Chapter 10. Memelihara Jin Ifrit
Part depan update kalau vote-nya 700 ah... komennya 5800 😂
Pokoknya kalau pada males komen, part depan Inggrid diewe jin ifrit, ah. Biar kalian pada kesel.
Btw semalem mau update, tapi ada yg ngingetin kalau wattpad maintenance-nya malem, jadi yaudah besok sekalian.
Jari telunjuk Pramana yang menuding hidungku akhirnya ditekuk, lalu bergabung dengan kelima jarinya yang lain dan mengepal menjadi tinju. Tinju itu ditarik ke sisi mukanya sendiri sementara dia mengembuskan napas yang membuat kepalan itu bergetar. Dengan rahang menggemeretak setelah melihatku meneguk ludah banyak-banyak, dia membentak, "Jam berapa ini?!"
"J—jam... setengah sembilan...," jawabku.
"Setengah sembilan?!"
"Lebih lima belas menit...," cengirku.
Pram geleng-geleng. "Jam berapa kamu harusnya masuk kantor?"
"Jam delapan."
"Terus... kenapa jam segini kamu baru jemput?"
"Eung... kirain kita ngikutin jam kerja kamu... di kota-kota besar... kantor baru buka jam sembilan, kan?"
Rahang Pramana menggemeretak lagi. Aku sampe ngeri kalau retak. Dia menarik napas panjang, lalu memujiku, "Pinter ya kamu kalau disuruh ngeles, Inggrid?"
"Ya udah, sih... kamu aja baru kelar mandi gitu...," tambahku makin berani gara-gara dipuji.
Herdernya menyalak lagi, "Ya ini semua gara-gara kamu! Kalau bukan gara-gara kamu, dari tadi aku udah kelar mandi! Gara-gara kamu dan buku tololmu itu, aku jadi belum siap. Coba kalau aku udah siap, terus kamu ke sini kita tinggal berangkat, aku puter ubun-ubunmu sampai meledak. Awas kalau kamu bilang sama manajermu aku belum siap. Pokoknya kamu yang salah. Titik."
Dih....
Pasti dia udah keburu ngomel ke Ms. Fok kalau aku telat. Ngapain sih jadi buyer QA aja mesti datang pagi-pagi? Gandhi kadang habis makan siang baru muncul di pabrik, nggak ada yang sewot. Malahan pada happy.
Habis ngomel-ngomel, dia ninggalin aku di luar, tapi pintu apartemennya dibiarin terbuka.
Selama beberapa saat, aku nggak bisa bergerak di tempatku berdiri.
Bukannya apa-apa, aku bingung mau masuk, apa enggak. Pramana cuma pakai handuk yang dililitin di bagian pinggangnya. Handuk itu putih bersih, menutup rapi sampai ke lututnya. Mana tahu dia pakai celana dalam, atau enggak?
Rambut dan bodi atletisnya mengilat basah. Bekas telapak kakinya membentuk jejak-jejak di karpet tebal yang melapisi lantai di sepanjang lorong. Kakinya besar-besar. Aku nggak tahu apa aku juga bertambah tinggi sejak SMA, atau cuma dia yang kini tinggi menjulang dengan gagahnya dan bikin aku merasa begitu kerdil seperti kurcaci di depannya.
Ke mana perginya kebencianku selama ini ke Pramana?
Kenapa semuanya lenyap menjadi rasa takut, sementara kebencian itu hinggap begitu pekat di dirinya? Apa yang kulakuin itu begitu jahat? Mungkin dia pikir, buku itu beredar ke seantero negeri kali, yah? Jadi semua orang sekarang tahu bahwa dia gay. Orang awam yang nggak tahu menahu betapa mudahnya penulis zaman sekarang bikin buku, kan, kadang masih berpikir begitu. Wah, punya buku, berarti terkenal. Bukunya berjajar di rak-rak toko buku. Makanya damage-nya bisa begitu besar ke Pramana dan dedikasinya dalam membenciku jadi meluap-luap. Mungkin aku perlu ngejelasin ke dia bahwa ini nggak seserius itu.
Pas aku lagi mengumpulkan tekad untuk melakukannya, Pram muncul lagi. Lengannya terentang kokoh memegangi kusen pintu apartemen. Otot-otot biceps-nya bertonjolan seperti Thor, "Kamu mau masuk apa enggak?"
"Enggak usah, makasih," jawabku cepat.
"Masuk!" suruhnya, absolut.
Gimana aku bisa masuk? Dia aja ngalangin pintu.
"Lewat bawah sini, muat, kan?" tanyanya, merujuk ke ruang sempit di bawah keteknya.
"Lebih efisien lagi kalau kamu mundur, Pram, daripada nyenggol?" kataku.
"Ngebantah aja kamu bisanya," dumalnya, lalu menyingkir dan aku mengikutinya masuk.
"Aku ngajuin inhouse QC ke factory-mu gara-gara sampel-sampel yang kuterima kemarin sangat mengkhawatirkan," katanya sambil nutup pintu. Aku berhenti di ruang tamu, lalu memutar lambat menghadapinya demi kesopanan. Pramana berdiri di depanku sambil berkacak pinggang.
Aku berpaling karena ngeri kalau handuknya copot.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Bilang aja!"
"Mendingan kamu pakai celana dulu," saranku, menunduk.
Pram menyabet lepas handuknya, "Siapa bilang aku nggak pakai celana?"
Aku spontan menjerit, Uhhhuuuyyy!
Bukan. Aku menjerit, "AAAAAA!!!"
"Dasar mesum!" cemoohnya.
Pas tanganku kubuka, ternyata dia pakai boxer, "Kenapa mesti andukan kalau pakai boxer?!" protesku.
"Ini celana dalam!"
"AAA!!!"
Pas aku buka tanganku lagi, Pramana udah menghilang ke kamar mandi. Syukurlah, dia nggak setengah telanjang lagi keluar dari sana. Dia udah pakai celana panjang dan lagi mengaitkan kancing-kancing kemeja yang sangat pas di tubuh atletisnya. Dengan santainya, di depanku, dia membuka kait celananya lagi, menyelipkan ujung-ujung kemeja ke balik pinggang dan mengencangkannya dengan sabuk.
"Seneng, ya, liatin cowok gay ganti baju?" tanyanya.
Aku baru ingat aku punya seenggaknya sepuluh benda lain yang bisa kuamati selain menyaksikan tangannya menyelipkan kemeja ke balik celana.
"Kalau kamu yang ganti baju, mungkin kamu bisa buktiin aku gay, atau enggak," sindirnya sambil menggeserku ke kiri. Dia lalu duduk di tepi sofa dan mengenakan sepatu. "Aku masih marah, Inggrid," katanya.
Kepalaku makin menunduk.
"Tapi kita harus sama-sama profesional," imbuhnya. "Soal in-house QC tadi, aku nunjuk kamu."
Tentu saja.
Supaya dia bisa lebih maksimal dalam menyiksaku.
"You better pray, Elliot lebih whiny dibanding aku soal fitting sample," gumamnya.
"Aku kan udah bilang, bukan aku yang biasanya difoto buat fitting sampel."
"Aku nggak ngomongin modelnya," sahutnya sambil melesakkan satu demi satu kakinya ke dalam sepatu. Pramana melirikku yang terpekur, lalu dengan putaran bola mata meremehkan dan gelengan kepala yang aku tahu persis artinya nggak baik, dia berdiri, mematut dirinya di cermin dan menarik ujung-ujung kemejanya sampai rapi. "Serius, kamu nggak tahu masalahnya di mana?"
"Kupikir kalau udah difoto, itu artinya bisa diterima."
"It's your deadline last night, Inggrid. I am saving your ass. Tapi dari raut mukaku aja... memangnya kamu nggak tahu aku nggak puas?"
Itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, aku memutuskan diam.
"Beberapa ukurannya di luar toleransi. Broken stitch, unevenness, semua kelihatan sama Elliot lewat foto-foto yang kuambil. That dress is going to cost someone more than 350 dollars, bukan harga yang akan kamu bayar kalau kamu masih menemukan setitik cacat saja di situ. Kita akan mulai lagi dari pembuatan development sampel dan aku udah bilang ke manajermu supaya mereka membentuk team sampel sendiri khusus untuk Baronnes. You're in charge."
Nah, sekarang aku nggak bisa diam saja. Bukan karena aku nggak ingin diam saja, demi Tuhan, aku ingin diam saja, tapi memang nggak bisa. Mengulang development sampel? Apa dia udah gila? "Apa perlu sampai begitu? Bukannya proto sampel kita sudah disetujui? Kami masih harus ngerjain setumpuk sampel dari brand lain—"
"That's why aku ngajuin in house QC. Bukannya jelas? Supaya kamu bisa dibebastugaskan dari pekerjaan lain dan khusus mengurus pilot order ini. Aku sudah bicara sama petinggi PMA-mu semalam, nggak ada yang lebih mereka harapkan selain memenuhi peak season kali ini dengan desain-desain Baronnes. Once you can satisfy Baronnes... mereka akan kesulitan menolak purchase order dari brand lain."
Aku mengembuskan napas lelah. Aku baru sadar, itu udah jadi keputusan Pramana. Kalimatnya barusan merupakan sebuah pemberitahuan. Bukan minta pendapat.
"Sekarang, ayo kita berangkat. Begitu kita sampai sana, pilih material terbaikmu dan kita mulai produksi sampel lagi dari awal."
Pramana menepuk tangannya sebanyak dua kali seperti menyoraki pramuka supaya bergegas. Dia lantas memunguti serakan tech pack di atas meja dan menyatukannya ke dalam sebuah bundle besar. Aku hanya mengamati apa yang dilakukannya dengan kedua mata membola, tubuhku masih kaku, cuma kepalaku yang bergerak.
"Kamu masih mau di sini?" tanyanya saat dia selesai dan kembali berdiri di depanku. "Kamu sudah kerja hampir dua tahun, kan? Kesempatan ini akan menghiasi rekomendasimu nanti kalau kalian bisa memuaskan Baronness. Nggak mustahil brand-brand besar ngasih kamu kesempatan emas buat kerja sama mereka. Kamu tahu itu, kan?"
Aku mengangguk.
"Terus? Kenapa kamu nggak bersemangat?"
Menurut ngana?
Sambungnya, "Apa... kerja sama mantan teman sekelasmu begitu mengerikan, Inggrid Clara Yuniar? Oh iya... ngomong-ngomong... apa pengacaraku udah menghubungimu?"
Rahangku mengeras. "Kamu ngancam aku?"
"Ngancam kamu? Buat apa? Aku nggak perlu ngancam. Tadi pagi aku udah telepon Ms. Fok, dan dia udah setuju. Memangnya kamu punya pilihan? Kecuali... kamu mau mengundurkan diri sekarang? Which... such a shame, kamu harus ngulang dua tahun lagi di factory lain. Ugh... kamu nggak akan tahu betapa menyebalkannya ngulang proses meniti karir dari awal lagi...."
"Ka—kamu pernah?"
"Nggak pernah," jawabnya. "Karirku lancar dan gemilang."
Dih....
"Kalau kamu berencana ngaduin aku ke polisi, gimana aku bisa menganggap ini sebagai sebuah kesempatan emas?" tanyaku memelas.
"Benar juga, ya?" Pram menggumam. "Yah... kupikir proses hukum pasti butuh waktu agak lama... nggak mungkin selesai dalam satu, atau dua minggu. Kamu tetap butuh uang, syukur-syukur promosi... atau kalau kamu pelihara Jin Ifrit, kamu bisa minta dicariin kerjaan lain yang gajinya puluhan kali lipat. Aku baru tahu... aku bisa nuntut lumayan banyak untuk kasus pencemaran nama baik. Tapi itu kita bahas nanti aja. Let's go, kita bisa makin telat."
"Kalau aku punya jin ifrit, ngapain aku minta kerjaan? Sekalian aja aku minta duit milyaran!"
"Kamu nggak punya jin ifrit, kan?"
"Ya enggak lah!"
"Ngapain dibahas?!"
Aku masih belum puas, "Kenapa mesti nunjuk aku, sih, Pram? Kalau menurutmu ini bakal ngasih aku kesempatan emas, kenapa aku? Bukannya kamu benci sama aku karena aku jelek-jelekkin kamu di bukuku?"
Pramana menatapku bulat-bulat. Secara otomatis aku memejamkan mata menyadari apa yang barusan kulakukan. Kenapa aku malah nyebut-nyebut sesuatu yang bakal men-trigger tantrum-nya, sih?
Kirain, dia bakal mencak-mencak. Ternyata, Pramana udah nunggu-nunggu aku buka mata lagi dengan seringai yang lebih keji, "Justru itu," katanya. "Kamu pikir gampang muasin aku?"
"Mmm—muasin kamu?" ulangku ngeri sambil memeluk pundakku sendiri dengan membuat tanda silang di depan dada.
Muka Pramana mengernyit, "Muasin standar kualitasku, Inggrid!" hardiknya. "Astaga... kamu pikir muasin apa?"
Oh iya... ini kan Pramana..., bukan Samudra Gandhi.
"Kamu ini agak-agak lain, ya, anaknya?" desah Pramana heran. "Muasin STANDAR KUALITAS Baronnes sama aja dengan muasin aku sebagai perwakilan mereka di sini. Kamu pikir gampang? Kamu pikir aku ngelakuin ini karena aku peduli sama karirmu? Setelah kamu bikin cerita fitnah di bukumu yang nggak laku itu?"
Nah... itu dia tahu nggak laku... jadi misal kujelasin pun... dia tetap bakal nuntut aku, dong?
"Tapi... denger, ya... aku ini bukan manusia kejam. Bagaimanapun juga... kamu adalah teman sekolahku dulu. Walaupun sulit... aku tetap berbaik hati ngasih kamu kesempatan to take credit, kan? Kamu harusnya berterima kasih sama aku."
Berterima kasih-berterima kasih buat apa? Buat dibikin kena tipes?
"Kamu lihat perempuan yang kukejar tadi, nggak?" tanya Pram lagi.
Aku mengangguk.
"Aku harusnya ngelamar dia bulan depan."
Oh... eh... jadi baru ngelamar?
Info Gandhi nggak akurat, nih. Untung aku nggak jadi kasih PAP tete. Kubilang, nanti-nanti ya harus dipastiin gosipnya valid atau enggak. Ternyata enggak.
"She came to make sure I don't have to do that. You know why? Karena dia lebih percaya cerita gilamu tentang orientasi seksualku. Dia pembaca setiamu di platform sialan itu dan menurutnya... tulisanmu adalah tulisan paling jujur dan layak dipercaya!"
"Di—dia? Pembaca setiaku?"
"Yup...."
"Waaah...." Pipiku merona. "Aku nggak tahu aku punya pembaca setia....'
Pramana menggeram ngeliatin aku berbunga-bunga, "Inggrid... ini bukan waktunya buat ngerasa bangga....".
"Oh iya... ta—tapi, kok... dia barusan kayak nggak ngenalin aku...?"
"Kamu pernah nunjukkin mukamu?"
Bener juga.... Kecuali ke beberapa orang yang kuundang dalam peluncuran buku, nggak ada yang tahu mukaku. Selain nggak terkenal, mukaku selalu kututupin stiker. Aku takut teman-teman lama ngenalin aku dan mengingatkan mereka ke trauma masa remajaku. Aku ingin mereka berpikir aku benar-benar udah lenyap ditelan bumi.
"Gendhis is a very respectable young lawyer," kata Pramana. "Satu-satunya flaw yang dia miliki adalah menggemari roman-roman picisan norak yang nggak mendidik seperti yang kamu tulis. Dia bisa ngabisin jutaan rupiah setiap bulan buat membuka chapter-chapter novel di platform berbayar! Jelas dia nggak mau memperlihatkan ke semua orang tentang hobinya itu. Mungkin kalaupun dia ngenalin mukamu, dia bakal pura-pura nggak tahu. Kamu... dan cerita bohongmu bikin aku kehilangan calon istri... kamu pikir aku bakal bikin segalanya mudah buatmu, Inggrid?"
"Ja—jadi... selain ngelaporin aku atas pencemaran nama baik... kamu berencana menyabotase karirku? Kenapa kamu nggak milih salah satu aja? Jangan tamak, Pram!"
Seringai Pramana semakin lebar. Semakin mengerikan.
"Kamu bukan mau ngasih aku kesempatan. Kamu tahu pasti aku bakal gagal. Habis itu, kamu ngelaporin aku ke polisi, bikin aku kehilangan pekerjaan, bangkrut... dan akhirnya masuk penjara... kamu kejam, Pram. Kejam!"
Bukannya tersentuh, Pramana malah putar bola mata.
"Pram... aku ini temanmu sejak SMP, lho...," imbuhku, hampir nangis.
"Nggak usah nangis," katanya.
"Dari SMP, Pram... SMP. Bukan cuma SMA!"
"Aku tahu, kok," katanya enteng. "Aku selalu ngelihat kamu di mana-mana sejak kelas 1 SMP."
"Lah...? Kamu tahu?"
"Tentu saja aku tahu. Justru itu yang bikin aku bingung. Aku lupa sama teman-temanku yang lain, tapi aku selalu ingat kamu."
Ha...?
Pram mengerjap. Matanya membola menatapku, sebelum dia tersadar dan menepukkan kedua tangannya di depan mukaku. PROK! PROK!! "Okay! Sudah cukup nostalgianya!" serunya. "Sekarang, keluar dari sini dan antar aku segera kalau kamu nggak mau dipecat hari ini juga. Ayo... ayo... jangan bengong... oh iya!"
Apa lagi?
"Aku kasih kamu waktu satu menit."
"Satu menit? Buat apa?"
"Harusnya bukan 'buat apa', Inggrid, tapi 'kenapa.' Kenapa aku masih begitu baik mau ngingetin kamu dan bukannya ngebiarin kamu berkeliaran kayak barongsai di lantai produksi. Kamu sengaja mau bikin bosmu terkesan? Kamu harus tahu... susah banget bikin ekspresi marah sementara aku nahan ketawa ngelihat mukamu yang mirip Pokemon. Cepat sana! Satu menit!"
Ya Allah... harga diriku udah nggak ada lagi.
"Bapak kenapa nggak bilang muka saya mirip Jengkelin?" protesku waktu satpam apartemen keluar dari pos buat ngasih salam perpisahan.
"Kirain emang sengaja, Mbak...," cengirnya.
"Sengaja-sengaja... dasar kerak panci kalian semua!" kataku jengkel. "Nggak ada tip hari ini!"
"Nggak apa-apa, Mbak. Mbak udah bikin saya ketawa. Harusnya saya yang ngasih tip."
Dasar kurang ajar.
Pramana bisa-bisanya ikut-ikutan ketawa. Aku mencoba nggak peduli. Perasaanku masih campur aduk, tapi untungnya nggak sampai mengganggu keahlianku dalam menyetir.
Di tengah perjalanan, dia menjawab panggilan telepon di ponselnya dan memelankan volume siaran radio, "Ya, Nek... iya... nanti Pram ke sana, ya? Sebenernya Pram ada apartemen sewaan dari kantor, sih.... Ya tapi kalau nenek maunya gitu, Pram nurut aja. Nanti Pram bilang ke bos dulu, ya? Iya... Pram janji. Sebelum dijual, ya? Okay... nanti Pram pindahin barang-barang Pram ke rumah lama...."
Rumah lama?
Jadi kami bakal tetanggaan???
Btw berhubung aku belum ada niat pasang chapter baca duluan di karyakarsa, tapi banyak yg kayaknya gak sabar mau nyawer aku karena suka sama cerita ini, kamu boleh lho kasih tip di akun karyakarsaku 🤣🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top