Chapter 11. Shinjitsu wa itsumo hitotsu

Shinjitsu wa Itsumo Hitotsu
(Kebenaran Hanya ada Satu)
-Conan Edogawa-

Yuhuuu...

700 votes yuk ah bisa yuk...

komennya 11 ribu, ya... kalau bisa 11 juta

"Kamu... udah punya pacar?" tanya Pram.

Mobilku udah memasuki gerbang kawasan berikat.

"Kenapa?"

"Punya, ya?"

Aku nggak mau jawab. Terlalu malu buat jujur, tapi kalau bohong Pramana akan mengira aku jujur. Nanti dia makin sakit hati karena pacarnya baru aja pergi.

"Enak, ya, udah punya pacar," katanya, seenak udelnya menyimpulkan. "Pasti bentar lagi kamu nikah. Udah umur segini, kan, kita? Umur segini kalau udah punya gandengan, tuh... separuh beban hidup rasanya udah berkurang. Nggak perlu males dateng ke acara keluarga, ketemu nenek, atau semacamnya. Iya, kan?"

"Aku belum punya pacar, ko—"

Belum juga kalimatku ada titiknya, dia udah nyahut lagi. "Udah kuduga."

Harusnya memang bener aku diem aja, tapi kepalang tanggung lagi bahas ginian, aku sekalian nanya, "Tapi emangnya... kamu beneran diputusin... cuma gara-gara tulisanku, Pram?"

"Cuma?"

"M—maksudku...."

"Cuma kamu bilang? Bisa ya kamu ngomong seenteng itu? Cuma? Mentang-mentang bukan hubunganmu yang ancur?" Pramana menyerang tanpa ampun. "Bukumu itu bukan novel, kan?"

Aku menggeleng.

"Bukan fiksi, kan?"

Menggeleng lagi. Kepalaku menunduk. Udah pasti bakal meledak lagi, nih, Si Sumbu pendek. Sumbunya pendek banget kayak bulu hidung.

"Di situ kamu jelas-jelas bilang, saran-saran yang kamu sebutin dalam buku berdasar pengalaman pribadi dan narasumber. Kamu tahu nggak berapa banyak orang bernama Malik Syarifudien Pramana Bachtiar? Sepersis itu kata per katanya. Segamblang itu. Sejelas itu kamu nulisnya. Kalaupun cerita itu cerita fiksi, yang kebetulan punya pacar dengan nama persis sama kayak gitu, kira-kira bakal gimana? Nggak usah bakal gimana, deh. Kira-kira ada berapa banyak di dunia? Ha?"

"Iya... aku minta maaf... aku salah."

"Dan kamu masih bisa bilang 'cuma', Nggrid? CUMA? Sumpah, aku penasaran, emang aku udah bikin apa sama kamu sampai kamu setega itu sama aku? Emang dulu kita pacaran? Aku pernah nyakitin kamu?"

Hampir aja satpam pabrik di depanku kuterjang pakai moncong mobilku. Mobil tersentak gara=gara rem yang kuinjak. Aku dan Pram terentak. Seat belt menyelamatkan kami berdua. Mobilku setengahnya ada di pelataran parkir, setengahnya lagi masih ada di luar gerbang. Aku menatap Pramana takjub, "Kamu nanya apa barusan?" tanyaku.

Pram mendengus. "Emang kita dulu pacaran?" ulangnya.

Apa dia serius nanya begitu? Atau dia lagi menghinaku? Di buku itu, aku kan ngaku-ngaku pernah pacaran sama dia, ciuman sama dia, pokoknya semua yang dia lakukan dengan Diana di bangku belakangku, kuakui sebagai tindakanku.

"Sengsara banget emang kamu, Nggrid, pacaran sama aku?" imbuhnya. "Sampai kamu nggak bisa move on dan jelek-jelekkin aku belasan tahun setelah kita putus? Hm?'

"Pram... aku serius... aku minta maaf, aku udah bikin cerita bohong dan bikin hubunganmu berantakan. Kalau kamu mau, aku bisa nemuin cewekmu, Pram, biar kujelasin ke dia kalau semua omonganku di buku itu semua bohong—"

"Nggak perlu," tandasnya.

"Siapa tahu itu bisa nyelametin hubungan kamu...."

"Nggak, ah. Nggak usah," katanya sambil memegangi handle pintu.

"At least... biarin aku nebus kesalahanku. Biar kerugianmu nggak terlalu besar, Pram...."

"Bukan putusnya yang nggak bisa kuatasin, jadi nggak usah khawatir," gumamnya setelah aku membuka kunci sentral di samping tempat dudukku. "Aku nggak suka memperjuangkan sesuatu yang nggak mau diperjuangin. Lagian kalau kamu beresin masalahku... nanti jadi nggak seru....."

"Nggak seru?"

"Iya... aku jadi nggak bisa nuntut kamu. Kerugian non-material kayak gini, kan, bisa nggak ternilai tuntutannya. Kerugian moral istilahnya. Aku bisa nuntut kamu apa aja, Inggrid."

"Kamu tuh mau nuntut aku... nuntut apa, Pram?" kataku memelas. "Aku nggak punya apa-apa. Harga diri aja bentar lagi bakal kamu injak-injak di pabrik. Uang? Aku nggak punya uang... nyicil mobil aja aku sulit...."

"Memang menyedihkan, sih, kalau denger dari ceritamu doang. Tapi... semua cerita kan selalu punya dua sisi, Nggrid. Siapa tahu... hal berharga yang bisa kutuntut dari kamu... bukan cuman uang?"

"Maksudmu apa? Rumah? Itu rumah Ayahku, Pram... bukan rumahku!"

"Terus... yang punyamu apa, dong? Harga diri punyaku, mobil masih nyicil, rumah punya ayahmu... kamu punyanya apa?"

Punyaku apa?

Yah aku punya sesuatu yang berharga, sih... tapi... emangnya... berharga buat aku... berharga juga buat Pramana? Terus aku mesti bilang apa? Bagaimana jikalau aku persembahkan kegadisanku yang berharga ini kepadamu, Pramana?

Kalau dia nggak mau, gimana?

Kalau dia mau juga, gimana?

"Inggrid...."

"Ya...?"

"Mukamu merah."

"Apa?"

Pram geleng-geleng kepala. "Mukamu merah. Kamu mikir jorok, ya?" bentaknya. "Ya ampun Nggrid... Nggrid... capek banget ngomong sama kamu. Udah ah. Ayo buruan turun. Kerja! Nanti kupikirin lagi kamu bisa dituntut apanya. Kalau udah mentok nggak punya apa-apa, kamu kan bisa masuk penjara—"

"Masuk penjara?!"

"Iya, kan? Kalau terbukti kamu melakukan pencemaran nama baik dan aku ngalamin kerugian moral dan material, terus kamu nggak bisa menuhin tuntutan, hanya itu kan solusinya? Tapi udahlah... itu nanti. Sekarang, sebelum masuk penjara, kamu mesti masuk neraka dulu," katanya santai. "Cepat turun!"

Penjara?

Bukti-bukti?

Oh iya! Bukti. Aku harus ngilangin barang bukti. Sebelum turun dari mobil dan nyusul Pram masuk pabrik, aku ngeluarin ponsel dan menekan ikon hapus akun di platform menulisku. Beres. Nggak ada lagi barang bukti. Apa yang mau dia tuntut kalau buktinya nggak ada, kan? Aku tersenyum lega.

Tapi kemudian aku ingat. Tulisan itu kan udah kucetak jadi beberapa ratus eksemplar buku dan sebagian sudah ada di tangan pembaca.

Aku nangis lagi.

Kupikir, ya udahlah. Udah telanjur. Siapa juga yang peduli sama akun itu?

Aku sama sekali nggak menduga, sampai sebelum jam makan siang, seenggaknya udah ada sebelas panggilan yang kuterima pasca hilangnya akunku dari platform. Semua nanyain kenapa mereka nggak bisa menemukan username-ku.

Lima di antara sebelas penelepon itu berasal dari panggilan internal pabrik. Para supervisor dan buruh ternyata banyak yang diam-diam suka nikmatin tulisan-tulisanku. Olivia, merchandiser perusahaan lain yang sering berhubungan denganku jika kebetulan pabrik kami menghandle brand yang sama, nanyain hal yang sama ke aku. Sampai dibela-belain nelepon di sela kesibukannya. Kok akunku nggak ada lagi di daftar yang diikutinya? Hari ini memang jadwalu update cerita.

Aku bahkan nggak tahu dia punya akun di platform tempatku nulis. Tahu-tahu aja, mereka bermunculan seperti jerawat waktu aku datang bulan cuma buat memprotes kenapa akunku pakai dihapus segala. Apa aku baper gara-gara komen pembaca? Atau di-banned karena melakukan pelanggaran?

Terus terang, aku tersinggung.

Kayak gini nh kebiasaan silent reader yang dibenci oleh semua penulis platform. Pas enak-enak baca, pada diem aja. Jangankan komen, nge-vote aja enggak. Tapi begitu kayak begini, protesnya paling kenceng pakai toa. Mana pake nuduh aku baperan. Ujungnya, aku ngomel-ngomel waktu jam makan siang ke Vero.

"Aku nggak tahu kalian semua diem-diem baca naskahku!"

Vero lagi nyuap sepotong chicken katsu. Aku terpaksa nunggu sampai dia berhasil mengunyah dan menelan makanannya. Habis ini, dia pasti ngatain katsunya kayak sandal jepit. Sambil nungguin dia nelan suapan pertama, semangkuk soto ayamku udah hampir habis.

"Bukannya bagus, ya, Nggrid, mereka semua baca naskahmu? Kok malah kayak ngerasa rugi gitu?"

"Ya maksudku... kenapa diem aja? Kenapa nggak ada yang nyapa aku di kantor, bilang, Nggrid... aku udah baca lho chapter baru ceritamu. Kan bikin aku tambah semangat!"

"Ya... siapa tahu mereka semua pakai fake account dan udah ngasih kamu semangat di kolom komen ceritamu?"

"Ya tapi kan aku nggak tahu itu mereka! Nyebelin, ah. Memangnya pada nggak tahu betapa berartinya saat teman kita sendiri baca karya kita dan mereka suka? Seribu orang lain nanyain kelanjutan cerita kita, tuh, nggak sama rasanya kayak satu orang sahabat yang ngasih perhatian ke karya kita. Kenapa, sih, gengsi?"

"Bukannya gengsi, Nggrid...."

"Ah... kamu aja pernah bilang gitu. Aku inget banget. Kamu ngomong gini, hobi membaca emang elit, tapi kalau baca ceritanya di platform online mah lain. Platform online identik dengan cerita jelek, cerita picisan, mainstream, nggak mendidik. Baca di platform online nggak sama kayak baca buku fisik. Malah cenderung memalukan buat perempuan karir kayak kita-kita ini. Udah gitu... baca di platform online bikin ketagihan. Jadi kesannya kayak orang nggak punya kerjaan."

Vero menyengir, "Ya... itu kan komenku sebelum aku tahu kamu ternyata penulis plarform online."

"Kamu nggak ada bedanya sama mantan calon istrinya Pramana! Aku nggak percaya kalian semua tega ama aku! Kalau aku nggak hapus akun, sampai aku meninggal, aku nggak akan tahu kalian ternyata baca ceritaku!"

"Udahlah, Nggrid... yang penting kan kami semua baca, malah ada juga yang beli bukumu...."

"Ya aku kan nggak tahu kalian beli atau enggak, kalian kan nggak pernah nunjukkin ke mukaku. Kalau aku tahu kalian semua pada baca, aku pasti bakal mikir dua kali sebelum hapus akun itu."

"Lagian... bukannya minta pertimbangan dulu, main hapus aja. Kebawa nafsu, sih."

"Dia ngancem mau jeblosin aku ke penjara, Ver...."

"Terus... kamu mau ngilangin barang bukti?"

"Iya... tapi terus aku nyadar itu percuma, kan tulisannya juga udah dibukuin."

"Nggak bisa dipulihkan lagi emang? Berarti cerita yang lagi pada on going juga ilang?"

"Ya ilang."

"Yah... cerita vampir geng bermotor itu juga nggak ada lagi, dong? Tapi kamu punya draf-nya kan di words?"

"Punya."

"Kira-kira aku boleh baca lanjutan ceritanya, nggak? Gimana kalau kita ecerin aja di WA? Yang mau baca, harus bayar gitu."

"What? No!"

"Buat tambah-tambah biaya kalau Pramana jadi nuntut kamu, Nggrid. Kabarnya, kalau datang bulan di penjara, harga pembalut selangit. lho, Nggrid. Nanti kalau ceritamu diecer bisa laku, kan lumayan buat biaya sehari-hari kamu di dalam sel."

"Anjing kau, ya, ver," geramku. "Dikira aku nggak takut apa diancam masuk penjara?!"

Vero mengekeh.

"Mana masalahku tambah banyak," keluhku sambil ngaduk kuah soto. "Tahu nggak sih... tadi aku kesiangan gara-gara semaleman ngobrol sama Gandhi soal Pramana. Gandhi bilang, harusnya Pram, tuh nikah dalam waktu dekat! Barusan aku denger sendiri dari Pramana, dia nggak jadi ngelamar ceweknya gara-gara sebelum dilamar... ceweknya udah nolak duluan."

"Bagus, tuh," celetuk Vero. "Daripada dia mati muda jadi bininya Pramana?"

"Dia nolak Pramana gara-gara aku Ver!"

"Lah kok bisa?"

"Ternyata pacarnya Pramana baca karya-karyaku. Dia nyadar orang yang kutulis di buku itu, tuh, calon suaminya sendiri! Nah di situ kan aku ngabrut ngomong ke sana-sini kalau Pram pacarku, dia sekolah di mana, nama lengkapnya siapa... ya ampun... dia percaya sama omonganku. Dia nolak Pram karena dia gay. Pantesan Pram dendam kesumat sama aku. Aku nggak cuma ngatain dia gay. Dia kehilangan calon istri. Mana ceweknya itu a young respectable lawyer katanya!"

"Aku nggak tahu lagi mesti ngomong apa ama kamu, Nggrid.... Saking kali ini nasibmu bener-bener parah, aku sampai nggak tega mau adu nasib sama kamu," desah Vero sambil mengusap pundakku. "Mau kubelain... tapi kamunya juga yang blo'on. Kirain selama ini tuh nama yang di bukumu itu nama samaran semua. Pantesan... kalau samaran kok serius banget nyamarnya. Nama samaran kan biasanya Mawar, Melati, atau Budiman... ini kenapa pakai dibikin nama panjang-panjang? Yang sabar, ya, Nggrid.... Ngomong-ngomong... mantannya Pramana beneran pengacara?"

"Katanya sih gitu."

"Pengacara kok bacaannya begituan, ya? Kenapa dia nggak baca buku Teknik Pembuatan Akta Badan Usaha di Era Digital, misalnya?"

"Hah?"

"Atau apa, kek, yang orang awam hukum nggak paham apa yang dia baca. Kok menurutku agak aneh, ya?"

"Ya, kan? Lagian ceweknya bisa langsung ingat nama sekolah Pramana, bisa langsung percaya semua yang kubilang di buku itu... tapi... masa tadi pagi aku papasan sama dia di lift... dia sama sekali nggak ngenalin aku?"

"Serius?"

"Serius!"

"Wah... nggak masuk akal, tuh," tukas Vero yakin. "Hal pertama yang akan dilakuin seorang cewek saat menyelidiki latar belakang perempuan lain, terlebih yang ada hubungannya dengan masa lalu calon suaminya adalah mastiin cewek itu lebih cantik atau enggak dari dirinya sendiri. Itu berarti... dia harusnya bisa langsung ngenalin mukamu seenggaknya dalam radius 500 meter. Pramana bilang gimana?"

"Katanya karena aku nggak pernah nunjukin mukaku di sosmed."

Vero geleng-geleng kepala, "Nggak mungkin. Kalau dia niat nyari tahu, dia pasti bakal nemu. Dia udah ngeraguin skill stalking seorang cewek."

"Aku juga mikir gitu—"

"Kedua," tambah Vero. "Menurutku... buat ukuran pasangan yang batal nikah, drama ini rasanya masih kurang heboh. Kurang meyakinkan. Masa... orang udah mau nikah, terus nggak jadi cuma gara-gara perkara beginian? Ceweknya nggak terima, terus udahan? Nggak ada labrak-labrakan juga. Harusnya kan dia nyamperin ke sini, marah-marah dan nuduh dia udah bohong tentang orientasi seks-nya selama ini!"

"Kenapa dia mesti ngelabrak di sini? Ke apartemennya kan bisa....'

"Ya biar kita semua bisa liat, dong, Nggrid!"

"Ohhh...."

"Kalau memang dia cinta sama Pramana," lanjut Detektif Vero Edogawa sambil betulin kaca matanya. "Paling enggak dia usaha lah... nyari tahu kebenarannya dengan nanya secara langsung ke kamu. Mastiin apa ocehanmu di buku itu bener, atau ngibul? Bukannya pasrah... dan langsung mutusin gitu aja!"

"Iya juga, ya?"

Vero menggumam, "Jangan-jangan...."

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan bukumu cuma dijadiin kambing hitam aja. Diam-diam... hubungannya sama si cewek ini emang udah nggak bisa diselamatkan jauh sebelumnya...."

"Persis!" kataku. "Itu maksudku! Waktu aku nawarin diri buat ngejelasin ke ceweknya juga... dia nggak mau. Nggak masuk akal banget. Kalau emang dia sejengkel itu sama aku dan bukuku karena udah ngancurin hubungannya, kok dia nggak mau usaha buat memperbaiki hubungan itu?"

"Ada yang nggak beres...," gumam Vero.

"Aneh banget," tambahku.

Vero ngeliatin mukaku, "Kamu yakin nggak ada cerita yang kelewat soal masa lalumu, Nggrid? Yang belum kamu ceritain ke aku? Atau... ada cerita yang kelewat soal masa lalu Pramana yang nggak kamu tahu?'

Aku terdiam.

Detik berikutnya, dentang bel tanda jam makan siang sepuluh menit lagi usai menyelamatkanku dari interogasi Vero. Aku memang nggak nyebut-nyebut soal insiden gudang belakang sekolah di buku itu, atau pada siapapun. Tapi, yang lebih mengusikku adalah kalimat terakhir Vero. Apa ada cerita tentang masa lalu Pram yang terlewat olehku? Sejak insiden gudang belakang, aku nggak pernah lagi mau tahu soal Pram.

Jam istirahat makan siang akhirnya selesai, tapi aku masih enggan balik ke atas.

Lemes banget rasanya ngelihatin akun yang kubangun beberapa tahun terakhir sama sekali nggak bisa login lagi.

Ayah memang selalu benar. Jangan bikin keputusan saat sedang kesal, marah, atau kebingungan. Baru beberapa jam kuhapus, aku sudah diserang rasa rindu pada pembacaku. Tanpa mereka, sekarang hidupku benar-benar hanya tentang pekerjaan dan pekerjaan. Berangkat pagi, pulang petang, tanpa hiburan. Kenapa aku bisa lupa bahwa hal-hal yang kelihatannya sepele saat aku sedang marah tadi sebenarnya adalah pelipur laraku selama ini? Sesuatu yang bikin aku merasa lebih hidup karena aku punya cita-cita dan hal menyenangkan lain untuk kukerjakan? Aku bahkan dengan senang hati tinggal di rumah sendirian tiap akhir pekan demi menulis.

Dalam perjalanan kembali ke ruanganku bersama setumpuk material proto sampel di dalam keranjang yang kuseret, aku sudah membuat akun baru.

Si Gila itu benar-benar mau ngulang proses sampling dari awal. Mulai dari Proto hingga Red Tag Sample. Baronnes juga sama sintingnya. Mereka minta 12 step sampling hanya karena mereka berani bayar mahal.

Dua belas step sample itu penyiksaan namanya. Brand lain paling-paling cuma minta 5-6 steps. Memang, sih, dari pembuatan sampel lebih banyak, perusahaan juga dapat untung lebih, tapi buat karyawan menengah kayak aku gini... apa untungnya? Yang ada juga lembur dan lembur, tekanan demi tekanan yang nggak ada habisnya. Ujung-ujungnya ambruk kena tipes.

Sampling process adalah hal paling krusial di industri garmen. Kami dituntut menerjemahkan desain dengan tepat dan cepat, tanpa toleransi cacat. Posisiku sebagai factory quality assurance lebih parah lagi, aku harus bisa menjembatani dua nahkoda yang sama-sama berpengaruh dalam satu kapal. Yang satu kaku setengah mati menuntut produk mahasempurna, yang lain berusaha bagaimana caranya supaya semua produk yang telanjur jadi diangkut masuk kapal.

Apalagi dengan hadirnya Pramana... aku jadi mikir... ini tuh worth my mental health nggak, ya? Kalau aku jadi gila, ini sepadan enggak? Apa aku berhenti aja, ya? Apa aku benar-benar butuh pekerjaan ini?

TING TUNG. TING TUNG

"Panggilan untuk Mbak Inggrid Clara Yuniar, Mbak Inggrid Clara Yuniar, ditunggu Pak Pramana di ruang development sample Baronnes. Sekarang."

Huf....

"Sekali lagi, untuk Mbak Inggrid, Mbak Inggrid, material Proto-nya ditungguin detik ini juga sama Pak Pramana. Kata beliau, Inggrid, kalau kamu lagi makan, tinggalin. Kalau lagi ngunyah, muntahin. Kalau lagi mau bunuh diri, tunda sebentar lagi."

Astaga....

"Pokoknya, cepet dikit, ya, Mbak. Please... doi udah bolak-balik tiga kali ke ruang staf nanyain Mbak Inggrid. Anak payroll mulai stres. Sebagian udah mulai kesurupan."

Aku langsung bergegas.

Mungkin... aku mesti bertahan sebentar lagi demi kemaslahatan umat. Biar aku aja yang menjadi korban monster durjana.

Buat yang bertanya-tanya, mana sih romannya? Perasaan dari kemarin sampai bab begini masih berantem aja.
Lah... di situlah romance-nya, Shay 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top