Chapter 2. Cinta Pertama
Dari kemarin Wattpad eror, ya?
Kamu dapat notif cerita ini enggak?
Jangan lupa vote sebelum baca, dan absen di komen dulu, ya.
Yang ini agak panjang. Kamu pasti suka yang panjang2, kan? Apa yang pendek, tapi...😏😏😏
Hmmm...
Kami tiga bersaudara.
Kakak sulungku perempuan, namanya Gracia. Dia sudah punya anak, statusnya janda. Gracia tempatku berkeluh kesah, terutama sejak aku kembali ke Indonesia. Karena nggak kuat menanggung beban pikiran sendiran, akhirnya aku ngadu ke dia tentang kejadian kemarin lusa. Dengan risiko digoblok-goblokkin, tentu aja. Habis mana kutahu? Kupikir... Pramana memang udah lenyap ditelan bumi. Aku terlalu fokus sama hidup dan penderitaanku sendiri, sampai lupa hidup orang lain masih berjalan.
Gracia berbicara di ujung lain, "Ya kalau kamu pakai nama aslinya, claiming bahwa itu kejadian nyata, terus orangnya ngerasa namanya dicemarkan, bisa aja, sih, Nggrid. Apalagi zaman lagi ramai UU ITE gini, gampang banget orang mau nuntut-nuntut. Emangnya Malik Syarifudien Pramana itu beneran ada? Kamu bilang... semua cerita soal mantan di bukumu itu cerita dari narasumber? Kok bisa ada teman sekelasmu protes? Teman sekelas kapan? SMA? Yang mana orangnya? Apa dia termasuk anak-anak yang dulu itu? Nggrid... Inggrid...?"
Aku merosot lemas di samping tempat tidur kamarku.
Duniaku serasa runtuh.
Memangnya... apa yang kamu harapkan, Inggrid?
Kamu tahu balik ke sini adalah ide yang buruk. Sampai kapan kamu bisa menghindari orang-orang dari masa lalumu? Kebanyakan dari mereka masih tinggal di sini, nggak beranjak ke mana-mana.
Oh Tuhan... aku nggak pernah nyangka aku bakal ngerasain hal kayak begini lagi. Belasan tahun ternyata belum cukup lama. Seseorang yang sedetik sebelumnya kupikir sedang memelukku erat dan mencumbu bibirku lalu tiba-tiba mengentakku ke belakang sampai aku nyaris terjengkang itu ada di sini.
Pramana.
Sampai kemudian kulihat Pram berdiri di ambang pintu gudang yang dibukanya lebar—di belakangnya segerombol siswi kelasku berkerumun dan tertawa lepas meledekku—aku masih bingung. Kenapa Pram tahu-tahu menolak setelah mencium bibirku? Kok Pram bisa ada dua?
Betapa naifnya kamu, Nggrid!
Kalau Pram niat naksir kamu, dia nggak akan nunggu sampai valentine's day. Memangnya dari mana dia tahu cokelat itu darimu?
Aku nggak bisa melupakan bagaimana Pram memandangiku dengan tatapan jijik dan hina. Aku hampir saja menggugat dengan wajah berurai air mata. Kamu yang nyuruh aku ke sini! Kamu yang yang menciumku!
Kenyataannya, bukan Pram yang menciumku, melainkan Pandu.
Cowok jelek itu muncul dari balik punggungku sambil tertawa terbungkuk-bungkuk.
Pandu... astaga!
Tiap kali aku ingat mukanya, lambungku seperti diadu-aduk.
Berapa kalipun bibirku kubasuh dengan air, rasa bibir Pandu nggak mau pergi. Bagaimana mungkin aku nggak menyadari aroma aneh yang menguar dari mulut yang membungkamku itu bau bangkai? Nggak mungkin aroma semacam itu berasal dari mulut Pram. Aku menghabiskan masa remaja menguntitnya, aku pasti tahu kalau dia merokok seperti Pandu dan kawan-kawan nakalnya. Pram nggak suka membolos buat nongkrong di kantin belakang, apalagi untuk merokok. Terlebih, Pramana nggak mungkin meremasi payudara seorang gadis saat mencumbu bibirnya. Disodorin toket Diana yang jauh lebih besar dari punyaku aja dia nggak mau.
Tapi... dia bisa mengerjaiku.
Dan aku tetap membelanya dengan kalimat; Pramana nggak mungkin begini, Pramana nggak mungkin begitu. Lalu menyalahkan diriku sendiri, kenapa aku nggak menyadarinya lebih cepat? Tangan Pandu seperti ada lebih dari sembilan, dan sembilan-sembilannya menggerayangiku. Nggak mungkin Pramana berbuat begitu.
Aku terlalu polos, bodoh, dan bahagia....
Bahagia. Di situ lah hal yang paling menyedihkan dari segalanya.
Berciuman dengan Pramana adalah fantasi terliarku, bagaimana mungkin aku nggak bahagia saat hal itu terwujud? Aku mengesampingkan segala akal sehat. Apa mau dikata? Aku hanya remaja yang terus menerus kasmaran pada satu orang selama enam tahun lamanya. Sepertiga dari usiaku saat itu kudedikasikan untuk memuja Pramana. Memang aku nggak punya akal sehat waktu itu.
Selain itu, semuanya terjadi begitu cepat, Pandu bahkan nggak mengatakan sesuatu. Begitu melihatku masuk, dia langsung merangsek. Dia menyasar bibirku tanpa babibu. Aku bahkan sempat melayang, kupikir itu romantis. Sampai kemudian aku nyaris memuntahi mulutnya gara-gara bau yang menguar dari sana.
Aku menyesal kenapa aku nggak melakukannya.
Keesokan harinya, aku menolak pergi ke sekolah dan mengurung diri di kamar sampai ujian tiba. Ayah mendukungku. Orang tuaku memperjuangkan keadilan dengan mendesak pihak sekolah supaya aku dibiarkan belajar di rumah sisa semester itu dan hanya datang saat ujian. Ayah sangat marah, tapi oleh pihak sekolah, apa yang dilakukan Pandu hanya dianggap kenakalan remaja biasa.
Sampai sekarang aku nggak habis pikir bagaimana Pram sedikitpun nggak dilibatkan dalam kekacauan. Mungkin, karena orang tua Pram menyumbang banyak uang untuk pembangunan sekolah. Padahal, dia ada di barisan depan para siswi yang menertawakanku.
Aku nggak mungkin salah. Aku tahu persis itu tulisan tangan Pramana. Aku menyimpan dua lembar hasil ulangannya yang dijadikan pembungkus gorengan di kantin, jadi aku hafal. Tapi, aku terlalu syok untuk memberi pengakuan. Aku hanya diam. Lagipula aku nggak mau menambah daftar rasa malu yang harus kutanggung kalau semua orang tahu aku sudah menyukainya sejak SMP. Orang bisa berpikir aku sengaja menyodorkan diri. Sampai hari ini, surat dari Pram nggak pernah kutunjukkan pada siapapun.
Trauma yang sampai membuat Ayah mengirimku ke rumah paman di Singapura untuk menempuh studi itu kembali menghantuiku sejak Pramana tiba-tiba muncul di peluncuran buku perdanaku mengenai mantan yang perlu diarsipkan.
Oh, sial! Sial! Sial!
Aku memukuli meja di depan cermin toilet dengan kepalan tanganku, merasa bodoh dengan keputusanku memasukkan nama Pram untuk memenuhi poin-poin yang nggak bisa kupaparkan karena keterbatasan narasumber.
Gay in the closet.
Tanpa bermaksud judgemental terhadap jati diri dan pilihan hidup seseorang, a gay in the closet adalah pria-pria yang harus segera kamu museumkan, bahkan sebelum mereka jadi mantan.
Begitu tulisku.
Sebaliknya, sebagai perempuan, kita harus berkoalisi dengan kaum gay untuk menghindar dari perangkap para pria homoseksual yang berusaha mencari pengakuan for the sake of society's standards. Society is the cruellest. Support their rights, jadilah ally, supaya masyarakat menormalisasi jati diri mereka dan mereka tidak perlu mengincar gadis baik-baik untuk dijadikan tameng dan kamuflase.
Let me tell you a story about the most charming homosexual in my teenage life, aku menyebut nama lengkapnya dengan gamblang, seolah dia sudah mati. Kemudian aku membual sepanjang hampir sepuluh ribu kata mengenai kehebatan Pramana yang selama masa remajaku kukagumi setengah mati, dan kututup dengan plot twist bahwa dia gay. Tentu saja, aku membuat seolah-olah aku memacari sendiri Malik Syarifudien Pramana berdasarkan cerita-cerita Diana yang dicekokkan dengan kejam ke telingaku tanpa perasaan selama mereka menjalin hubungan.
"Kok kayaknya Pram itu gay, ya, Nggrid?"
Aku mengarang indah berdasarkan satu kalimat yang diucapkan oleh seorang gadis ingusan saat dia kesal pada mantan pacar gara-gara diputusin sepihak entah dengan alasan apa. Aku lupa, hanya karena aku sudah terbebas dari masa lalu mengerikan itu dengan melompat ke dunia lain yang nggak berhubungan lagi dengan mereka, Malik Syarifudien Pramana dan tiga ratusan lebih siswa seangkatanku di SMA masih hidup dan bisa menudingku membuat cerita bohong yang merugikan nama baik seseorang.
Ah... ponselku bunyi lagi.
Ms. Fok mengirim voice note karena teleponnya nggak kuangkat. Dia ini manajer produksi di factory-ku. Orang Hongkong, usianya udah senja, tapi gayanya masih urakan kayak gadis umur 20an. Mulutnya? Jangan tanya.
"Inggid Cala Yunial, haiyaaa...," pekik perempuan jompo itu. "Kalau you olang nggak menampakkan batang hidung di kantol hali ini yaaa..., jangan datang sekalian sampai hali Senin, haiyaaa...!"
Aku merana menatap layar ponselku.
Ms. Fok sudah menggunakan kalimat saktinya untuk mengancam seseorang. Jangan datang sekalian sampai hari Senin berarti saat aku datang pada hari Senin, aku hanya diberi waktu sepuluh menit untuk mengemasi barang-barangku yang tersebar di seluruh ruang QC lantai produksi, padahal untuk sekadar menjelajahinya saja butuh lebih dari lima belas menit.
Dasar perawan tua kejam. Aku nggak bisa kehilangan pekerjaan ini setelah menjadi budaknya selama hampir dua tahun! Dia pikir aku suka kerja rodi buat sebuah perusahaan modal asing di bawah pimpinan expatriate perempuan berumur 58 tahun yang nggak menikah karena menurutnya semua lelaki lebih baik pergi berperang dan pulang tinggal nama seperti zaman dia muda dulu?
Aku bertahan karena hanya dengan proses ini aku bisa mendapatkan pekerjaan sebagai brand QA seperti Gandhi.
Meskipun sama-sama quality assurance, bekerja di PMA (yang menerima orderan dengan harga per-piece serendah mungkin supaya brand terkenal bisa menjual barang hasil produksi negara kelas tiga dengan harga selangit) dan bekerja untuk sebuah brand terkenal, perbedaannya seperti bumi dan langit. Baik dari segi gaji, kesejahteraan, dan kehormatan. Kalau aku ingin brand seperti Lanoste mempekerjakanku, aku nggak boleh dipecat dari perusahaan dalam negeri yang mempekerjakanku sebagai quality assurance/ control supervisor.
"I am mentally unstabble this time around, Ms. Fok," keluhku sambil menelanjangi diri sebelum air hangat membasuh tubuhku yang sudah dua hari ini waterproof.
"You come here even if you're dying. I don't care laaa!" balasnya keji.
Ms. Fok memang menyeramkan kalau urusan pekerjaan, tapi di luar itu dia bos yang lumayan asyik diajak bersenang-senang, makanya aku tetap berani komplain. Tahun lalu aku menghabiskan bonus tahunanku untuk jalan-jalan ke kampung halamannya di Hongkong. Dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri di sana, tapi begitu kembali, bahkan sebelum briefing pagi dimulai, aku jadi budaknya lagi.
Padahal, sebenarnya posisiku di kantor bukan berada di bawahnya yang berperan sebagai production manajer. Aku justru bertugas mengawasi kualitas produksi hasil kerja anak buahnya, aku bisa menolak standar kualitasnya dan dia harus menurutiku. Tapi tetap saja, dia expatriate-nya. Kastanya lebih tinggi dari pribumi kayak aku.
Ms. Fok memang akan kesulitan kalau aku nggak ada. Takutnya, dia telanjur memproduksi kuantitas banyak dan ternyata unacceptable. Aku harus terus mengawasi jalannya produksi dan mengingatkannya kalau-kalau ada yang nggak beres pada satu proses sebelum damage-nya makin besar.
Sambil mengeringkan tubuhku dengan handuk, wajah Pramana dewasa kembali muncul di benakku. Selain fakta bahwa dia berhasil memaksaku menyerahkan nomor ponsel yang akan dihubungi oleh kuasa hukumnya saat ia siap menuntut, aku nggak bisa mengusir sosoknya dari kepalaku. Dia masih setampan dulu, malahan gurat-gurat kedewasaan di wajah itu membuatnya semakin mempesona.
Dalam keadaan marah pun, dia tetap mampu menggetarkan bagian dari diriku yang masih terus merindukannya. Walau kupendam dan kutekan dengan kebencian, kurasa orang-orang benar tentang cinta pertama. Mereka membekas di hati. Tertimbun puluhan cinta lain dan sejuta cara untuk melupakan pun, sosok mereka abadi.
Pram menjulang tinggi di hadapanku sambil berkacak pinggang. Rahangnya mengeras. Alis tebalnya nyaris menyatu di tengah. Lengkap dengan bola mata kecokelatan yang menyorot tajam tepat ke iris mataku, hidung bangirnya mendengkus menahan amarah. Aura kebencian menyelubunginya seperti bara api yang siap melahapku hidup-hidup. Aku hanya bisa menelan ludah. Waktu nggak banyak mengubah penampilan Pram, hanya membuatnya jauh lebih menarik dari yang terakhir kali kuingat.
Dia mengenakan celana chino berwarna abu muda dan kemeja linen navy yang dirapikan ke balik pinggang. Rambut lurus tebalnya sengaja dibiarkan agak panjang di bagian depan, ditata seakan angin barusan agak mengobrak-abriknya, dengan bagian bawah tercukur tipis dan rapi. Sebuah kacamata hitam terselip di kancing teratas kemejanya. Keputusan Pram menggulung lengan membuat dia terkesan effortlessly smart.
Bekerja di dunia fashion meski hanya menangani produksi massal tanpa punya andil dalam perancangan, sedikit banyak membantuku membedakan pria-pria melek fashion dan tidak. Pram jelas tahu style apa yang pas buatnya.
Tapi dengan tubuh atletis dan wajah setampan itu, dia bisa memakai apa saja dan tetap memukau. Syukurlah penampilanku saat kembali bertemu dengannya nggak mengecewakan sama sekali, terima kasih untuk blus berkelas hadiah perpisahan dari Gandhi.
Usai mandi dan berpakaian, aku mematut diri di depan cermin dan tersenyum puas. Nggak akan ada yang menyangka gadis dengan riasan wajah natural dan rambut diekor kuda gara-gara nggak keramas ini sempat kepikiran untuk tenggelam ke inti bumi beberapa menit yang lalu. Sisa hidupku pasca SMA kuhabiskan untuk melatih skill ini; pura-pura baik-baik saja dan bahagia.
Aku mempercantiknya dengan ruched skirt selutut, terbelah di sisi sebelah kanan hingga setengah panjang pahaku. Blus putih dengan kerah sabrina yang kupilih mempertontonkan tulang selangka menonjol yang kubanggakan.
Jarak tempuh empat puluh menit itu kuhabisi dalam tiga puluh menit. Jalanan kota Semarang dari atas ke bawah lengang karena anak sekolah belajar di rumah selama pandemi. Meski demikian, aku tetap terlambat sekitar sepuluh menit.
Kantor nyaris kosong, hampir separuhnya sudah berada di ruang meeting untuk briefing pagi. Aku menukar wedges dengan sandal buluk yang kusimpan di bawah meja, melesat ke ruang sakral yang lebih sering terasa seperti bilik pembantaian setiap peak season.
"Sorry telat," cengirku, mengambil tempat duduk di barisan belakang, di samping Veronica.
"Udah siap dibantai?" tanya cewek itu.
"Kenapa emangnya?"
"Gimana, sih? Minggu depan Baronnes mulai bulk produksi, kan?"
"Iya. Dua hari lalu pilot run samples harusnya sudah di-ce..k... astaga!" aku menepuk jidatku kencang sekali. "Pantesan iblis betina itu galak banget tadi pagi. Aku lupa QA Baronnes join produksi mulai kemarin!"
Di depan, moderator briefing produksi berbicara, "Silakan, Mr. Malik Syarifudin Pramana, waktu dan tempat kami persilakan."
Hah?
Eh... loh...?
Ada apa ini?
Apa yang dilakukan Pramana di sini???
Aku membeku.
NOTE:
Nggak usah bingung-bingung soal istilah PILOT Samples, Bulk Samples dll, ya. Nantinya bakal pelan-pelan dijelasin. Nggak usah pakai foot note-foot note. Beban hidup kalian udah berat, kan? Nggak perlu ditambahin istilah-istilah yang nggak akan kepakai juga, kecuali kamu kerja di garmen.
Sebenernya aku kemarin mau update cepet, tapi laptop-ku kibor huruf A-nya rusak, jadi nginep di teknisi sehari semalem 😭
Pas mau update, ternyata Wattpad eror.
Kalau komennya banyak, aku langsung update lagi, deh, besok.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top