2

- Marv

Aku menancapkan tee dan meletakkan bola di atasnya. Sebelum memukul; aku menyapu pandangan lurus ke arah flag stick, mencoba memperhitungkan seberapa besar kekuatan ayunanku agar mampu meraih ace atau pukulan terbaik.

"Come on, Marv! Why did you take so long?" ejek Steve.

"Shut up," sungutku.

Steve terkekeh.

Lelaki ekspatriat itu terus menggodaku dengan jokes konyol. Jika tahu akan menjadi bahan ledekannya, aku enggan menerima ajakan Steve untuk bermain golf bersama.

Aku belum sempat mengayunkan woods milikku sampai Steve kembali memanggilku.

"Hei, Marv!" seru Steve. "Marv!"

"Apa lagi, huh?!" pelototku kesal.

Raut Steve mendadak serius. Dengan dagunya, ia menunjuk ke seseorang yang berjalan cepat menghampiri kami.

Aku mengernyit. "Kamu mengajak Christian juga?" tanyaku.

"Tidak." Steve menggeleng. "Mau apa dia ke mari? Lagi pula - lihatlah penampilannya - dia tak seperti orang yang hendak bermain golf."

Aku mendengkus.

Aku mampu menebak apa tujuan Christian datang. Kuserahkan stikku kepada caddie, lalu berpura-pura tersenyum menyambut Christian.

"Morning, Chris. Mau bergabung?"

Christian kian mendekat, melangkah gusar menginjak green area dengan sepatu sneakers-nya. Rambut cokelat Christian berantakan, baik mata mau pun wajahnya sama-sama memerah padam. Kurasa ia habis minum-minum semalam, Christian tampak kacau.

"You are such an asshole, Marv!" maki Christian.

"Excuse me?" sahutku ketus.

Christian mendorongku. "Tega sekali kamu mempermainkan Sarah! Kamu tahu dia kekasihku! Dasar, Bangsat!" Dia jelas kobam.

"Hei, hei?" Steve mencoba menengahi.

"Jangan ikut campur, Steve!" bentak Christian. "Lelaki sialan ini tak pantas kamu bela!"

"Lelaki sialan?!" Emosiku tersulut. "Mengapa menyalahkanku padahal kekasihmulah yang melebarkan kakinya di hadapanku."

Mata biru Christian seketika berapi-api. "Damn you, Marv!" Ia menerjangku membabi buta.

"Tanya pada Sarah, dia yang lebih dulu menggodaku!" Aku menepis tangan Christian, tapi, well, kuakui, kemampuan berkelahiku di bawah rata-rata. Sebuah tonjokan keras pun mengenai sudut bibirku.

"Sarah memutuskanku karena dia pikir kamu serius padanya." Christian gemetar.

Aku meringis memegangi rahangku yang ngilu. "Kekasihmu terlalu over confident, aku pikir dia paham kalau apa yang kami lakukan tak lebih dari one night stand."

"Bajingan!" Christian kembali memburuku, beruntung, Steve menahannya.

"Sudahlah!" cegah Steve. Ia lantas mengkode caddie agar memanggil pihak keamanan.

"Aku akan membuat perhitungan denganmu, Marv!" ancam Christian.

"Harusnya kamu senang karena aku membantumu membongkar sifat asli kekasihmu. Dia tak lebih dari seorang wanita hyper."

"Bangsat!" Christian meronta, berusaha meloloskan diri dari Steve. Tapi usahanya sia-sia karena dua orang security akhirnya datang untuk mengamankannya. "Kamu lihat saja, Marv!" hardik Christian.

Aku mendengkus sambil memalingkan badan.

Kuakui, aku memang salah kali ini. Merusak persahabatan kami gara-gara tak mampu membendung nafsu purba.

Aku, Steve, dan Christian sudah berteman semenjak kami bersekolah di sekolah internasional yang sama. Sempat terpisah karena berkuliah di luar negeri tak membuat persahabatan kami renggang. Toh, pada akhirnya, kami bertiga kembali lagi ke Indonesia untuk melanjutkan bisnis keluarga. Tak disangka, justru wanitalah penyebab hancurnya pertemananku dan Christian.

"Apa semuanya benar?" selidik Steve. "Kamu meniduri Sarah?"

"Ya," jawabku.

"Demi Tuhan, Marv!" Steve terbelalak. "Memangnya tidak ada wanita lain apa?"

"Jadi kamu juga ikut menyalahkanku?"

"Karena kamu memang salah, Marv!" tukas Steve.

"Bagaimana dengan Sarah?" kilahku. "Dia suka rela bercinta denganku."

"Ya, tapi-"

Drrrt. Drrrrrrt. Drrrrrrrt.

Ocehan Steve terpaksa berhenti ketika ponselku berdering. Aku pun merogoh saku untuk menerima panggilan yang masuk.

Kata demi kata kudengarkan dengan saksama.

Rangkaian kalimat yang terdengar bak mimpi buruk. Untaian informasi yang sontak melemahkan tiap persendian pada tulang-tulangku. Aku pun roboh, terduduk pada rerumputan sambil mengatur napas yang tersengal.

"Marv?" periksa Steve penuh khawatir. "Ada apa?"

"P-papaku ..."

"What happened to him?"

"Dia tewas ... mobilnya mengalami kecelakaan dan terbakar."

***

| One month later |

Mana pernah aku sangka akan kembali lagi ke desa terkutuk ini.

Kembali mendiami kamar masa remaja yang menyimpan banyak kenangan akan mendiang mama. Memori pahit akan dirinya otomatis terputar begitu aku menginjakkan kaki di sini. Bahkan, setelah tahun demi tahun berlalu, aku masih bisa mengendus aroma parfum mama yang lekat tertinggal.

Mana pernah kusangka juga, ternyata papa menyimpan rahasia besar.

Bukan - dia bukan memiliki istri lain selain Sandra, ibu tiriku - atau, anak lain selain diriku. Akan tetapi, secara diam-diam papa membangun sebuah kawasan resort yang ia dedikasikan untuk mama.

Aku masih ingat ekspresi gusar Sandra saat mengetahui kebenarannya. Dia pasti sakit hati karena posisinya dikalahkan oleh seseorang yang sudah tiada.

Hanya saja - aku tak sangka ternyata papa bisa gegabah juga. Untuk apa dia membangun resort di tengah antah berantah seperti ini? Harusnya papa bisa memperhitungkan seberapa besar kerugiannya kelak. Harusnya papa tidak mencampur-adukkan sisi melankolinya dengan profit bisnis.

Ah, sial.

Kini aku terpaksa terseret dalam proyek yang tak kuketahui. Terpaksa melanjutkan pembangunan dan berurusan dengan orang-orang sialan yang kubenci. Terpaksa kembali ke Malang Selatan, tempat yang enggan kudiami lagi.

Ting-tong.

Bunyi bel pada pintu utama membuatku tersentak dari lamunan.

"Ya," sahutku. Itu pasti kiriman makanan yang kupesan.

Aku masih ingat, dulu keluargaku mempekerjakan Juliati sebagai tukang masak dapur. Di desa terpencil ini, hanya masakan Juliati yang bisa diterima oleh lidahku. Syukurlah wanita itu masih berkutat di dunia boga sampai sekarang.

"Ehm, Ibu Juliati?" sapaku saat menyambutnya di depan pintu.

Wanita paruh baya itu mengangguk. "Betul. Saya antar pesanan makanan," ujarnya.

Juliati tidak sendiri, ada seorang wanita berdiri tidak jauh darinya. Wanita berambut hitam legam dengan wajah sepucat kapas. Entah apa yang wanita muda itu gunakan pada bibirnya, begitu merah, terlalu norak dan mencolok. Dasar, orang kampung.

Kulebarkan daun pintu agar Juliati bisa melenggang ke dalam. "Masuklah, dan letakkan di meja itu," titahku.

Dengan sigap, Juliati melangkah sambil membawa beberapa kotak berisi makanan. Sementara, wanita menor yang menemaninya masih mematung sambil menatap lurus ke arahku.

"M-Marv ..." sapa wanita itu.

Aku melirik sepintas.

"Masih ingat denganku?" tanyanya tersenyum.

Ya. Tentu saja aku ingat. Dia pasti Kalila Eva, putri Juliati. Siapa lagi?

Gadis cerewet yang selalu mengikutiku ke mana-mana di sekolah. Bahkan Lila tak segan mengunjungiku ke rumah untuk bermain bersama. Perlakuan ramah papa dan mama membuatnya besar kepala. Ia begitu tak tahu diri hingga melabeli diri sebagai sahabatku.

Padahal aku tahu, dia cuma ingin memanfaatkan segala fasilitas yang kumiliki. Memang begitulah orang kampung, tidak punya malu.

"Aku Lila, Marv. Kalila Eva," terang Lila.

Aku melengos. "Lila? Sorry, I don't even remember who you are."

"Masa kamu lupa sama aku Marv? Kita dulu sering main bersama, kita akrab banget sampai SMP." Ia menyusulku.

"Can't speak in bahasa," acuhku.

Lila justru terkekeh, lalu memukul lenganku tanpa permisi. "Ih, Marv, kamu belum berubah dari dulu, selalu tengil."

"Ya, dan kamu juga masih lancang seperti dulu."

Tawa Lila makin lebar. "Tuh, kan, kamu masih ingat aku."

Aku mendecih. Sungguh - tak ingin kembali berurusan dengan wanita udik ini.

"Marv, aku turut berduka cita atas meninggalnya papamu," lanjut Lila.

"Hmm," sahutku ketus. Aku berjalan menuju ruang makan untuk menemui Juliati.

Lila terus mengekoriku. "Marv, kamu sehat?" burunya.

Aku memilih diam dan tak menggubris Lila. Sebaliknya, aku justru mengeluarkan dompet untuk membayar pesananku. Kuharap mereka cepat pergi.

"Bu Juliati." Kutemui Juliati yang sedang sibuk mengatur makanan pada meja makan. "Terima kasih karena sudah datang tepat waktu."

"Oh, tidak apa-apa, Den." Juliati tersungging. "Semoga Aden suka makanannya."

"Pasti," balasku. Kusodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada Juliati.

"Terima kasih banyak." Juliati menerima bayarannya dengan sumringah.

"Saya baru tahu kalau Ibu membuka jasa catering sekarang, dan saya juga baru tahu kalau Ibu yang mengurus konsumsi untuk para pekerja di pembangunan," kataku.

"Iya, Om Jurgen yang meminta Ibu secara langsung. Ya, kan, Bu?" sela Lila. Cih, padahal aku tidak bicara dengannya.

"Betul itu, Den." Juliati mengangguk. "Sebelumnya ... saya sangat terkejut mendengar kepergian Bapak Jurgen, beliau orang yang sangat baik. Semoga Aden tabah."

"Ya," sahutku. "Hmm, soal pembangunan resort, papa merahasiakannya dariku. Jadi, kepergiannya memang menyisakan banyak kejutan."

"Jadi, kamu tidak tahu soal pembangunan resort, Marv? Pantas saja selama ini kamu tak pernah sekali pun datang kemari," sergah Lila.

Aku melirik Lila sinis.

"Pak Jurgen bilang, tempat ini merupakan tempat istimewa baginya. Banyak kenangan indah tentang mama Aden di sini. Selain itu, Pak Jurgen optimis kalau keberadaan resort akan menambah daya tarik para wisatawan asing."

"Ya, mungkin," gumamku. "Hanya saja - aku tak yakin akan berkecimpung dalam manajemen resort. Setelah pembangunannya rampung, aku berencana menjualnya-"

"Kenapa, Marv?!" tanya Lila.

Juliati menyenggol lengan putrinya. "Hush!" tegurnya. "Kita pulang sekarang."

"Ta-tapi, Bu ..."

"Lila!" pelotot Juliati. Ia menggandeng Lila dan sedikit menyeretnya. "Den, sekali lagi terima kasih - saya pamit dulu."

Aku mengangguk.

"Marv, sampai ketemu lagi." Lila melemparkan seutas senyum padaku. Senyum yang enggan kubalas.

Mau tidak mau aku mengantarkan Juliati dan Lila hingga ke ambang pintu. Wanita norak itu masih memandangku melalui dua matanya yang bundar dan berkilat-kilat. Aneh sekali.

"Bye, Marv." Lila melambaikan tangan. Lalu, membantu Juliati masuk ke dalam mobil tua mereka.

Tanpa sadar, netraku melorot turun ke arah kaki Lila. Ia mengenakan jeans ketat yang dipadankan kets usang.

Syukurlah ...

Dia tak sedang memakai rok atau celana pendek yang menampakkan betisnya. Dan - syukurlah - ia tak lagi mengenakan sepatu boots yang menjadi ciri khasnya dulu.

Jika tidak, mungkin aku bisa lepas kendali.

Kututup rapat pintu utama dan melenggang ke dalam. Kesunyian kembali melanda setelah ketiadaan Kalila Eva yang berisik.

Kalila Eva - gadis terkutuk yang berpengaruh besar dalam kehidupan seksualku. Sebuah obsesi serta dorongan kuat yang memunculkan rangsangan luar biasa bagiku. Kalila Eva merupakan pionir dari asal muasal fetish-ku.

Ya, aku memang bukan lelaki suci.

Aku menyembunyikan ketertarikan khusus pada kaki indah wanita. Khususnya wanita yang cocok mengenakan sepatu boots. Pemandangan tersebut memberikanku hasrat menggelora - kepuasan berkali lipat akibat visual non-genital.

Entah kapan awal mulanya. Yang jelas, dorongan itu muncul semenjak Lila menyelamatkanku dari para perundung.

Aku mulai terpikat pada objek atau tindakan tertentu yang mengarah pada kaki wanita. Aku lebih bernafsu memainkan kaki mereka ketimbang bagian tubuh lainnya. Jari jemari mungil yang menggelitik tiap inci kulitku mampu memberikan kesenangan tiada tara.

Menetap di Jakarta mempermudahku menyalurkan fetish. Banyak wanita di Ibu Kota juga sama gilanya denganku. Tidak sulit mendapatkan seseorang yang mau kujadikan pemuas vitalitas. Tapi, kegemaran rahasiaku terancam mandek jika berlama-lama di sini.

Mana ada wanita di desa ini yang bisa memenuhi kriteriaku. Mereka semua adalah orang-orang berpikiran kuno yang terperangkap dalam penjara konservatif.

Meski begitu - ada alasan lain kenapa aku memilih datang ke mari.

Aku tidak tahan berdua saja dengan Sandra, wanita licik yang kini menjadi satu-satunya ... keluargaku.

***

Mimpiku masih belum tuntas ketika suara gaduh mendadak mengganggu pagiku. Pelupukku yang lengket terpaksa terbuka untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi. Kutegakkan kepala dengan gusar, apa mungkin hantu, huh?

"Shit! Siapa kamu?!" Aku terperanjat memergoki seorang wanita bertubuh tambun sedang menggeledah lemari pakaian.

"Oh, uhm, Pak Marv sudah bangun?" Dia gelagapan.

"Kamu siapa?!" bentakku.

"Sa-saya pembantu yang dipekerjakan Nyonya Sandra. Tadi saya diminta membersihkan kamar Bapak," terangnya.

"Sa-Sandra ...?" For God's sake - aku mungkin sedang bermimpi.

"Morning, Marv!" Speak to the Devil, orang yang mati-matian kujauhi justru berjalan santai melewati pintu kamarku. Sandra.

Gigiku seketika bergemeletuk. Benalu ini begitu nekat hingga menyusulku ke mari.

"Sedang apa kamu di sini?" sungutku.

Sandra seenaknya duduk di sisiku. "Aku baru sampai Subuh tadi. Kemudian langsung membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untukmu. Mari kita makan bersama." Ia tersenyum tanpa dosa.

"Aku tanya, mau apa kamu ke mari?" tanyaku ketus.

Sandra terkekeh. "Aku Ibumu, jelas saja aku ingin menemanimu, Marv."

"Kamu bukan ibuku, Sandra. Kamu hanyalah istri dari papaku," sanggahku.

"Hei, bukankah sama saja?" Sandra menyeringai.

"Aku heran," dengkusku. Aku lantas bangkit dari ranjang untuk menjauh dari Sandra. Aroma parfum wanita ini sangat menyengat hingga membuatku mual. "Tak sangka jika kamu sangat serakah jika mengenai harta papaku."

"Apa maksudmu?"

"Kamu ke mari karena tertarik pada pembangunan resort, bukan?"

Bibir Sandra mengembang.

"Ah, Marv," desahnya. "Dari dulu kamu selalu menilaiku negatif. Tujuanku ke mari adalah murni bentuk perhatianku padamu. Setelah Jurgen tiada, kita berdua saling memiliki. Lagi pula, aku menyayangimu seperti anakku sendiri."

Aku tertawa skeptis. Bullshit.

Sandra melanjutkan, "Soal resort, aku sudah meneliti prospeknya. Kurasa keputusan Jurgen berinvestasi di sini merupakan langkah tepat. Kawasan ini sangat indah dan eksotis, tidak sulit mempromosikannya ke-"

"Kamu tahu kalau papa membangun resort untuk mengenang mendiang mamaku, huh?" potongku ofensif. Aku mengulum senyum tatkala menangkap perubahan ekspresi Sandra.

Sandra berusaha mempertahankan senyum. Meski terukir jengkel di matanya.

"Tentu saja aku tahu, Marv ..."

"Bagus. Maka, sadar dirilah akan posisimu. Tak semua urusanku harus menjadi urusanmu!" sergahku. "Asal kamu tahu, aku tak berniat mempertahankan resort. Begitu semuanya beres, aku akan menjualnya."

"Marv!" pelotot Sandra. "Menjualnya? Pikirkan keuntungan yang-" Ia berdeham salah tingkah. "Maksudku, pikirkanlah matang-matang sebelum bertindak gegabah. Resort ini menyimpan kenangan akan Jurgen, juga ... mamamu."

"I don't give a f*ck." Aku melengos dan keluar dari kamar.

"Marv!"

Sandra mengejarku. Sialan, wanita tua ini tak memberiku ruang untuk sendiri.

Aku menuruni undakan tangga dengan langkah memburu.

"Mau ke mana kamu, Marv? Masih banyak hal yang ingin kubicarakan!" buru Sandra.

"Oh, Tuhan, sudahlah, Sandra!" decihku. Aku menyusuri area foyer berlantai granit, tujuanku adalah tempat di mana Sandra tak ada.

"Aku berniat mengadakan open house, mengundang seluruh warga di sini untuk mengenal mereka semua," cerocos Sandra.

"Apa kamu sudah gila?!" sungutku. "Buat apa?"

"Kita harus mengambil hati mereka agar keberlangsungan bisnis resort berjalan mulus. Dukungan warga lokal merupakan poin penting."

"Aku, kan, sudah bilang tak tertarik menjalankan resort!" kilahku.

Sandra mengibaskan rambut bergelombangnya yang diatur tinggi bak piramida. "Kamu hanya sedang galau dan tak bisa berpikir jernih. Aku tahu kamu tak serius."

"Apa warisan dari papaku masih belum membuatmu puas?! Biarlah resort bedebah ini menjadi urusanku!" bentakku berang.

"Aku cuma ingin mempertahankan segala peninggalan yang berkaitan erat dengan memori Jurgen," dalih Sandra. "Selain itu, aku mengadakan open house juga demi kepentinganmu. Ada seorang gadis muda, anak dari kenalanku, dia sangat cantik dan aku ingin mempertemukan kalian."

Aku terbelalak.

Sungguh - Sandra memang siluman lintah pengisap darah. Ia bahkan sudah merencanakan perjodohanku agar bisa mengontrol segalanya di bawah kuasanya.

Aku serta merta membuka pintu utama untuk melarikan diri. Namun, betapa terkejutnya aku dan Sandra saat mendapati Lila sudah berdiri di teras.

Kedua alis Sandra berkerut. Ia meneliti penampilan Lila dari atas ke bawah. "Mbak ini ... siapa? Salah satu pembantu yang kupekerjakan?" tegurnya.

"Oh, bukan ... anu, Tante, eh, maksud saya, Bu ..." sahut Lila kikuk.

Mata Sandra melotot. "Tante?!" semprotnya.

Tanpa sadar, segaris seringai timbul dari sudut bibirku. Kurasa, aku tahu bagaimana cara untuk membuat Sandra meradang.

Kurangkul Lila ketat, lalu mengecup pelipisnya tanpa permisi.

"Enak saja mengiranya pembantu. Ini Kalila Eva, kekasihku," akuku.

Darls!

Baca F3TISH jalur ngebut lewat karyakarsa. Buruan mumpung masih gratis. Berikan komen, vote, dan jangan lupa share cerita ini, ya!

Love you, All 🖤




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top