Chapter 23. Akan Menjadi Kisah Perdebatan (BACA DULUAN CHAPTER 25)
Chapter 25 juga udah ada duluan di karyakarsa, ya?
Ayok chapter ini vote dan komennya banyakin, yuk, biar buruan update chapter 24 🥰
Chapter 24 udah ada di Karyakarsa, ya, kalau mau baca duluan yang lengkap.
Chapter 25 akan menyusul. Part 25-26 insyaallah part SITIMEWA. Ehem... ehem...
Part ini 1/3 bagian akhirnya cuma bisa dibaca di Karyakarsa, ya. Jadi ini kepotong sepertiga aja.
Baca chapter 23 cuma 3500 kok
Kalau part ini bisa 1K votes, chapter 24 bakal aku post seperti versi Karyakarsa.
Chapter 23.
Akan Menjadi Kisah Perdebatan yang Tak Berujung
Secara resmi, aku sudah menggali kuburanku sendiri.
Pramana menatapku tanpa berkedip kira-kira beberapa detik, tapi rasanya seperti bertahun-tahun. Tenggorokanku tercekat perasaan bersalah dan penyesalan yang membuncah. Kontraktilitas jantungku meningkat, persis seperti efek kafein yang memacu epinefrin dalam darah. Aku harus mencengkeram kemudi erat-erat supaya Pramana nggak melihat lenganku nyaris tremor gara-gara terserang panik.
"Berarti selama ini kamu bohong, dong, sama aku?" tanya Pramana.
Mataku membola besar menyadari apa yang barusan kukatakan dan nggak mungkin kutarik kembali.
Oh, Inggrid, kamu menutup kebohongan dengan kebohongan lain. Kamu harusnya tahu ini bakal memperkeruh masalah. Setelah mengabaikan ratusan teman SMA-mu yang saat ini pastinya masih hidup dengan menulis kebohongan mengenai Pramana, sekarang kamu berani ngaku pernah pacaran sama dia di depan orangnya sendiri?
Tapi, gimana lagi? Aku nggak mau Pramana tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan sanggup menatap mukanya, apalagi ngelanjutin kerja sama dia kalau dia ingat bagaimana caranya memandangku sore itu. Aku nggak mau menjalani kembali hari-hariku yang penuh kecemasan dan rasa malu seperti belasan tahun lalu. Andai Pram tahu, aku bisa berkeliaran kembali di kota ini, tinggal nggak jauh dari sekolah lamaku, dan setiap hari menghadapi kemungkinan bertemu dengan salah satu dari tiga ratusan siswa seangkatanku aja udah syukur alhamdulillah. Masa bodoh sama perasaan Pramana. Memangnya kenapa kalau aku bohong sama dia? Siapa suruh dia pakai lupa ingatan segala?
Di luar, tukang parkir menunduk tepat di depan mukaku. Rautnya mengerut bertanya-tanya, kenapa mobilku nggak segera enyah dari situ. Mobil lain yang mau berkunjung dan mengambil alih space parkirku mulai membunyikan klakson. Aku melonjak kaget dari kursiku dan hampir menginjak pedal gas lagi karena gugup.
"Inggrid!" seru Pramana memperingatkan.
Napasku tersengal.
Please, Inggrid. Kuasai dirimu. Sekarang.
"Inggrid...?" Pramana memanggil lagi. Kali ini dia terdengar mencemaskanku. Tangannya diletakkan di bahuku saat bertanya, "Are you okay?"
Refleks, pundak dan lenganku mengibas sentuhannya.
Pram terhenyak. Suasana jadi sangat canggung.
"Sorry," ucapku. "Aku... mungkin aku perlu ngejelasin lagi... sebenarnya nggak kayak gitu—"
"Oh... come on, Inggrid, stop lying" decih Pramana, membuatku berpikir kalaupun keteranganku kuubah lagi, dia nggak akan percaya. Dia mungkin malah akan mengorek keterangan dari orang lain dan mendapatkan fakta yang sebenarnya. Jadi kuputuskan, untuk saat ini, lebih baik aku tutup mulut.
Lagipula, gimana ceritanya Pramana bisa ingat semua tentangku, sementara soal Diana aja aku perlu ngingetin dia? Apa istimewanya aku dibanding Diana? Atau jangan-jangan dia cuma memancing supaya aku berbohong lebih banyak? Lalu tiba-tiba suatu hari dia akan melakukan hal yang sama seperti dulu, membawa teman sekelasku di SMA datang menyerbu dan menyudutkanku di ruang pengadilan?
Oh Tuhan....
Ludah yang terteguk olehku terasa sangat pahit. Jantungku berdebar semakin kencang. Ujung-ujung jariku dingin. Pasti mukaku udah mulai biru, nih. Pram menyebut namaku sekali lagi sambil menepuk ringan pipiku, "Nggrid... hey...!"
Aku menoleh lambat, mengedip.
Tukang parkir tadi udah pergi buat mengarahkan calon pengunjung ke space parkir yang lain.
"Kirain kamu kena stroke," cicit Pram sambil ngelus dada. "Minggir sana. Biar aku aja yang nyetir."
"Nggak usah," tolakku.
Tapi dia udah telanjur melompat keluar dan mengetuk kaca jendela di sisiku. Waktu pintunya kubuka, dengan santainya dia merunduk dalam posisi duduk, memaksaku bergeser melewati konsol dan persneling, lalu berpindah di tempat duduk penumpang. Terang aja aku nolak, "Nggak mau. Biar aku keluar dulu... minggir sana," usirku.
"Nggak. Geser aja! Nanti kamu kabur!"
"Enggak akan, Pram! Ini kan mobilku!"
"Tadi pagi aja kamu suruh aku nurunin kamu di jalan. Kamu bilang mobilnya bawa aja, nggak usah dibalikin nggak apa-apa," dumalnya.
"Ya itu kan aku becanda, Pram!"
"Setelah kamu ngaku dulu kita pernah pacaran? Setelah kamu bohong kayak gitu kamu masih berharap aku percaya sama kamu dengan mudah? Udah, sih nggak usah bikin ribut. Kamu nggak malu apa dilihatin tukang cendol sama tukang lumpia, tuh? Bikin ribuuut aja bisanya! Pantesan kamu dulu kuputusin. Ngajak ribut terus! Aku yakin aku ngomong gitu bukan karena aku beneran gay, tapi kamu tuh too much to handle!"
Dih!
"Geser, nggak? Kalau nggak, aku seret kamu, terus aku gendong masukkin ke mobil lagi, biar kamu nggak kabur!"
"Jangan!"
"Ya udah geser!"
"Nggak mau!"
"Astaga kenapa, sih, Nggrid?" hardik Pramana frustrasi.
Aku yang nggak mau kalah frustrasi pun menjerit, "Aku nggak pakai short!"
"Ha?"
"Aku cuma pakai cawat doang," terangku geram. "Kalau aku nungging, nanti kamu lihat bokongku!"
Muka Pram langsung merah.
"Kamu udah lihat depannya, Praaam... aku nggak mau kamu lihat belakangku jugaaa," tambahku.
"Hssst... Inggriiid... hiiih!" desis Pram geregetan sambil celingukan malu. "Ya udah! Buruan turun!"
Pram menyingkir. Matanya nggak berhenti mengawasiku mengitari moncong mobil. Emang aku mau kabur ke mana, sih? Pasar Johar? Sembunyi di Kota Lama? Terus dia nggak akan ngejar gitu seiyanya aku mau kabur?
Begitu duduk dan menutup pintu, kulipat tangan dan kubuang mukaku ke luar jendela. Tahu-tahu, Pram merengkuh ke sisi kepalaku. Aku udah nyaris menjerit, kirain dia mau meluk, ternyata tangannya menyambar ujung sabuk pengaman dan menjeratnya di depan lenganku yang terlipat. Aku jadi kayak tahanan rumah sakit jiwa.
Pramana memasang sabuknya sendiri, nggak mengacuhkan gerutuanku. Dia memutar kemudi dengan gesit, roda mobil bergerak lincah di dalam ruang sempit, mundur, kemudian meluncur mulus ke jalan raya. Di perempatan jalan menuju Simpang Lima, mobil berhenti di depan lampu lalu lintas yang menyala merah. Pram melanjutkan mengemudi lurus beberapa meter, kemudian memutar arah kembali menuju arah pabrik.
Aku membisu.
Kami sama-sama membisu.
Tapi, pikiranku nggak sepenuhnya kosong.
Pram lebih percaya pada kebohonganku. Lantas, apa ucapanku barusan cukup kuat untuk dijadikan sumber sebuah kisah dokumenter seperti tulisanku? Apa itu akan membebaskanku dari tuduhan pencemaran nama baik? Atau malah seperti kekhawatiranku sebelumnya? Pram akan mengumpulkan bukti-bukti dari keterangan teman lamaku tentang kebenaran ucapanku. Kalau memang itu yang terjadi, berarti saat ini aku hanya mengubah hidupku sepenuhnya menjadi wahana neraka.
Mobil tiba di lingkungan pabrik bertepatan dengan bubarnya karyawan yang nggak didaulat lembur sore itu. Kami sama-sama berdiam di dalam mobil setelah Pramana berhasil menyisir lautan manusia dan memarkir mobilku kembali di tempat terakhir aku meninggalkannya, daripada harus melawan arus.
Tiba-tiba, saat aku bimbang mempertimbangkan apakah ini saat yang tepat untuk membuka kait sabuk pengaman, Pramana nanya, "Apa ada buktinya?"
"Bukti apa?" sambarku kesal. "Katanya tadi kamu percaya...."
"Bukti bahwa aku mutusin kamu dengan alasan semacam itu," jelasnya.
Aku terdiam, kirain dia mempertanyakan bukti bahwa kami pernah pacaran. Jadi untuk yang satu itu, dia memilih percaya begitu aja?
"Apa ada bukti, atau sesuatu yang bisa memperkuat keteranganmu? Saksi, misalnya? Atau seseorang yang saat itu juga kamu kasih tahu tentang pengakuanku?"
"Oh iya... of course ada," kataku sinis.
"Serius?"
"Iya. Waktu itu aku ngerekam omonganmu dengan kamera videoku, terus kutunjukkin ke sahabat-sahabat cewekku supaya kami semua bisa ngebenci kamu bareng-bareng. Aku juga siarin omonganmu ke radio sekolah, kutulis artikelnya dan kupasang di mading. Kamu mau nanyain satu sekolahan satu per satu?"
"Ha... ha... very funny, Inggrid," cemoohnya. "After all those lies... kamu masih bisa becanda. Kamu harusnya lihat mukamu di mobil tadi. Jelas-jelas kamu udah bohong. Kamu pikir aku percaya aku pernah segoblok itu? Mau aku lupa ingatan kayak gimana, satu hal yang pasti... aku bukan cowok tolol. Mana mungkin aku ngarang alasan yang jatuhin harga diriku sendiri kayak gitu. Nggak mungkin. Kamu pasti bohong!"
Ya emang bohong, tapi kok dia yakin aku bohongnya cuma di bagian itu? Kok dia percaya bagian kami pernah pacarannya? Aku mesti gimana, dong, ini???
"Kenapa kamu nggak jujur aja, sih? Kamu cuman manfaatin kondisiku supaya bisa lepas dari tuduhan pencemaran nama baik, kan?" tudingnya. "Dengar...," imbuh Pramana, lebih kalem. "Aku akan cabut ancamanku... asal kamu bicara jujur."
Bilang, Nggrid!
Bilang kamu dengar itu dari Diana!
Tapi kalau aku bilang, Pram bakal nyari Diana dan Diana nggak mungkin melewatkan kesempatan ngasih tahu Pram tentang insiden sore itu.
Nggak, Nggrid. Paling enggak, bertahanlah sama kebohonganmu yang satu ini.
Imagine Pramana nanya ke Diana, dia nggak hanya akan tahu tentang sore itu, dia akan tahu juga bahwa kamu cuman ngaku-ngaku pernah pacaran sama dia.
Aku angkat bicara, "Tapi kamu nggak ingat apa-apa, kan, waktu itu?"
Pram nggak menjawab, dia masih menatapku penuh kesumat.
"Well... jujur aja... aku juga nggak percaya, kok, sama omongan kamu. Setelah kupikir-pikir... kamu mungkin punya alasan lain mutusin aku. Kayak yang kamu bilang tadi... I was too much to handle. Kamu nggak mau nyakitin perasaanku, terus kamu ngorbanin diri kamu sendiri. Mungkin kamu cuma mau cepat-cepat putus, toh kita udah mau lulus, nggak akan ketemu lagi, kamu nggak punya pikiran aku bakal ngadu, apalagi nulis cerita tentang itu. Bisa aja, kan? Kamu masih muda waktu itu—"
"And yet... meski kamu nggak percaya, kamu masih nulis juga tentang itu?"
Langsung di-ulti lagi. Damn.
"Iya. Aku memang cewek tolol," desahku. "Sekarang semua udah jelas, kan? Ayo kita masuk. Banyak kerjaan menunggu—"
"Inggrid...," tahan Pramana sambil mencengkeram pergelangan tanganku. "How about the other lies?"
Alisku mengerut. "The other lies apa lagi, sih, Pram...?"
"Did we kiss?"
Oh... ya Tuhan....
"Enggak," gelengku.
"Terus kita ngapain, dong, pacaran, enggak ciuman?" protesnya. "Wait the minute... jangan-jangan... kamu kuputusin karena nggak mau kuajak ciuman?!"
"Iiihh... apaan, siiih?!" pekikku sambil ngibas-ngibasin tanganku yang dicekalnya.
"Iya, niiih!" seru Pram yakin. "Jangan-jangan kamu, nih, yang kutuduh gay karena nggak mau kucium, terus kamu memutar balikkan fakta. Pura-pura nggak tahu apa-apa tentang kondisiku. Kamu pasti sebenernya tahu, kan, aku pernah kecelakaan, terus ingatanku berantakan? Pantesan kamu nggak datang jenguk aku. Kamu sakit hati sama aku, tapi kamu pasti paling enggak dengar kabarku dari temen-temen. Kamu masih dendam, kamu memfitnah. Kamu pikir aku nggak akan ingat apa-apa. Iya, kan?!"
"TERSERAAAH!" jeritku, habis kesabaran. "Sekarang... siapa yang bakal lebih dipercaya keterangannya? Aku yang sehat-sehat aja, atau kamu yang kondisi kesehatan ingatannya berkurang pasca kecelakaan? Pokoknya... kalau mau tuduh-tuduhan, kita sama-sama nggak punya bukti, tapi harusnya aku lebih bisa dipercaya. Kamu memang ngomong gitu. Aku nggak bisa dituduh mencemarkan nama baik karena kamu toh nggak ingat kamu pernah ngomong gitu atau enggak!"
"Kita memang sama-sama nggak punya bukti, tapi aku bisa buktiin bahwa aku normal, aku bukan gay! Aku tetap bisa nuntut kamu karena kamu nulis sesuatu tentang seseorang yang kemungkinan hanya membual karena saat itu dia masih remaja, nggak bisa berpikir lurus, dan yah... balik lagi... nggak ada buktinya!"
"Ya udah, sih kalau memang kayak gitu... percuma juga aku ngasih tahu kita pernah pacaran dan kamu mutusin aku dengan alasan kayak gitu. Kenapa kamu nggak ngaku aja di depan mukaku, Pram?"
"Ngaku? Ngaku apa?"
"Ngaku aja kamu memang ngebet mau nuntut aku ke pengadilan dan berencana ngerusak hidupku!"
"Lah... kok kamu jadi playing victim gini?" katanya.
"Ya emang, kan? Percuma kan aku ngasih tahu kamu aku tahunya dari kamu sendiri, kamu tetap mau nuntut karena aku nggak punya bukti. Ngapain kita berdebat kayak gini? Katanya tadi cuma mau tahu...?"
"Yeee..., siapa yang bilang gitu?" cibirnya. "Aku tetap bakal nuntut kamu, lah! Apalagi kalau keteranganmu nggak based on evidence! Bukunya udah dicetak. Semua orang udah baca. Udah nganggep aku gay!"
"Buku itu cuman dicetak berapa puluh, sih, Pram? Yang beli juga enggak banyak. Di platform udah aku hapus!"
"Doesn't matter berapa banyak yang baca, yang jelas kamu udah menyebarkan keterangan palsu," tandasnya.
"Ya udah... doesn't matter juga buat aku. Karirku toh juga udah hancur. Kalau Gandhi nyalahin aku tentang jarum di lipatan seam itu, aku juga bakal dipecat. Habis itu... aku harus ngadepin tuntutanmu dalam keadaan bangkrut. Itu maumu, kan?" beberku menggebu-gebu seolah aku korban yang pantas marah-marah. Jatuhnya aku playing victim beneran, deh.
Kirain aktingku udah lumayan jempolan.
Ternyata enggak juga. Pram nggak percaya. Dia memutar bola matanya.
Bikin emosiku makin meradang, "Kamu yang dulu sama yang sekarang sama aja," gumamku, suaraku gemetaran. "Perundung!"
"Perundung?" ulang Pram. "Dari dulu? Aku?"
Sial.
Sial. Sial. Sial.
Aku keceplosan. Harusnya aku nggak nyebut-nyebut kata itu. Tujuanku kan supaya Pram nggak ingat kejadian sore itu, kenapa aku malah nuduh dia perundung?
Pram kebingungan menarik benang merah dari ucapanku, dia masih terus mengernyit, "Maksudmu apa, sih?"
"Lupain aja," kataku, berkelit.
Sementara Pram masih melongo dan kebetulan lingkungan factory sudah mulai lengang, cepat-cepat aku melepas sabuk pengaman dan membuka pintu di sampingku.
"Tunggu, Nggrid," cegah Pramana, tapi aku nggak menghiraukannya.
Aku membanting pintu, nggak peduli sama kunci mobilku. Langkahku terayun cepat menghindari sisa-sisa kerumunan buruh pabrik menuju lobi, sementara Pram ngikutin jejak-jejak kosong yang kusisir di belakangku dengan langkah sama gegasnya. Dia nggak berusaha menyusul meski kuyakin dia bisa kalau dia mau. Mungkin dia nggak mau bikin keributan.
Napas Pram terengah saat dia menutup pintu ruang development sample yang kumasuki duluan. Aku bergeming mengemasi bahan-bahan fit sample yang rencananya akan kukerjakan di meja kerja lamaku di ruangan Ms. Fok setelah protoku di-approve sama Pram. Maunya, sih, mendesak supaya dia cepat-cepat beresin, tapi leherku masih sakit karena menahan dongkol segede kepalan tangan. Takutnya ntar aku malah nangis.
"Kayaknya...," kata Pram lambat. " Masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan."
Baca lanjutannya yuk di karyakarsa, Sayang muach
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top