12

— Marv

Berdasarkan pengalamanku, para wanita memiliki aroma uniknya masing-masing. Aroma yang berasal dari tubuh mau pun ambang surgawi mereka di bawah sana. Baik rasa atau wanginya punya ciri khas tersendiri —  autentik.

Aku sudah pernah mencicipi bermacam rasa mereka. Ada yang kusukai, dan ada pula yang membuatku mual sendiri.

Namun, Kalila Eva lain soal.

Dia sangat ranum. Tubuh, kulit, serta liangnya laksana candu yang tak bosan untuk kucicipi. Dia juga manis seperti madu. Dia menggairahkan tetapi murni sepolos kapas.

Aku telah menjilat ludahku sendiri karena ketagihan bercinta dengan Lila.

Mungkin — kelak akan datang masanya aku bosan dengan wanita kampung ini. Tapi, untuk sekarang, ragaku hanya mau dia. Aku belum puas menjajah Lila, belum kenyang mencoba berbagai permainan nakal dengannya. Aku mau dirinya. Aku mau menggunakan tubuhnya sampai canduku musnah.

"Kalila Eva, would you be my wife?"

Lila tersentak.

Geletar klimaks belum sedetik berlalu dari tiap inci nadinya, tetapi aku sudah memberikan kejutan baru.

"A-apa?" Lila menyorotku sayu.

"Menikah denganku. Menjadi Nyonya Cooper," kataku.

Bibir Lila gemetaran.

Pelupuk bening wanita ini mendadak penuh oleh air mata. "Marv? Kamu sedang bercanda, kan?" tanyanya.

"Aku serius." Aku membelai sisi wajah Lila, kemudian menyisipkan helai rambutnya yang agak berantakan. "Aku memang tolol karena melamar tanpa membawa sebuah cincin. Tapi, aku janji akan menebusnya nanti."

Lila terisak. Sikapnya membuatku bingung setengah mati. Jika dia memang menyukaiku, mengapa justru berlinang tangis, bukannya bersorak kegirangan?

"Lila?" periksaku. "Ada yang salah, huh? Kamu benci dengan caraku melamar? Atau kamu ... membenciku?"

Lila menggeleng. "Bukan, aku hanya—"

"Hanya apa?" selidikku hilang kesabaran.

"Aku tak percaya kalau kamu melamarku. Kamu sungguh-sungguh mau memperistriku? Secepat ini?"

"Mau tunggu apa lagi, Lila?" sahutku. "Semua warga desa, termasuk orang tuamu membicarakan hubungan kita. Alangkah baiknya jika kita membungkam mereka dengan segera melangsungkan pernikahan."

"Jadi, tujuanmu melamarku adalah itu?"

"Sial!" Aku mengusap mukaku secara kasar. "Bukan! Tentu saja bukan!" kilahku. "Seperti yang kamu tahu, aku tidak peduli pada mereka! Aku melamarmu karena aku jatuh cinta padamu, dan aku takut kamu berubah pikiran soal Putra. Aku khawatir desakan dari orang tuamu bakal melemahkan keputusanmu. Lalu, kamu memilih kembali padanya." Aku memandang Lila lekat-lekat. "Aku takut kehilanganmu."

Lila kembali menangis. Kali ini sesegukan.

"Oh, Marv ..."

"Demi Tuhan, kenapa kamu kembali menangis? Katakan saja kalau kamu memang tidak mau menikahiku dan menginginkan hubungan kita tetap casual," dengkusku.

"Kata siapa?" Lila membalas tatapanku melalui mata yang basah.

"Lantas?"

"Tentu saja aku mau menikahimu, Bodoh!" Lila menyeka pipinya. "Ini namanya air mata kebahagiaan."

"Serius?!"

Aku refleks meraih Lila dalam gendongan. Akibat perbuatanku, beberapa barang di meja terjatuh berserakan ke ubin karena tertendang kakinya. Namun, kami tak peduli.

Yang ada, Lila justru menciumku mesra sambil mengalungkan kedua lengannya pada leherku.

Pagutan kami sangat intim, liar, dan panas — terlebih kami melakukannya sambil telanjang. Kulumat habis bibir plumpy milik Lila, aneh, aku rasanya tidak mau berhenti bercumbu dengan gadis ini. Saat bibir kami bertemu, pikiranku tiba-tiba kosong. Atensiku seratus persen tertuju pada Lila, tiada yang lain. Fantasiku dipenuhi dirinya, dia, dan dia.

"Mrs. Cooper, jangan jadi orang tak bertanggung jawab," kataku.

Lila mengernyit. "Huh?"

Aku tertunduk menunjukkan batangku yang masih tegak teracung belum terjamah.

Tawa Lila pecah. Ia melebarkan senyum memamerkan deretan gigi seputih mutiara. Selain itu, lesung pada pipi Lila semakin membuatku gemas sendiri. Sialan, bagaimana mungkin seorang wanita desa bisa sememukau dirinya?! Harusnya Lila menetap di Ibukota, dia pantas menjadi salah satu simpanan dari pejabat atau pengusaha konglomerat.

"Biar aku menyapanya," bisik Lila. Ia lantas menunduk dan berlutut di hadapanku.

"Hmmh, ya." Aku menggeram seraya terpejam.

Milikku sudah terbenam dalam mulut Lila yang hangat. Lila mengulum batangku sambil mengisapnya. Tiap kali kami bermain, dia selalu punya trik baru untuk memuaskanku.

Aku pun memandanginya. Kuremas rambut Lila agar kejantananku terbungkus kian rapat. Lidah Lila menari-nari di sekujur urat-uratku, menelusuri tiap incinya, lalu kembali mengemutnya laksana permen. Dia juga tak lupa menggunakan jemarinya untuk mengurut milikku secara lembut.

"Kemampuanmu mengalahkan pelacur mana pun, Mrs. Cooper," godaku.

Kedua sudut bibir Lila tertarik ke atas. Ia menggesekkan batangku pada kulit bibir kenyalnya. "Kamu yang menjadikanku seorang pelacur," sahutnya.

"Kalau begitu kamu adalah pelacurku untuk selamanya."

Aku menarik Lila agar berdiri.

Kuangkat tubuh langsing wanita ini. Kedua kaki Lila mengangkang mengitari pinggangku, sementara lenganku menyangga tungkainya agar tak terjatuh. Kusentakkan pinggulku demi menusukkan kejantanku ke dalam milik Lila. Usahaku kali ini tak sesulit percobaan pertama, batangku langsung tertancap di bawah sana.

Lila merintih, mendesah, mengerangkan namaku.

Sementara aku, terhipnotis oleh percik kenikmatan akibat persenggamaan yang terjadi. Dinding-dinding Lila sangat rapat, kuat memimpit batang kokohku. Gila! Tiap kali bercinta dengan Lila, aku sangat sulit mengontrol diri. Rasanya begitu enak hingga kejantananku hampir muncrat.

"Suka?" bisikku.

Lila mengangguk.

Aku menghunjam dirinya berkali-kali, mengobrak-abrik inti Lila hingga kami sampai lupa akan waktu.

Sungguh — aku terobsesi mendominasi Lila di tempat yang tepat; selain ruang kerja, atau studio sempit miliknya. Aku ingin membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuk berselimut sutra. Membiarkan cairan klimaks wanita ini mengotori seprai maroon yang pasti akan kontras dengan warna kulitnya.

Namun, sepertinya aku harus bersabar. Masih ada banyak waktu dan kesempatan ketika dia sudah sah menjadi istriku, kelak.

Pelan-pelan, aku membawa Lila menuju meja kayu. Kududukkan bokong sintalnya di sana, kemudian kembali memompa Lila secara misionaris. Miliknya sangat merah dan merekah, menciptakan visual elok sekaligus seduktif dalam waktu bersamaan.

Jariku enggan tinggal diam, jadi kuputuskan untuk memuaskan clit-nya juga.

Lila sontak menggelinjang.

Tentu saja ia kepayahan karena baik liang mau pun biji sensitifnya penuh oleh jamahan kenikmatan. Kubelai titik menonjol itu dengan halus dan lambat. Kebalikan dengan batangku yang bergerak beringas.

"Kamu mau aku lebih cepat?" tanyaku.

"Ya," erang Lila. "Kurasa, aku akan ..."

"Aku tidak akan berhenti meski pun kamu ingin menyerah, Lila," seringaiku. "Malam ini akan menjadi malam yang panjang bagimu."

Lila merona.

Buah dada sekalnya ikut terguncang tiap kali aku mengentak keras. Benar-benar menguji kewarasanku. Aku tak memungkiri jika Lila begitu indah.

"Mainkan dadamu sendiri," titahku.

"Uhmh, Marv," rintih Lila malu-malu.

"Ayolah," bujukku. "Tanganku sibuk di bawah sini."

Lila menggigit bibir bawahnya.

Tapi, dia memang wanita penurut. Lila melakukan perintah yang kulontarkan dan mulai meremas-remas gundukannya sendiri. Desah Lila kian menggema tatkala jarinya tiba pada pucuk merah muda yang telah menegang. Lila memilin-milin bagian itu sambil menariknya.

"You don't know how se×y you are ..." pujiku.

Lila mulai gelisah.

Ia mencengkeram dua bongkahannya kuat-kuat. Aku yakin Lila hampir sampai dan aku membantunya dengan menggosok clit-nya lebih cepat.

"Marv ... Marv ..."

Lila sontak mengejan dan tubuhnya mengeras. Ia menyemburkan cairan klimaks dari celah-celah liang yang penuh oleh desakan batangku.

Aku menyeringai. "I don't know that you can be a leak," godaku. "It is squ•rt, Lila."

Damn

Kalila Eva tak berhenti mengejutkanku. Dia punya banyak lapisan yang menunggu untuk kugali.

Penyatuan di bawah sana sudah membuat kejantananku bersiap meledak. Maka, kuangkat tungkai Lila dan mengecupnya penuh nafsu. Kupercepat hunjamanku dengan beruntun.

Hingga, pada akhirnya, sengatan kenikmatan pun datang melahapku. Aku tenggelam dalam gulungan erotis dari puncak asmara. Kuputuskan membungkam geramku dengan melumat bibir Lila rapat-rapat. Napas kami saling memburu, tersengal; seakan baru kembali dari peperangan.

"Lila," bisikku pelan.

"Ya?"

"Persiapkan dirimu dan keluargamu," kataku. "Secepatnya, aku akan datang ke mari untuk melamarmu secara resmi."

Terburu-buru?

Memang.

Dibalik sikap buru-buru dan serampanganku, ada seorang Sandra yang setengah gila akibat ulahku.

Ada alasan kenapa aku bersikukuh mengejar Kalila Eva — well, selain kenikmatan tubuhnya, sebenarnya ada satu kepentingan yang menjadi prioritasku. Apa lagi selain membuat hidup Sandra sama menderitanya seperti hidupku.

Aku masih ingat hari di mana Putra mengamuk. Hari di mana untuk pertama kalinya aku menyaksikan sendiri melalui mata kepalaku, Sandra gelisah bukan main. Dan itu semua, berkat Kalila Eva.

| Seminggu lalu |

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?!" Sandra menghambur padaku.

Aku melepaskan diri dari dua orang pekerja yang memapah tubuh babak belurku. Sialan. Sandra pasti gembira karena melihat kondisiku yang memalukan!

"Pak Marv berkelahi tadi, Nya."

Pekerja satunya bergegas mengoreksi. "Bukan berkelahi," sanggahnya. "Pak Marv dipukuli."

Cih. Harga diriku makin terperosok oleh penjabarannya.

"Siapa yang melakukannya?!" tanya Sandra. Ah, sandiwara pura-pura paniknya lumayan natural juga.

"Putra, Nya."

"Putra?" Sandra mengernyit.

"Putra, pacarnya Kalila. Saya rasa, Pak Marv dan Putra berselisih karena merebutkan Kalila."

"Hush!" Pekerja lainnya melotot canggung.

"Berkelahi karena merebutkan Kalila?" ulang Sandra sangsi. Ia lantas beralih padaku. "Betul begitu, Marv?"

Aku mendengkus. "Sudah kubilang aku serius dengan Lila."

Sandra terperangah.

Namun, ia masih cukup sadar kalau pembicaraan kami tak boleh terdengar oleh siapa pun. "Kalian kembalilah ke lokasi," titahnya pada dua pekerja yang mengantarku. "Terima kasih sudah membantu Marv pulang."

"Sama-sama, Nya."

Sandra dan dua pekerja berjalan beriringan menuju pintu utama. Sedangkan, aku memilih melengos ke arah tangga. Badanku sakit semua, dan ocehan Sandra akan menambah kesakitan mentalku.

"Marv!" bentak Sandra menyusulku.

"Apa, sih?" pelototku. "Kalau mau berguna, panggilkan aku dokter, atau suruh pembantu untuk membawakanku obat!"

Sandra menahanku. "Heh, Marv!" desaknya. "Kamu benar bertengkar dengan tunangannya Lila?"

"Bukan tunangan!" koreksiku. "Juga bukan pacar, karena Lila sudah mencampakkan lelaki itu demi bersamaku."

"Apa?" Sandra melotot.

Aku bersiap pergi, tapi Sandra lagi-lagi menghadangku.

"Kamu jangan bercanda, Marv!"

"Kamu kira aku masih bisa bercanda dengan kondisi seperti ini? Aku babak belur dan kepalaku pusing," sentakku.

"Apa kamu sudah tidak waras? Mengejar wanita udik anak dari tukang masak kita? Kamu bahkan menghancurkan hubungannya dengan kekasihnya!"

"Ya, kenapa memang?"

"Kenapa emang?!" Sandra membeliak. "Kamu ini cuma iseng! Akan tetapi, kamu membuat masalah yang bakal bertahan selamanya. Kamu tahu ini bukan perkotaan seperti Jakarta. Orang desa akan mengecam tindakan tidak terpujimu dan itu akan berefek pada nama baik resort!"

"Kamu kira aku iseng? Aku dan Lila serius," sangkalku.

"Marv!" Wajah Sandra merah padam.

Aku mengernyih menahan rahang yang ngilu.

"Suaramu betul-betul annoying," sungutku. "Tidak akan ada kecaman dari orang-orang karena aku akan menikahi Lila. Paham?"

"M-MENIKAHI APA?" Tubuh Sandra mendadak lunglai seolah tulang-tulangnya berubah lunak.

Aku sontak terpegun oleh reaksi Sandra.

Padahal, aku cuma bergurau soal 'pernikahan', akan tetapi respon Sandra membuatku tergiur untuk benar-benar melakukannya.

"Bagaimana bisa ... seleramu seburuk itu, Marv?" Sandra memucat. "Kalau kamu tidak suka Celine, aku akan carikan wanita lain yang sebanding dengan keluarga Cooper. Bukan wanita udik seperti Kalila Eva."

Seringaiku timbul. "Kenapa anti sekali dengan wanita kampung, Sandra? Apa kamu lupa kalau ibuku juga berasal dari desa ini?"

Bibir Sandra terkatup gemetar.

Aku kembali melanjutkan, "Kalau dipikir-pikir, seleraku dan selera papa sama. Kami sama-sama terpesona oleh wanita dari desa ini."

"Diam kamu," kecam Sandra.

"Kenapa menyuruhku diam? Bukankah tadi kamu yang memaksa pembicaraan?" kekehku.

"Semua ide tentang menikahi Kalila Eva hanyalah wacana kosong demi menggangguku, bukan?" terka Sandra. "Aku tak habis pikir — padahal kedatanganku di sini karena mencemaskanmu. Aku juga ikut andil dalam masa depan resort untuk kesejahteraanmu. Tetapi, mengapa kamu selalu berusaha mencari cara untuk melawanku?! Parahnya, sekarang kamu menyeret wanita kampung untuk menjadi bagian dari keluarga Cooper!"

"Kalau memang kamu sungguh-sungguh tulus mencemaskanku — kamu harusnya mendukung keputusanku menikahi Kalila Eva, Sandra," gertakku. "Aku mencintai wanita itu dan akan menjadikannya Nyonya Cooper. Selain itu, kamu sepatutnya berterima kasih pada Lila."

"Berterima - kasih?" Rahang Sandra mengeras. Aku suka ekspresi gusarnya ini.

"Ya, berterima-kasih," kelakarku. "Sebab, karena dia, aku memutuskan urung menjual resort — as your wish. Sebaliknya, aku akan mengelola tempat itu dan memberikan Lila tiga puluh persen saham di sana setelah kami menikah nanti."

"Marv ..."

"Marv ...?"

Aku terhenyak dan menoleh pada Lila. Ia berdiri seraya menyodorkan pakaianku.

"Kurasa kamu harus segera kembali," kata Lila.

"Kamu mengusirku?" Aku terkekeh.

"Maksudku bukan begitu —"

Aku menerima pemberiannya, lalu menarik tangan Lila untuk merengkuhnya. "Iya, iya, aku tahu, Sayang. Aku akan segera pulang sebelum ada yang mel—"

BRAK!

"ASTAGA! APA-APA'AN INI?!"

Too late — aku telah tertangkap basah oleh Budianto, bapak kandung Lila.

Hai, Darls

Baca F3TISH jalur cepat di Karyakarsa, ya! Kalian langsung cek akun Ayana Ann dan kasih dukungan buat Ayana jajan. thank You! 🖤🖤🖤






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top