Chapter 20. Sayange Wes Nduwe Bojo
Artinya apa hayo kalau di-repost gini?
🤭🤭🤭 Part 21 on the way ya
Part ini udah update duluan ya di Karyakarsa. Soalnya nggak bisa nggak puanjang. Harus panjang.
Ada insiden dnkqwndkwqekjnx kqndjkwqjkdbq kjqwdjkqwbkdj getoooh...
Ini aslinya 4500an kata kalau termasuk insidennya. Di wattpad separuhnya.
Coba part ini dibaca dulu di wattpad, kalau penasaran sama insiden dnkqwndkwqekjnx kqndjkwqjkdbq kjqwdjkqwbkdj-nya, baca di KK, ya. Cuma 5K, kok. Daripada jajan cilok nimbun lemak, mending buat ketawa. Sehat.
Karena part ini diupdate semua di KK, nggak bagian extra content doang, aku nggak minta 1K votes, deh. Komennya aja yang 1K
Wkwk...
Nggak ah ntar aku update 3 atau 4 hari lagi aja
"Tapi kamu lihat, kan?!" tuduhku. "Jangan bilang nggak lihat kalau kamu lihat. Pengecut kamu, Pram! Ngaku aja kenapa?!"
"Okay... Okay... I saw your boobs."
Aku tergemap.
"Yang sebelah doang—"
"PRAAAMMM!!!"
Pramana malah sibuk menahan tawa. "Sorry... aku nggak bermaksud ketawa... ini ketawa sendiri, Nggrid...."
"Pramanaaa...!!!" jeritku gemas. Aku merangsek maju, melayangkan tinju bertubi-tubi ke lengan Pramana yang masih sibuk terpingkal-pingkal. "Bisa-bisanya kamu ketawa. Dasar pembohong. Tukang tipu. Mana ada kamu cuman liat yang sebelah! Gimana caranya kamu punya dua mata cuman lihat yang sebelah, sebelahnya lagi enggak?!"
Derai tawa Pramana makin menjadi. Tapi, sambil ketawa sampai air matanya bercucuran, dia masih bisa menangkapi kedua tanganku yang menghujani lengannya dengan pukulan. Setelah berhasil kembali menguasaiku, Pram menatap mukaku lekat. Ekspresinya berubah sangat serius, "Aku minta maaf," katanya sungguh-sungguh, napasku yang terengah otomatis tertahan. "Aku lihat dua-duanya. Puas?"
Hidungku mendengkus. Malu.
"Aku harus gimana supaya impas?" tanyanya.
"Cabut semua ancaman dan tuduhanmu buat ngelaporin aku ke polisi," jawabku lancar.
Pramana tertawa kecil, "Nggak apple to apple, dong. Aku lihat punya kamu, kamu lihat punya aku, gimana?"
"Dih... ngapain aku lihat punya kamu?!"
"Kan sama-sama cuman lihat," katanya.
"Kamu tuh... kamu tuh bener-bener, ya, Pram! Nggak sama lah lihat punyaku sama lihat punyamu. Kamu telanjang dada jalan-jalan di luar juga nggak ada yang nganggep aneh. Coba aku jalan-jalan telanjang dada di luar. Aku bisa dilemparin batu, disangka orang gila, ditangkap polisi! Apple to apple dari mana?!"
"Ya udah... kamu mau lihat punyaku yang kalau kubuka aku juga bisa disangka orang gila dan ditangkap polisi?"
"Najiiisss!!!" jeritku, benar-benar habis kesabaranku ngadepin dia. "Emang brengsek kamu, Pram! Lepasin aku, nggak?!"
"Dilepas, tapi kamu jangan liar, ya?" pintanya lembut, tapi ngeselin. "Sakit tahu pundakku, Nggrid? Kamu nggak kena rabies, kan?"
Aku ngamuk, mengentak-entak tanganku biar lepas, tapi nggak ada gunanya. Malahan lama-lama kami kayak lagi dansa salsa. Aku pun menyerah. Cape banget ya Tuhan.
"Nggrid... kita sama-sama nggak punya waktu buat main-main," katanya.
"Main-main...?"
"Ini?" kata Pram, merujuk ke pergelangan tanganku di tangannya, lalu dia meliuk-liukkannya seperti ombak. Seperti itu kelihatannya perlawananku barusan di matanya. Seremeh itu. "Eliot nunggu hasil laporan sama sampel kita hari ini. I said I am sorry. Aku becanda soal apple to apple tadi. There is nothing yang bisa kulakuin buat bikin semuanya impas, tapi aku berani sumpah... aku nggak bermaksud kayak gitu... nggak bermaksud kurang ajar... apalagi...."
"Apalagi apa?"
"Apalagi ngerusak kehormatanmu," ucapnya.
Di situ, ledakan emosiku langsung berkurang. Aku mengatur napas.
"Jangan gigit atau jambak lagi, ya, Nggrid. Nanti kulepas," katanya. Seulas senyum tipis menghiasi wajah gantengnya yang menyebalkan. Ditambah, setelah aku nggak kunjung mengucap janji nggak akan menggigit atau menjambak lagi, dan malah menggemeretakkan gigi-gigiku di depannya, Pramana ketawa. "Please... Inggrid... stop... you look so cute when you're angry."
So...
Cute...?
Glek. Mukaku langsung merah. Suara ludahku yang tertelan mungkin kedengeran sampai ke luar rumah. Kedua mata Pramana membola besar menyadari apa yang barusan diucapkannya. Dengan canggung, dia berdeham dan melonggarkan pergelangan tanganku pelan-pelan. Kami jadi sama-sama salah tingkah.
"Now let me finish the printing. Kalau kamu diam dan nurut, nanti kutraktir makan siang."
"Siapa juga yang mau traktiran makan siangmu!"
"Harus mau!"
"Nggak sudi aku makan makan siang dari kamu!"
"Kamu boleh pilih resto mana aja yang kamu suka."
"Enggak! Aku bukan cewek murahan, ya! Kamu sogok pakai makan siang, terus kamu berharap aku ngelupain... ngelupain...."
"Ngelupain apa?" sambar Pramana jahil. "Ngelupain kalau aku udah pernah lihat lebih dari yang seharusnya boleh aku lihat?"
"Jangan mulai kamu, Pram!"
Pram menyengir. "Aku lepasin, ya?" tanyanya manis. Aku memalingkan muka dan merasakan cengkeraman Pram makin kendur perlahan-lahan. Setelah lepas, dia mengambil satu langkah mundur. Takut aku kembali menyerang. "Lima menit. Aku cuma butuh waktu lima menit, lalu kita jalan. Okay? Okay, Inggrid...?"
Aku mengibas tanganku sambil menggerutu. Untung aja situasinya lagi kayak begini. Aku nggak perlu salting mendengarnya menyebut namaku dengan manis. Mana dia ngatain aku so cute. You look so cute when you're angry.
You look so cute when you're angry?
Mana ada orang kelihatan cute kalau lagi angry? Bisa-bisaannya dia doang. Sok-sok romantis kayak di drama-drama Korea. Nggak pantes banget. Aku buru-buru ninggalin kamar. Bertepatan dengan melangkahnya kakiku melewati ambang pintu, ponselku bunyi.
"Siapa?" tanya Pram. "Ms. Fok?"
"Bukan."
"Terus siapa?"
"Apaan, sih? Bukan urusan kamu!"
Sebenarnya, Gandhi yang nelepon. Entah kenapa aku pakai nggak mau bilang segala ke Pramana kalau itu Gandhi. Kayak seolah aku lagi jaga perasaannya gitu. Emang dia peduli apa? Dan kalau dia peduli, kan malah bagus. Kenapa nggak sekalian aja kubilang, Oh ini dari Gandhi Sayangku, Gandhi Cintaku, Pujaan hatiku. Biar panas sekalian hatinya.
"Ya, Gan... ada apa?"
"Kamu lagi apa, Nggrid?" tanya Gandhi, serius.
Mataku terpincing. Tumben dia nanyanya pake nada formal, meski pertanyaannya tetap luwes seperti Gandhi yang biasa merayu. But somehow, tanpa bertanya, aku menyimpulkan Gandhi lagi ada di kantor, atau kalau enggak, apa yang akan disampaikannya cukup mendesak.
"Final inspection report-mu masih ditunda approval-nya," kata Gandhi, aku bahkan belum menjawab apa-apa. Bukan Gandhi banget ini. Biasanya, dia paling betah basa-basi. "Ada masalah, Nggrid... dan aku sedang coba cariin solusinya."
"Masalah apa? Gawat?" bisikku. Aku mengasingkan diri ke dapur. "Ms. Fok udah nanyain terus. It's about time, kan? Udah sebulan lebih sejak barangnya diterima. Kasih tahu aja sekarang, Ndhi... jangan bikin penasaran."
"Okay... tapi aku mau kamu janji dulu. Karena ini masih confidential banget, nggak boleh bocor sampai ada keputusan dari manajemen Lanoste. Cuma... karena aku... care sama kamu... peduli... sayang...."
Aku memutar bola mata. Entah gimana situasinya di ujung sana, aku bisa menyimpulkan Gandhi nggak lagi di kantor. Aku mencium adanya kemungkinan konspirasi yang akan bikin aku terpaksa menuai apa yang pernah kutanam. Kalau sampai sesuatu yang sangat gawat terjadi dan Gandhi bisa ngasih solusi, dia pasti juga mau sesuatu sebagai timbal balik. Nggak mungkin enggak. Mengingat dia bilang ini masih rahasia, aku yakin dia sedang mencoba 'berbisnis' denganku aja, bukan dengan tempatku kerja.
"Jarum," ucap Gandhi singkat.
"Nggak mungkin!" seruku.
Di balik punggungku, aku bisa merasakan kehadiran seseorang. Pram mencuri dengar.
"Nggak mungkin, Gandhi. Kita pakai detector! Kita cek random samplingnya bareng-bareng. Semua personel departemen inspeksi turun tangan sebelum masuk ke dalam karton."
"Just one among thousands," kata Gandhi. "Mungkin terlewat sama kita."
"Tapi—"
"Tapi itu nggak bisa djjadiin excuse," imbuhnya. "Gini... yang pentng kamu relaks aja dulu. Aku akan bantu sebisaku supaya case-nya nggak sampai diangkat. Kami lagi mikirin untung ruginya. Mendingan di-brought up tapi kehilangan vendor, atau win-win solution."
"Denda?"
"Bisa jadi."
"Aku pasti dipecat," gumamku lemas. "Gan... aku mesti gimana?"
"Just wait, pura-pura nggak tahu apa-apa, I will see what I can do for you, okay, Baby? Aku udah di Semarang. Mungkin lebih baik kita segera ketemuan."
Sial.
Pantas saja Gandhi menerorku dengan belasan misscall waktu aku terjebak di rumah Pramana. Yang bener aja. Masa bisa ada jarum? Kok bisa, sih? Semua udah dicek, random samples juga di-inspect secara menyeluruh, pakai metal detector juga.
Jarum?
Aku terduduk lemas.
Kalau aku nggak tahu Pramana udah ngawasin aku dari tadi, aku pasti udah menangis.
"Kenapa, Nggrid?"
Aku mencoba tenang, kutunggu sampai Pram menarik kursi dan duduk di depanku.
"Hey...," panggilnya. "Tell me... mungkin aku bisa bantu."
"Kamu nggak akan bisa bantu," kataku sambil menyeka air mata yang tahu-tahu menetes. "Aku bakalan dipecat."
"Aku nggak akan ngadu, kok...," dia bilang. "Ya ini emang sakit, sih, tapi kalau gigimu nggak ada virusnya... aku nggak akan visum."
"Jangan becanda, Pram," rengekku. "Aku serius...!"
"Ya makanya... cerita...."
Kusedot ingus yang nyaris menetes dari hidungku. Sebelum cerita, aku udah sesenggukan duluan, "Masa... masa kata Gandhi bisa ada jarum... di salah satu garmen kirimanku ke Lanoste... yang final inspection report-nya kutungguin itu... padahal aku udah ngecek semuanya, aku udah ngikutin requirement random sample checking-nya sampai rasio tertinggi. Jarum, Pram... itu kan kayak mustahil banget...."
"Di mananya?"
"Belum tahu."
"Kok bisa belum tahu?" tanya Pram curiga. "Bukanya final inspection report-nya udah keluar? Makanya dia bisa ngasih tahu kamu?"
"Gandhi bilang.. mereka lagi discuss. Final report-nya belum disegel...."
"Wait," tahan Pram. Keningnya mengernyit. "Dengan kata lain... dia bocorin hal confidential kayak gitu ke kamu?"
"Mungkin dia kasihan sama aku... nggak mau aku dipecat. Dia janji mau referensiin aku ke brand-brand kenalannya kalau rekomendasiku keluar."
Pram menggeleng samar, tapi dia berhenti ngebahas itu. "Di mana dia bilang jarum itu ditemuin? Di dalam karton, dozens packs, atau per piece-nya? In seam, atau nyelip dalam folding?
"Is it really matter?"
"Of course it matters. Ngaruh di tingkat toleransinya. Kalau jarumnya ditemuin di dalam seam ya itu fatal. Kalau sampai lolos ke retail, garmen itu bisa melukai customer. Di Amerika dan Eropa, hal kayak gitu bisa bikin bangkrut sebuah brand. Kalau udah in seam, bukan cuma QC supervisor, masalah ini bisa merambat sampai ke manajer produksi. Bukan cuma kamu yang bakal dipecat."
"Praaam!" seruku ngeri.
"Aku nggak nakut-nakutin, Nggrid. Emang gitu. Tentu aja, sebelum menekan manajer produksi yang didatangkan dari negara yang sama dengan para pemegang saham perusahaanmu, which there gonna be a thick conflict of interest, mereka akan lebih dulu menekan kalian. Jadi kalau kamu bisa membela diri, bela dirimu dulu. Sebelum kamu dijadiin tumbal."
"A—aku... belum jadi Supervisor QC waktu shipment bulk production yang itu.... Masih jadi team leader. Lanoste kan udah cukup lama dikerjain di pabrikku, tapi aku baru jadi penanggung jawab beberapa order belakangan. Yang itu udah lumayan lama."
"Well... kamu bisa memanfaatkan posisi itu...."
"Maksudmu nyalahin orang lain?"
"Kalau kamu mau nyalahin dirimu sendiri, silakan. Tapi asal kamu tau, ya, Inggrid... this is business. Sampai ke bagian-bagian terbawahnya, sampai mata rantai paling lemah, ini tetap saja bisnis. If you want to survive, kadang kamu harus egois. Kalau kamu nggak bisa sepenuhnya disalahkan, mainkan posisi itu."
"Aku nggak tahu gimana jelasinnya. Aku bukan penanggung jawab utama style yang bermasalah itu dan QC supervisor waktu itu udah mengundurkan diri, tapi...."
"Nggak ada QC yang wajib bertanggung jawab atas semua barang produksi, apalagi running beberapa brand sekaligus. Itu mustahil. Tapi, kalau jarum tertinggal di dalam seam, kemungkinan yang kena selain QC, ya orang-orang di table inspeksi karena kalian pintu terakhir di mana personel factory masih memakai jarum. Kalau poin itu diajukan, kamu memang akan selamat dari tuduhan sebagai satu-satunya tersangka, tapi, belum tentu akan selamat dari vonis pemecatan. Paham maksudku?"
"Ya. Percuma membela diri dengan poin itu...."
Pramana terdiam, tapi berpikir, "Dia ada di situ saat pengecekan tahap akhir?"
"Siapa?"
"Pacarmu," sengal Pramana.
"Ada," jawabku. Kami sontak saling adu tatapan. "D—dia bukan pacarku, lho...."
Lidah Pram mendecap, "Kalau dia ada di sana, berarti dia juga nggak lepas dari masalah. Dia lagi mikirin cara, tuh, supaya kamu bisa dijadiin tumbal."
"Gandhi nggak mungkin kayak gitu," bantahku. "Dia juga ngasih tahu supaya aku aware duluan sama masalah ini. Dia bilang... dia mau usahain supaya Lanoste berpikir ulang, mau diangkat, atau enggak."
"Ngapain mereka nggak ngangkat kalau ada masalah begituan? itu keuntungan buat mereka. Mereka bisa nuntut pembayaran denda yang nggak main-main jumlahnya. Dia janjiin kamu gitu? emang segede apa pengaruhnya di Lanoste?"
"Aku nggak tahu."
"Harusnya kalau emang dia mau pasang badan ngelindungin kamu, nggak perlu juga dia ngasih tahu kamu duluan, apalagi sampai ngebocorin rahasia perusahaannya sendiri. Dia udah tahu posisinya lebih aman. Dia memang harus ngebela kamu karena dia juga ada di sana waktu jarum itu lolos dari metal detector. Nyalahin kamu sama dengan nyalahin dirinya sendiri. Dia ngasih tahu kamu bukan supaya kamu aware atau apa. Dia cuma mau bilang, seandainya nanti kamu selamat, itu karena jasanya. Kalau sampai kamu nggak selamat, itu bukan salahnya. Makanya dia make sure kamu tahu dia akan bantu kamu."
Aku masih terisak.
"We should get going. Udah makin siang," kata Pramana. "Are you okay?"
Kepalaku menggeleng.
"But you still have to work. Siapa tahu dia beneran bisa bantuin kamu lolos dari masalah ini, kan?" katanya, agak sinis. Aku menatapnya. Pram menatapku. Setelah beberapa saat, dia menyimpulkan, "Kalian pasti sangat dekat."
Aku memalingkan muka.
"I am telling you, Inggrid... hati-hati menjalin hubungan dengan buyer QA saat kalian sama-sama pegang satu pekerjaan. Kalau ada kesalahan seperti ini, orang yang bekerja bersama kalian saat itu terjadi bakal diam-diam nyalahin kedekatan itu."
"Maksudmu?"
"Yah... apa saja yang kalian lakukan sampai ada jarum nyelip di bulk production? Jarum, lho, Nggrid. Kalian ngapain aja? Make out di bawah meja inspeksi?"
Aku meninju lagi lengannya. "Jangan kurang ajar!"
Pram meringis. "Jadi... enggak?"
Napasku terbuang kasar. "Malam itu enggak," gumamku.
"Tapi pernah?" desaknya.
"Apa, sih?"
"Jawab aja... did you... or did you not make out with him under the inspection table?"
Pipiku merona.
"You did?" selidik Pramana, nggak menyerah.
"Memangnya kenapa kalau udah?" tantangku, membalas tatapan tajamnya yang menusuk tepat ke manik mataku. "Itu kan bukan urusan kamu aku make out sama dia di bawah meja inspeksi atau meja ironing sekalipun!"
"Jadi kamu make out juga sama dia di bawah meja ironing?"
Shit!
Pipiku semakin panas. It wasn't make out. Cuma ciuman aja. Gunting Gandhi jatuh. Dia berjongkok di bawah meja untuk mengambilnya waktu kami sama-sama lagi ngecek pattern. Aku ikutan bantuin dia nyari, tangan kami bersentuhan di atas gunting. Lalu, ciuman pertama setelah semingguan dia flirting aku habis-habisan pun terjadi.
Aku lagi melamun mikirin kejadian itu. Teringat kembali betapa menyenangkannya perasaan dag-dig-dug waktu Gandhi pertama kali menciumku. I mean... aku tahu itu bukan cinta, tapi tetep aja. Di antara lautan manusia yang sibuk bekerja, aku sama dia seolah terasing di bawah meja, terbawa suasana, lalu tahu-tahu bibir kami melekat.
Nyetrum gitu rasanya....
Aku udah siap jatuh hati sama Gandhi tepat sebelum Vero ngasih tahu bahwa laki-laki itu udah punya istri. Sorenya, Vero sengaja muter lagu dangdut yang ada syair, "Sayange wes nduwe bojo..." berkali-kali di lantai produksi buat menyindir Gandhi.
Tahu-tahu juga, laki-laki yang rencana pernikahannya kandas gara-gara ulahku menggebrak meja kencang sekali. BRAKKK!
Aku melonjak.
"Mukakmu mesum!" bentaknya. "Ayo, bangun! Kita berangkat sekarang. Aku yang nyetir!"
Dih... cemburu, nih, ye...?
Kalau sama yang ini sih... syairnya mesti diganti. Sayange belum jadi nduwe bojo....
Udah sempet lihat penampakan Ms. Fok yang asli di instagram story-ku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top