Chapter 19. Satriya, Sang Pembuka Rahasia Paduka Pramana (Bagian 2)
Udah baca bagian pertama chapter 19 di Karyakarsa?
Makasih ya buat yang udah baca. Yang belum, buruan, mumpung masih tiga ribuan.
VOTE DAN KOMEN DULU CHAPTER INI PLEASE. MAKASIH.
1K votes lebih 50 biji bisa lah, ya... makanya masukin ke reading list, post di story IG, Twitter, ajak temen-temenmu baca biar cepet masuk vote-nya. Biar aku kepontal-pontal gitu. WKwkw
Komennya 8 juta, ya?
"INGGRID!!!"
CCCIIITTTT...!!!
Gara-gara omongan Pramana tentang Satriya dan kejadian misterius masa SMA-nya, aku hampir aja nabrak tukang siomay yang baru mau jualan. Untung mamangnya kenal sama aku. Benny selalu jajan siomay itu kalau lagi main ke rumahku. Selamat aku dari makian mamang-mamang siomay yang gemulai itu.
Pramana masuk kembali ke mobil setelah dia melompat keluar buat ngecek keadaan gerobak siomay si mamang. Aku masih bengong di dalam. Entah kenapa, apa yang kudengar barusan dari mulut Pram seakan merenggut rasa sedih yang menguasaiku belasan tahun lalu. Maksudku... seluruh hidupku hancur detik itu. Masa remajaku, kehormatanku, harga diriku terkoyak habis. Bahkan sampai saat ini aku masih merasa aku lah yang seharusnya paling sedih, paling merana, paling patut dikasihani, terutama oleh orang-orang yang mengenalku dulu. Tahu-tahu, Pramana datang kembali dan boom... lagi-lagi dia merenggut sesuatu yang kupercayai kevalidannya selama ini. Rasanya aku ingin berteriak di kuping Satriya, akulah yang harusnya mendapatkan simpati itu. Memangnya penderitaan apa yang dialami Pramana melebihi penderitaanku?
"Nggrid... kamu nggak apa-apa?"
Aku terhenyak dari lamunan dan langsung menggeleng, "Pram—"
"Rumahmu di mana?" potongnya. "Kamu turun. Aku aja yang nyetir."
"Nggak... nggak usah... udah deket, kok... Pram... kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti...."
"Where have you been years a go? Kenapa cuma kamu yang nggak datang waktu itu, padahal di antara semua temen sekelas yang baru bisa kuingat lagi setelah aku lihat muka mereka... muka kamu justru kuingat, nama kamu kuingat, tapi kamu nggak ada. Aku pikir... apa gara-gara itu kamu nulis yang enggak-enggak di bukumu?"
"Aku ke mana belasan tahun lalu? Bukannya kamu harusnya tahu? Semua orang juga tahu, Pram!"
"Aku harusnya tahu?" ulang Pram bingung. "Okay... mungkin di situ masalahnya. Aku bisa ingat, tapi harus diingatkan. Sekarang aku yang nanya, ngapain aku di daerah dekat rumahmu waktu itu? Masa itu kamu juga nggak tahu?"
"Ya mana kutahu lah! Yang di situ kan kamu! Bukan aku!"
"Kenapa semua-semua kamu nggak tahu, sih, Nggrid?" protes Pram kesal.
Yeee... aku juga jadi makin kesel lah, "Ya kamu tuh ada gila-gilanya, ya? Kamu aja nggak tahu, gimana aku bisa tahu coba?!"
DOK. DOK. DOK.
Aku dan Pram terperanjat. Di sampingku, seseorang berpakaian mirip polisi tapi bukan polisi menunduk dan tersenyum menyapa. Itu satpam kompleks kami. Aku membuka jendela buat dia, bilang kalau kami nggak ada masalah dan akan lanjut jalan.
Di rumahku, Pram minta diambilin mangkuk dan gelas buat teh hangatnya. Aku mendesak supaya dia ngelanjutin penjelasannya tadi, tapi dia bilang mau makan dulu. Aku menyerah. Kutemani dia duduk di ruang tamu, berharap obrolan yang tadi berlanjut. Tapi, waktu ngelihat dia makan, hatiku menghangat. Bukan naksir kayak dulu lagi, atau gimana, ya? Jiwa keibuanku yang menggeliat. Habis, Pram kayak anak jalanan yang udah semingguan nggak dikasih makan secara layak.
"Bubur kayak gini, tuh, ngingetin kita ke masa-masa kecil, nggak, sih?" tanyanya sambil menyendok bubur hangat di depannya dengan riang.
Aku cuma mengangguk. Terus terang, aku jarang sarapan bubur, atau nasi dari orang jualan waktu masih kecil. Bundaku selalu masak. Pagi-pagi dia udah kerja di dapur, jauh sebelum anak dan suaminya bangun. Kami jarang banget jajan di luar, sebab Ayah memuja masakan Bunda. Agak aneh ngelihat Pram sesenang itu menyantap semangkuk bubur bersantan pedas dengan suiran ayam dan setengah potong telur rebus bikinan Mbok Judes. Kalaupun dulu sepulang dari Singapura aku kangen buburnya, bukan karena bubur itu ngingetin aku sama masa kecil, tapi karena di sana nggak ada yang jualan bubur kayak gitu.
Dia meniupi sesuap, memasukkan ke mulut, dan memejamkan mata penuh haru. Diam-diam aku terus mengamati sambil memindah teh hangat dari plastik ke dalam cangkir.
"Mau?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Ak...?"
Dih... apaan, sih? Masa mau disuapin?
"Hmmm...!" ledeknya sambil meliukkan sendok yang udah hampir masuk ke mulutku ke mulutnya sendiri. Terkekeh-kekeh.
"Kenapa?" tanyanya waktu ngeliatin ekspresi mengernyitku. "Aku tinggal di Bangkok beberapa bulan terakhir buat ratusan ribu produk musim panas, makanya...."
"Makanya apa?" sahutku. "Mereka nggak ngasih kamu makan?"
"Nggak ada makanan yang bisa muasin kerinduanku kayak ke bubur ini," katanya. "Aku makan ini hampir tiap hari waktu sekolah dulu."
Aku mendecih, "Can't relate. Bundaku masak tiap hari."
Pramana tersenyum sambil memandangi calon suapan berikutnya. "Mamaku sibuk, nenek atau Bibi di rumah yang biasa nyiapin sarapan sama-sama kurang pinter masak. Makanya... semua sarapan yang dijual di pasar udah pernah kucoba."
Aku manggut-manggut. Karena nggak mau mengusik ketentraman pagi itu, aku pun menunda rasa penasaranku. Kasihan dia. Biar dia nikmatin dulu sarapan paginya.
"Ya udah... aku mandi dulu, ya?" pamitku sambil menggeser cangkir teh ke hadapannya. "Nanti kalau kamu udah selesai, printer-nya ada di ruangan itu."
"Okay."
Belum juga aku berdiri, Pram udah nanya lagi, "Kamu tinggal sendirian?"
"Iya."
"Ngapain kamu tinggal sendiri kalau rumah orang tuamu di dekat sini?"
"Rumah orang tuaku udah terlalu sempit buat ditinggalin orang sebanyak itu. Kakak perempuanku kembali ke rumah habis bercerai, ponakanku ikut mamanya. Sebelum aku balik dari Singapura, kamarku sudah dipakai keponakanku itu. Adik laki-lakiku kayaknya sudah bertekad menua di dalam kamar. Jadi ya aku yang harus keluar."
"Selama ini kamu tinggal di Singapura?"
"Kirain kamu udah baca CV-ku."
"I just want to make a normal conversation," Pramana menyuap dan menelan dengan cepat. "Kamu pegang retail di Singapura?"
Aku mengangguk.
Masiiih aja dia nanya lagi, seperti enggan melepas kepergianku, "Kamu nggak makan?"
"Nanti aja."
Sejak tinggal jauh dari rumah, aku nggak biasa sarapan berat. Tadi aku pesan karena ngeri dibentak gara-gara Pramana bayar pake uang gede. Biasanya aku paling mengganjal perut dengan sepotong roti tawar. Sarapan lengkap penuh karbo sudah lama sekali kutinggalkan.
"Kamar printer-nya yang itu, ya, Pram," tunjukku. "Bukan yang itu. Yang itu kamarku. Jangan sampai salah."
"Okay," jawabnya sambil lalu.
Memang cuma ada dua kamar tidur di rumah kecilku. Benny yang nggak bisa berlama-lama terpisah dari perangkat elektronik nggak mau main komputer di kamarku, jadi dia mendesainnya sendiri di kamar satunya. Aku sih sebenarnya lebih suka desain kamar di mana dalam sekali langkah aku bisa menjangkau semuanya, tapi demi hubungan baik dengan satu-satunya orang yang mau memahami ketakutanku akan gelap, aku menyerah.
Ada untungnya juga punya ruang komputer terpisah. Kalau enggak, aku bakal kerepotan sekarang. Masa aku mandi di kamar di mana Pramana sibuk mengoperasikan printer? Aku kan nggak pernah bisa ganti pakaian di lantai yang basah, jadi aku selalu keluar kamar mandi berbelit handuk dan berpakaian di luar.
Aku baru mau beranjak lagi.
Dia malah nanya, "Kamu ke Singapura begitu lulus SMA?"
"Iya, Ndoro," jawabku jengkel.
"Terus terang, aku nggak terlalu ingat masa-masa SMP dan SMA-ku."
Nggak jadi berdiri, bokongku kembali nempel di sofa.
"Tapi aku langsung ingat kamu," sambungnya.
Posisiku saat itu tepat di seberang Pramana duduk. Waktu bola mataku membesar mendengar pengakuannya, lengkap dengan ukuran jantungku yang seakan tiba-tiba membengkak, tanpa keraguan tatapan Pram menyelam ke dalam manik mataku. Sekonyong-konyong, rasa takut kalau-kalau dia bisa menangkap bara kecil yang belum sepenuhnya padam di hatiku itu menyergap.
Kutunggu-tunggu, siapa tahu dia cuma mengejek, tapi dia terus menunjukkan mimik serius.
Meski demikian, dari caranya bicara, aku nggak melihat ada makna khusus di balik kalimat tersebut. Memang itu yang dirasakannya. Dia langsung ingat aku. Dan titik. Aku hanya belum tahu apa alasannya.
Pram mengedip. Dia mengaduk bubur lagi sambil menunduk, lalu menyuap dan termangu-mangu. Kayak lagi mikir sesuatu.
Tunggu dulu, pikirku.
Tahan dulu kupu-kupu dalam perutku. Jangan menetas dan beranak pinak dulu. Tahan dulu rahimmu.
Kenapa dia bisa lupa sama sekali sama Satriya, tapi langsung bisa mengingatku?
Jangan-jangan gara-gara kejadian memalukan itu? Apa di antara begitu banyak kenangan SMP dan SMA yang katanya nggak terlalu diingatnya, kejadian memalukan itu yang terpatri di kepalanya sehingga dia langsung bisa mengingatku?
Aku mulai resah.
Aku nggak suka gagasan membahas kejadian itu di depan Pramana. Dulu aku selalu mual membayangkannya, sekarang pun sama. Dibanding semua orang di dunia ini, membicarakannya dengan Pramana adalah ide paling buruk.
Kupu-kupu di perutku itu.... Dia bukan menetas untuk membuatku merasakan sengatan yang menyenangkan. Sebaliknya, aku justru kepingin buang air besar saking mulasnya.
"Nggrid...," panggil Pramana.
"Hm?"
"Kamu keringetan," katanya, sambil mengulurkan tangannya ke pelipisku. Aku sontak mundur.
Nggak jadi dipegang, deh....
"Enggak...," sangkalku, padahal memang sebutir keringat dingin meluncur di pelipisku. Tanganku buru-buru menyekanya. "Aku cuma kebelet berak."
"Inggrid!" bentaknya. "Ngerusak suasana aja kamu bisanya! Ya udah sana berak!"
"Nggak, kok. Masih bisa ditahan. Kamu tadi mau ngomong apa?"
"Aku kecelakaan motor lumayan parah waktu lulus SMA. Di dekat rumahmu. Masa kamu sampai nggak tahu?"
"Kapan?"
"Habis hari kelulusan."
Habis hari kelulusan?
Tegunku pun makin dalam. Aku makin tersesat, nggak bisa ngikutin timeline pembicaraan Pramana. Habis hari kelulusan, berarti setelah beberapa bulan aku nggak muncul lagi di sekolah. Aku ujian sendiri, tapi waktu itu aku masih di rumah. Belum diungsikan ke Singapura karena menurut Ayah, trauma pasca kejadian yang kualami nggak akan sembuh kalau aku masih tinggal di lingkungan yang sama.
Kecelakaan apa? Aku nggak pernah dengar soal itu. Sedikitpun.
"Kenapa aku bisa jatuh di gang dekat rumahmu?" tanyanya.
Aku nggak bisa jawab apa-apa.
"Aku nggak tahu gimana aku bisa jatuh di daerah situ," gumam Pram. "Sampai sekarang, aku nggak ingat. Tapi setelah kupikir-pikir... bisa saja nggak ada alasan khusus. Soalnya kalau mau ke mana-mana, aku memang sering lewat situ. Aku sempat koma beberapa hari. Masuk koran lokal dan disebut-sebut sebagai remaja ugal-ugalan saat hari kelulusan. Papa dan Mamaku malu bukan main. Aku diungsikan ke Surabaya. Kuliah dan kerja di sana. Padahal, kejadiannya sehari setelah arak-arakan anak SMA habis pengumuman, tapi tetep aja...."
"Terus... kamu hilang ingatan?"
Alis Pramana mengerut setelah dia menelan suapan terakhir buburnya. "Nggak ada yang hilang sih dari ingatanku... kalau diingatkan...."
Aku menunggunya meneguk teh hangat.
"Aku masih bisa nyebutin nama-nama teman yang datang menjenguk. Asal aku ngelihat muka mereka, aku ingat lagi. Yang nggak datang saat itu, kayak Satriya tadi contohnya... aku nggak ingat. Mungkin karena terlalu lama pasca kejadian, aku masih belum inget aja sama dia. Pokoknya... waktu itu kupikir nggak ada yang hilang."
Pramana melanjutkan, "Tapi, menurut terapisku, aku kehilangan memori jarak pendek. Aku nggak ingat kenapa aku bisa ada di jalan itu, kejadian apa yang menimpaku sampai aku terkapar di jalan, atau hal-hal lain yang seharusnya kulakukan kalau kecelakaan itu nggak terjadi. Lama kelamaan, ingatanku sebelum kejadian kecelakaan terus memudar, meski nggak seluruhnya. Herannya... setelah semua temen sekelas kita datang, aku ingat mukamu nggak ada di antara mereka. Aku sempet nanya-nanya, apa ada yang belum datang? Dan kalau nggak salah ada yang nyeletuk... mendingan aku nggak ingat aja. Aku nggak tahu apa maksudnya. Waktu aku lihat foto dan namamu di CV... lalu baca tulisanmu di buku itu... aku sadar... itu kamu. Kamu yang nggak datang jenguk aku setelah semua orang tahu aku ngalamin kejadian itu."
"Ja—jadi waktu kamu nanya... are we... are we dating," aku berdeham karena terlalu gugup sampai-sampai ucapanku tergagap. "Kamu... benar-benar nggak ingat?"
"Kira-kira begitu."
"Tapi kamu ingat Diana...."
"Diana datang sore itu bareng yang lain, tapi aku nggak ingat kami pernah pacaran sebelum kamu yang ngingetin."
"Kamu juga ingat kita pernah sekelas dan aku duduk di samping Diana. Kamu bilang dia nipu kamu mentah-mentah!"
"Habis kita ketemu... aku ingat di mana kamu duduk, aku inget mukamu di sini, dan di situ... di mana-mana. Kamu waktu lebih kecil, kamu pakai seragam SMP, SMA, kamu yang judes waktu kupinjemin apusan... sepotong-sepotong. Juga... karena sebagian detail itu ada di buku kamu, makanya ingatan tentang Diana nyambar di otakku waktu kamu ngomongin dia!" katanya sambil menunjuk keningku dan mengentaknya. Kepalaku terhuyung mundur. "Di sana kamu bilang, awalnya aku duduk di belakangmu. Iya, kan? Waktu kamu nyebut-nyebut soal Diana... aku jadi ingat aku pernah pacaran sama dia. Tapi aku belum ingat tentang kita, aku bahkan nggak ingat apa persisnya maksudku waktu aku bilang dia nipu aku mentah-mentah."
Tentang kita?
Kalimatnya masih cukup panjang, tapi yang kudengar hanya bagian 'tentang kita.'
"Okay, cukup," penggalku gusar. "Aku nggak mau ngebahas itu. Aku mau mandi—"
Pramana menyahut pergelangan tanganku, "Aku sudah mencoba mengingat-ingat, tapi gagal. Ada sesuatu yang dikatakan Diana waktu itu, tapi entah soal apa. Sesuatu yang kalau enggak salah... berkaitan sama kamu. Itu menjelaskan kenapa aku langsung ingat kamu, sementara aku pacaran sama Diana aja baru kuingat setelah kamu nyebut namanya. Apa kamu tahu?"
"Enggak. Aku nggak tahu apa-apa."
Aku memang nggak tahu apa saja yang dikatakan Diana ke Pram. Apa dia udah sempat ngasih tahu Pram bahwa aku suka dia sejak SMP, karena itu dia ngerjaun aku dengan seluruh isi kelas dan Pandu?
Kalau dia ngelupain detail itu, aku ingin dia lupa selamanya.
Kalau dia memang lupa apa yang sudah dilakukannya padaku belasan tahun lalu, paling enggak aku bisa menganggapnya masih punya hati nurani. Kupikir selama ini dia nggak tahu diri. Sudah mempermalukan orang sedemikian rupa, masih tega menindas saat sudah sama-sama dewasa. Aku begitu kesal dengan tiba-tiba, jadi aku mengibaskan tangannya.
"Did I do something to you in the past?" tanya Pram.
Tubuhku bergeming.
"Sesuatu yang bikin kamu benci aku sampai tega nulis hal seperti itu tanpa mastiin lebih dulu?"
Mataku terpejam. Kutarik napas dalam-dalam, memberi otakku lebih banyak pasokan oksigen supaya tubuhku nggak bereaksi berlebihan.
"Nggrid... apa aku... selingkuh sama Diana di belakangmu?"
Apa?
"Apa benar... kita nggak pernah pacaran?"
U... what?
"Kalau kita nggak pernah pacaran, kamu nggak pernah sakit hati sama aku, kenapa kamu bisa senekat itu nulis tentang aku tanpa alasan? Tanpa motif yang jelas?"
Air mataku mulai menggenang. Ingin rasanya teriak di telinganya, KARENA KAMU BIKIN AKU HAMPIR DIPERKOSA! Karena kamu, semua orang tua murid di sekolah kita menganggap ayah dan bundaku berlebihan. Mengada-ada. Nggak ada yang mau merkosa aku, itu cuma kenakalan anak-anak biasa. Gara-gara suratmu aku ke gudang itu. Surat yang terpaksa kusembunyiin dan kamu terbebas dari daftar tersangka karena aku takut dianggap bahwa aku sendirilah yang mendatangi Pandu di gudang gelap belakang sekolah. SEMUA GARA-GARA RASA SAYANGKU KE KAMU.
Tapi, mulutku cuma bisa bilang, "Aku nggak tahu. Aku cuman iseng."
"Iseng?"
"Iya. Aku cuman iseng," tegasku walaupun suaraku bergetar. Aku masih memunggungi Pramana gara-gara air mataku merebak dan aku nggak mau dia melihatnya. "Aku kehabisan bahan buat ditulis. Cuma itu."
"Kalau gitu... kamu memang benar-benar brengsek," kata Pramana.
Jantungku seperti ditikam, "Ya udah... tinggal kamu tuntut aja, beres, kan?"
"Oh I will...."
Aku masih sempat melihat Pramana menggeram dengan mata menyala merah saat tubuhku menyelinap di balik pintu kamar. Dengan tangan berpegangan erat pada handle pintu, lututku yang lemas tak kuat menopang berat badanku dan merosot di lantai.
Aku nggak nyangka akan terjadi gelombang perubahan sedahsyat itu dalam waktu yang sangat singkat. Pramana mengalami kecelakaan dan nggak banyak ingat masa lalunya? Dia bersikap seolah dia lah yang paling butuh penjelasan tentang masa lalunya. Lebih parahnya lagi, dia benar-benar mengira kami pernah pacaran dan selingkuh dariku sama Diana? Dia nggak ingat dia lah yang... yang... yang... tunggu dulu....
Tunggu dulu... kalau dia nggak ingat apa-apa....
Tunggu dulu...
Kalau kubilang kami pernah pacaran dan itu adalah keterangan yang kudapat dari bibirnya juga, bukan cuma dari Diana, apa itu berarti dia nggak bisa menuntutku?
Coba ya perhatiin, itu Inggrid udah ngasih tahu jelas, ya, kamar dia yang mana, kamar printer yang mana. Awas aja kalau Pram masih salah masuk.
Anyway... yang follow Instagramku, tolong dong selain follow, chat juga. Biar aku tahu kalian pembacaku. Aku tuh banyak difollow cowok-cowok gara-gara postinganku direpost sama tempat gym-ku. Nggak mau terima request mereka gitu. Kalau kalian chat, kan aku bisa accept tanpa ragu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top