyaku, melunak.

"Nggak akan... meskipun kamu bilang 'no'," ikrarnya.

Tentu saja dia bilang begitu.

Semua laki-laki akan menjanjikan apa saja untuk seteguk kenikmatan di hadapan mereka. Yang membedakan mereka brengsek atau enggak, baru bisa kubuktikan nanti, saat dia harus mewujudkan janji manisnya.

"This is not right, Pram," desahku, lemah.

...
...
...
"Stop," cegahku. "Pram... stop... kita bisa viral di Youtube."

"Nggak ada kamera di sini, cuma ada di lorong," bisiknya. 

"Let's go home," pintaku.

"Okay," angguknya, terlalu mudah.

Aku jadi curiga, "Okay?"

"Kita mau melakukannya di rumahmu?"

"Ihhh... enggak, supaya kita nggak melakukan hal nggak senonoh di sini. Ini ruang kelas, Pram! Generasi muda bangsa kita menimba ilmu di sini. Kamu nggak malu ngelakuin hal seperti ini di sini?"

Pram terdiam, pelukannya melonggar. Syukurlah, dia masih punya moral. Aku mencoba mengurai lengannya yang masih ada di perutku dengan hati-hati. Tapi, Pram bereaksi lagi,  "Kalau gitu kita ke rumahmu, kan?"

"Iya...."

"Apa kita bakal lanjutin lagi apa yang tertunda di sini di rumahmu?" tanya Pramana. "Atau kita cuma akan bicara?"

"Aku nggak tahu," jawabku.

"Kalau cuma bicara, di sini aja. Lagipula... aku nggak bisa berdiri sekarang...."

"Kenapa?"

"Kamu tahu kenapa."

"Astaga... Pramana!" seruku, baru kusadari apa yang begitu keras menggesek tulang ekorku. "Kamu benar-benar cabul!"

"Hssst... jangan berisik, Nggrid...," desis Pramana sambil bersikeras mencegahku beranjak dari kursi yang sama dengannya. "Jangan berdiri. Aku malu."

"Malu-malu... dari tadi kayak gini kamu nggak malu?! Itumu berdiri kamu malu!" bentakku. "Malu sama siapa, sih?! Anaknya Pak Prasnowo? Kalau kita jalan ke depan juga... pasti udah lemas lagi punyamu, Pram!"

"Enak aja," gerutunya nggak terima. "Aku masih muda, sedang di puncak produktivitas. Ini nggak akan hilang ke mana-mana sebelum aku melakukan sesuatu. Makanya... diam-diamlah dulu bentar, Nggrid. Let me calm it down...."

"Kalau aku masih duduk di sini... apa nggak makin susah kamu calm it down-nya, Pram?"

...
...

"You hit my balls," erangnya.

Aku terdiam.

Kepalaku menunduk, entah bagaimana juga, kedua telapak tangan Pramana sudah menelangkup kedua belah dadaku.

"You squeeze my boobs," aku juga mengerang.

Kami sama-sama diam.

"It's okay...," bujuk Pramana. "Jangan panik."

"Kamu bisa lepasin sekarang sebelum aku panik, Pram...,.'

"Aku nggak mau lepasin," katanya. "It's glued with it."

"Praaaam...."

Pram mengekeh, "Can you come closer to me, Inggrid?"

Come closer? How closer, pikirku.

Aku udah duduk sebangku dengannya, kedua pahanya mengurung ketat pinggulku, sekarang malah buah dadaku juga udah tertangkup. Seluruh tubuhku sudah sepenuhnya dekat dengannya, dan itu masih belum cukup?

...
...

"Kenapa?" tanyaku.

Pramana mengernyit, "Kenapa apanya?"

"Kamu bisa nyium putingku—"

"Inggrid," Pramana menyahut, memperingatkan.

"Kenapa kamu masih minta bibirku?"

"Bahasamu, Nggrid... tolong... jangan ngerusak suasana, dong...."

"Bukannya laki-laki suka kalau cewek mereka bicara kotor waktu lagi berbuat nggak senonoh?" tanyaku.

"Siapa bilang? Gandhi lagi?" terka Pramana emosi. Tanpa nunggu jawabanku, tangannya merenggut tengkukku, merampas bibirku ganas dan memagutnya dengan tak sabar. Aku jadi ikutan kesal dan balas menjambak rambut Pramana. Kami jambak-jambakkan sampai akhirnya Pramana menghardik setelah meringis kesakitan, "Inggrid! Stop! Kamu kenapa, sih?!"

Aku merengut.

"Let me treasure you...," katanya.

"Treasure me? Di ruang kelas kosong malam-malam begini?" decihku mencemooh.

Pram tersenyum, mencekal kedua pergelangan tangan dan menahannya di sisi-sisi tubuhku. "It's always the place you least expected that makes it unbearable, Inggrid... give me your mouth, Baby...."

Baby, baby.

Gombal.

...
...

"Cukup!" jeritku. Kujambak rambut Pramana menjauh sampai mulutnya terlepas dari susuku.

"What? What happen?" tanya Pramana bingung.

"CUKUP!"

"Tapi kenapa? Aku salah apa?" protesnya.

"Cukup! Cukup! CUKUP!!!" aku membentak semakin galak, membenahi kemejaku dan melompat dari atas pangkuan Pramana.

Pramana hanya bisa bengong, meringis menyatukan pahanya dan mendorong tubuhnya ke depan. "What happen?" tanyanya sedih dan bingung. Wajahnya merah padam. "Ada apa? Kupikir kita sama-sama mau. You hit my ball, I accidentally squeeze your boobs... I am sorry... tapi setelah itu kita sama-sama setuju, kan? Ada apa? Ada yang salah? Did I suck it too hard?"

"Nooo...," jawabku.

"Lalu kenapa?"

"It's just... it's too far," kataku.

"But you liked it, Inggrid."

"Aku nggak bilang aku nggak suka, kok."

"Kamu mau ngerjain aku, ya? Kamu sengaja karena kamu tahu... kalau kamu baru berhenti setelah cukup jauh... itu bakal menyakitiku... come here you," geramnya, menyabet lengannya ke arahku, tapi aku berkelit mundur sambil mengaitkan butir-butir kancing kemejaku. "Come on, Inggrid... okay... kita udahan... tapi jelasin...."

"Ini gila, Pram. Kita nggak seharusnya berbuat sejauh itu di sini. Kamu memperdayaku. Tadi kamu udah setuju sama aku."

"Kapaaan?" serunya, masih nggak terima. "I can do it anywhere. Kubilang, justru di tempat yang nggak terduga kayak gini yang mendebarkan, it's the best feeling in the world!"

"Ya buat kamu! Buat laki-laki kayak kamu berbuat mesum di mana aja itu the best feeling in the world. Buatku enggak!"

"Okay... okay... chill...," katanya. "I am sorry. Jadi kita sekarang pulang?"

Aku mengangguk, kemejaku udah sepenuhnya tertutup.

"Aku nginap di tempatmu?"

"Ngotot banget, sih, kamu?" solotku. "Kalau aku nggak mau, kamu mau ngancem lagi? Mau nuntut aku karena pencemaran nama baik lagi?"

"Enggak," sangkalnya. "Enggak lah... Kan tadi aku udah bilang... aku nggak akan nuntut lagi...."

"Ya soalnya kamu udah telanjur megang-megang aku! Kalau kamu mau nuntut juga, nanti kubilang ke pengadilan... kamu minta aku tidur sama kamu biar kamu nggak nuntut! Sama-sama nggak ada buktinya, kan, aku bebas mau ngomong apa aja? Tinggal aku keluar, nih, aku nangis-nangis di depan anaknya Pak Prasnowo... aku jadi punya saksi!"

Pram mengekeh sambil mengetuk-ngetuk jari ke keningnya sendiri, "That's a smart move, Inggrid... aku akui. Pinter kamu. Tapi, sayang... I am a man of my words. Aku udah bilang aku nggak akan nuntut kamu, ya aku nggak akan nuntut kamu."

"Tapi bener, kan? You suggest me to bribe you with sex?"

Kepala Pram geleng-geleng nggak percaya.

"Lalu apa? Kamu nggak dapat apa-apa, kan setelah susah-susah ke sini? Kamu tahu nggak ada gunanya juga kita ke sini, makanya daripada rugi, kamu mending milih kesenangan sesaat dengan ngajak aku tidur sama kamu. Kamu tahu kamu nggak punya bukti buat nuntut aku ke pengadilan."

"Justru kamu yang nggak punya bukti buat melawanku di pengadilan!:" katanya. "Kamu bilang aku yang ngomong gitu, mana buktinya? Nggak ada. Kamu yang jelas-jelas mencemarkan nama baikku dengan adanya bukti itu. Nyata-nyata aku nggak gay. Aku punya serentetan daftar mantan yang bisa buktiin aku bukan gay. Gimana, sih, kamu, nih?"

Oh iya ya?

"Tch... ahhh!" decap Pramana mengibas. "Dah lah... ayo kita pulang. Susah ngomong sama kamu baik-baik. Aku udah bilang... I did that because I want you, you won't listen!"

"Why did you want me? Kenapa kamu tiba-tiba menginginkan aku? Karena kubilang dulu kita pacaran? Kamu bahkan nggak ingat apa-apa. Kamu cuman pengin tidur sama aku, kamu cuma pura-pura percaya sama omonganku supaya bisa pegang-pegang aku. Iya, kan?!"

"Dih...," decih Pramana, menirukan caraku bicara. "Justru sebaliknya. Aku ngerasa terpikat sama kamu karena aku percaya."

"Kamu cuma mau enaknya doang, kamu nggak percaya kita pernah pacaran. Kamu nggak inget apa-apa, kan?"

"Dasar cewek bebal. Aku justru jadi paham kenapa selama ini mukamu familiar banget dan terus muncul dalam puzzle ingatanku. Kupikir, karena kita punya unfinished business, aku yakin penolakanmu tadi nggak serius. Makanya aku persistent, aku ngerayu, aku ngebujuk. Kalau kita nggak punya masa lalu apa-apa, mana berani aku kayak gitu ke kamu? Kamu kan bilang, aku mutusin kamu gara-gara aku gay. Aku ngerasa nggak gay, jadi pasti aku mutusin kamu karena alasan lain. Could be anything. I don't care. Yang penting, belasan tahun kemudian, kamu terbayang-bayang terus di kepalaku, jadi aku dulu pasti cinta banget sama kamu. Kamu juga bilang, kamu cinta mati sama aku. Maybe we are supposed to try it once more. Sekarang kamu gantian jawab, kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran?!"

"Kenapa? Kok kenapa, sih? Kamu nggak ngelihat kita lagi di mana?"

"Yakin karena itu? Kita udah setengah jalan, lho!"

"Ya aku nggak mau sampai begituan di sini, Pram! Aku tiba-tiba takut kalau nggak bisa berhentiin kamu!"

"Okay... okay... you're right. Let's calm down and talk about this in your house—"

"In my house?" seruku. Mataku memelotot. "Kenapa harus di rumahku?"

"Kamu mau ke apartemenku aja? Nggak kejauhan? Atau di rumah lamaku? Tapi kalau nanti hujan lagi, di sana bocor. Atau... kamu mau di tempat lain? Di dekat sini aku liat ada hostel—"

"Hostel?!"

"Cuma buat bicara," katanya.

"Bicara apaan? Di public place gini aja kamu hampir nggak bisa nahan diri, Pram. Mau ngapain kita di hostel? Biar kamu bisa leluasa melakukan hal yang kamu lakuin ke aku tadi?"

"Inggrid...," Pramana memotong. Suaranya pelan, tenang, namun tegas. Dia tidak mendekat, atau mendesakku dengan tangannya. Dia hanya membekukanku dengan tatapannya.  "It wasn't just me," katanya. "It's both of us. There's a flame between us that hasn't gone and you know it."

Aku terpaku.

Flame between us? Sejak kapan? There's no flame between us, Pram. Cintaku bertepuk sebelah tangan.

Saat aku terhipnotis ucapannya, dia baru mendekat dengan tangan terulur untuk menyentuh pinggangku. Pramana mengambil jeda sesaat, memastikan aku nggak akan histeris atau melawan, baru tubuhnya merapat padaku. Pelan sekali, aku direngkuhnya. "Let's go home and talk. Okay?"

Walau terasa sulit, aku mengangguk.

"Tapi sebelum itu... aku harus ke suatu tempat dulu. Sebentar aja. Ada hal penting yang harus kulakukan."

"Ke mana?"

"Ke toilet."

Aku menarik diri. Setelah apa yang kami lakukan, toilet terdengar sangat mengancam. "Ngapain? Buat apa?!"

Pram merangkul leherku sigap dan membungkam mulutku rapat.  "Jangan teriak-teriak, dong... I can't leave it like this. Cenat-cenut," katanya. "Kecuali kamu mau ikut ke toilet supaya urusanku lebih cepat selesai?"

Aku merebut tanganku dan menjotos rusuknya.


Baca Part 32-33 di Karyakarsa. Jangan sampe ketinggalan, ya. Yang kemarin penasaran Inggrid 'kena' ama Gandhi enggak? Di sini jawabannya. Apakah Inggrid butuh seorang pangeran buat nolongin dia? Hohoho

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top