6

- Marv

Sudah kubilang, aku tak mungkin bisa tahan jika menemukan seorang wanita yang pantas mengenakan boots. Aku mana sangka jika wanita kampung seperti Lila, justru sanggup memenuhi fantasiku. Di luar dugaanku, si udik ini sangat sempurna.

Tak hanya cocok dengan sepatu kesukaanku, Lila juga memiliki sepasang kaki jenjang yang tanpa cela. Kulit Lila mulus, wangi, juga lembut. Dia punya kesan innocent yang memancing hasratku untuk terus menyentuhnya. Aku ingin merasakan tubuh wanita kampung ini. Mungkin sesekali aku harus mencoba bercinta dengan seseorang yang jauh di bawah standarku. Yah, anggap saja variasi.

Lagi pula - Lila jelas-jelas sedang menggodaku.

Dia adalah wanita genit yang berpura-pura polos di hadapanku. Sungguh konyol karena dia memainkan peran sebagai wanita (sok) suci yang berusaha menjaga komitmen pada sang kekasih. Komitmen bullshit, huh? Sekarang ia justru melemparkan diri padaku.

Kutebak - kekasih yang Lila bicarakan cuma karangan belaka. Dia hanya berupaya membuatku tertarik atau cemburu. Trik murahan.

"Bagaimana jika aku membukanya agar kamu bisa memainkannya dengan leluasa, Lila?" tanyaku.

Tanpa menunggu jawaban Lila, aku pun menurunkan risleting dan melorotkan celanaku. Sesuai dugaan, milikku sudah mengacung sempurna; terangguk tegang, menyapa Lila yang terbelalak dalam kebisuan.

Rona wajah Lila memerah bak kepiting rebus. Mata jernih wanita ini melotot memandangi kejantananku. Kenapa? Apa dia belum pernah lihat yang sepanjang ini?

Aku kembali meraih jemari Lila. "Coba pegang," kataku.

Tangan halus Lila menyentuh urat-urat pada batangku, ia begitu canggung serta kikuk.

"Marv ...?" lirih Lila tersipu.

"It's okay," bujukku menenangkannya. Fine - she plays the part of an ingenue, and I will pretend to believe it. "Mainkan dari atas ke bawah, pelan-pelan."

Sialan. Darahku berdesir hebat tatkala menatap bola mata sayu Lila menyorot milikku secara intens. Selain itu, apa yang ia lakukan pada milikku lumayan enak juga. Jari-jari lentik Lila membelai bagian sensitifku dengan sangat lambat. Ia lihai - dia pandai menyenangkan lelaki.

"Ya, begitu, Lila ..." geramku. Aku menoleh pada Lila untuk melayangkan kecupan pada bibir plumpy-nya. "Malam ini, jangan pikirkan apa pun selain tentang kita."

"Aku ..." desah Lila. "Aku sangat menyukaimu, Marv."

Bibirku tersenyum penuh kemenangan. "Aku pun sama. Aku begitu menyukaimu." Well, tentu saja aku tak serius soal ini. Menyukainya? Yang benar saja. Aku hanya membutuhkannya untuk menganggu Sandra, serta - memuaskanku malam ini.

Aku mendorong Lila agar berbaring pada karpet Persia dan ia menurut saja. Kubelai pipi tirus Lila yang memanas merah muda. Kemudian, jemariku bergerak turun pada leher dan ceruknya. Tak butuh usaha keras, aku berhasil menyingkap atasan v-neck dari dress yang Lila kenakan. Wanita ini pasrah sembari menutup matanya rapat-rapat.

"Kamu cantik sekali," bisikku.

Lila pun merintih tatkala aku melahap pucuk dadanya dalam isapan kuat. Kumainkan bagian menonjol miliknya secara kasar dan ganas. Ia tidak keberatan, justru erangan demi erangan terus meluncur dari bibirnya.

Puas menjelajah di atas, aku merosot turun menuju bagian favoritku - kaki.

Kuendus pangkal paha Lila yang putih mulus. Ada wangi jasmine memanjakan penciumanku di sana. Lalu, kecupanku bergeser pada telapak dan jari-jari mungil dari kaki Lila. Ulahku sontak membuat Lila mengejang kegelian. Lila menggeliat, sementara milikku kian menegang.

"Marv ... geli." Lila menggelinjang.

Sikap lugu Lila mengkobarkan nafsuku. Aku pun mengisap jempol kakinya, sambil sesekali menjilatinya penuh nafsu.

"Oh, Sayang," geramku. "Betapa aku menyukai tiap jengkal kakimu yang indah."

"Marv ..." Lila makin kepayahan.

Aku melirik kewanitaan Lila yang masih tertutup celana dalam - sudah saatnya aku memeriksa bagian itu. Dengan tergesa, aku kembali menghambur pada Lila; melumat bibirnya, seraya menautkan lidah kami. Ia menyambutku antusias. Perangkai polos Lila mendadak hilang karena dia tak lagi segan meremas rambutku penuh nafsu. Lila membalas membelit lidahku.

Pelan-pelan, tanganku sigap melucuti panty hitamnya. Lila membantuku dengan melebarkan kakinya sebagai bentuk persetujuan.

"Ehmh ... Marv," desah Lila tiada putus.

Jari-jariku secara leluasa mengusap kewanitaan Lila yang merekah. Area itu terasa sangat lembut, basah, sekaligus licin. Berpengalaman dengan berpuluh wanita membuat telunjukku paham harus ke mana. Dan, ketika jariku menemukan titik sensitif yang tersembunyi di antara lipatan, tubuh Lila seketika menegang. Aku menyusupkan telunjukku ke sana - menggosok biji kecil miliknya dengan lamban.

"Kamu suka?" tanyaku.

Lila tak menjawab. Tetapi, ekspresinya jelas menyiratkan kesenangan.

"Bagaimana jika aku," kata Lila parau. "Mencintaimu?"

Dasar tamak. Baru kuajak bercinta satu kali, wanita kampung ini sudah menyatakan cintanya. Sungguh sial karena aku membutuhkannya untuk menyingkirkan Sandra.

"Kamu mencintaiku?" Aku balik bertanya.

Lila mengangguk.

"Mengapa begitu tiba-tiba?" tanyaku lagi.

"Ini tidak tiba-tiba. Aku ... sudah jatuh cinta padamu semenjak dulu," aku Lila.

Alih-alih membalas pengakuannya, aku kembali membungkam bibir Lila dengan bibirku. Di bawah sana, tanganku sibuk memainkan milik Lila yang licin dan sempit. Aku bisa mendengar desahan Lila yang tertahan oleh mulutku.

"Kalau kamu memang mencintaiku, penyatuan kita malam ini akan menjadi penyatuan yang indah, bukan?" ujarku.

"Ya." Lila memandangku sayu. Ia kian melebarkan kakinya dan aku mempercepat permainan jariku.

Kepala Lila meneleng bimbang, mungkin, mencari posisi untuk menghindari rasa nikmat dari permainan jariku. Dadanya membusung tinggi memamerkan bongkahan kenyal yang teramat menggoda. Sementara itu, baik wajah mau pun kulit Lila yang pucat, menjadi sedikit memerah akibat terjangan birahi. Entah kenapa, dia sangat cantik.

Sialan. Aku benci mengakuinya, tetapi, Lila benar-benar sempurna.

"Marv ... aku ... aku ..." Sekujur tubuh Lila gemetaran.

Aku tahu ia telah mencapai klimaks-nya. Wanita itu lantas tersenggal dan aku memindahkan jari-jariku dari miliknya. "Kamu sudah keluar, huh?" selidikku.

"Ini pertama kalinya aku merasakan itu," gumam Lila tersipu.

Tawaku mendadak pecah. "Are you kidding me?"

"Aku serius," sahut Lila.

"Berarti kekasihmu sangat egois karena maunya enak sendiri," seringaiku.

Raut Lila mendadak sendu. Aku pun mengecup bibirnya demi mempertahankan momen panasku bersamanya.

Tak tahan mengulur lebih lama, aku lantas menegakkan badan di atasnya. Kuangkat kedua kaki Lila agar bersandar pada dadaku. Kembali kuciumi telapak kaki halus milik Lila. Lidahku menyapu jari-jari kecil Lila satu per satu. Perlakuanku padanya, membuat Lila sedikit meronta kegelian.

Tanganku yang satu turun ke bawah untuk menuntun kejantananku menerobos milik Lila. Batangku yang sudah besar maksimal cukup kesulitan menembus ambang sempitnya.

Tindakanku mengakibatkan Lila tercekat. "Marv, pelan-pelan," pekiknya.

Tak sabar, aku menjadi kehilangan kendali. Mana bisa aku pelan-pelan jika sudah begini? Lagi pula - mengapa mata Lila mendadak berkaca-kaca? Seakan-akan hubungan kami merupakan 'pertama kali' baginya. Tapi, sudahlah. Peduli setan. Aku hanya ingin lekas menjejalkan milikku ke dalam mimpitan miliknya.

Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menusukkan kejantananku ke dalam. Lord, liang Lila begitu rapat - bukan main! Peluh mulai deras membasahiku. Sementara, Lila menahan mulutnya menggunakan tangan agar teriakannya tak lolos. Ia tampak kesakitan.

"Haruskah kuhentikan?"

Lila menggeleng. "Aku mau," dalihnya.

Mendengar jawaban Lila, aku pun kembali mendorong pinggulku lebih kuat. Setelah berjuang beberapa saat, batangku akhirnya melesak penuh dalam milik Lila.

Sialan!

Milik Lila begitu ketat menjepit milikku. Di dalam sana sangat hangat dan berdenyut-denyut. Kejantananku serasa mau meledak padahal penyatuan kami belum berjalan lama. Kenikmatan sontak memanaskan aliran darahku. Aku pun menambah kepuasan dengan menjajah kedua kaki Lila yang bertengger pada dadaku. Pinggulku otomatis menerjang lebih cepat akibat nikmat tiada tara dari lembah surgawi yang Lila suguhkan.

"Pelan-pelan, Marv. Sakit," rintih Lila.

Kutebak, ini pertama kalinya Lila mendapatkan kejantanan sebesar milikku. Ia mungkin belum terbiasa, tetapi lihat saja nanti, ia akan memohon lagi karena ketagihan. Dan, jika 'kekasihnya' betul-betul ada, kasihan sekali lelaki itu karena memiliki senjata kecil yang tak sanggup memuaskan wanita.

"Masa, sih, sakit?" godaku.

Lila mengangguk. "Ya, ini sakit," isaknya.

Alih-alih memperlamban, aku justru mempercepat tusukanku. Kuhunjam Lila semakin dalam, dan dalam. Tubuh wanita ini menggelinjang serta tersentak hebat. Air mata menggenang tumpah membasahi pipi Lila. Ia bahkan tak lagi mampu mengontrol teriakannya. Untuk meredam suara Lila, aku pun merapatkan bibirku dengan bibirnya. Membisikkan berjuta kalimat rayuan agar ia tenang dan ikut menikmati penyatuan kami.

Lila mengalungkan kedua lengannya pada leherku. Raga kami telah terikat jadi satu.

"Shit ..." umpatku lirih. Baru kali ini aku merasakan kewanitaan sesempit milik Lila. Aku tak mampu menahan klimaks-ku lebih lama, padahal kami baru bermain sebentar. "I can't hold it any longer, Lila. Please, tell me that you're almost there."

Lila menggeleng. "You don't have to hold it in, Marv," katanya.

Sangat memalukan. Reputasiku sebagai pemuas wanita telah tercoreng malam ini. Mungkin terlalu lama libur bercinta membuat staminaku kurang baik. Well, aku akan membuktikannya pada Lila di lain kesempatan.

Denyut pada batangku semakin menuntut. Kusentak milikku cepat karena pertahananku hampir roboh. Dan - ketika ledakan nikmat akan meletup, aku lekas mencabut batangku dari liang Lila. Kusemburkan mani kentalku di atas perut datarnya. For God's sake, it's really feels so good.

Lila terkulai tanpa daya.

"Maafkan aku," ucapku tersenggal. Aku menyusul Lila dan berbaring di sebelahnya.

"Untuk apa?" Lila menatapku teduh.

"Karena keluar mendahuluimu," gumamku. "Biasanya aku tak begini, hanya saja, punyamu sangat sempit." Aku lantas mencium pelipis Lila dengan mesra.

Lila tersenyum tipis. Kemudian, ia bergegas bangkit dan merapikan pakaiannya. "Bisa aku pinjam kamar mandimu?"

"Sure," sahutku.

Lila melangkah menuju bathroom ruang kerja, ia tak lagi banyak bicara. Selain itu, aku merasa rautnya begitu muram. Apa ia kesal karena belum mendapatkan klimaks-nya dari kejantananku? Damn. Sebagai lelaki, egoku agak terganggu akibat kegagalanku sendiri.

"Lila ..." Kuputuskan untuk menyusul Lila. Tanpa permisi, aku membuka pintu kamar mandi begitu saja.

"Marv?!" Lila tersentak.

Aku sontak terpagun pada cairan merah yang menggenang pada paha dalam Lila. Darah segar itu tampak kontras dengan warna kulit Lila yang putih.

"Kamu datang bulan?" selidikku.

Lila serta merta tersedu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah.

"Lila?!" Aku mendekatinya penuh bingung. "Kamu kenapa? Ada apa?"

"Aku tidak datang bulan, Marv ..." isaknya. "Tapi aku ..." Ia terbata, "kamu adalah lelaki pertama yang bercinta denganku."

"Jangan bercanda," elakku.

"Aku serius."

"Maksudmu, kamu masih virgin? Dan yang tadi adalah -"

Lila mengangguk lemah.

"Ya ..." jawabnya.

Aku mengusap kasar mukaku. "Ini gila," sungutku. "Usia kita dua tujuh dan kamu masih perawan? Selain itu, kamu bilang kalau kamu memiliki kekasih, kan? Apa lelaki itu cuma fiksi?"

"Tak semua hubungan percintaan harus mengarah pada seks!"

"Tapi kenapa kamu tanpa ragu memberikannya untukku?" Perasaanku berkecamuk. Lila sungguh licik karena membebankan sesal sekaligus tanggung jawab besar di pundakku.

Mata Lila berkaca-kaca, memandangku sendu dengan bibir gemetar. "Bukankah sudah kubilang, kalau aku mencintaimu ..." ujarnya.

Aku membalas tatapan Lila.

Tubuhku bergerak sendiri menghampirinya, lalu mendekap erat wanita berambut hitam ini.

"Berhentilah menangis," bisikku mencoba menenangkan Lila.

Ia membenamkan wajah pada dadaku dan justru melanjutkan tangis.

"Marv, aku sangat bodoh dan jahat."

"Tidak, kamu tidak begitu," bantahku.

"Aku mengkhianati kepercayaan Putra, dan aku sudah kehilangan segalanya sekarang. Aku kehilangan diriku ..." ratapnya.

Aku terdiam seraya membelai belakang kepala Lila. Kubiarkan dia melampiaskan emosinya dalam pelukanku.

"Kamu tak kehilangan dirimu," kataku. "Lagi pula, merupakan hakmu untuk memutuskan dengan siapa kamu akan bercinta."

"Marv?" Lila menengadah mencari mataku.

"Jangan merasa bersalah, atau hina, karena masih ada aku yang tak akan pernah meninggalkanmu."

Kedua sudut bibir Lila tertarik ke atas membentuk garis melengkung. Seutas senyum yang tiba-tiba menggetarkan hatiku. Sepasang iris hitam milik Lila membingkai sosokku dalam sirat yang murni.

Bangsat. Untuk sesaat - aku hampir kehilangan akalku.

"Terima kasih," ucap Lila.

Aku mengangguk.

"Sekarang, bersihkan dirimu dulu. Aku akan menunggu di luar. Okay?"

***

Aku duduk melamun di depan balkon; membuka semua jendela ruang kerja papa lebar-lebar, demi mengizinkan angin malam memenuhi segala penjuru. Musik dari halaman masih terdengar riuh, rupanya pesta belum berakhir. Padahal aku sangat mengidamkan kesunyian menemaniku.

Fakta bahwa aku telah meniduri seorang wanita perawan membuatku rikuh. Terlebih dia adalah seorang wanita kampung yang berpotensi menuntut pertanggung-jawabanku.

Semula aku berniat memanfaatkan Kalila Eva, lantas mengapa justru aku yang kini gelisah tiada menentu?

Kalila Eva, cara dia menatapku terus membayang dalam benak. Bulir air yang menggenang membasahi pipi dan bibirnya membuatku getir. Dia tampak rapuh dan ringkih. Dia tak seperti seseorang yang sedang 'berpura-pura'.

Benarkah Lila tulus padaku?

Atau dia sungguhan bodoh dan tak selicik dugaanku?

Apa pun itu - aku akhirnya sadar akan satu hal. Lila merupakan wanita naif yang mati-matian memujaku.

"Marv ...?"

Aku menoleh. Kemudian segera meraih mug berisi cokelat hangat di atas meja. "Duduklah, lalu minum ini," sodorku.

Lila menurut.

Ia meneguk pemberianku perlahan-lahan. "Enak sekali, terima kasih," ucapnya.

"Sama-sama." Aku bergumam. "Kamu baik-baik saja?"

"Ya," jawab Lila. "Maaf akan sikapku tadi."

"Jangan minta maaf, justru akulah yang seharusnya meminta maaf. Aku sungguh tak tahu kalau kamu ..."

"Ya, nggak apa-apa," sela Lila. "Toh, aku yang memintamu untuk melakukannya."

Aku seketika membisu dalam canggung. Namun, heningku tak bertahan lama karena Lila tiba-tiba kembali menangis. "Hei?" sergahku. "Ada apa?"

"Aku bingung, apa yang harus kukatakan pada Putra nanti. Kalau dia tahu aku sudah tak perawan," aku Lila.

Aku mendesah. "Putra ini sungguhan nyata?"

"Tentu saja!" Lila melotot.

Aku pun menyandarkan punggung seraya memandangi langit malam.

"Ya, tidak perlu bilang apa-apa," kataku santai. "Tidak semua wanita berdarah saat malam pertama. Putra tidak akan tahu kalau kamu tetap merahasiakannya. Lagian, kalau si Putra itu sungguh mencintaimu, dia akan menerimamu apa adanya. Mau kamu perawan atau tidak."

"Aku yang tidak bisa menerima diriku sendiri, Marv!" isak Lila. "Aku sudah melakukan kesalahan teramat besar!"

"Kesalahan apa, sih? Belum ada ikatan pernikahan di antara kalian. Lagi pula, di luar sana banyak orang yang berselingkuh meski sudah berkeluarga sekali pun. Aku pernah bercinta dengan wanita bersuami. Dia tenang-tenang saja, tak heboh sepertimu."

Lila meletakkan mug-nya ke atas meja. Ia berdiri dan bersiap pergi meninggalkanku.

"Heh? Mau ke mana?" buruku.

"Aku menyesal mengaku kalau aku jatuh cinta padamu, Marv!" sentak Lila. "Kamu berubah menjadi lelaki jahat sekarang!"

"Lelaki jahat?" ulangku. "Kamu sendiri bagaimana? Gampang sekali mengucap 'cinta' padahal sudah punya kekasih!"

Lila melengos, akan tetapi aku sigap menahan tangannya.

"Lepas! Aku nggak mau ketemu kamu lagi!" Ia meronta.

"Kemarilah, wanita bodoh!" Aku menarik Lila dalam pelukan erat. Semula ia menolak, tapi lambat laun kekuatannya memudar dan pasrah dalam penjaraku. "Jadi semua yang kamu katakan benar, Lila? Kamu jatuh cinta padaku sejak dulu?"

"Kamu pikir aku bohong?"

"Banyak wanita meracau tentang cinta di tengah pergumulan intim. Kupikir kamu juga begitu, aku tak menganggapnya serius," ujarku.

"Aku bukan mereka," sanggah Lila.

"Ya, sekarang aku tahu itu. Kamu berbeda dari wanita-wanita yang pernah kukenal." Aku kian merapatkan tubuh kami. "Jika kamu memang mencintaiku, maka tak usah pusingkan lagi perasaan kekasihmu itu. Orang yang kamu inginkan bukan dia, tetapi aku."

Lila menggeleng. Ia melepaskan pelukan kami. "Semua yang terjadi menyadarkanku kalau aku memang mencintaimu di masa lalu. Namun, orang yang sekarang mengisi hatiku adalah Putra, bukan kamu, Marv."

















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top