Chapter 22. Menguji Nyali Pramana (BACA DULUAN PART 24)

Ayoook... part 23 mau diup full di wattpad enggak? 1K votes dalam 24 jam lagi ku-up full kayak di KK. Kalau enggak bisa, aku up versi draft awal, ya 🥰

CHAPTER 24 JUGA UDAH ADA DI KK BTW
Silakan baca duluan
Hehe...

Harusnya part 21 tuh bisa 1K votes lagi, ya?

Kan sepenuhnya ku-post di Wattpad. Tapi ya udahlah. Karena chapter 21 nggak bisa 1K, aku update part 22 sebagian, ya? I learned a lesson, mau aku gratisin kayak gimana, kalau orang nggak mau ngehargain orang lain, ya nggak akan mau ngasih appreciation.

Versi lengkapnya bisa kamu baca di Karyakarsa cuma 3500.

Pokoknya sekarang kalau bisa 1K votes, terus komennya buanyak, aku update chapter selanjutnya seperti yang ku-update duluan di Karyakarsa. Kecuali part2 ehem dan sitimewah. Gitu aja, yah?




Usai memesan, Pramana berkeliling melihat-lihat etalase Toko Oen yang seingatku nggak berubah sejak dulu. Aku pernah sekali ke sini waktu masih kecil banget, tapi nggak sama Mama, sama Tante. Kalau nggak salah habis belanja buat Benny yang masih bayi ke Sriratu. Dari dulu sampai sekarang, display kue-kue kuno di sana kayaknya nggak mengalami perubahan yang signifikan.

Makan siang kami yang kesorean disajikan nggak lama kemudian. Aku dan Pramana bersantap dalam diam, menikmati hidangan kami masing-masing. Aku nggak suka lidah dan steak-ku bukan hidangan yang bikin penasaran, tapi saat makanan penutup kami dihidangkan, kami saling tertarik pada pesanan satu sama lain.

"Enak?" tanya Pram.

"Kamu mau?" tanyaku, habis dia lebih banyak ngelirik daripada aku. "Aku nggak nyangka kamu punya sweet tooth."

"Kayak gay, ya?" tebaknya.

"Aku nggak bilang gitu, ya," kelitku.

Pramana menyengir, sebelum mengangkat sendoknya, dia nanya lagi, "Are you sharing food type?"

Bahuku menggedik, "I don't mind."

"Kamu mau aku minta sendok baru?" tanyanya lagi, sopan.

"It's okay. Ambil aja," kataku sambil mendorong gelas berkaki yang sudah berkabut saking tuanya. Pramana menyendok dua rasa sekaligus dari cangkirku dan memasukkan sendok dingin itu ke mulutnya, lalu mengangguk-angguk riang. Sebagai gantinya, dia menyodorkan es krim yang bentuknya seperti irisan keju belanda bulat dengan rasa cokelat di tengahnya. Aku mencolek ujungnya cuma buat nyicipin aja.

"It's very nostalgic," gumam Pram sambil menjilat bibirnya. Senyum manis yang terulas di sana memperlihatkan suasana batinnya yang terpuaskan. Dia mencabut satu kue lidah kucingku tanpa permisi. Sebelum melahap, dia baru nanya, "Do you mind?"

Aku menggeleng.

Lalu dia memasukkan kue itu sekaligus ke mulut, dan melumerkannya dengan lidah sebelum menelan. "Can you take my picture? Aku mau kirimin ke nenekku."

"Bukan ke calon istrimu?" tanyaku, tanpa maksud apa-apa.

"Bisa nggak kamu berhenti cari masalah sama aku? Suasana hatiku lagi bagus banget, nih," katanya.

Aku langsung setuju dan ngikutin Pram berdiri dengan ponselnya di tanganku. Pramana minta difoto di dekat etalase toko kering yang ikonik itu, tepat di bawah banner toko yang menampilkan foto sepasang tuan dan nyonya. Dalam fotonya, aku mengikutsertakan mesin kasir dan lemari tua yang seingatku sudah berdiri di sana sejak aku masih kecil.

"Can we take picture together?" pintanya tepat saat sebuah notifikasi WA muncul di layar ponselnya. Aku buru-buru menyerahkan ponsel itu, siapa tahu dia mau mengeceknya. Nggak sengaja, aku sempat membaca nama pengirim pesannya, kalau enggak salah, Amara.

Pramana membacanya sekilas, tapi kelihatannya langsung menggesernya kembali ke kamera. Aku nggak bisa menolak ketika seorang pramusaji menghampiri kami karena panggilan Pramana dan dengan senang hati menerima ponselnya. Pramana meletakkan tangannya samar di punggungku. Aku tersenyum tipis sementara lelaki itu tersenyum lebar seolah kami teman baik yang sedang reuni di sebuah toko legendaris di kampung halaman.

Kami kembali duduk, dan dia langsung punya pertanyaan baru, "Kamu pernah datang ke reuni?"

Tepat seperti yang kupikirkan.

Aku menggeleng.

"Kenapa?"

Aku nggak jawab.

"Aku beberapa kali dapat email undangan reuni waktu di luar kota, atau luar negeri," katanya. "Kamu nggak pernah datang sekalipun?"

"Enggak."

"Kenapa?" desaknya. "Apa yang begitu menjengkelkan sama masa remajamu sampai kamu nggak pernah mau datang? Apa karena kamu tinggal di Singapura?"

"Itu salah satunya," kataku, justru ngerasa terbantu dengan tebakannya. "Lagian... cuma anak-anak populer yang suka datang ke reuni buat mengenang masa kejayaan mereka."

"Hmmm... atau... yang udah sukses dan mau memamerkan kesuksesannya," ucap Pram. Aku nggak bereaksi apa-apa, tapi Pramana duluan tersenyum miring seolah pendapat itu datang dariku.

Aku menatapnya tajam, "Apa?" tantangku. "Karena aku nggak punya dua kriteria itu, makanya aku nggak pernah mau datang ke reuni?"

"Jangan terlalu negatif," kritiknya. "Kadang memang ada orang-orang yang rindu pada kedekatannya di masa lalu dengan teman lama. Aku sebenarnya mau-mau aja datang kalau ada kesempatan. Siapa tahu aku bisa ingat lebih banyak. Aku yakin ada beberapa hal yang belum bisa kuingat sampai sekarang."

Aku menekuri onggokan es krimku yang sudah meleleh. Enteng sekali dia bilang begitu. kelihatannya Pram benar-benar nggak ingat apa yang terjadi padaku sore itu. Apa kalau dia ingat, dia akan memahami kepedihanku?

Tanpa sadar, aku mengalihkan tatapan ke wajah Pramana.

Dia memincingkan mata, "I feel like... aku nggak akan dapat apa-apa dari kamu tentang masa laluku."

"Aku nggak pernah janjiin kamu apa-apa. Makasih udah bayarin aku makan siang."

"Kalau gitu... kira-kira kamu tahu nggak di mana Diana tinggal sekarang?"

"Enggak."

"Entah kenapa aku yakin dia bisa ngasih aku keterangan jauh lebih banyak dibanding kamu, meski aku juga nggak ingat-ingat banget tentang dia."

"Mungkin dia udah punya suami dan anak sekarang," kataku. "Kayaknya nggak bijaksana seorang mantan pacar ngajakin ketemuan, apalagi kalau mantannya udah punya keluarga."

Aku nggak mau Pram dengar soal kejadian itu dari Diana, makanya aku bilang gitu.

"Bener juga," ucapnya, sepakat denganku setelah menahan sendawa karena kekenyangan. Meski begitu, sepertinya buat iseng-iseng aja, dia masih melanjutkan mencuil sisa-sisa Napolitaine dengan sendok dan menjilatinya. Lalu, nggak lama kemudian dia bosan, "Kamu keberatan kalau aku merokok?"

"Iya."

Dia mengekeh, entah apa maksudnya. "Gandhi-mu nggak merokok?"

Aku memutar bola mata, Gandhi lagi-Gandhi lagi. "Kalau kita sudah selesai, gimana kalau kita balik aja ke pabrik? Daripada kamu nanya-nanya yang nggak jelas."

Pram melirik arloji di pergelangan tangannya, "Kalau bukan Diana... kira-kira siapa yang menurutmu bisa kuajak ngomong mumpung aku lagi di Semarang? Kamu ingat, nggak, dulu aku paling deketnya sama siapa?"

"Kamu diundang ke reuni akbar lewat email, kan? Coba aja mulai ingat-ingat dari daftar nama yang hadir di sana."

"Kok kamu tahu ada daftar nama yang hadir di email itu, berarti kamu juga diundang, kan?'

"Aku kan nggak bilang aku nggak diundang. Aku cuma nggak pernah datang. Kamu juga nggak pernah datang, kan? Apapun alasan kamu, aku juga punya alasan."

"Tenang, dong...," bujuknya. "Kamu kok gampang banget marahnya, Nggrid? Aku kan nanya biasa aja."

"Kamu sih yang kebiasaan tarik urat duluan, aku tuh nggak gini kalau nggak sama kamu!" dengkusku sebal.

Pram terdiam. Menegakkan punggungnya di kursi sambil menggaruk tengkuknya.

"Mau nanya kalau sama Gandhi kamu begini juga apa enggak?" serangku, padahal Pram nggak kelihatan mau ngomong apa-apa.

"I didn't say anything," katanya. "I get it. Kamu nggak suka diungkit-ungkit tentang Gandhi. Nanti kukurang-kurangin."

Setelah beberapa saat dan perasaanku udah lebih tenang, aku ngomong baik-baik, "Kamu bisa nanya siapapun yang ngundang kamu itu kalau kamu mau tahu di mana Diana sekarang. Dia pasti masih eksis di sekitar sini. Aku udah nggak pernah ketemu sama teman SMA kita sama sekali."

"Kirain kalian dulunya deket," gumamnya.

Bukannya siap-siap pergi, dia malah bersandar nyaman di kursi kayu dan menjulurkan dua kakinya di bawah meja. Aku menghindari ujung sepatu pantofelnya yang nyaris menyentuh kakiku.

Pramana menggigiti kukunya, alisnya menyatu di tengah. Dia menelitiku, tapi matanya seperti tersesat jauh entah ke mana. Tatapannya bikin salah tingkah karena aku duduk tepat di hadapannya. Kalau sedang begini, dia mengingatkanku pada Pramana belasan tahun lalu. Kalau sedang duduk di bangku cadangan, dia suka tahu-tahu diam, seperti menjelajah dalam dunia lamunan. Sampai-sampai dulu aku sempat menduga dia sebenarnya nggak seceria kalau lagi kumpul sama teman-teman cowoknya. Tapi, keluarganya terlihat sempurna. Anak seusia kami waktu itu, apa sih yang dipikirkan kalau keluarganya di rumah baik-baik aja?

Dulu aku selalu menyukai kesan misterius yang sesekali tertangkap karena aku terlalu sering mengamatinya, sekarang yang kuinginkan hanya menghindar.

"Kalau kamu bisa bilang aku gay...," dia bicara sendiri.

Aku mendesah, resah, tapi hanya menunggu.

"Aku harus ketemu Diana.... Dia satu-satunya mantan pacar yang berhasil kuingat setelah kamu nyebut namanya. Dia pasti tahu sesuatu, kan? Setelah kejadian kecelakaan itu, nggak pernah terbersit di kepalaku bahwa aku gay. Aku suka perempuan," tukasnya.

Ya memang kamu tuh enggak, gay, Praaam, jeritku dalam hati. Aku yang ngawur dan Diana pasti cuma ngebual karena sakit hati nggak pernah kamu pegang-pegang. Kenapa dulu kamu nggak pegang-pegang dia, sih? Kenapa kalau di rumah berduaan, kamu nggak ciuman sama dia, dan menurut keterangan Diana, kamu cuma ciuman dan mesra sama dia di dalam kelas? Coba kamu dulu grepe-grepe dia juga di tempat sepi, dia nggak akan bilang gitu. Aku nggak akan ngatain kamu gay di bukuku!

"Gimana kalau kita berdua nemuin Diana dan ngelurusin kesalahpahaman ini?" usulnya.

"Astaga, Pram!" geramku, muak. Padahal, satu-satunya orang yang berhak muak di sini adalah dia. Dia berhak mendapatkan penjelasan dariku. Dia berhak minta kami duduk bertiga dan meluruskan kekonyolan itu. Aku bisa aja ngasih tahu dia, tapi itu berarti aku harus siap menghadapi tuduhan pencemaran nama baik.

"Mau ke mana kamu?" tanya Pram ngelihat aku mengemasi barang-barang dan menjejalkannya ke dalam tas.

"Balik ke pabrik!" jawabku judes.

"Aku belum selesai bicara," erangnya.

"Aku udah."

"Nggrid! Inggrid! Kembali ke sini!" perintahnya dengan suara tertahan, nggak mau bikin tamu lain dengar kami ribut-ribut.

Nggak punya pilihan karena aku nekat ngeloyor ke luar, Pram mengantongi ponsel dan bergegas ngikutin langkah-langkahku.

Di depan pintu, kudengar dia memaki gara-gara seorang pramusaji menegurnya supaya kembali untuk membayar makanan kami. Aku sudah duduk di belakang kemudi waktu Pram menyusul beberapa menit kemudian. Dia menggedor kaca jendelaku, nyuruh aku turun supaya dia aja yang menyetir, tapi aku bergeming. Kuncian sentral baru kubuka setelah dia menyerah dan mengitari moncong mobil ke pintu samping.

Pramana masuk, membanting pintu di sampingnya kuat-kuat. "Kamu nggak bisa lari terus! Kamu harus bilang, atau aku benar-benar akan ngajuin tuntutan! Kamu bikin aku kesal, Inggrid! Aku udah bersabar. Aku mencoba nyariin jalan tengah yang terbaik. Aku juga nggak mau nuntut kalau nggak terpaksa, aku cuma mau tahu aja apa yang bikin kamu dan Diana nuduh aku kayak gitu. What happened to me in the past and to you?!"

Aku menggerungkan mesin mobil, tapi saat aku berniat memutar setir untuk keluar dari area parkir, Pramana menahan roda kemudiku.

"Inggrid!" serunya.

Rahangku mengencang, aku mengerang sementara tanganku bersikeras mengendalikan roda mobil. Tukang parkir sudah menunggu dengan aba-aba supaya aku mundur karena jalanan di belakangku sepi, tapi Pramana membanting setirku ke arah berlawanan secara nggak terduga. Kakiku menginjak pedal gas dengan serta merta, mobilku mengeloyor maju menabrak tepian trotoar di depan Toko Oen.

Mobil berhenti, kami berdua terhentak kencang di dalamnya.

Pramana terengah, wajahnya keras. Geraman murkaku sama sekali nggak mengusik pertahanannya.

"Suruh Elliot kirim orang lain ke pabrikku!" aku menjerit.

"Ha?"

"Kalau enggak, aku mau mengundurkan diri!"

"Apa urusannya sama Elliot kalaupun kamu mau ngundurin diri?" balas Pram keji. "Silakan saja. Kamu yang akan kehilangan karir, belum lagi harus ngadepin tuntutanku!"

"Aku nggak peduli!"

"Aku tahu kamu peduli!" bentak Pramana lebih bengis. "Just tell me, Inggrid! Nggak mungkin aku bisa mengingat semua tentangmu dengan begitu mudah dari beberapa bait adegan dalam tulisan itu kalau kamu nulis semuanya hanya karena iseng. Itu bukan sekadar karangan. Sebelum aku tahu nama asli di balik nama penamu, aku ingat semuanya dari adegan yang kamu tulis. I saw everything, Inggrid, Everything!"

"E—everything?"

"I saw your much younger faces everywhere around me," tutur Pramana, engah napasnya mereda. "Waktu kamu SMP... duduk di kursi penonton saat aku latihan basket, sembunyi di balik pohon mengawasiku latihan baris berbaris, lewat di depan rumahku setiap pulang sekolah, dan di depanku saat kelas 12, duduk di sampingku setiap kali Diana marah sama aku. Aku nggak ingat Diana sebelum kamu menyebutnya, aku hanya ingat ada seorang cewek selain kamu, tapi aku ingat semua tentangmu dari secuil adegan di tulisan konyolmu. Even your name rang the bell in my head. Stop trying to convince me kalau semua itu cuman iseng. What are you trying to tell me, Inggrid?"

"A—aku...."

"Aku harusnya ke Vietnam sebelum kutahu nama penanggung jawab QA factory di sini adalah kamu. Aku yang ngajuin diri, jadi jangan mimpi kamu bisa minta Elliot ngirim orang lain selain aku. I did that because I know something had happened between us in the past!"

Aku sepenuhnya terdiam, menahan mulutku yang sudah nggak kuat ingin meneriakkan yang sebaliknya. I wish there were something happened between us in the past.  Sebab kalau ada, kalau kamu yang nungguin aku di gudang itu, aku nggak akan ngalamin semua kejadian mengerikan itu.

"Inggrid... please...," bujuk Pramana. "Aku mau nanya sesuatu... tapi please... kamu harus menanggapinya dengan kepala dingin...."

Aku berdeham melegakan tenggorokanku dan menoleh lambat ke Pramana, "Apa?"

Pram bertanya dengan hati-hati, "Apa kita... selingkuh di belakang Diana?"

"Haaa...???"

"Apa kita main gila di belakang Diana, kamu marah, dan akhirnya bikin cerita bohong buat ngebalas perbuatanku?"

Rahangku jatuh ke pangkuan.

"Seingatku... ada sesuatu yang terjadi setelah itu... sesuatu yang nggak menyenangkan, tapi aku nggak berhasil mengingatnya. Sesuatu... yang ada kaitannya sama kamu—"

"Nggak...," sahutku cepat. "Nggak ada."

"Nggak ada?"

"Nggak ada, Pram!" tegasku.

Aku nggak mau Pram ingat kejadian itu. Aku nggak mau dia mengingat bagaimana jijiknya dia menatapku saat aku berada di pelukan Pandu dengan kemeja setengah terbuka. Aku nggak sanggup melewati kembali serbuan rasa malu yang nggak tertahankan itu. Aku harus segera menyelamatkan harga diriku sebelum peristiwa itu berhasil diingat Pramana.

"Kita... nggak selingkuh di belakang Diana," kataku.

"Lalu?"

"Kita pacaran setelah kamu putus sama Diana, tapi kamu mutusin aku sebelum kita lulus."

"Aku mutusin kamu? Kenapa?"

"K—kamu bilang... kamu nggak suka aku...."

"Tapi kenapa? Apa alasannya?"

"Ka—kamu bilang... itu bukan salahku, karena sebenarnya... kamu memang nggak suka anak perempuan...."

There I said it.

Dan aku nggak tahu urusannya jadi lebih panjang dari dugaanku.

Chapter 23 udah update duluan di karyakarsa.

Makin runyaaaam, tapi makin ehem jugak

Wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top