Chapter 25. One Trip to The Past (BACA DULUAN PART 28 dan 29)

PART 29 JUGA UDAH TAYANG YA DI KARYAKARSA. YUK KEBUT VOTES PART INI BIAR AKU CEPET UPDATE PART 26

Part ini panjang banget. Yang aku share di Wattpad ada 3000 kata, di karyakarsa masih ada 2000 kata lagi.

This is a very important moment buat Inggrid dan Pram. Menurutku, adegan di dalam kelasnya itu nostalgik banget. Spoiler alert, kalau kamu lanjut baca di karyakarsa, mereka ciuman. Hehe

Makanya setelah baca ini, cuz baca extra-nya di karyakarsa, ya?

Kalau enggak, ituh udah aku spoilerin wkwk

Jangan lupa vote dan komennya, biar aku post di wattpadnya nggak kejauhan dari di karyakarsa.


Chapter 25

One Trip to The Past (Kisah Kasih di Sekolah)

"Aku dulu hampir aja nggak sekolah di sini," Pramana menyeletuk.

Dia mengambil jarinya lagi dari pipiku dan kembali memegangi erat roda kemudi. Aku menjatuhkan tatapan pada buku-buku jarinya yang mengetat, lalu membuangnya ke arah yang sama dengan Pramana. Di depan kami, ada jalan masuk sepanjang sekitar seratus meter menuju gerbang sekolah. Sepanjang jalan itu gelap.

Kepalaku menunduk. Pakaian kerjaku berubah menjadi setelan putih abu-abu.

Mobilku yang dikendarai Pramana berhenti tepat di depan gerbang. Sekolah ini memang letaknya agak menjorok ke dalam, diapit gedung SMP dan SD yang didirikan oleh yayasan yang sama. Biasanya, mobil-mobil antar jemput hanya berhenti di depan gang, nggak sampai masuk ke sini karena akan menimbulkan kemacetan.

SMA Satu Nusa berjarak kurang lebih satu kilometer dari tempat tinggalku. Sama jaraknya dengan SMA Nusa Bangsa, hanya berlawanan arah. Ayah dan ibuku sama-sama sekolah di SMA Nusa Bangsa, mereka pacaran di tahun terakhir sampai akhirnya menikah.

Sejak dulu, SMA Satu Nusa dan Nusa Bangsa bersaing ketat dalam hal apa aja. Ayahku punya kenangan sengit mengenai SMA Satu Nusa gara-gara salah satu mantan pacar ibu sekolah di Satu Nusa. Sewaktu kejadian traumatis itu menimpaku, ayahku yang paling marah. Dia menyesal kenapa sebelumnya lebih dengerin apa mauku dan nggak maksa aku sekolah di sekolah lamanya. Meski itu sama sekali nggak ada hubungannya, tapi aku punya pikiran yang sama. Kalau aku nggak maksain diri ngejar-ngejar sosok Pramana dan menyerah pada keinginan Ayah, hal itu nggak akan pernah terjadi.

Berada di depan gerbang SMA yang nggak pernah kuinjak lagi sejak menyelesaikan ujian susulan belasan tahun lalu sama sekali nggak terbayangkan.

Aku udah bersumpah nggak akan sudi menginjakkan kaki di sini lagi. Ingatan terpuruk di dalam gudang dan ditertawakan masih menghantui mimpi burukku sampai ke Singapura. Aku nggak akan bisa lupa bagaimana rasanya ditinggalkan di dalam gudang seorang diri. Dibiarkan meringkuk memeluk tubuh karena terlalu malu untuk berdiri, apalagi pergi. Takut kalau sampai aku nekat lari, para perundungku masih menunggu di luar, menunjuk-nunjuk, dan menertawakanku. Pedihnya, salah satu dari mereka ada di sampingku. Raut kecewanya yang nggak bisa kupahami. Sorot matanya yang terluka sebelum berubah menjadi kernyit jijik saat melihatku dihempas dengan kasar oleh Pandu nggak pernah gagal membuatku merasa begitu kerdil dan nggak berarti.

Sampai penjaga sekolah menemukanku petang hari, aku nggak beranjak dari dalam gudang gelap itu. Ayah menjemputku sebelum wali kelas meneleponnya gara-gara aku belum kunjung pulang sampai hampir Maghrib. Kejadian itu baru bisa kuceritakan setelah kami tiba di rumah. Aku berencana menyembunyikannya karena malu. Akan tetapi, kalau malam itu aku nggak mengadu, entah bagaimana aku menjalani sisa-sisa hariku di sekolah. Ayah masih berusaha membujukku supaya tetap mau pergi, "Mau jadi apa kamu nanti kalau nggak lulus SMA, Inggrid?" katanya. Dia berjanji akan mengurusnya dengan pihak sekolah seolah itu akan menyelesaikan masalahku.

Orang dewasa nggak akan pernah bisa mengerti bagaimana rasanya, pikirku waktu itu, padahal mereka sendiri juga pernah jadi remaja. Keesokan harinya aku bersikeras menolak kembali ke sekolah. Aku mengurung diri di kamar, membersihkan mulut dengan mouth wash tiap satu jam sekali. Ayah pergi ke sekolahku buat bicara sama wali kelas. Sore harinya setelah aku mau membuka pintu kamar untuk Grace, dia memberitahu ibu bahwa aku mungkin butuh bicara dengan psikiater. Dia melihat gusiku berdarah saking seringnya aku menyikat gigi.

Sejak itu, ayah dan ibu berjuang lebih gigih membela kehormatan dan hakku supaya tetap bisa lulus tanpa masuk sekolah lagi. Kekaguman ibu pada Dokter Sri Astuti berubah menjadi benci. Sebagai ketua yayasan, dia yang paling gigih meyakinkan Ayah dan ibu bahwa nggak ada yang perlu disikapi secara berlebihan mengenai kasus tersebut. Itu hanya kenakalan anak-anak biasa, katanya. Dia pasti belum pernah dijamah tanpa persetejuan sebelumnya.

Sepanjang perjalanan menuju ke sini tadi, kupikir aku akan menggigil, atau bersikap aneh yang akan bikin Pramana menganggapku sakit. Namun, kenyataannya nggak seburuk itu. Yang kusaksikan di hadapanku saat ini hanya sebuah gedung gelap dengan pagar yang jauh lebih tinggi dari yang terakhir kali kuingat. Bangunannya jauh lebih baru dan nyaris nggak meninggalkan jejak-jejak kenangan di benakku.

Namun, tetap saja, hantu itu pasti masih ada di sana dan aku enggan menemuinya. Jadi, aku mengulur waktu, "Kenapa?" tanyaku. "Kenapa kamu hampir nggak sekolah di sini?"

"Bosan," jawab Pram singkat.

"Maunya kamu sekolah di mana?"

"Di mana aja selain di sini," dia menukas. "Tiga tahun udah sekolah di sebelah, papaku yang jadi kepala sekolahnya. Sekarang di SMA, Mamaku jadi ketua yayasan. Nggak enak. Maunya ke SMA lain yang lebih jauh, kalau pun nggak jauh... Ke SMA Nusa Bangsa juga enggak apa-apa."

"Terus? Kenapa enggak?"

"Kamu nggak denger aku ngomong apa? Mamaku ketua yayasan di sini, mana dikasih aku sekolah di tempat lain...."

"Ohhh... tapi aku juga," ungkapku, pelan. "Harusnya aku sekolah di SMA Nusa Bangsa."

Pram gantian nanya, "Kenapa?"

"Ngikutin tradisi turun menurun di keluargaku. Ayah dan ibuku dulu highschool sweethearts. Kakak perempuan dan adik laki-lakiku semua sekolah di Nusa Bangsa."

"Highschool sweethearts? Kayak kita, dong?" celetuknya tanpa dosa.

"Nggak kayak kita," gumamku. "Hubungan Ayah dan ibuku mulus kayak jalan tol. Mereka saling mengasihi... dan mencintai sampai sekarang. Nggak ada kisah kasih bertepuk sebelah tangan."

Pram terdiam.

Aku menggigit bibir, menyadari sudah membeberkan terlalu banyak informasi.

"Gimana kamu tahu... cintamu bertepuk sebelah tangan?" tanya Pram. "Bukannya kita pacaran?"

"Ya... tapi kan... kamu mutusin aku," bualku.

"Yah... bisa aja kan... aku mutusin kamu karena hal lain, yang sayangnya aku sendiri nggak ingat? Yang pasti bukan karena aku gay, atau masih cinta sama Diana."

"Gimana kamu bisa tahu... kamu masih cinta Diana atau enggak waktu itu, kan kamu nggak ingat apa-apa."

"If Diana meant so much for me, why didn't I remember her?"

"Karena kepalamu kebentur, kan? Jadinya puzzle memorimu berantakan...."

"Tapi bukannya perasaan sayang itu lebih dalam dari ingatan?"

"Kamu tahu The Vow?" tanyaku.

Alis Pram menukik. Dia nggak tahu.

"Film. Ceritanya ada dua orang yang saling mencintai dan menikah tanpa restu dari orang tua si cewek. Terus, ceweknya ngalamin kecelakaan parah yang bikin dia lupa ingatan. Dia nggak ingat, tuh, sama cintanya ke sang suami. Dia ngerasa keputusannya milih si cowok dibanding seluruh keluarganya yang sempurna itu nggak masuk di akal. Dia sempat hampir jatuh cinta lagi sama suaminya itu, tapi nggak bisa sekuat sebelumnya, dan endingnya mereka pisah... karena perasaan ceweknya nggak balik kayak dulu lagi."

"Itu kan film, Nggrid."

"Itu diangkat dari kisah nyata, Pram."

"Tapi waktu aku pulang dari rumah sakit dan ketemu kucingku lagi, aku nggak harus ingat semua tentang dia buat kembali sayang sama dia."

"Perasaan kita sama kucing beda nggak, sih, sama ke manusia? Kamu bisa aja ketemu kucing di jalan dan langsung sayang sama mereka?"

"Ke nenekku juga sama."

"Ke kakakmu?" tanyaku. "Ke orang tuamu juga?"

Pram membisu.

Aku menyimpulkan sendiri sebelum Pram menjawab, "Mereka menempati sebagian besar tempat dalam hidupmu, makanya kamu nggak ingat sama perasaanmu ke Diana, tapi perasaanmu ke mereka langsung kembali. Karena hubungan kalian juga teramat singkat. Sama kayak di film itu. Hubungan keluarga kan beda sama hubungan cinta."

"Poinnya bukan ada di dalam hubungan keluarga. Poinnya, di alam bawah sadar kita, kita tahunya keluarga itu erat koneksinya. Kalau saat itu yang muncul di depanku orang tua orang lain dan mereka bilang mereka ayah sama ibuku, aku mungkin akan langsung percaya juga sama mereka. Tapi, apa perasaan sayangku akan ada? Belum tentu. Perasaan sayang itu akan datang lagi, mungkin, tapi belum tentu itu perasaan sayang yang sama kayak dulu."

"Perasaanku ke orang tuaku... ke kakakku... sama, perasaan itu kembali... sama kayak perasaanku ke nenekku... juga ke kucingku. That's why I am sure...  perasaanku ke Diana... nggak banyak dampaknya di masa laluku," imbuhnya.

Aku sih cuman diam, nggak lupa bernapas.

"Ada trauma akibat benturan di otakku, Nggrid, sebagian besar kembali, sebagiannya lagi harus diingatkan, sebagian sisanya yang udah jadi tabiatku juga balik tanpa kusadari. Aku ingat di mana aku biasa naruh kaus kakiku waktu itu, hanya saja ternyata aku udah berhenti bersikap sepatuh itu beberapa tahun belakangan dan itu bikin Mamaku ngerasa senang. Memori itu nggak utuh. Yang bikin aku bingung... I remember you... but I don't remember much about us."

Karena ingatan itu nggak pernah ada, sih....

"Tapi kalau ingatanku sebagian harus diingatkan... aku curiga masih ada sesuatu yang hilang. Takutnya... kalau kelamaan... udah keburu hilang sama sekali... sama kayak waktu kita ketemu sama Satriya. Aku udah kesulitan melacaknya."

"It's normal. Orang yang nggak lupa ingatan aja bisa lupa, kan? Mungkin... kenangan about us itu juga sama kayak kenangan Satriya di otak kamu... udah keburu ilang...?".

"I don't even remember his face, Inggrid. I remember your face."

Rasa bersalah, kali, cuy?

"Siapa tahu kalau kita napak tilas... kenangan itu bisa kembali," sambung Pram, tersenyum.

Sebaliknya, aku malah nelen ludah. Kenangan yang mungkin tersirat di kepalanya sama di kepalaku jelas jauh berbeda. Tapi memangnya apa, sih yang dia harapkan bisa dia ingat lagi dari kenangan lama kami yang sebenarnya nggak ada itu?

"Apa sih pentingnya?" tanyaku. "Kamu bisa ingat lagi... kenangan lama kita, Pram?"

Pram memandangiku. Lekat. "Masa kamu nggak tahu... pentingnya buatku bisa ingat lagi sama kenangan lama kita, Nggrid?"

Mataku memincing curiga, "A—apa?"

Pram bergerak lambat menyentuh rambutku, kemudian dengan sangat lembut dan nyaris bikin aku merinding, dia menyelipkan rambut yang disentuhnya itu ke balik daun telingaku. Masih seperti gerakan slow motion yang mendebarkan dadaku, Pram mendekat ke telingaku dan berbisik, "Biar aku yakin seratus persen... aku nggak pernah ngomong bahwa aku gay ke kamu. Jadinya kamu tetap bisa kutuntut atas tuduhan pencemaran nama baik...."

Kami bersitatap seiring menjauhnya muka Pram dari lekuk leherku. Senyumnya makin lebar. Mengerikan.

"Aku pulang ajalah kalau kayak gitu...," kataku sambil membuka sabuk pengaman.

"Heeeh...!" cegah Pram sambil mencekal pergelangan tanganku. "Udah malem, lho... gelap... katanya takut gelap?"

"Gelap itu masa depanku kalau ternyata kamu tetep nggak ingat apa-apa setelah napak tilas di dalam sekolah. Kamu pasti tetep akan nuduh, sebab nggak ada buktinya juga!"

"Ya kalau aku inget?"

"Ya kalau enggak?"

"Kalau inget?"

"Kalau inget terus kamu pura-pura nggak inget juga sama aja. Nggak ada yang bisa buktiin apa-apa. Aku nggak mau masuk situ, Praaam... takut... lihat, tuh... gelap...!"

"Memangnya kamu takut gelap kenapa, sih? Kayak anak kecil aja takut gelap."

"Emang kamu nggak pernah nonton film horor sekolah, apa? Di sekolah kita itu... zaman tahun 70an... katanya ada yang melahirkan di kamar mandi sekolah, terus jadi pocong!"

"Melahirkan kenapa jadi pocong, sih? Apa hubungannya?"

"Ya bayinya kan meninggal orang lahirannya di dalam toilet!"

"Jadi pocongnya kecil, dong?"

"Ha?"

"Yang meninggal, kan bayi... jadi pocongnya mini, kan?"

Pocongnya mini?

Iya juga, ya? Kok nggak pernah kepikiran sama aku dan teman-teman satu sekolahanku sebelumnya? Kalau yang mati bayinya, kenapa orang-orang pada takut sama Pocong Sarimin? Sarimin kan ibunya. Nggak tau juga dia di mana sekarang dan cerita itu betulan, atau cuman karangan turun temurun biar anak-anak sekolah yag pacaran nggak pada mesum di sekolah.

"Aaah... ayo, ah!" seru Pram nggak sabar. "Pocong Sarimin itu cuman cerita karangan Dewan Galang Pramuka buat nakut-nakutin junior waktu jurit malam!"

"Lho... kok kamu inget?"

Pram tercenung sendri, "Nah... kan?" serunya. "Aku tiba-tiba inget cerita Pocong Sarimin. Berarti... ada harapan kalau makin diomongin, atau dijelajahin ke dalam... aku jadi inget semuanya. Ayok!"

"Enggak!"

"Ayok!"

"Enggak!"

Pramana membuang napas. "Jangan menguji kesabaranku, ya, Nggrid. Orang udah di depan gerbang, masa nggak jadi masuk?"

"Ya udah tunggu bentar, biar aku nyiapin mental dulu!"

"Okay... berapa lama biasanya kamu nyiapin mental kalau kondisi gelap gini?"

"Ya... biasanya, sih... sampai kondisi nggak gelap...."

"Kamu kuhabisin di sini aja gimana? Mumpung gelap?"

"Apaan, sih, kok ngomong gitu, Pram!" jeritku sambil memeluk lenganku sendiri dan berpaling.

"Dihabisin tuh maksudnya aku cekek, Inggrid, bukan diapa-apain!"

"Ya Allah... aku makin takut!"

"Ya Allah aku becanda!!!"

Jadi heboh, kan, gelap-gelap gini di dalam mobil yang mesinnya masih nyala. Dari dalam sekolahan, muncul bapak-bapak bawa senter dan dia berjalan pelan-pelan ke arah kami. Pram langsung memelototiku. Sebelum bapak itu menyorotkan senter itu ke arah kami, Pram keluar duluan dan mereka bicara. Beberapa menit kemudian, Pram masuk lagi, "Itu anaknya Pak Prasnowo. Kamu inget, nggak? Penjaga sekolah kita dulu?"

Aku mengangguk. "Pak Prasnowo-nya ke mana?"

"Udah meninggal...."

"Innalillahi...," ucapku, Pram kembali duduk di sampingku. "Ya udah, kalau gitu kita pulang aja, yuk... kasihan orang lagi berduka."

"Matinya udah tiga tahun lalu, Inggrid."

Lidahku mendecap. Pram geleng-geleng kepala, "Gimana? Udah siap belum mental kamu?" tanyanya. Aku menggeleng lagi. Pram mendesah lagi, "Okay... kalau memang anggapanmu kayak gitu soal Diana... kenapa justru mukamu yang aku inget terus? If it based on how many, or how long some people interract with me sebelum kecelakaan itu... harusnya aku interaksi sama Diana lebih lama dari kamu, kan? Terus... kenapa bukan mukanya yang kuingat?"

"Ya karena dia langsung muncul di depan mukamu kali pas kamu kecelakaan. Mungkin kalau enggak... kamu juga bakal inget mukanya...."

"Taruhlah kayak gitu... terus... kenapa kamu nggak datang waktu itu?"

"Aku nggak tahu kamu kecelakaan, Pram...."

"Bukan karena kamu masih sakit hati?"

"Bukan," jawabku lemah. "Aku nggak tahu kamu kecelakaan."

Jeda sejenak, baru Pram nanya lagi sambil mematikan mesin mobil, "Kenapa kamu akhirnya sekolah di sini?"

Karena kamu sekolah di sini.

Aku tercenung cukup lama setelah mesin mobil dimatikan tapi lampunya dibiarkan menyala oleh Pramana. Seolah memberiku waktu, Pramana juga terdiam memaku memandangi gerbang masuk yang tertutup rapat itu. Aku memperhatikan pantulan wajahnya dari kaca mobil dan terhenyak karena entah bagaimana aku melihat ekspresi yang sama denganku di rautnya.

Kosong dan hampa.

"It's weird," katanya, kembali memecah kesunyian. "Aku selalu ke sini tiap kali aku kembali ke kota ini. Diam di dalam mobil, berusaha mengingat-ingat. Yang kurasakan selalu sama. Kesedihan. Kenangan buruk, tapi aku nggak bisa ingat apa-apa. Yang kuingat hanya potongan-potongan adegan samar, kebanyakan justru yang menyenangkan, juga kamu. Karena itu aku selalu bertanya-tanya... ini sebenarnya perasaan apa? Dokterku pernah bilang. Apa yang kembali kita ingat setelah trauma akibat benturan di kepala seringkali susah dijelaskan dengan tepat. It's like... otak kita ngikutin keinginan kita tentang apa yang ingin kita ingat kembali... dan enggak."

Rahangku mengetat diam-diam.

Dengan kata lain, alam bawah sadar Pramana ingin melupakan kejadian-kejadian yang nggak mau diingatnya? Termasuk kejadian sore itu.

Apa nggak ada yang ngingetin dia?

Mungkin buat orang lain, hal semacam itu nggak penting juga diceritakan pada Pramana yang sedang sakit. Iya, kan? Bayangkan kamu habis kecelakaan, ingatanmu hilang, mana ada temanmu yang tega bilang ke kamu, "Pram... kamu inget, nggak, beberapa bulan lalu kamu habis ngerjain cewek dan cewek itu sampai nggak mau masuk sekolah lagi?"

"Kamu sekolah di sini... karena aku sekolah di sini, Nggrid?" terka Pram tiba-tiba.

Mataku masih terus menatap ke depan. Aku sepenuhnya bergeming, meski jantungku seakan dihunjam.

"Kamu... atau aku... yang sebenarnya ngikutin satu sama lain sejak SMP?"

Aku menoleh, tatapan Pramana menyongsongku, "Kamu nggak usah nyusahin diri sendiri kayak gitu, Pram. Orang hidup, tuh, makin tua kalau bisa ngurangin beban pikiran... jangan malah ditambah-tambahin. Kamu mungkin nggak tahu bahwa aku ada sebelum kita satu kelas di tahun terakhir SMA."

"Terus kenapa aku ingat—"

"Aku udah siap," potongku, daripada pembasahan kami melebar ke mana-mana. "Mentalku. Kamu jadi mau masuk, atau enggak?"

"Okay...," Pramana mengangguk-angguk. "One more thing... lamu pernah ke sini sejak lulus sekolah?"

"Enggak."

"Kalau gitu... harusnya kamu ingat... zaman kita dulu... kita mesti belok kiri setelah masuk gerbang kalau mau ke lapangan upacara, kan?"

Kali ini aku mengangguk. Lampu depan yang dibiarkannya menyala menyorot ke balik jeruji besi pagar tinggi sehingga kami bisa melihat sampai ke dalam. Aku menajamkan pandangan. Sebuah tiang bendera tinggi tanpa bendera di puncaknya tertangkap pupil mataku yang mengecil. Pramana benar, sepertinya mereka mindahin lokasi lapangan upacara dari lapangan voli di bagian samping ke lapangan basket di bagian tengah.

Tiba-tiba Pramana tertawa kecil.

"Kenapa?" gantian aku yang nanya.

"Kasihan sekali adik-adik kelas kita sekarang, kalau telat upacara bakal langsung kelihatan dari gerbang," jawabnya. "Dulu kan kita enggak. Kalau telat bangeeet, kita baris di depan gerbang sini. Panas, sih, tapi bisa ngobrol. Nggak ada yang ngawasin. Kadang kalau udah tahu telat, aku justru pelan-pelan sekalian. Soalnya disetrapnya di sini, enak, nggak di tengah lapangan."

"Tapi kan dipanggil guru BK, Pram...."

"Memangnya sekarang kalau telat nggak dipanggil juga?"

Iya juga, ya? Senyum kecil akhirnya ikut merekah di bibirku. Dulu, lapangan upacara terletak di belakang aula olah raga, ada banyak cara buat menyelinap kalau kami telat apel pagi sebelum gerbang benar-benar ditutup. Biasanya, yang ketangkap dan harus berpanas-panas di tengah lapangan adalah siswa-siswa tahun awal yang belum tahu apa-apa. Aku makin geli saat teringat kami pernah sama-sama dijemur di tengah lapangan upacara sewaktu dia menolak menghentikan motor meski kuhadang. Waktu itu kami sama-sama baru duduk di tahun pertama SMA. Tentunya, Pram nggak ingat. Dia bahkan pura-pura nggak ngelihat aku di jalan.

"Kamu pernah nyuekin aku di jalan," kataku.

"Oh ya? Aku nggak lihat kamu kali...?"

"Emang aku nyamuk sampe kamu nggak lihat?"

Pram terkekeh, "Aku kan dari kecil harusnya udah pakai kacamata, Nggrid, tapi nggak pernah kupakai."

Oh... masa?

Apa dia nggak lihat juga aku di pinggir jalan ngacungin Aqua waktu marathon sekolah?

"Jamal, kamu inget? Salah satu temen deketku waktu SMA? Yang mukanya tua? Masih muda udah kumisan? Yang bapaknya jualan sate di pasar, terus kalau ambil rapor ke sekolah pakai baju kayak Pak Sakerah? Kumisan tebel dipelintir di pinggir?"

"Iya... inget," anggukku geli.

"Waktu habis kecelakaan, salah satu memori yang diingetinnya ke aku juga sama kayak gitu. Katanya aku nggak berhentiin dia di jalan."

"Terus kamu inget kejadiannya?"

"Enggak lah. Yang ngerasain kan dia, aku mungkin pada saat itu juga nggak tahu kalau aku lihat Jamal di jalan. Jadi mataku, tuh... lihat ada orang, tapi nggak tahu kalau itu dia. Entah terlalu fokus ke jalanan, atau emang karena mata minus. Aku baru pakai kacamata setelah kecelakaan itu. Itu juga seringnya kupakai kalau lagi kerja. Kadang enakan gini...."

"Kenapa?"

"Kayak misalnya ngeliat kamu gini, ya...? Kan agak kurang jelas... jadi kelihatannya kamu cantik aja, aslinya mungkin enggak."

"iiiih! Sialan!"

Pramana tergelak.

"Nah... gitu, dong, kesel...," katanya sambil madamin lampu mobil dan mencabut kunci. "Udah nggak takut lagi, kan sekarang? Yuk?"

Dengan anggukan kepala, Pramana meyakinkanku. Dia keluar duluan, nungguin aku di depan moncong mobil. Aku menyusul malas-malasan, lalu kami sama-sama menghampiri putra sulungnya Pak Prasnowo yang gantiin bapaknya jadi penjaga sekolah. Pramana nyelipin selembar uang seratus ribuan di kantung kemeja laki-laki yang kelihatannya nggak jauh lebih tua dari kami itu.

Entah benar atau enggak, dia bilang dia masih ingat sama kami berdua. Keluarga Pak Prasnowo emang tinggal di lingkungan sekolah. Sama yayasan dibikinin rumah di dekat gudang. Dari sorot matanya yang berbinar saat meneliti kami berdua dalam remang cahaya, aku yakin dia hanya membual. Mungkin dia memang ingat Pram, tapi kalau dia ingat aku, dia nggak akan memperlihatkan ekspresi seperti itu. Kalau Pak Prasnowonya ingat aku, baru aku percaya. Mendiang yang membimbingku kembali ke kelas setelah menemukanku meringkuk di gudang. Semoga Tuhan menempatkannya di tempat terbaik. 

"Sini, Nggrid," ajak Pramana lagi. Dia menerima sebuah senter dari penjaga sekolah, memegangnya di tangan kiri dan mengulurkan tangannya ke aku, "Sini, pegangan...."

....


Part 28 udah update di karyakarsa juga, ya.

Langsung cuz aja part 26-28 duluan di sana.

Part 26-27 kemungkinan besar akan disensor habis-habisan versi wattpad-nya karena isinya adegan dewasa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top