21. Study Tour (2)
Dean's POV
Lima belas menit setelah masuk ke dalam Gua Karang. Tepat di sebelahku, ada Mia yang sedang memperhatikan dinding Gua Karang yang sudah berumur ratusan tahun. Mia melirikku dengan ragu dari ujung matanya. Saat mata kami bertemu, pandangannya kembali liar.
"Udah sih, gak usah sok-sokan gak liat gue gitu deh," ujarku.
Mia mendelik, "siapa yang liatin elo coba?"
Aku terkekeh pelan, begini-lah Mia yang kukenal. Suka tidak mengakui tindakannya, padahal hal itu yang membuatnya manis. Ah, seandainya saat itu aku tak egois padanya. Aku menghela napas pelan, tanpa kusadar tanganku menggenggamnya erat.
"Gak usah cari kesempatan dalam kesempitan deh ya!" tegurnya.
Aku tertawa kecil, "siapa si—"
"Whops, sorry. SENGAJA."
Hampir saja aku terjungkal, untungnya keseimbanganku bagus. Yang barusan menabrakku itu Aretha, sodara Nefa yang punya kemampuan untuk baca kejadian masa lalu. Dia hebat, pintar, tapi dia takkan bisa menembus pikiranku. Aku lebih hebat darinya.
"Lo kenapa buru-buru sih Reth? Gamau menikmati kebersamaan kita?" tanya Kevin dengan gaya centil.
Tu cowok udah kayak tante girang aja deh, centil abis sama Aretha.
"Anjir anjir anjir! Setan alas setan alas! KECOAK, DEAN! KECOAK!"
Mia berteriak heboh sambil berlompatan dan memeluk lenganku dengan erat. Aku ikut memperhatikan telunjuknya yang mengarah ke dekat kakinya. Disana ada beberapa kecoak tengah berlarian manis, semanis gula.
"Yaelah, masih takut aja lo," ujarku geli.
"Nih, liat, cara matiinnya kayak gini," aku melangkah dan langsung menginjak salah satunya yang akan terbang. Dan, mejret. Yaks. Langsung gepeng gitu. Semoga arwahmu diterima di sisi-Nya, amiin.
"JIJIK, KAMPRET!" umpatnya sebal.
Aku berlari-lari dan melompat, menginjak satu per satu kecoak yang ternyata banyak sekali disini. Sedangkan Mia, dia melompat dan sesekali memukul bahuku dengan keras. Anjir, kekuatannya men..
Setelah beberapa menit kami perang dengan kecoak, suasana kembali hening. Dengan wajah datar, aku menatap keempat pasang mata yang memandangku dengan ekspresi yang berbeda.
"Kalian ngapain sih?" celetuk Kevin.
"Pacaran kok di dalem Gua," tambah Aretha.
Mendengar itu, Mia langsung berlari dan menjepit leher Aretha. "Apa lo bilang?! Pacaran?!! Lo gak liat tadi ada pasukan kecoak disana?! Gue berasa mau mati tau gak! Ketiban sial gue kalo sama Dean!!"
Lah, kenapa gue yang disalahin gini sih, batinku.
Aretha tertawa terbahak, menjauhkan tangan Mia yang berada di lehernya. "Menjauhlah dariku, wahai wanita!"
"Dean kan pacar gue."
Sahutan Nefa membuat kami semua terdiam menatapnya yang mengerutkan kening sekian centi. Sebenarnya aku tak tega memanipulasi pikiran Nefa. Tapi hanya ini yang bisa membuat hati Fausta tersayat.
"Lo pacaran sama Dean? Sejak kapan? Bukannya lo lebih deket sama Fausta ya? Kok--"
"Cerewet," Aretha menutup mulut Kevin dengan kasar. Khawatir gue bibirnya jadi bengkak, kasian. Merana sekali dia.
"Ayo, jalan lagi," Fausta bersuara, ia menarik lembut tangan Nefa. Aku hanya diam menatap sejoli itu. Mereka cocok satu sama lain.
Aretha dan Kevin mengikuti langkah Fausta, dan Mia kembali berdiri di sampingku. Tanpa mendapat izin darinya, aku langsung mengamit tangannya dan menggenggamnya erat.
"Nefa sama Fausta cocok ya," gumaman Mia membuatku menoleh dan tersenyum kecut.
"Yap, dan itu bikin gue muak," kataku.
Mia menghela napas frustasi lalu melepaskan tautan tangan kami, sedangkan aku menatapnya dengan penuh pertanyaan.
"Sampe kapan lo mau kayak gini, Dean?" Mia menatapku sendu.
Aku mengedikkan bahu, "sampe Fausta tau gimana rasanya jadi keluarga gue. Gimana rasanya kehilangan orang yang disayang."
"Tapi kan--"
"Lo gatau Mi, Papa gue menderita banget, tiap hari selalu mandang foto Tante Claudia sampe akhirnya sakit dan meninggal," sergahku.
Ya. Awalnya aku bersahabat dengan Fausta dan kami sangat dekat. Sampai pada suatu hari Papa sakit dan kemudian Mama menceritakan bagaimana kematian Tante Claudia yang mengenaskan, sama persis dengan kematian Nenek.
Hanya karna keluarga Fausta. Astaga.
Papa memang orang baik, dia selalu tersenyum dan tidak pernah menampakkan kesedihannya.
"Tapi gak nyakitin Nefa juga, Dean. Lo gak berhak ngubah ingatan seseorang," jelasnya.
"Cuma itu satu-satunya cara buat Fausta menderita," desisku.
Mia menghela napas, lalu kedua tangannya mencekik leherku pelan. "Sikap keras kepala lo tuh. Dasar Batu!"
Dia mendorongku ke depan dan ke belakang, mau tak mau membuatku tertawa. "Batu gini lo sayang kan?"
Ucapanku membuat pergerakan Mia terhenti. Pandangannya menatap bebatuan di bawah dan wajahnya merona. Dia masih semanis dulu. Aku memandang ke depan, dimana Fausta dan Nefa saling bergandengan. Mereka cocok satu sama lain.
Tunggu gue ya Mia, batinku.
Perlahan, aku mengaitkan jemari kami dan mengeratkannya.
"SETAAAAAAN!!"
Suara teriakan Nefa membuat kami menoleh ke arahnya yang ternyata sudah berlari menjauhi kami berempat bersama dengan langkah besar Fausta yang mengejar Nefa.
Dean's POV END
*
Aretha's POV
"Itu si Nefa kenapa? Ngabur liat setan?" celetukku saat sadar Fausta berlari mengejar Nefa.
Kevin yang berdiri tepat di dampingku, mengedikkan bahu seraya mengerling jahil. "Kamu kalo mau ngabur ke hati aku aja ya."
Mulutku menganga sempurna saat Kevin berkata seperti itu. Sinting. Tapi sukses buat jantung aku melompat-lompat dan wajahku merona. Astaga.
"Ciee blushing ciee.." ujarnya sambil menaik-turunkan alis dengan iseng.
Aku hanya memutar bola mata dengan bosan, tapi tertawa dalam hati. Aih Kevin lucu banget sih, minta dipites kayak kutu.
Tanpa pikir panjang lagi, aku menarik tangan Kevin untuk menyusul Fausta dan Nefa yang sudah berlari memasuki cabang sebelah kanan.
"Ay—"
"Weits, tunggu sebentar."
Langkahku terhenti melihat Farza tengah memakai kostun setannya. Sumpah. Ngocol abis. Ini yang ditakutin sama Nefa? Farza hanya memakai kaos hitam dengan struktur tulang, lengkap dengan topeng tengkorak di tangannya.
"Nefa gini doang takut?" ucap Farza geli.
"Kamu kayak gak kenal dia aja sih," Amira muncul dengan baju santainya. Sesekali dia melihat catatannya, "sebentar lagi Nefa dan Fausta akan sampai di sana."
Aku menoleh, "disana dimana?"
Farza dan Amira hanya saling pandang lalu tersenyum misterius.
"Madame," Farza seperti memanggil seseorang, dan muncullah seorang wanita paruh baya seperti seorang peramal.
"Apakah dia?" tunjuk wanita yang dipanggil Madame itu.
Kami menoleh ke arah pandangnya yang ternyata mengarah ke arah Dean. Wajah cowok itu terlihat datar, bahkan terkesan merendahkan wanita itu.
"Anda siapa?" tanya Dean ketika wanita itu telah hadir tepat di depannya.
"Kau tak perlu tau, anak muda."
"Sok misterius ih--" celetukan Kevin membuatku menjewer kupingnya.
"Comel bett lo jadi cowok, ih," kataku kesal.
"Walaupun comel begitu, dia adalah orang yang kau sayang, bukan?" perkataan Madame mendapatkan tepukan riuh dari Farza, Amira dan Mia.
Sedangkan Kevin udah nyengir kayak kuda gila. Ah, menyebalkan syekali. Minta ditabok. Tanpa izinku Kevin langsung merangkulku mesra. "Gak usah malu-malu lagi ya sama gue."
"ELONYA MALU-MALUIN!" teriakku bete tapi seneng.
Nah, aku gila sekarang. Gila akan cinta. Sejak kapan aku jatuh cinta sama kupret satu ini? Ah, ini menyebalkan.
"Apa yang anda inginkan?" tanya Dean tiba-tiba, membuat kami mengatupkan bibir dengan rapat.
Madame itu menyunggingkan senyum misterius. Mereka saling pandang untuk beberapa saat, seperti saling berbicara lewat pikiran masing-masing. Sedetik kemudian wajah Dean berubah pucat, menit berikutnya dia pingsan tak sadarkan diri di pelukan Mia.
Aretha's POV END
*
Fausta's POV
Hanya perasaanku saja, atau memang Nefa sedang dalam keadaan super duper triple gelisah? Dalam sepersekian detik, tangan mungilnya menguatkan genggamannya, lalu menguranginya.
"Takut ya lo?" godaku sambil mencolek dagunya.
Nefa mendelik, lalu menginjak kakiku dengan keras. "Enggak—Aaaaa itu apaan?" bisiknya.
Ia merapatkan dirinya padaku.
"Apaan sih Nef? Gada apa-apa," aku memicingkan mata, menatap arah pandang Nefa.
"Itu—lo—gak liat? ITUU!!"
Apaan sih Nefa, gemesin banget deh. Pengen nyium. Eh. Salah. Gadeng. Entah kenapa saat itu aku langsung mengingat perkataan Dean tempo hari, tentang bibir Nefa.
Aaaaa. Gak boleh mikir macem-macem!
Aku menggelengkan kepala dengan keras, lalu menggenggam tangan Nefa dengan erat. "Gapapa, kalopun tu setan muncul dia gak bakalan nyakitin elo."
Nefa menoleh lagi, tangannya memukul bahuku dengan kuat. "Jahat lo! Doanya jangan kayak gitu dong!"
"Lah? Bener tau. Yang menyeramkan itu manusia, bukannya makhluk kayak gitu. Mereka gak akan ganggu kita kalo kita gak ngusik. Lah ka—"
" SETAAAAAAN!!"
Ucapanku terputus karna suara teriakan Nefa yang melengking. Ia melepaskan tautan kami lalu ngacir begitu saja. Sumpah tu anak ngocol abis. Kenapa gak meluk gue aja sih? Pake acara kabur segala. Eh.
Tanpa basa basi lagi aku langsung mengejar Nefa yang memasuki cabang sebelah kanan dari Gua Karang ini. Aduh, kalo tu anak sampe ilang gimana coba?
"Nefaa!"
Aku berteriak memanggil namanya, berharap dia akan menghentikan langkahnya. Tapi tetap saja, anak itu berlari sambil menutup kedua telinganya rapat-rapat, sesekali menggeleng dengan keras.
"Gue gamau balik! Gue mau keluar dari sini! Disini banyak setannya!!" teriaknya histeris.
"Ayo makanya kita balik! Jangan kesana!" balasku.
Aduh, Nefa larinya cepet banget. Pasti udah pengalaman banget nih dikejar anjing.
Jedukk.
Tubuhnya terhuyung ke belakang dan langsung terjatuh mengenaskan. Keningnya kejedot dinding Gua. Astaga. Aku berderap mendekat padanya dan langsung mengangkat pelan kepalanya, lalu merebahkannya di pahaku.
"Nef," kutepuk pelan pipinya.
Kali ini jidatnya berwarna kebiruan. Duh, Nefa.. Aku mengusap pelan keningnya dengan ibu jari. Dia mengernyitkan keningnya dalam, tangannya terangkat hendak menyentuh bagian jidatnya yang luka.
"Sakit.." bisiknya pelan.
Aku mengusap lembut keningnya, sambil sesekali meniupkan udara, "sakit, menghilanglah.. sakit, menghilanglah.. jangan bikin Nefa menderita lagi.." kurapalkan mantra itu berkali-kali. Aku ingat, Mama sering berkata seperti itu jika aku terluka.
"Makanya jangan bandel," kataku pelan sambil mencubit pipinya yang sudah merona.
Nefa hanya bergumam gaje dan sama sekali tidak mau membuka kelopak matanya. Padahal aku tau, mata Nefa sangat cantik. Aku kangen dengan matanya yang berbinar saat menatapku dalam.
"Nef," panggilku pelan.
"Hmm," jawabnya.
"Sekarang hampir tengah malem dan bulan sabit," kataku.
Nefa terlihat mengernyitkan keningnya dengan bingung, "terus?"
"Lo tau.. Harusnya sekarang kita, tukeran.."
Aku menunduk menatap dia yang masih berada di pangkuanku. Sepertinya dia masih terasa pusing makanya gak bangkit atau sekedar membuka matanya. Wajahnya merona, seperti memakai blush-on.
"Tukeran... apa?" tanyanya lagi.
Kali ini matanya terbuka lebar dan kami saling menatap. Astaga, kedalaman matanya itu membuatku terhanyut. Dalam posisi sedekat ini, aku bisa merasakan terpaan napasnya di wajahku. Bahkan saat ini bibirnya terbuka setengah, menungguku untuk memberikan jawaban.
"Tukeran tubuh.." suaraku mengecil, bersamaan dengan wajahku yang semakin mendekat padanya.
Tanpa kuberitahu, Nefa menutup matanya perlahan. Sedetik kemudian, aku menempelkan bibirku di bibir kecilnya yang lembut. Sadar dia membalas ciumanku, kutekan lembut permukaannya kemudian bibir tipisnya membentuk senyuman. Tak bisa kutahan, aku mengangkat kepala Nefa perlahan dan memeluk pundaknya.
Aku mencintainya.
Selang beberapa detik, aku tak lagi merasakan kelembutan bibirnya, namun sesuatu yang menggelitik menyentuh kulit wajahku. Saat membuka mata, bukan Nefa yang berada di pelukanku.
Melainkan seekor kucing.
Fausta's POV END
TBC~
==========
Rabu, 29 Januari 2014--08:47
Note: muahahahahahahaha. gilaaaa gue senyam senyum gaje pas nulis part ini. semoga menyenangkan & gak mengecewakan yaaaa :**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top