7. Kunjungan Orang Tua
Hari minggu. Libur sekolah. Bersantai ria di asrama. Ah, hidup ini memang indah.
Semenjak keluar dari kamar, wajahku dipenuhi oleh senyuman. Dengan riang gembira, sesekali aku bersenandung dan melompat-lompat kecil kayak orang sinting.
Plakk.
Anjrot.
Dengan kesal aku menoleh dan mendapati Bu Zia dengan masker dan daster yang super gede, ditambah dengan roll rambut yang masih menempel indah di kepalanya.
"Ada apa, Bu?" tanyaku seraya meringis.
"Kamu kan yang naro ini di kamar Ibu?" dia memperlihatkan majalah xxyeah yang isinya khusus foto-foto cowok ganteng dari berbagai dunia.
Aku mengernyit bingung, "gak kok Bu, masa saya iseng gitu sih?"
Plakk.
Lagi, kepalaku ditabok pake majalah itu.
"IBU!!" aku memekik ketika dia menjewer telingaku.
"Gak usah bohong ya Nefa, apa kamu mau liat buktinya di CCTV?"
Bibirku mengerucut saat dia menyebutkan CCTV. Aku lupa, di beberapa titik kamar asrama dipasang kamera pengintai itu. Hih.
Harusnya tu kamera gue tutup dulu sebelum gue nyelipin majalah di pintu kamar si Ibu. Nefa, bego.
"Kan niat saya baik Bu, biar Ibu gak jomblo terus gitu.." kataku disusul dengan kekehan.
Bu Zia menaikkan sebelah alisnya, lalu mengusap pelipisnya dan menyeretku ke kamarnya.
"Aretha~ Tolong gue!"
Saat seperti ini, minta bantuan anak teladan adalah hal terindah yang pernah ada. Aretha yang lagi asik ngunyah roti bakar menoleh sekilas dan mengangguk. Aku lega.
Terima kasih Tuhan, Kau memberikan sahabat sebaik Aretha!
Dia menghampiriku yang diseret dan berdiri di depan Bu Zia setelah memberi salam. "Bawa aja Bu si Nefa, biar kapok dia," ujar Aretha singkat.
Sialan.
"Nah, Nefa. Kamu harusnya nyontoh Aretha nih, dia kan anak teladan di sini," jelas Bu Zia.
Aku hanya mendengus kesal saat melihat Aretha menutupi bibirnya yang tertawa kecil.
Dengan kesal, aku menghentakkan kaki dan meronta-ronta karna masih dijewer oleh Bu Zia.
"Aretha jahaaaaat!"
Teriakanku menggema di sepanjang lorong asrama. Tapi kemudian disusul oleh teriakan anak asrama yang lain.
"Nah, Bu! Ada apaan tuh?" aku menoleh ke kanan dan kiri dengan panik. Padahal dalam hati aku bersyukur jika Bu Zia mencoba mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.
Aku memicingkan mata, melihat seorang pria tengah mengobrol intens—lebih ke arah merayu—dengan seorang senior.
"Siapa itu..?" aku bergumam dan berjalan mendekat saat Bu Zia sudah melepaskan jewerannya.
"Ada apa ini? Pagi-pagi udah ribut!" tegur Bu Zia sembari berdecak.
Salah satu penghuni asrama menghampiri Ibu Gembul itu dan membisikkan sesuatu.
"Dia datang?" ujar Bu Zia histeris.
Astaga. Siapa yang datang?
"Nefaaaaa~"
Suara yang sangat familiar mampir di telingaku. Bahkan sebelum aku lahir-pun, aku telah mendengarnya.
Saat menoleh, "Mama!"
Aku memekik senang dan langsung berlari ala india ke arah Mama. Akhirnya Mama datang jugaa setelah sebulan tak menjenguk.
Aku memekik saat melihat Mama berlari ke arahku, "Mama! Jangan lari!"
Mama punya kebiasaan buruk aejak bocah. Baru saja aku memintanya untuk tidak berlari, Mama.. Nyungsep.
Astaga. Mama!
"Mama!" aku berteriak panik menghampiri Mama yang tengah meringis menyentuh keningnya yang err, memerah.
"Rafa.."
Yah, begitulah Mama. Selalu, kapanpun, dan dimanapun nyungsep. Saat inilah..
"Mana yang luka?"
.. Papa datang bak seorang Pangeran bermobil mewah yang menolong Mama yang nyungsep.
Aku hanya menggeleng frustasi saat melihat Mama yang sedang ditiup-tiup keningnya oleh Papa. Ibu jari Papa sesekali mengusap lembut, dan wajahnya tersenyum.
Oh astaga, bikin iri sumpah!
"Pa! Ma! Gak usah pacaran dulu deh! Gak kangen sama anaknya?" ujarku sembari cemberut.
"Vanny nyungsep lagi?!" teriakan seseorang yang disambut tawaan membuatku menoleh.
Papa Kiva.
Ternyata yang tadi membuat keributan adalah dia. Di sampingnya ada Mama Zey yang menjewer telinga suaminya.
"Papa Kiva bandel lagi ya, Ma?" tanyaku jahil ke Mama Zey.
Mama Zey menoleh ke arahku, "iya sayang, pusing Mama kalo ngajak dia ke asrama putri. Bahaya."
Aku terkikik geli. Entah sejak kapan Papa Kiva seperti playboy yang suka iseng meggoda para gadis. Padahal dulu saat muda Mama Zey bilang dia tidak seperti itu.
Plakk.
"Elo! Jaga image dong! Udah tua gak tau diri banget sih!" orang yang menjitak kepala Papa Kiva muncul.
"Vi, jahat banget sih lo. Kalo kepala gue benjol gimana?" ujar Papa Kiva, merengut kesal. Mama Vi, kembaran Papa Kiva yang kece itu.
Kalo ada Mama Vi, artinya ada..
"Yang jahat itu elo sama sepupu gue, udah punya istri masih aja ganjen," ujar seseorang yang tangannya sudah ikut menjewer telinga Papa Kiva yang satunya.
Papa Aufa!
Ya ampun semuanya adaa!
"Papa Aufaa! Nefa kangen!" aku berlari ke arah Papa Aufa dan memeluknya.
Papa Aufa melepaskan jewerannya pada Papa Kiva dan balas memelukku, "Papa juga kangen sama Nefa.."
Aku tersenyum lembut dan mendongak menatap Papa Aufa. Aku suka berada di sisi Papa Aufa karna sikapnya yang lembut dan ramah.
"Papa kapan dateng?" tanyaku.
Papa Aufa melihat jam tangannya, "dua puluh menit yang lalu, tadi kita ngobrol dulu sama temen di depan."
Aku mengangguk-angguk saat sebelah tangan Papa Aufa mengelusku.
"Nefa, gak kangen sama Mama?" aku menoleh dan nyengir.
"Gak ah. Mama kan pacaran mulu sama Papa. Nefa bosen digaringin," ujarku.
Mama cemberut dan langsung dihadiahi tawaan kecil dari Papa.
"Aretha kemana Nef?" tanya Papa Kiva tiba-tiba.
Aku mengintip ke arah Papa Kiva dan melepaskan pelukan Papa Aufa. Kemudian menengok ke kanan dan kiri, "ih tadi dia barusan disini kok Pa."
"Mana anaknya?" tanya Mama Vi, Mama-nya Aretha.
"Nyariin siapa Ma?"
Kami tersentak kaget saat melihat Aretha yang sedang berdiri seraya makan lolipop. Ni anak makan mulu ya kerjaannya? Tambah keriting deh tu rambut. Eh. Ga nyambung.
"Jangan bikin kita jantungan, Nak!"
★
"Pak, Ardennya ada?" tanya Papa Kiva ke Guru Pembimbing Asrama.
Dia langsung mendongak dan tersenyum, "sebentar ya Pak."
Papa Kiva mengangguk dan menghampiri kami yang tengah duduk santai di sofa ruang tunggu.
Sebenernya sih bisa aja para orangtua langsung masuk ke dalam, tapi Papa Kiva bilang dia males masuk ke dalem. Soalnya cowok semua. Dasar edan.
Setelah Pak Azri menutup telpon, dia berkata, "Ardennya lagi mandi Pak."
Kami kembali mengangguk, lalu aku melirik ke arah Mama Zey yang tengah menceramahi Papa Kiva.
Papa Kiva hanya menunduk dan manggut-manggut kayak bocah, lucu banget sumpah.
Abisnya Papa Kiva centil sih, udah punya anak juga.
"Fausta, kan?"
Aku mendongak saat Papa memanggil nama Fausta dan mendapati cowok itu tengah berjalan terburu-buru ke arah luar.
"Eh?" Fausta mengerutkan keningnya, "iya, saya Fausta Om."
Papa berdiri dan menepuk bahu Fausta. "Wah kamu udah gede ya. Dikasih makan apa sama Rie?"
Awalnya dahi Fausta mengkerut bingung, tapi saat sadar aku melambaikan tangan ke arahnya ia langsung terkekeh, "Om itu Papa-nya Nefa ya?"
"Kita semua Papa Nefa," ujar Papa Kiva dan Papa Aufa berbarengan, sedangkan Papa-ku hanya mengangguk.
Aku tersenyum geli saat melihat Fausta yang kebingungan.
"Saya Papa biologisnya Nefa," jelas Papa.
Aku hanya tertawa kecil. Selalu begini deh kalo para Papa berkumpul disini.
Mungkin terdengar aneh karna aku yang memanggil mereka dengan sebutan Papa dan Mama. Tapi memang itulah kenyataan.
"Saya Mama biologisnya Nefa," kali ini Mama berdiri dan berjalan ke arah Fausta tanpa nyungsep.
Untunglah, Tuhan.. Mama gak nyungsep di depan Fausta.
"Mau ketemu sama Mama Papa ya?" tanya Mama.
Fausta tersenyum, "iya, Tante."
"Fausta!"
Aku menoleh dan langsung teriak bahagia saat melihat orang yang aku kagumi.
"Om Rie!" aku berdiri dan langsung memeluknya.
"Eh? Ada Nefa disini? Tumben banget Om ketemu kamu disini!" ujar Om Rieki.
Aku mengangguk, "ada Aretha juga loh, Om.."
Aretha yang tadinya lagi duduk anteng langsung menghampiri kami. "Siang, Om Rie."
Om Rieki terkekeh dan merentangkan salah satu tangannya, "gak usah formal gitu, Reth."
Aretha menghambur ke pelukan Om Rieki. Kita bertiga udah kayak teletubbies aja nih.
Setelah chat-chit-chut ga jelas, akhirnya kami berjalan keluar asrama putra kayak orang mau tawuran. Rencananya sih mau makan siang bareng. Wuih. Pokoknya rame abis.
Aku memperhatikan Tante Anna dan Om Rie yang sesekali saling menatap dan melemparkan tersenyum. Aih, mereka manis banget.
"KALIAN LUPAIN ARDEEEN!!"
Serentak, kami menoleh dan tertawa melihat Arden yang tengah menatap kani dengan kesal.
Ya ampun, lupa deh kalo ke asrama putra mau nyamperin Arden.
★
"Om Rie sama Tante Anna masih suka telepati?" tanyaku antusias setelah menelan steak milikku.
Tante Anna mendongak dan wajahnya merona, lalu Om Rieki tiba-tiba mencubit pipinya.
Ih. Bikin iri.
"Pa, jangan pacaran deh, malu tau," ujar Fausta.
Aku mengangguk setuju dengan perkataan Fausta, "iya Ta. Gue juga sebel banget kalo liat Mama Papa lagi berduaan. Gue dilupain gitu."
Fausta menoleh, lalu kami saling ber-highfive ria.
Om Rieki tertawa kecil dan mengedipkan matanya, "makanya kalian cari pacar dong."
Aku cemberut, "kan Nefa masih polos Om, belum tau apapun."
Tiba-tiba dari arah belakang ada lemparan tisu, tepat mengenai kepalaku. Aku menoleh dengan ganas dan mendapati Arden yang nyengir tak berdosa.
"Nefa boong tuh! Dia aja udah main surat-suratan sama Fausta pas di kelas!" cerocos Arden.
"Mana tengah malem pacaran lagi di taman belakang asrama!" tambah Aretha.
Ehh, monyong banget mereka.
"ASTAGA! BENERAN?!" teriak para Mama histeris.
Aku mendengus kesal dan menatap Mama Vi dan Mama Zey bergantian. "mereka bohong, Ma."
"Kalo beneran juga gapapa kok, Nef. Tante sih setuju aja asal Faustanya seneng," ucapan Tante Anna membuatku melotot.
"Kita baru kenal beberapa hari!" ujarku dan Fausta berbarengan.
Mama dan Papa hanya tertawa melihat tingkahku.
"Kalo mau pacaran nilainya gak boleh turun, ya."
Ucapan Papa membuatku cemberut, "Nefa gak pacaran, Pa.."
"Eh ya, Papa mau kasih ini nih."
Suara Om Rieki membuatku menoleh, dan mendapati dia tengah memberikan sebuah buku yang cukup tua pada Fausta.
Fausta mengernyit bingung, "ini apa Pa?"
Pandangan kami terarahkan sepenuhnya pada pasangan yang memiliki kemampuan unik ini.
Tante Anna menyentuh tangan Fausta, "sebentar lagi kan kamu ulang tahun, nah ini buku pegangan."
"Buku pegangan?" ujar Fausta seakan meyuarakan pikiranku.
Tante Anna mengangguk.
"Ini buku catatan leluhur kelipatan lima, mereka menulis kejadian yang dialami saat malam mereka berumur 16 tahun," jelasnya.
Aduh, kepo sumpah.
Fausta hanya diam menatap Mamanya. Sedangkan tanganku sudah terjulur ingin mengambil buku itu.
Tapi segera ditepis oleh Fausta, "kepo lo, Nef," ujarnya.
Aku hanya terkekeh, "gue penasaran sih."
"Semoga membantu ya, abisnya kan tiap generasi beda-beda kemampuannya," tambah Tante Anna.
Fausta hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari lembaran-lembaran buku itu.
"Kamu udah nemuin cewek yang kamu kasih bandul itu?" tanya Om Rieki tiba-tiba.
Deg.
Aku mendongak. Dadaku berdegup kencang. Bandul itu maksudnya bandul kristal pemberian Fausta waktu itu kan?
Fausta mengangguk dan menatapku, "udah Pa, ini anaknya."
Seakan waktu berhenti, Tante Anna dan Om Rieki langsung menatapku.
"Kamu anak kecil itu?" tanya Tante Anna tak percaya.
Aku mengangguk. Aku ingat, baru setahun aku memakai bandul kristal ini sebagai kalung. Karna Mama Papa takut aku menghilangkannya, mereka menyimpankan untukku.
"Kenapa Tan?" tanyaku bingung.
Tiba-tiba Tante Anna tersenyum tipis dan menatap Om Rieki. Mereka bertelepati, lagi.
TBC~
==========
Kamis, 19 Desember 2013—10:56
Note: hallo! alhamdulillah ya akhirnya gue dpt ide buat ngelanjutin ini.. semoga ga mengecewakan yaw :* ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top