Chapter 12. Nyai Roro Kidul
750 votes, ah, kalau mau cepet diupdate, rekomendasiin ke temen-temen kamu biar pada ngevote.
Kalau gak 700, kutunggu ampe 700.
Kita doain rame2 yang baca, tapi nggak mau vote, nggak mau komen, di deket lubang duburnya jerawatan. Keciiil aja nggak usah gede-gede, kasihan, tapi dipake duduk perih.
Komennya 15.600
Kembaliannya buat donasi
Buat masuk ke ruang development sample yang baru, aku harus melintasi ruang staf. Orang yang barusan dibentak sama Pramana lagi kejang-kejang di pojokan. Cowok-cowok lagi pada rebutan mau ngasih napas buatan.
"Siapa korbannya?"
"Dewi."
"Kok bisa sampai gitu, sih?" tanyaku penasaran.
"Kena mental," bisik salah satu staf yang kebetulan ada di sampingku mengitari Dewi, cewek paling cantik di departemen akuntan, yang lagi megap-megap itu.
"Gara-gara Pram?"
"Iya."
"Kok bisa?"
"Kegenitan. Nanya-nanya, 'Emang nyari Mbak Inggrid kenapa, Pak Pram, ada yang bisa dibantu? Kalau cuman ngecek-ngecek doang, saya juga bisa, lho....' Gitu... sambil cekikikan. Dikira yang ini gampang digenitin kayak Pak Gandhi."
"Terus Pram ngomong apa?"
"Bukan ngomong lagi, tapi ngata-ngatain," jawab salah satu staf shipping sambil niruin mimik muka Pramana kalau lagi ngerendahin harga diriku. "Awalnya ditanya, nama kamu siapa? Dijawab, Dewi. Terus dia bilang gini, 'Dewi... pagi-pagi baru datang kamu udah kutěkan, kamu kurang kerjaan? Kalau emang kerjaan kamu kurang, kamu bisa bantuin saya. Saya ajuin sekarang juga. Mumpung ada Ms. Fok di sini. Ruangan baru saya kotor, butuh tukang sapu. Tapi sebelumnya, kamu benerin dulu, tuh, make up kamu. Ketebelan. Alis kamu mencong. Lipstik kamu juga terlalu merah. Kalau sampai kena garmen, kamu langsung saya pecat. Itu rok apa celana? Pendek banget. Kamu mau kerja di kantor, atau mau jadi LC?'"
"Dia ngomong gitu?"
"Itu yang bisa kuinget. Kayaknya omelannya masih panjang lagi. Oh iya... dia juga ngatain lensa kontak Dewi kayak Nyai Roro Kidul."
Astaga... lensa kontak kayak Nyai Roro Kidul tuh kayak mana? Punya masalah apa, sih, dia?
"Baru ini ada cowok nolak kegenitan Dewi... mungkin dia syok...," kata orang itu lagi.
"Atau... mungkin Pak Pram nggak doyan sama perempuan," timpal yang lain.
"Saranku, kamu tahan pendapatmu itu, atau aku lagi yang bakal kena masalah!" kataku.
"Mendingan kamu buruan masuk, Nggrid. Soalnya barusan Ms. Fok ke sana, dia banting pintu kenceng banget."
"Ms. Fok mau belain Dewi?"
"Enggak. Malahan dia tadi nungguin sampe Pram selesai ngomel."
Aku mengembuskan napas menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Mungkin cepat atau lambat, aku juga bakal ngalamin hal yang sama. Semoga nanti aku bisa bertahan. Aku melanjutkan perjalanan ke ruang development sample baru khusus produk-produk Baronnes yang diomongin Pram tadi pagi.
Pramana lagi berkacak pinggang di depan meja barunya sambil menggeleng-gelengkan kepala waktu aku membuka pintu. "Nope!" katanya. Aku langsung mundur dan dengan senang hati mau keluar lagi. "Bukan kamu! Hey. Masuk."
Aku masuk lagi.
"I can't do that, Ms. Fok. You know I can't," Pram meracau. Rambutnya acak-acakan, kacamatanya dilepas dan batangnya dipakai untuk menggaruk pelipis.
Di depannya, Ms. Fok yang siang itu mengenakan kaus tanpa lengan dan celana kargo selutut berdiri merentangkan tangannya dalam posisi memunggungiku. Di depan Pramana yang tinggi besar, manajer produksi yang senang tampil sporty itu seperti anak SD sebelum dia berbalik menunjukkan keriput di wajahnya.
"Haiyaaa!" seru perempuan tua yang doyan banget makan kuping babi panggang itu ke mukaku.
Setiap hari ada kuping babi di menu makan siangnya. Setiap hari juga dia meyakinkanku untuk mencicipinya. Kalau kubilang, aku nggak bisa makan babi karena haram, dia akan mencemooh pandangan relijiusku. Katanya, memangnya you olang yakin masuk surga nanti a? Di neraka tidak ada babi aaa, Inggrid aaa. Makan a. Rugi a.
Tenang... aku nggak pernah nurutin bisikan setannya, kok.
"Ah... Inggrida... bilang sama olang ini a. I need you a Inggrida. Dia olang bisa buat development sample suka-suka dia aaa... tapi jangan ambil Inggrid aaa. Supervisor saya olang aaa... haiyaaa! She has jobs to do haiyaaa... she doesn't work for you, Malikaaa. You don't pay her a. We pay her aaa!"
"You pay her?" tanya Pram.
"The company aaa... haiyaaa...!"
"The company agree with me!" tandas Pram galak. Nggak peduli lawannya nenek-nenek. "You agree with me this morning!"
"Tapi bukan sabotage Inggridaaa... yang lain aaa...!"
"Vero aja, Ms. Fok," bisikku.
Pram memelotot. Ms. Fok menyembur, "Vero juga tidak bisa aaa!"
Ya terus siapa? Sutrisno?
"Look... Ms. Fok...," kata Pram lebih tenang. Kupikir dia udah lebih sabar, ternyata kalimat selanjutnya malah lebih nyelekit. "I don't give a flying fuck."
Aku merinding.
Muka Ms. Fok mengeriap.
"I can't do that and I don't care. You must follow my order, and it's not vice versa. Anda harus ikuti perintah saya, tapi saya nggak harus ikutin maunya Anda. Your problem is not my problem. My problem is your problem. You want to settle with Baronness, you do it my way. Not yours."
Hidung Ms. Fok kembang kempis.
"I need a team that work only for me. Bukan bantuin serabutan. I need the best ones. The team leaders and supervisors, not some random guys you pick. It's zero tolerance standard and I need your co-worker to be my co-worker. Or do you want me to help you to turn down the purchase order? Coba tanya dia, Nggrid. Dia mau aku bilang ke manajemenku... kalian nggak mau kerja sama?"
Aku meneguk ludah. Dasar tukang blackmail.
"Ah... haiyaaa... ," desah Ms. Fok akhirnya. Syukurlah... dia masih hidup. "Why you olang tidak bisa diajak bicala, ha?"
"Inggrid, Inggrid! Come here!" Pram memanggilku dengan tak sabar. "Can you please translate? Tell her, I can't let you do other works while you're developing sample with me. If you don't want to give me trashes like yesterday, you do it my way. MY WAY!"
"You're speaking English," kataku, mengingatkannya. "Coba ulangi pakai Bahasa Indonesia kalau mau kuterjemahin."
Pelototan Pram semakin lebar, "Ini bukan waktunya becanda, Inggrid."
"She understand. How do you want me to translate? Aku bukan Andy Lau!"
Kepala Pram pun berasap.
Bola mataku berputar. Kutarik Ms. Fok menjauh dari meja, lalu kujelaskan pelan-pelan dengan bahasa yang nggak bisa dimengerti manusia biasa. "Ha... Ms. Fok... listen to me a... NO CAN DO. NO. NO NO NO. He's the boss. Not you. Not anymore. You... little boss... he... big boss."
"Heh!" Pramana menghardik. "Kamu mau bikin aku bunuh-bunuhan sama orang ini, atau mau jadi negotiator?"
"Oh... kamu mau negosiasi?" tanyaku jengkel. "Yang kudengar, kamu udah mutusin segalanya, kan? Makanya dia ngamuk-ngamuk? Udah tahu ngomong sama orang tua, bukannya baik-baik."
Begitu Pramana berhenti memprotes, aku mengelus kedua lengan Ms. Fok sekali lagi. Demi Tuhan, aku sebenernya suka kesel sama perempuan ini. Dengan gampangnya dia ngatain orang lain bebal, bodoh, idiot dan minta aku menerjemahkannya ke muka teman-teman kerjaku sendiri, tapi kalau dibandingin sama Pram, Ms. Fok masih ada lucu-lucunya. "Ms. Fok... Baronnes is very important. You know that, right?"
Ms. Fok menggeram, tapi mengangguk. Dia langsung jinak.
Aku mendekatkan bibirku ke daun telinganya. "If we lose this orders... Mr. Chen will drag you home, are you ready to retire?"
Mr. Chen adalah bos dari segala bos. He's the co-founder, the owner, pemegang saham terbesar, pucuk kepemimpinan PMA ini dan nggak kurang dari dua puluh lima PMA lain di Semarang, Surabaya, Vietnam, dan Myanmar. Mendengarku menyebut namanya, Ms. Fok langsung gentar. Perempuan itu menggemeretakkan rahang dan meninggalkan ruangan Pramana tanpa banyak bicara.
"Amazing!" decap Pram setelah pintu yang dibanting Ms. Fok nyaris menjatuhkan lukisan Picaso palsu di dinding. "Dia lebih paham Bahasa Tarzan begituan daripada penjelasanku. Pantas kerjaan kalian nggak beres, masalah komunikasi aja nggak jelas."
"Bukan bahasanya," bantahku halus dan sabar seperti Dewi Kwan Im. "Tapi nada bicaramu. Namanya juga bicara sama orang tua, harus lebih halus dan sopan. Lagian... selama aku kerja di sini... baru kali ini orang yang bisa Bahasa Inggris minta diterjemahkan ke Bahasa Tarzan."
Sebelum Pram bereaksi, aku menjemput keranjang material proto sampel yang kutinggal di dekat pintu dan kuhempas dengan agak kasar di depannya. "Material yang dikirim dari Baronnes udah datang, nih," kataku judes, merasa di atas angin karena berhasil mengunggulinya dalam menjinakkan binatang buas. "Kamu mau aku bikin proto pakai itu aja, atau pakai bahan lain yang mirip?"
Pramana memandangiku. "Kamu benar-benar punya nyali besar, ya?" tanyanya sengit. Acuh tak acuh, dia mengambil ponsel dari saku celananya. "Udah saatnya aku nelepon pengacaraku kayaknya. Aku udah bikin dia nunggu terlalu lama."
Mataku memejam, tenggorokanku tercekat.
"Do you have anything to say, Inggrid Clara Yuniar?"
Kutarik napasku dalam-dalam. "Mr. Malik Syarifudin Pramana... Bachtiar, material yang dikirim oleh Baroness sudah tiba di factory tadi siang. Apakah bapak menghendaki pembuatan proto sampel menggunakan material sesuai bulk production, atau menggunakan bahan lain yang serupa?"
Dia masih saja memandangiku, tapi kali ini ditambah seringai menyebalkan. "It's proto sample," katanya dingin. "Use matching fabric. Pretend like you haven't received anything from us because you're way behind schedule."
Aku mengangguk dengan senyum yang kupaksakan.
Sewaktu kutarik langkahku mundur dengan sikap sopan yang kubuat-buat, lagi-lagi dia menunjukkan taringnya, "And don't do that chin up attitude unless you give me a perfect samples! Do you understand?"
"Understood."
"Good. Get the hell out of here."
Hufff....
Aku mulai bekerja sendirian di bawah kepemimpinan tirannya. Dua tahun aku bekerja di sini bersama expatriate yang menyalak seperti pit bull, nggak satupun yang pernah membuatku nyeri hati sebegininya. Dia nggak malu bolak-balik ngancem bawa-bawa pengacara. Ingin rasanya aku menantang, apa benar dia bakal ngajuin tuntutan betulan? Atau dia cuma senang biin aku menderita? Tapi gimana dong kalau dia serius?
Parahnya lagi, sore itu aku dengar Ms. Fok malah menganggapku berkomplot dengan Pramana.
Dia nuduh aku memihak Baronnes karena mengincar posisi sebagai QA di brand ternama itu mengingat sebentar lagi aku bakal dapat surat rekomendasi. Tentu saja aku nggak bisa membantah atau membela diri, sebab dia nuduhnya di depan teman-teman Hongkongnya sambil makan kuping babi. Yang ngasih tahu aku si Wisnu, asisten team leader warehouse yang pernah kerja di Hongkong dan paham bahasa mereka.
Singkat cerita, Ms. Fok nggak sudi menyerahkan lebih dari satu kepala buat melayani keegoisan Pramana. Itu artinya, sampai proses sampel development dalam jumlah banyak mulai dikerjakan, aku harus pontang-panting sendirian ke production floor, bolak-balik keluar masuk satu departemen ke departemen lain di lantai bawah. Karena Pramana menginvasi satu dari dua ruang pengembangan sampel yang biasa dipakai untuk semua produk, maka ruang pengembangan sampel sisanya nggak punya ruang untuk mengerjakan sampel Baroness.
Mulai detik ini sampai dia enyah dari sini, Pramana secara resmi sudah menjadikanku asisten pribadinya. Melihatku kewalahan bolak-balik mengambil peralatan dalam proses penggambaran pattern di Departemen CAD dan mengkoordinasikannya dengan merchandiser dan departemen cutting, barang-barang di ruanganku dipindahkan ke ruang development sample darurat khusus produk-produk Baroness. Dia bahkan nggak minta pendapatku, tahu-tahu saat aku kembali dari lantai bawah, laptop dan printerku sudah ditempatkan tepat di seberang meja kerjanya.
"Apa harus begini?" tanyaku sambil nungguin dia mengevaluasi gambar pola sebelum kubawa ke departemen cutting. Jari-jari tangannya bergerak lincah mengukur dan mencatat di sebuah buku, aku curiga pertanyaanku bahkan nggak didengarnya. Diam-diam aku mengamati keseriusannya. Kalau mesin waktu melemparku ke belasan tahun lalu, aku bakal menumbalkan uang jajanku sebulan penuh demi bisa mengamatinya dalam jarak sedekat ini.
"Kamu ada acara sore ini?" tanyanya, seperti dugaanku, dia nggak peduli sama pertanyaanku.
"Kenapa?"
"Pattern-nya udah oke. Kamu bisa mulai kasih ke departemen cutting dan serahin ke aku sebelum masuk sewing. Aku mau lihat efesiensi kainnya, suruh IE-mu juga ke sini, ya? Kita akan mulai hitung produktivitasnya mulai dari proses cutting. Kenapa?"
Aku mengerjap nggak percaya.
"Oh... kamu ada acara sore ini?" tanyanya lagi.
"Actually, aku yang nanya duluan... apa harus begini? Laptop dan printerku? Apa aku nggak bisa bekerja di ruanganku sendiri? Terus barusan aku nanya juga... kenapa nanya-nanya aku ada acara atau enggak sore ini."
"Secara enggak teknis—if that's even a word—kamu nggak lagi bekerja untuk pabrik ini. Kamu berfungsi sebagai in house QC. Kamu bekerja dan bertanggung jawab kepadaku. Jadi ya... kamu, beserta laptop dan printermu harus ada di sini. Jadi, setelah aku menjawab pertanyaanmu... jawab pertanyaanku dulu... kamu ada acara sore ini? Kalau kamu udah jawab, baru pertanyaanmu nanti kujawab, kenapa aku nanya begitu."
"Bagaimana kalau ada?"
"Batalin."
"Apa?"
"Astaga... apa aku harus selalu ngulang sebanyak dua kali tiap kali aku ngomong sama kamu? Jangan bikin orang stres, Inggrid."
Jangan bikin orang stres?
JANGAN BIKIN ORANG STRES???
"Ini hal pertama yang beres kamu lakuin seharian, mastiin pattern sesuai dengan desain. Ini pun bukan hasil kerjaanmu, kan? Anak departemen CAD yang ngerjain."
"I am a quality assurance officer, my job is to assure the quality of the product meet the highest standard... memang udah kerjaanku memastikan, bukan ngerjain semuanya dengan tanganku!"
"Wow...," decap kedua Pramana seharian ini, tapi seperti sebelumnya, itu bukan pujian. Dari caranya menegapkan badan dan menyandarkannya ke punggung kursi, aku tahu dia akan menyerang balik diriku dengan ucapanku sendiri. "You think you're great?" decihnya. "Hanya karena main job desc-mu adalah mengenai assuring, kamu pikir kamu nggak perlu punya skill yang memadai untuk ngerjain semuanya sendiri?"
"Aku bisa mengerjakannya—"
"But did you do it?"
Aku mendengkuskan napas, berusaha bersabar.
"Okay," katanya, berdiri.
Aku terkesiap menyaksikannya dengan keji meringkus kertas-kertas pattern-ku, meremasnya menjadi bola-bola kertas, dan mencampakkannya ke tempat sampah. Mulutku ternganga lebar. Jantung dan napasku berhenti bersamaan. Sementara itu, Pramana dengan santainya berujar, "The pattern is perfect. Zero discrapancies. Yet, aku ingin kamu ngerjain ulang, bukan anak departemen CAD. As a quality assurance myself, I need to know... whether or not my inhouse QC know what she's doing."
Ludahku tertelan. Air mata mulai merebak di pelupuk mataku, aku mencicit, "I thought we are behind schedule?"
Pramana tersenyum, "It's okay. We have all the time in the world for the best quality."
Persetan. Kalau aku tinggal di sini lebih lama, bisa-bisa aku benar-benar akan merobek pembuluh darahnya dengan gunting bordirku.
"Hey... mau ke mana?"
"Minta IT instal CAD di laptopku," jawabku datar.
"Besok saja. Sore ini kita pulang cepat."
"Tapi kamu bilang—"
"Hssst... jangan ngebantah. Jangan bikin orang tambah pusing. Sana, panasin mobilmu. Sebelum besok, aku harus udah dapat izin tinggal dari ketua RT dan RW setempat. Kamu harus bantuin aku dapetin surat izin itu nanti malam. Jangan khawatir, nanti kutraktir makan buat ganti uang lelah. Ssuh... ssuh... ayo... tunggu apa lagi?"
Guys yang ciwik2 dan punya tiktok, ayo dong follow tiktokku. Biar yg follow bukan cowok2 aja. Ngeri. Huhu...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top