PROLOG

Tendangan demi tendangan menghantam mengenai seluruh sisi tubuhku. Aku cuma bisa pasrah - melindungi kepala menggunakan kedua tangan kurusku. Tiap detiknya terasa lama, dan seberapa seringnya pukulan mengarah padaku, tetap saja, aku belum terbiasa.

"Anak demit! Koncone setan!"

"Deloken matane, medeni!"

Aku tak paham bahasa mereka, tapi aku tahu akan satu hal.

Mereka benci karena aku berbeda.

Mereka berani menyiksaku karena tak akan ada seorang pun membelaku. Papaku terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, sementara mama ... ah, jiwanya seakan tinggal di ujung raga. Selama berbulan-bulan, mama tertahan di rumah sakit akibat kanker yang menggerogoti tubuhnya. Aku sendirian di desa terkutuk ini - didampingi para pembantu yang juga menghinaku diam-diam. Pembantu berhati batu yang cuma memerdulikan uang papaku.

"HEH, KALIAN, BERHENTI!"

Mataku memicing perih.

Langkah kaki perempuan itu begitu mantap dan gagah berani. Ia mengenakan sepatu boots tinggi hingga menutup sebagian kaki.

"Tega sekali kalian memukulinya sampai babak belur begitu! Memang salah dia apa?!" bentak si mungil ini.

"Cah wedok nggak usah ikut-ikut!"

Dia tidak gentar, malah makin menantang. "Kenapa? Kalian iri soalnya rumah dia besar? Atau karena badan dia tinggi, sedangkan kalian cuma anak-anak kerdil dan dekil?!"

"Cuih! Ngapain iri sama kafir penghuni neraka!"

"Kalian yang penghuni neraka! Menjahati anak baru di sekolah hanya karena dia berbeda!"

Aku terpagun oleh keberaniannya. Entah kenapa aku tak bisa segagah dirinya.

Dengan satu gerakan cepat, anak perempuan itu mendorong bocah tambun yang sedari tadi memukuliku. Bocah itu terjungkal dan dia menghentak kaki bersepatu boots-nya ke arah kemaluan perundungku. Dua yang lain mencoba menghentikannya, tetapi dia gesit menghindar dan menyeruduk mereka menggunakan kepala.

"Kene! Tak antemi siji-siji!" tantang perempuan itu.
(*Sini! Kupukuli satu-satu!)

Mereka memilih bubar, apa lagi setelah bocah tambun, mendadak terpincang mengaduh memegangi selangkangannya yang (mungkin) memar.

"Eh, kamu nggak apa-apa?" Ia menuntunku bangun.

Aku mendengkus. Kutepis uluran tangannya. "Nggak apa-apa."

"Marv!" panggilnya. "Kuantar pulang, yuk."

"Tidak usah," kataku. Harga diriku anjlok - ditolong seorang anak yang tingginya bahkan jauh di bawahku. Perempuan pula.

"Kok gitu Marv?" susulnya.

"Jangan seenaknya panggil-panggil namaku. Kita nggak akrab." Aku mempercepat langkah demi menghindarinya.

Dia keras kepala sekali. "Kenapa? Kan, kita sekelas," sahutnya. "Lagian, nggak semua teman di sekolah usil seperti mereka. Mereka itu memang anak-anak bandel yang gemar bikin onar!"

Aku terdiam.

Dia kembali melanjutkan, "Mungkin mereka jahat padamu karena iri."

"Iri?" selidikku mengernyit.

Dia mengangguk dan tersenyum lebar sekali. Dua bola matanya yang bulat dan besar menatapku penuh binar.

"Iri karena kamu punya warna mata yang indah. Biru seperti langit," jawabnya.

Aku sedikit tersentuh.

Akan tetapi, atensiku terpusat pada boots yang ia kenakan. Entah kenapa, menarik sekali, serta - membuatku merasa ... aman.










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top