1

- Lila -

Hangat napas Putra menerpa kulitku yang sedingin es. Aku gemetaran, gelisah memikirkan ujung dari keintimanku dan dia. Selain itu, udara malam selepas hujan berhasil membuatku menggigil.

Putra mungkin menyadari ketakutanku, ia pun berhenti memagutku.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Putra.

Aku mengangguk.

Kubelai barisan otot perut Putra, lalu menyusur ke dadanya yang bidang. Sebuah aksi palsu demi menetralisir segala ragu.

Kenapa mesti ragu pada Putra?

Dialah kekasihku selama lima tahun belakangan, dia juga teman sedari kecil yang tetap bertahan menemaniku dalam keadaan apa pun.

Bapak dan ibu bilang, aku beruntung mendapatkan Putra. Lelaki baik hati yang mencintaiku dengan tulus. Serta rela menungguku sampai siap melangkah ke jenjang pernikahan.

Namun, jujur saja ... jauh dalam sudut hatiku, perasaanku pada Putra terkesan hampa. Meski demikian, tanpanya aku pun merana. Egois sekali.

Putra yang sudah bertelanjang dada, beralih melepaskan kancing kemejaku satu per satu. "Kamu yakin mau melakukannya?" Dia kembali bertanya.

"Ya," kataku serak.

Dua puluh tujuh bukan lagi usia muda - setidaknya menurut tetangga-tetangga kampungku. Wanita seusiaku seharusnya sudah menikah dan memiliki banyak anak, itu kata mereka. Mereka dulu menyebutku aneh karena melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang universitas. Sekarang, panggilan mereka berubah, perawan tua.

Mana ada lelaki lain yang minat padaku selain Putra. Jadi, jika dibilang aku menerima Putra karena keadaan - ya, mungkin saja.

"Oh, Tuhan ..." Aku tersentak tatkala Putra berlabuh pada dadaku. Ia memainkannya menggunakan bibir dan lidahnya yang lembab.

Dasar tidak tahu diri. Keadaan?

Mendapatkan Putra adalah jackpot dalam hidupku. Dia adalah lelaki sempurna yang sanggup menerima lebih - kurangku. Selain itu, hanya wanita bodoh yang tidak mengakui ketampanan Putra. Hidung bertulang tinggi dengan bingkai alis tebal nan tegas. Serta otot-otot di sekeliling tubuhnya yang berjajaran maskulin.

Putra cukup populer.

Bukan hanya gadis-gadis di kampung yang mengidolakannya, kurasa hampir separuh penduduk Indonesia juga. Dia punya ratusan juta pengikut di sosial media - rata-rata wanita. Di dunia maya, Putra sanggup membangkitkan imajinasi liar followers-nya. Dia saja yang tidak sadar, atau mungkin, pura-pura tak sadar di depanku.

"Lila," panggil Putra. Ia beringsut menjauhiku.

Aku mengernyit sambil menatapnya bingung. "Kenapa? Kenapa berhenti?" tanyaku.

"Kita bisa menundanya kalau kamu memang belum siap," ujar Putra.

"Aku sudah siap, kok. Aku mau," kilahku.

Kedua sudut bibir Putra tertarik ke atas hingga menciptakan garis melengkung. "Bohong." Ia menyorotku teduh. "Aku tahu dari tadi kamu melamun."

"Me-melamun? Nggak, tuh."

"Masa, sih?" Putra meraih kaos hitam polos yang tergeletak di ujung kasur, kemudian memakainya. "Kamu nggak terlihat menikmati semuanya, La."

"Tapi, Put-"

"Kita pulang, yuk. Ibu sama bapak mungkin cari kamu," kata Putra.

Aku bergeming.

Aku memang belum siap kehilangan virginity, tapi, bukankah bercinta selayaknya dilakukan bersama orang yang tepat? And he is the one. Cepat atau lambat, kami akan menikah. Untuk apa menunggu lebih lama untuk melakukan ini?

"Putra," bisikku. Kupeluk Putra dari belakang seraya merapatkan kepalaku pada punggungnya yang lebar. "Maaf, ya."

"Untuk?"

"Aku telah menciptakan kesan kalau aku nggak menginginkan semua ini," terangku.

Putra menengok. "Aku nggak berpikir begitu, Lila." Ia membingkaiku dalam matanya yang segelap malam. "Pengalaman pertama merupakan momen menegangkan bagi banyak wanita. Aku bisa mengerti jika kamu mungkin takut, atau ragu-ragu."

Aku terdiam memandangi senyum ramah Putra.

Ia kembali melanjutkan, "Atau mungkin kamu khawatir kalau aku akan berpaling setelah mendapatkan dirimu seutuhnya?" Putra menggenggam jemariku. "Aku nggak akan pernah meninggalkanmu, La. Untuk itulah, kalau kamu memang mau melakukannya ketika kita sudah resmi menikah, aku pun nggak akan memaksa."

"Sungguh?"

Putra mengangguk. "Aku sungguh-sungguh. Maka dari itu, mari kita segerakan saja, La. Dulu kita menundanya karena kamu fokus selesaikan kuliah. Lalu, diundur lagi karena kamu sibuk membangun usaha online. Sekarang, kuamati, bisnismu sudah stabil, aku pun punya banyak pemasukan dari bengkel, adsense Youtube, dan gift Tiktok."

"Dunia maya itu temporary," dalihku.

"Aku punya tabungan, La. Aku jamin sudah bisa menghidupi keluarga kecil kita dengan penghasilanku," ujar Putra penuh kesungguhan.

Alih-alih menjawab ucapan Putra, aku justru membungkamnya menggunakan bibirku. Kurapatkan bibirnya agar berhenti membahas soal pernikahan.

"Li-"

"Sshh ..." Aku memagut Putra secara impulsif. "Kumohon, aku benar-benar ingin melakukannya denganmu - sekarang," bujukku.

Putra pun menyambut ciumanku.

Ia merengkuhku ke atas pangkuan. Lidah kami saling membelit dan mengejar ganas.

Aku memang sudah gila - aku lebih memilih kehilangan kesucian ketimbang mempercepat pernikahan. Ada hal lain yang masih kurasa kurang. Ada lubang kosong yang menganga dalam relung. Ada enigma meraung-raung hingga langkahku menjadi pincang. Hanya saja, apa?

"Kamu sangat cantik," puji Putra.

Ia menidurkanku ke atas matras empuk. Lalu melucuti jeans-ku pelan-pelan.

Putra lagi-lagi memandangi tubuhku melalui mata yang sayu. Cara Putra memperlakukanku sangat istimewa, lembut, dan manis. Sudahlah, buat apa aku terus-menerus mencari-cari sesuatu yang bahkan kutak tahu.

"Lila, boleh kulakukan sekarang? Huh?"

Aku mengangguk.

Napasku tertahan tatkala Putra menurunkan celana dalamku, mengekspos sisi rahasia dari milikku di bawah sana. Jantungku bergemuruh tak karuan. Tenggorokanku tercekat seolah ada batu besar menggencet leherku.

Jemari Putra turun menjamah milikku. Ia lantas membungkuk dan terbenam di antara kedua tungkaiku. Mengitari milikku menggunakan bibir serta lidahnya.

"Oh, Tuhan ..." Aku mengejan tegang.

Ini pertama kalinya Putra menyentuhku sedemikian intim.

Selama berpacaran, kami sebatas berciuman atau berpelukan. Namun, aku sadar, sebagai lelaki dewasa, Putra juga punya kebutuhan. Ia menyembunyikan rapat-rapat hasrat seksualnya dariku. Dia selalu menghormatiku, menjagaku seperti benda pecah belah yang rawan rapuh.

"Suka?" tanya Putra.

Aku menggigit bibir bawahku demi menetralisir gugup. "Ya," jawabku.

Persetujuanku membuat Putra kembali meneruskan pekerjaannya di bawah sana. Mencumbu titik-titik sensitifku hingga berdenyut-denyut tiada tertahan.

Rasanya sudah sangat basah di sana, rasanya aku hampir meledak.

Drrrrtttttt. Drrrrtttttt. Drrrt.

Getaran ponselku di atas nakas membuat kami tersentak. Putra menjeda permainannya sambil mengarah pada gawai yang berbunyi menganggu.

"Lila?"

Aku menggeleng. "Abaikan saja," desakku. "Lakukan lagi."

"Bagaimana jika itu bapak atau ibu?" selidik Putra cemas.

Aku mendecih. "Paling-paling mereka mau titip belanjaan. Nggak penting."

Raut Putra ragu. Jelas saja - hubungannya dengan bapak dan ibuku sangat akrab. Putra sudah dianggap anak sendiri.

"Angkat saja dulu," kata Putra. "Siapa tahu penting."

Aku mendengkus.

Aku memanjangkan tangan untuk meraih ponsel, akan tetapi deringnya mendadak berhenti.

"Tuh, kan, sudah mati," sungutku.

"Nggak kamu telvon balik, tanya ada apa?"

Aku merengut. "Sudahlah, Put." Kukaitkan kedua lenganku pada leher Putra. Kudaratkan sebuah ciuman agar kami kembali bermesraan. Sangat sulit bagiku membangun mood, ketika gairahku sudah menyala, ada saja gangguan.

Drrrrttt. Drrrrrrrrt. Drrrrrrt.

Panggilan dari ibu lagi-lagi mengusik penyatuanku dan Putra. Mau tidak mau, aku pun terpaksa menerimanya.

"Ya, Bu?" angkatku.

Runguku mendengarkan tiap detail kata demi kata yang ibu sampaikan. Bibirku terperangah kelu. Degup jantungku berdentum laksana derap kuda yang berlarian.

"A-aku akan segera pulang, Bu ..." sahutku tergagu.

Buru-buru kumatikan sambungan telepon dan belingsatan sendiri. Kuambil pakaianku yang berserakan dan segera memakainya.

"La, ada apa?" selidik Putra cemas. "Terjadi sesuatu di rumah?"

"Oh, nggak." Aku menyambar tasku. "Tapi aku harus pulang. Ibu butuh bantuanku karena bapak nggak ada di rumah. Ibu butuh antar pesanan catering," jelasku.

Putra menghela lega. "Biar aku saja yang antar ibu," tawarnya.

"Jangan!" Aku mengibaskan tangan. "Ma-maksudku nggak usah. Anu ... ibu mintanya aku," kelitku.

"Gitu ya?" Ekspresi Putra menyimpan muram.

Aku membungkuk untuk mengecup pelipisnya. "Aku balik dulu. Nanti malam kuhubungi."

Kemudian aku pun melesat bak turbo meninggalkan Putra sendirian di rumahnya.

***

Aku sudah menetap di desa ini semenjak lahir. Sebuah desa asri yang dikelilingi pantai Bolu-Bolu, pantai Wediawu, dan pantai Lenggaksono, atau biasa disingkat kawasan Bowele. Panorama pantai biru bertemu dengan lenggak-lenggok perbukitan dan lembah hijau. Siapa pun pasti akan terpikat oleh keindahan bumi Malang Selatan ini - kecuali aku.

Masa kuliah adalah masa terindah karena aku berhasil melarikan diri dari desa. Sayang, kebahagiaanku hanya bertahan selama empat tahun saja. Usai mendapat gelar sarjana, ibu dan bapak mendesakku pulang. Mereka bilang, hanya aku harapan mereka, sang putri si mata wayang.

Aku seakan terkurung dalam sangkar emas. Aku bagaikan kerikil kecil di tengah galaksi, tak berarti. Desa ini terlalu sepi, terlalu sunyi, terlalu monoton.

Motorku lantas berbelok pada tikungan terjal yang dikelilingi lereng curam. Di bawah sana terdapat lahan luas yang sedang dibangun menjadi resort mewah. Pembangunannya terhenti semenjak bulan lalu karena pemiliknya dikabarkan meninggal dunia. Tewas karena kecelakaan tragis. Konglomerat itu sempat menetap di desaku bersama keluarganya bertahun-tahun lalu. Akan tetapi, ketika istrinya wafat, mereka memutuskan kembali ke Ibu Kota.

Tiap kali melewati area pembangunan, hatiku selalu sembilu.

Keluarga Cooper memang sudah lama pergi meninggalkan desa ini. Namun, memori akan keberadaan mereka terkenang lekat dalam sudut hatiku.

Dia - Marv Marteen Cooper - teman masa kecil yang bertahan di benak. Satu-satunya orang yang mampu membuatku terpesona sekaligus terpana. Aku bahkan masih ingat sorot tajam dari mata biru Marv. Aku masih hafal warna rambut tebalnya yang berubah keemasan saat ditimpa sinar matahari. Aku juga masih ingat bagaimana cara hidungnya berkerut ketika mendengkus kesal.

Marv Marteen Cooper, cinta pertamaku.

Barangkali dialah penyebab standarku terlampau tinggi. Marv-lah alasan dari segala keraguanku pada Putra. Konyol memang - aku belum move on.

Telepon dari ibu membolak-balikkan duniaku 180 derajat. Ibu bilang Marv datang untuk meninjau lokasi pembangunan resort mendiang ayahnya, Jurgen Cooper.

Ibuku membuka layanan jasa boga selama 12 tahun belakangan. Keluarga Cooper merupakan salah satu langganan kami. Lalu, ketika pembangunan resort dimulai empat tahun yang lalu, ibu juga yang menyediakan catering untuk para pegawai kontruksi, tim arsitek, dan staf terkait.

Ibu bilang Marv mendadak menghubungi ibu, memesan set makanan lengkap untuk dikirimkan ke kediamannya. Semula ibu menolak karena terlalu mendadak, tetapi ibu berubah pikiran ketika Marv menawarkan upah tiga kali lipat dari harga normal.

"Oh, Tuhan ..." bisikku lirih.

Kupercepat laju motorku agar cepat sampai. Tidak sabar untuk bertemu lagi dengan cinta pertamaku.

Senyumku mengembang tiada lekang. Jantungku berdebar sampai denyutnya mengakibatkan perutku mulas. Otakku dipenuhi berjuta topik untuk mengawali pembicaraan dengan Marv nanti.

Seperti apa rupanya sekarang?

Masihkah dia mengingatku?

***

"Laaaaa ....! Ayo!"

Teriakan Ibu membuat telingaku terjepit oleh bagian pemanas pada pelurus rambut. "I-iya, Bu, sebentar!" sahutku. Aku pun buru-buru menyelesaikan riasan dan mengabaikan rasa pedih di daun telinga.

"Ngapain aja, to?" Intonasi Ibu meninggi.

"Sebentar, Bu!" jawabku tergesa. Kupulas bibirku menggunakan pewarna bibir mauve red. Kemudian kuperiksa kembali pantulan diri pada cermin. "Udah cantik." Senyumku merekah memuji diri sendiri.

Aku lantas menyusul ibu yang sudah berdiri gelisah di ambang pintu. Di sampingnya berjejer box berukuran sedang yang berisi makanan.

"Banyak sekali, Bu?" Aku menghampiri.

Ibu terbengong sambil menelisik ke arah wajahku. "Kamu kenapa, La?"

"Kenapa, kenapa, Bu?" Aku ikut bingung.

"Mukamu kok menor sekali? Selain itu, kenapa bibirmu? Seperti habis makan bayi."

Aku mendengkus. "Ih, Ibu! Kok gitu, sih?"

"Merah sekali, lho, Nduk," ujar Ibu menggelengkan kepala.

Aku pun meraih tisu dan mengelap bibirku dengan kesal. Perkataan ibu sungguh membunuh kepercayaan diriku.

"Ayo, ini tolong diangkat, dimasukkan ke dalam mobil. Ibu khawatir putranya Pak Cooper menunggu terlalu lama," titah Ibu.

"Iya." Aku menuruti Ibu.

"Apa, ya, habis pesan makanan sebegini banyak," gumam Ibu. "Ah, namanya juga orang kaya."

"Dia sendirian, Bu?" selidikku.

Ibu mengendikkan bahu. "Tidak tahu. Mungkin sama ibu sambungnya."

Setelah selesai memasukkan kotak makanan ke dalam mobil, aku pun beralih menuju kursi kemudi dan menyalakan mesin. Jemariku gemetaran karena sebentar lagi akan bertemu dengan Marv. Sungguh, takdir Tuhan karena bapak tiba-tiba harus ke kota. Ibu tidak bisa mengemudikan motor mau pun mobil. Oleh karena itu, tiap kali mengantarkan makanan, bapak yang bertugas menjadi sopirnya. Kalau bapak tidak ada, akulah gantinya.

Secara hati-hati aku mengendarai Toyota tua milik keluargaku melewati jalanan menukik yang berkelok tajam. Kediaman keluarga Cooper berada jauh dari pemukiman warga; sebuah rumah tinggal mewah yang memiliki halaman luas, kolam renang pribadi, dan bahkan sebuah istal.

Dari cerita yang kudengar saat masih kecil, ibu Marv merupakan penduduk asli desa ini. Dia dan Jurgen Cooper saling jatuh cinta, hingga memutuskan menikah dan menetap di desa. Namun, ketika Marv lahir, keluarga Cooper pun pindah ke Jakarta.

Keluarga Cooper mendadak kembali ke mari tatkala ibu Marv didiagnosis kanker. Ibunya ingin menghabiskan sisa hidup di desa kelahirannya. Setahun setelah mereka kembali, ibu Marv akhirnya meninggal.

Aku dan Marv saling mengenal ketika usia kami menginjak delapan tahun. Dia adalah murid baru di sekolahku.

Dulu - aku dan Marv sering menghabiskan waktu bersama. Bisa dibilang, kami tak terpisahkan. Akan tetapi kebersamaanku dan Marv tidak berlangsung lama karena keluarga Cooper kembali lagi ke Ibu Kota selepas ia lulus SMP.

"Ayo, La, lekas diturunkan makanannya. Takut keburu dingin." Ibu turun dari mobil dan segera beralih ke belakang. Ia meraih beberapa kotak dan membawanya dengan hati-hati.

Aku berulang kali menelan saliva.

Demi Tuhan - perasaanku semakin berkecamuk menjelang reuni bersama Marv. Jantungku sungguh hampir meledak. Aku sama sekali belum mempersiapkan diri untuk kembali melihat tatapan memabukkan dari sepasang mata biru Marv. Kakiku mendadak kehilangan kekuatan ketika ibu menekan bel pintu masuk.

Nyaliku ciut dan ingin menghilang saja.

"Permisi!" kata Ibu mengucap salam.

Tak selang berapa lama, suara berat seorang lelaki terdengar dari dalam. "Ya!"

Jiwaku sontak meronta. Ragaku hendak berlari tetapi mematung tak bisa ke mana-mana.

Lalu, sesosok lelaki bertubuh jangkung membukakan kami pintu. Sebagian rahang, dagu, dan atas bibirnya dipenuhi bakal rambut kasar. Kedua alis lelaki itu sangat tebal membingkai sepasang iris blue sapphire. Sepasang mata yang kutahu milik siapa - Marv.

"Ehm, Ibu Juliati?"

"Betul. Saya antar pesanan makanan," ujar Ibu.

Aku mengambil napas seraya memberanikan diri maju selangkah. Untuk sepersekian detik, tatapanku dan Marv saling beradu.

Bibirku gemetar. Lidahku kelu bukan main.

"Masuklah, dan letakkan di meja itu." Marv melebarkan pintu dan mempersilahkan kami masuk.

Aku menyorot Marv tiada putus. Ia memiringkan tubuh tingginya untuk menciptakan ruang bagiku lewat.

"M-Marv ..." sapaku.

Marv melirikku tak acuh.

"Masih ingat denganku?" Aku melebarkan bibir demi menciptakan lengkungan senyum.

Sebelah alis Marv terangkat. Ia memandangiku dari atas ke bawah. Aku serasa mau pingsan akibat cara Marv menatapku.

"Aku Lila, Marv. Kalila Eva," ujarku.

Marv mengernyih dingin.

"Lila?" ulang Marv. "Sorry, I don't even remember who you are."

Darls!

F3TISH bisa kamu baca jalur cepat lewat karyakarsa, lho. Buat yang gakmau download apk, it's okaaaay, Karyakarsa bisa dibaca/dibuka lewat website kok 🖤

Join grup chat ayana di telegram dengan cara search ayanaann2727 🖤




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top