8
- Marv
Aku memang berniat memanfaatkan Kalila Eva demi membuat Sandra kesal. Tapi, memohon-mohon setelah ditolak oleh seorang wanita sama sekali bukan gayaku. Apa lagi yang menolakku merupakan wanita kampung rendahan seperti dirinya.
"Semua yang terjadi menyadarkanku kalau aku memang mencintaimu di masa lalu. Namun, orang yang sekarang mengisi hatiku adalah Putra, bukan kamu, Marv."
"Apa bagusnya kekasihmu itu ketimbang aku?" sanggahku.
"Kamu sama sekali tidak mengenal-"
"Alah!" selaku. "Aku bisa membawamu pergi dari sini, Lila. Aku bisa memberikanmu kehidupan yang jauh lebih baik dari pada kehidupanmu yang sekarang!"
Lila bergeming dalam ragu.
Aku meraih jemari Lila. "Kamu benci desa ini, kan?" Aku menggali ke dua mata pekatnya. "Kamu sama sepertiku. Kamu ingin pergi dari sini dan akulah satu-satunya orang yang bisa mewujudkan hal tersebut."
Lila menarik tangannya.
"Jika kamu memang benci desa ini - silakan pergi dari sini."
"Lila?!" buruku.
Lila menoleh sekelibat. "Aku senang kamu kembali. Akan tetapi, setelah melakukannya denganmu dan mengalami semua ini ... hatiku terasa sesak. Aku tak bisa melanjutkannya."
Cih. Sialan.
Menyebalkan sekali karena Lila berpikir aku sungguh-sungguh mengidamkannya. Ia pasti besar kepala karena berpikir telah menolak lelaki sepertiku.
Aku membuka kaos berbahan polyester-ku yang sedikit basah oleh peluh. Kulempar begitu saja karena kegerahan sehabis lari pagi mengelilingi jalanan berbukit. Sekarang aku harus mandi demi menyegarkan diri. Lalu, pergi ke area pembangunan resort untuk memeriksa proyek bedebah itu.
Dengan bertelanjang dada, aku santai melenggang ke dalam bathroom. Namun, betapa terkejutnya aku tatkala menemukan seorang wanita asing sedang berendam pada tub-ku.
"Who the Hell are you?!" bentakku.
"Ah, ya Tuhan?" Wanita itu bergegas meraih robe dan mengenakannya. "Kamu Marv?" tanyanya.
Aku memandangnya berang. "Kutanya kamu siapa?!" tegasku.
"Aku Celine," jawabnya. Ia menghampiriku dengan tubuh masih setengah basah. "Kamar mandi di kamar tamu mampet dan tante Sandra menyuruhku memakai kamar mandi ini."
Sandra! Dia pikir aku kucing birahi yang rakus jika disodori ikan olehnya. Bangsat. Cara yang ia gunakan sangat menjijikkan.
"Keluar!" bentakku.
"Ta-tapi, Marv?" Celine mengernyit penuh kekecewaan.
"Keluar kubilang!" sentakku melotot. "Asal kamu tahu kalau rumah ini memiliki lebih dari sepuluh kamar mandi yang bisa kamu gunakan!"
"Ma-mana kutahu, kan? Aku cuma tamu dan-"
"KELUAR!" usirku.
Celine pun mendengkus dan melengos meninggalkanku. Harga dirinya pasti terluka karena kupermalukan sedemikian hina.
Amarahku meletup di ubun-ubun. Ada saja cara Sandra untuk mengacaukan pikiranku. Dia sangat berambisi mengatur hidupku dengan mempersiapkan jodoh yang bisa ia kendalikan. Sandra memang benalu yang begitu sulit untuk kubasmi.
***
Langkahku menderap dan memburu.
Mandi air dingin belum menghilangkan kemarahanku pada ulah lancang Sandra. Dia memandangku remeh karena mengira bisa mengiming-imingiku menggunakan wanita.
Aku berbelok menuju parlour untuk mencari penyihir tua itu. Namun, kakiku terhenti ketika mendengar obrolan Sandra dan Celine.
"Tidak sulit mendapatkan perhatian Marv, kamu hanya perlu berusaha lebih keras," ujar Sandra.
"Tante mau aku merendahkan diri di hadapannya?" sungut Celine. "Aku tanpa sehelai benang pun dan dia tak bereaksi sama sekali! Justru mengusirku bak binatang. Kurasa dia homo!"
Tawa Sandra menggelegar. "Homo?" kikiknya. "Tenang saja, aku yakin dia straight. Dia hanya sedang jual mahal karena tahu kalau kamu merupakan kenalanku."
"Tante harus tahu aku enggan menjual harga diriku demi meluluhkan lelaki ketus seperti Marv!" bantah Celine.
"Oh, kamu harus melakukan itu, Celine," kata Sandra dingin. "Harga dirimu tak seberapa dengan keuntungan yang akan kamu dapatkan. Menjadi Nyonya Besar yang bergelimang harta, menyandang gelar Cooper hingga memudahkanmu dalam birokrasi mana pun, dan yang paling penting ... kamu bisa membanggakan keluargamu."
Aku mengepalkan tangan erat-erat.
Sandra kembali melanjutkan, "Terlebih, kamu berutang budi padaku karena sudah kuperkenalkan dengan Marv. Banyak wanita-wanita lain di luaran sana yang lebih cantik, muda, dan seksi ketimbang kamu, Celine. Paham?"
"Ya, Tante," sahut Celine tunduk.
Sandra bangkit dari sofa dan melengos keluar. Ia agak tersentak begitu mendapatiku berdiri pada ambang pintu.
"Aku baru tahu kalau hobimu menguping," sindir Sandra.
Aku menarik lengan Sandra dan mencengkeramnya kencang. "Hentikan semua agendamu, Sandra!"
"Agenda apa?"
Aku mendengkus. "Aku tak pernah mencampuri urusanmu dan papa. Aku tak peduli dengan seberapa banyak kamu menggerogoti uangnya selama ini. Tapi, kenapa kamu tak pernah puas dan terus menerus menguji kesabaranku? Tak bisakah kita hidup berjauhan tanpa saling mencampuri urusan satu sama lain, huh?"
"Marv, andai saja kamu paham kalau alasanku semata-mata demi kebaikanmu," kilah Sandra. "Aku tahu kamu adalah lelaki yang gampang tergoda oleh wanita. Aku khawatir kamu dimanfaatkan, jadi, aku mencarikan seseorang yang bisa dipercaya untuk mengurusmu."
"Tiap kata yang keluar dari mulutmu, sungguh, membuatku sakit kepala, Sandra! Berhentilah berpura-pura!"
"Kamu juga, berhentilah berpura-pura mengencani gadis kampung itu. Aku sudah tahu kalau kamu sedang berupaya mengusikku. Akan tetapi, bagaimana jika Kalila Eva justru memanfaatkanmu demi kepentingannya?"
"Aku dan Lila serius!" sangkalku.
Sandra terkekeh. "Marv ... Marv ...?" katanya penuh iba. "Kalau begitu, kasihan dirimu karena setahuku Kalila Eva sudah memiliki kekasih."
"A-apa ...?" decihku.
"Aku tak bodoh, dan aku mencari tahu tentang dia. Dia menjalin hubungan serius dengan salah satu lelaki dari desa ini." Sandra memandangku dari atas ke bawah. Ia mencemoohku melalui tatapannya. "Kasihan sekali kamu ... menyukai gadis kampung, malah tertolak."
"Dia tidak menolakku!" pelototku.
Sandra meloloskan tangannya dari peganganku. "Kalau begitu selamat berdelusi, Marv." Ia pergi sambil tertawa kecil penuh kemenangan.
***
Kebencianku terhadap Sandra menuntunku kembali pada Kalila Eva. Memperalat dirinya dan merendahkan sedikit egoku lebih baik ketimbang membiarkan Sandra di atas angin.
"Sudah jelas, kalau orang yang kamu cintai adalah aku. Kenapa kamu tidak mengakhiri hubungan membosankanmu dan memulai bersamaku?"
"Pikirkan yang terjadi pada kita kemarin. Tidakkah kamu ingin mengulanginya?"
"Ya karena aku jatuh cinta padamu."
Bayangan dosa memenuhi rongga dadaku. Demi kepentingan pribadi - aku berpotensi menghancurkan jalinan asmara antara Lila dan kekasihnya.
Aku memang manusia celaka.
Akan tetapi, biarlah aku tanggung akibatnya nanti. Yang jelas, Sandra tak boleh menang. Ia harus kusingkirkan, bagaimana pun caranya.
"Aku punya respon seksual yang teramat besar pada salah satu bagian tubuh wanita, Lila. Aku sangat tertarik pada keindahan kaki, terutama jika cocok mengenakan sepatu boots," akuku.
Aku tak berencana membongkar soal preferensiku. Apa lagi jujur pada Lila bahwa dialah wanita pertama yang membuatku menjadi podophilia (fetish kaki). Namun, Lila sangat bersikukuh akan prinsipnya. Aku terdesak dan mengaku merupakan satu-satunya cara. Aku berharap bisa menarik simpati Lila. Membuatnya berbunga-bunga seolah-olah dialah central dari duniaku selama ini.
"Tidak ada harmoni antara reaksi tubuh dan perkataanmu, Nona," kataku. "Kamu jelas-jelas menginginkan ini."
Aku memang bajingan.
Biarlah.
Terlepas dari urusan balas dendam pada Sandra, ragaku memang kembali mendambakan penyatuanku dengan Lila. Tubuh wanita ini membuatku terjebak dahaga berkepanjangan. Dia telah menjadi candu dari penasaran tiada berujung.
Lila mampu memberikan sensasi baru yang luar biasa menggoda. Dia begitu murni, harum, dan memikat.
Lidahku meresap titik inti Lila yang licin. Aroma manis di sana mengakibatkanku tak mampu berhenti menjajahnya melalui cumbuan. Secara intens aku mengisap biji sensitif Lila yang mungil; menjentikkan lidahku, lalu mempermainkan area basah itu lewat bibirku.
Lila memang memberontak, tetapi tungkainya melebar mempersilakanku menjajahnya.
"Marv ... Marv ..." racau Lila.
Aku tahu dia menyukai permainanku, dan aku berjanji pada diri sendiri bahwa pergumulan kali ini harus lebih lembut dari sebelumnya.
Ciumanku melorot pada bagian kesukaanku, kaki. Kukecup tiap jengkal paha hingga betis Lila yang mulus. Kemudian beralih menelusuri telapak kaki Lila yang cantik. Menyentuh bagian favoritku ini membuat milikku sontak menegang kuat. Aku berharap Lila bisa membelai kejantananku menggunakan jari-jari mungil kakinya, suatu hari nanti. Tapi, sekarang bukan saatnya memikirkan kesenangan pribadi! Aku harus menghasut Lila agar terikat padaku.
"You're so wet, Lila," kataku.
Dengan mata sayu, Lila memandangiku tatkala melahap miliknya. Ia menggelengkan kepala. "Marv, jangan ..." tolaknya.
"Jangan apa?" Aku menyeringai seraya memasukkan telunjukku pada liangnya. "Kali ini aku akan lebih lembut."
"Ehmh!" Lila menahan desah saat jemariku melesak ke dalam kewanitaannya yang merah. Ia menopang kedua tangan untuk menahan badannya yang mendadak lunglai.
Aku mengeksplorasi milik Lila yang terasa rapat -- bahkan untuk kedua jariku. Mengeluar-masukkan telunjuk dan jari tengahku secara lambat dan pelan agar ia tak kesakitan. Sementara bibirku setia memberi stimulasi pada clit-nya. Lila mulai melupakan prinsip, karena tangannya bergerak meremas rambut belakangku. Ia tak lagi malu mengeluarkan rintihan demi rintihan dari mulutnya.
Aneh ...
Baik suara mau pun gesture Lila berhasil membangkitkan gairahku. Wanita ini begitu seksi. Dia hampir berhasil mencuri perhatianku sebagai femme fatale yang menyembunyikan seksualitas sebagai senjata.
Dinding-dinding di dalam liang Lila terasa berdenyut menjepit jariku. Tak lama, Lila pun menegang seraya memekik. "Marv, oh, tidak. A-aku ... ehmh ..." Tubuhnya lantas gemetaran tiada terkontrol.
Dia telah sampai pada klimaks.
Senyumku mengembang. Aku menegakkan badan dan berdiri sambil memperhatikan Lila yang tersenggal.
Pelan-pelan kubuka risleting celana dan menurunkan jeans-ku di hadapan Lila. "Mau coba mengulumnya?" tawarku.
Dalam posisi duduk, Lila menyorot kejantananku tanpa berkedip. Aku pun mengambil inisiatif dengan mengarahkan batangku pada bibir plumpy Lila.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Lila merona.
"Masukkan ke dalam mulutmu, lalu sesekali jilatlah dengan lidahmu, Lila," titahku. "Lakukan apa yang menurutmu akan kusukai."
Lila menurut.
Ia membimbing milikku masuk ke dalam rongga mulutnya yang hangat. Lila mencumbu batangku secara halus. Mengurut kejantananku yang sudah licin oleh salivanya.
"Ya, seperti itu ..." geramku tatkala Lila mempermainkan kepala batangku.
Aku sontak menunduk untuk mengamati caranya bekerja. Dia menyedot milikku hingga terbenam sebagian dalam isapan. Apa yang Lila lakukan mengalirkan kenikmatan sensual pada bagian bawah tubuhku. Aku tak bisa berpikir jernih karena dorongan nafsu menggebu. Aku menginginkan wanita ini lebih dari apa pun!
"Kemari, kamu!" tarikku.
Aku melayangkan ciuman impulsif pada bibir Lila. Ia membalas perlakuanku dengan sikap yang lebih liar. Lila mengusap sisi wajahku sambil melilitkan lidahnya dengan lidahku.
Aku mencengkam rahang Lila. "Katakan kalau kamu menginginkanku."
Mataku dan mata Lila saling beradu.
"Katakan, Lila," desakku.
"Aku ..." kata Lila gamang. "Aku menginginkanmu. Sangat."
Jawaban dari Lila merupakan lampu hijau untuk meneruskan kegiatan kami. Aku melepaskan Lila dari pelukanku dan menuntunnya untuk membelakangiku. Secara gesit, Lila membungkuk seolah tahu apa yang bakal kulakukan padanya. Ia menumpu separuh badan di atas meja yang dipenuhi oleh setumpuk bunga kering, manik-manik, dan peralatan kerjanya yang lain. Perilaku serampangan kami mengakibatkan beberapa peralatan Lila terjatuh berantakan. Namun, Lila tak peduli. Ia mengangkat bokongnya sambil menengok ke arahku.
"Apa kamu tahu, kalau di balik pencitraan polosmu, kamu adalah wanita nakal, huh?" Aku menampar pantat Lila dengan keras.
Lila tersentak, akan tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia menikmatinya.
PLAK. Aku kembali menempeleng bokongnya hingga menyisakan rona memerah. Kemudian, kuremas bongkahan bulat itu demi mengekspos kewanitaan Lila yang menggoda bukan main.
"Kali ini kamu akan ketagihan, Lila," ujarku. "Aku berjanji."
Lalu, aku menghunjam liang basah Lila menggunakan milikku. Menusuk batangku secara hati-hati ke dalam mimpitan daging kenyal nan rapat. Dalam posisi menungging, batangku lebih mudah melesak sepenuhnya.
"Ya, Tuhan," geramku. "Milikmu sangat sempit."
Aku menggoyangkan pinggulku dan menyentak Lila secara bertubi-tubi. Di lain sisi, tanganku sibuk menyusup ke dalam dress mini Lila untuk meremas-remas dadanya. Sesekali, kupilin dan kutarik puting Lila hingga ia merintih dan mengerang keras.
Lila menoleh untuk menatapku.
Bibirnya tak berhenti mendesahkan namaku berulang-ulang.
"Sakit?" selidikku.
Lila menggeleng.
Aku pun tersenyum. Kupercepat gerakanku dan mengisi miliknya dengan hunjaman batang kokohku. Ulahku membuat Lila terdorong merapat pada meja yang berdenyit.
Lila menggelinjang.
Apa lagi ketika tanganku turun mencari-cari titik sensitif yang tersembunyi di antara lipatan. Ia makin kepayahan saat jemariku menggosok bagian itu. Kenikmatan bertubi-tubi membakar tubuh kami yang memanas oleh birahi. Peluhku bercampur dengan peluh Lila yang beraroma jasmine. Kutundukkan kepalaku untuk menyesap leher jenjang Lila yang mulus.
Aku membungkam erangku dalam pundak Lila. "Kamu menyukainya, La?" bisikku.
"Aku mau keluar, Marv," rintih Lila.
"Don't mind if I do harder?" selidikku.
Lila mengangguk. "Ya, ya ..." Ia gelisah karena hampir mencapai klimaks. "Do it harder."
Aku menusuk Lila tak terkendali. Menghunjam keras, lagi dan lagi. Kami bercinta tanpa memedulikan apa pun kecuali gelenyar dari nikmat tiada tandingan. Lorong Lila yang rapat kian basah dan licin karena terangsang hebat. Tak butuh waktu lama, Lila kembali menggelinjang seraya memekik.
Tubuh Lila gemetar dan liangnya berkedut-kedut memijat batangku yang terbungkus di sana.
"Aku keluar, Marv!" rintih Lila.
Aku pun mempercepat sentakan demi menyusulnya. Harga diriku pulih karena sanggup menyenangkan Lila menggunakan senjataku. Kali ini, aku bukanlah lelaki egois yang meninggalkan wanitanya untuk klimaks duluan.
Aku mengejang sambil menarik batangku dari liang surgawi Lila. Kutumpahkan cairan kentalku pada bokong mulus Lila. Oh, it is feel so good. Napasku dan Lila masih tersenggal dan sama-sama memburu. Namun, belum sempat memulihkan tenaga, terdengar ketukan pada pintu studio.
"La? Kamu di dalam?"
Toktoktok.
"Siapa itu?!" pelototku panik.
Lila memucat dan bergeras membenahi pakaiannya.
"I-itu ... Putra."
Baca F3TISH jalur cepat lewat karyakarsa, ya, Darls!
Makasi buat dukungan kalian di sana 🖤🖤🖤 Berguna banget buat Ay beli indomi 🖤
Salam sayang - Ayana Ann
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top