Chapter 1. Hantu Masa Lalu

Makasih sambutan di prolognya hangat banget. Semoga tetep suka terus, ya?

Janji dulu vote sebelum baca, terus komen.

Belasan Tahun Kemudian...

Semuanya kulakukan diam-diam.

Menaikkan rok sampai ke perut, menarik ritsletingnya sampai ke atas, kemudian memutarnya ke belakang sebelum menggoyang pinggul dan memelorotkannya kembali sampai pas di pinggang. Sekarang blouse-nya.

Blus over-size dengan lengan balon warna merah ini perfecto. Cucok banget kupadukan sama rok ketat yang membalut erat pahaku. Senada juga sama sampul buku yang mau kupromosiin hari ini. Kulitku kelihatan berseri cantik, senyumku juga jadi lebih bercahaya. Yah ini worth it lah sama risikonya. Aku melenggok ke kanan dan ke kiri sekali lagi di depan cermin.

Apapun yang dipilihin Gandhi memang nggak pernah salah. Ya jelas lah... dia adalah salah satu quality assurance terbaik yang pernah dimiliki Lanoste.

Setelah memulas lip cream warna nude dan memudarkan lip tint merah bata di bagian dalamnya, aku mengatup-ngatupkan bibir sambil melirik ke balik punggung lewat pantulan cermin. Tubuh pria yang tidur tengkurap bergelung selimut putih di atas ranjang itu mendorongku mengembuskan napas berat.

Aku tahu tindakanku keliru, tapi seenggaknya kami nggak melakukan intercourse. Yang kulakukan sama Gandhi semalam tergolong hubungan seksual, kami sama-sama nyaris bugil, saling meraba dan memuaskan satu sama lain. Dia hanya nggak melakukan penetrasi di vagin... maksudku liang sanggam... ouch... sorry, di genitalku.

Ya pokoknya itu lah.

Habis... rayuan Gandhi kali ini nggak kaleng-kaleng. Dia bener-bener bawain aku blus dari Chantal's dan itu limited edition. Harganya mungkin setara dengan gajiku selama setahun. Mataku langsung ijo. It's risky, I know. Aku bisa saja diperkosa kalau Gandhi jahat. Liat aja badannya. Tinggi besar dan berotot. Waktu pertama kali kami bertemu, ngelihat lengan kekarnya aja pikiranku langsung ke mana-mana. Untung aku masih ingat untuk menjaga kehormatanku.

Tapi seperti yang kamu lihat... ini sepadan.

Aku memutar lagi.

Oh aku benar-benar keren. Aku akan menikahi diriku sendiri bila perlu.

Samudra Gandhi menemuiku lagi di kantor setelah beberapa bulan lalu Vero menguak tabir rahasia gelapnya. Cowok gagah itu sudah beristri. I should've known. Aku memang nggak mengharapkan apa-apa darinya sejak dia ditugaskan selama sebulan di kantorku untuk mengawasi produksi koleksi musim dingin Lanoste. Jelas-jelas, dia menunjukkan ketertarikannya padaku. Kami saling menggoda dan akhirnya make out di bawah meja inspeksi. Thank God aku nggak membiarkan tangan nakalnya menyelinap ke balik celana dalamku. Aku masih pakai akal sehat. Cowok seganteng dia dengan penghasilan di atas 25 juta per bulan mana mungkin nggak punya pacar, cuma aku nggak nyangka sama sekali dia sudah punya istri.

Dari awal dia menginjakkan kaki di pabrik, nggak ada wedding ring di jari manisnya. Bekasnya pun enggak ada. Itu pertemuan pertama kami, jadi nggak mungkin dia sengaja buru-buru melepasnya. Kecuali... dia memang sering bermain api dengan pegawai quality control di factory-factory yang dijelajahinya, baru masuk akal.

Balik ke kejadian semalam, seharusnya aku bisa menyelinap keluar sebelum terlambat. Rekan-rekanku dan Ms. Fok toh sudah pada mabuk berat, nggak akan ada yang sanggup menahanku karena dari awal aku memutuskan nggak minum. Dari pengalaman terakhirku di bawah pengaruh alkohol, aku malah duduk di pangkuannya saat kami seharusnya lembur membahas setumpuk defect di meja inspeksi, dalam keadaan setengah telanjang. Dia bahkan punya kondom di saku celananya, gimana aku bisa menduga dia ternyata pria beristri?

Yah, Gandhi memang nggak pernah berhasil membobol pertahananku, dia cukup waras dan mati-matian menghindari skandal. Perusahaan buyer sekelas Lanoste nggak akan peduli skandal itu terbukti atau enggak, pokoknya kalau ada orang yang speak up mengenai attitude pegawainya, apalagi berkaitan dengan pelecehan seksual, karir mereka bisa dipastikan langsung tamat.

"Kami sedang dalam proses perceraian," adalah kalimat klasik yang hampir selalu diucapkan seorang pria beristri saat menjalani hubungan gelap dengan kekasih barunya. Hal itu tercantum di poin Perselingkuhan dalam buku yang kutulis mengenai Macam-Macam Mantan yang Perlu Kamu Arsipkan berjudul The eX's Files.

Dia menarikku berdiri dan mengajakku berdansa saat Galih menyanyikan lagu kebesarannya, Brave dari Sarah Berailes. Yes, Galih is gay. But that's not the point of this story. (Tapi Gay ada di dalam eX's Files-ku. Di buku yang kutulis itu. Nanti kuceritakan lagi.) Melodinya yang rancak dan menyenangkan membuatku berpikir, yah.... kenapa enggak? Lagu seperti itu nggak akan memicu hasrat seksual.

Dan aku salah.

Saat aku menyadarinya, Gandhi yang memerangkapku mulai membelai pinggang dan secara samar menggesekkan alat kelaminnya yang keras ke pinggulku. Aku menyikunya, tapi nggak benar-benar marah. Gandhi melakukannya dengan cara yang amat sensual dan membuatku merasa seksi, bukan dilecehkan. Detik berikutnya, bibirnya sudah menyumpali bibirku. Aku masih berusaha mempertahankan diri, tapi Gandhi bukan pria yang gampang ditolak setelah seseorang memberikan lampu hijau. Bibirnya yang tebal dan panas menekan bibirku, tangannya bersikeras memijat payudaraku meski pergelangan tangannya tercekal olehku. Dia mendesakku ke dinding dengan lembut, namun kuat. Matanya yang menggelayut berlumur hasrat seakan memohon, dan sukses membuatku iba.

"Aku punya blus merah Chantal's yang kamu incar itu," bisiknya.

Aku pun pulang bersamanya.

Kedua tanganku sedang sibuk memasang anting ketika ekor mataku menangkap gerakan otot-otot bahu Gandhi yang mengencang di balik selimut. Dia menggeliat. Rambut ikal tebalnya yang berantakan bikin penampilannya makin menggiurkan saja. Dia celingukan mencariku.

"I have to go," aku mengabarkan berita.

"Hmmm?" desahnya berat, lalu menguap. Dengan mata setengah mengatup yang membuat keseksiannya bertambah dua kali lipat, dia membalik tubuh bugilnya dan duduk bersandar di kepala ranjang. Kami berada di apartemen yang harus ditinggalkannya nanti malam. Lanoste menugaskannya ke Turki untuk mengecek barang tiba dari Vietnam. Kemarin dia datang untuk berpamitan meskipun statusnya sebagai tamu kehormatan di perusahaan kami sudah berakhir beberapa bulan sebelumnya. Dia sudah berada di Perancis, Thailand, dan Jakarta sebulan terakhir ini. Dia sengaja mampir sebelum bertolak ke Turki karena aku mengabaikannya sejak dia pergi.

Bagaimana aku bisa nekat menginap padahal ini jadwal peluncuran buku pertamaku? Aku bahkan sampai mengambil cuti dari kantor dan seharusnya tidur lebih awal supaya hari ini tampil prima. Yup. Blus desainer ini jawabannya. Harganya bisa mencapai ribuan dolar kalau dibeli dengan bandrol resmi. Privilege semacam ini hanya bisa didapat oleh Brand Quality Assurance papan atas seperti dirinya. Factory Quality Control lain mungkin harus bersedia menidurinya untuk blus ini, aku hanya perlu membantu proses ejakulasi yang lumayan bikin pegal lenganku gara-gara dia merasa bersalah sudah berbohong.

Apa aku peduli pada kehidupan rumah tangganya?

Aku peduli pada perasaan istrinya, tapi nggak pada pernikahan, atau rumah tangga mereka.

Rumah tanggamu sudah hancur sejak kamu menikahi pria seperti Gandhi. Mungkin dia selalu meniduri seseorang di setiap perusahaan yang disinggahinya? Siapa tahu? Aku menggaruk kupingku, merasa risih dengan isi kepalaku sendiri.

(Oh... jangan tanyakan hatiku. Pramana sudah membunuh hati perawanku yang bersih seperti hati biarawati bertahun-tahun yang lalu. Yang tertinggal di dalam relung dadaku ini hanya segumpal darah menghitam yang terluka bertahun-tahun lamanya. Sebuah luka yang ditertawakan segerombol kawanan perundung dan salah satunya adalah orang yang mengisi hari-hari remajaku dengan cinta.)

"Aku antar kamu, tunggu aku sebentar," kata Gandhi sambil menyingkap selimut. Aku mengalihkan tatapan yang nggak sengaja menangkap pemandangan tak senonoh di area bawah pinggangnya. Benda itu setengah keras, agak bersembunyi di balik rambut pubis yang dicukur rapi, tapi nggak sepenuhnya bersih. Syukurlah benda itu nggak lama kemudian berada di tempat yang seharusnya.

"Aku nggak perlu diantar, Ndhi... kamu harus ngejar pesawat beberapa jam lagi."

"I don't care, Ingrid," katanya sambil menjulukkan pinggang celana dan mengaitkan kancing duluan sebelum menaikkan ritsleting. Sinar mentari pagi menyirami tubuh putih bersih berhias lekuk-lekuk otot yang pas, pinggang ramping, dan bahu lebar yang selalu ingin kujelajahi setiap kali kami beradu hasrat dan gairah. Aku bisa saja jatuh hati pada pesona dan penampilan fisiknya yang menawan, kemudian kembali ditertawakan, dipermalukan, dan terluka.

Tuhan menunjukkan jalan.

"Kelihatan cantik di kamu," katanya, menunjuk blus yang melekat di tubuhku dengan dagunya. Disahutnya kemeja yang tercecer di lantai dan dikenakannya. "I saw that and I remember... buku tentang mantan-mantan pacarmu akan terbit hari ini."

"Thanks, aku sangat menghargai keputusanmu ngasih ini ke aku, dan bukannya ke istrimu."

"Oh shut up. Dia sama sekali nggak pantas mengenakannya." Gandhi berdecak malas, para pria yang nggak setia selalu berusaha merendahkan seorang perempuan untuk membuat perempuan lain merasa unggul, lebih istimewa, dan akhirnya mudah ditaklukkan. Sub poin kedua pada poin perselingkuhan. It works almost every time. Dia merengkuhku, memelukku erat dari belakang dan menciumi leherku. "Aku serius, Ingrid... begitu aku kembali dari Turki, kalau kamu mau... aku bakal langsung melamarmu."

"Maaf, tapi aku nggak mau dipoligami."

Gandhi mengisap kulit leherku dan nyaris meninggalkan jejak merah kalau aku nggak mengancamnya. Gerakan tangannya begitu lincah memutar tubuhku dan dilanjutkan dengan menggiring lenganku mengalung di lehernya. "Aku sedang dalam proses cerai, Inggrid. Jangan salahin aku kalau nanti kamu menyesal karena nggak mempercayaiku."

"Oh ya? Kenapa? Perempuanmu bukan cuma aku, kan?"

"Yang paling kusayang cuma kamu," kekehnya.

"Blus ini buktinya?"

"You can be bitter as much as you like, tapi hanya karena pacar kecilmu saat remaja adalah bajingan tengik yang ternyata homoseksual, bukan berarti semua laki-laki sama."

"Don't!" aku memperingatkannya, ujung jari telunjukku di puncak hidungnya. "Jangan bawa-bawa soal masa lalu yang kuceritain ke kamu dalam keadaan mabuk. Jangan pakai itu sebagai senjata untuk memanipulasiku."

"Aku nggak memanipulasi siapapun, inggrid... tapi kamu membentengi diri terlalu ketat. Sampai kapan kamu mau kayak begini? Nggak semua laki-laki pembohong, Nggrid...."

"Mungkin... tapi kamu jelas bukan satu di antaranya," kataku.

"Kamu cuma tahu lebih dulu sebelum aku jujur," kelit Gandhi.

"Kapan kamu mau jujur, kutanya? Setelah kamu bikin aku hamil?"

"Nggrid...."

"Aku udah ngasih kamu kesempatan buat lari, Gandhi... aku nggak nuntut apa-apa karena memang nggak ada yang pelru kutuntut. Kita cuma main-main aja. Terserah kamu mau memperbaiki hubunganmu, atau enggak, tapi please... jangan ganggu aku lagi."

"Sekarang gantian kamu, nih, yang ngancem aku?" tanyanya, sambil melonggarkan pelukannya di pinggulku.

Aku berkelit dan melepaskan diri. "Saksi yang ada di pihakku banyak, Ndhi. Semua orang juga tahunya kamu nggak punya istri. Kalau aku speak up... Lanoste nggak akan diam aja. Istrimu juga nggak akan diam aja."

Gandhi menyerah.

Aku mengemasi barang-barang dengan cepat, Gandhi sudah kehilangan minat memaksaku mau diantar ke Ernesto, sebuah cafe buku mungil di mana aku menyelenggarakan launching buku kecil-kecilan dengan sejumlah narasumber dan pembacaku. Omong-omong, aku menulis di sebuah platform dan berhasil menemukan segelintir penikmat, nggak banyak, cuma cukup untuk menyalurkan hobi dan passion. Untuk menghasilkan? Nggak terlalu, karenanya aku tetap bekerja.

Editorku sudah lebih dulu duduk di dalam cafe yang dinding-dindingnya dipenuhi buku. Dia melambai ke arahku dari sudut yang sudah kupesan sejak seminggu yang lalu. Di sana kami menata sekitar dua puluh kursi untuk ditempati sejumlah peserta yang sebelumnya memenangkan giveaway.

"Aku gugup banget," kataku sambil menyalaminya.

Eni, namanya, menenangkanku dengan suara keibuannya. "Easy, sebagian dari mereka udah sering interaksi sama kamu di media sosial. Nice blouse by the way, dari si...a...pa...?"

Pertanyaannya menggantung.

Alih-alih nungguin jawabanku, bola matanya naik melewati puncak kepalaku. "Ya? Ada yang bisa kami bantu?"

Pengunjung pertama?

Secara otomatis, aku menilik arloji kecil di pergelangan tanganku. Acara baru mau dimulai sekitar satu jam lagi. Jantungku berdebar. Asyik juga ada orang yang sangat antusias pada penulis baru yang nggak punya nama sepertiku, sampai rela datang satu jam lebih awal. Aku menengok ke belakang dan seketika menyadari kejanggalan lain saat tahu tamu pertamaku itu seorang pria.

Nggak ada pria yang membaca tulisanku.

Aku mendongak lebih ke atas untuk melihat wajahnya dan memaku.

"Malik Syarifudien Pramana, hantu masa lalumu?" tanya orang itu sambil melempar buku baruku ke meja. Suaranya tajam dan dingin.

Mataku mengikuti arah terlemparnya benda itu.

Pramana menggeram. "Dan homoseksual? Seriously? Who plant that stupid idea in your head? Aku akan menuntut untuk pencemaran nama baik!"

Jadi kamu pada gak punya tiktok?
Bikin, dong...

SAMUDRA GANDHI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top