Visit

"Aku bukan wanita yang kompleks, aku mudah bahagia karena hal-hal sepele"

- Feya Ryuuna -

🍀

Feya lemah untuk urusan menghapal jalan. Dari sekolah sampai rumah pun harus diingatkan sampai sembilan kali, barulah bisa selamat sampai tujuan.

Hari ini ia berniat melakukan perjalanan kecil-kecilan. Rumah Rean. Karena radar navigatornya amat buruk, Feya sengaja membuat peta. Dibantu oleh Eza tadi malam.

Sebenarnya, perjanjian dengan Eza semalam adalah Feya dijemput dan naik bus bersama ke rumah Rean. Tapi Feya terlalu antusias. Hari itu, ia bahkan bangun lebih awal daripada weker-nya. Mandi lebih pagi, bahkan pergi sebelum Yicky sadar dari tidurnya.

Dengan berbekal peta mirip coretan anak TK, Feya nekat menaiki bus sendirian. Hatinya kalut, tapi berdebar-debar. Semacam petualangan dari gadis yang hobinya nyasar.

Feya menitipkan pesan pada kondektur untuk turun di Kencana Resident. Ia cukup rewel menanyai pak kondektur di tiap perempatan. Dan berkali-kali pula ia dapat jawaban yang sama. "Masih jauh, neng!"

Ah, wakatta!

Bus melaju sedang dengan jumlah penumpang bisa dihitung jari. Hembusan AC meniup ubun-ubun Feya hingga kepalanya sedingin es. Kursi yang kosong, membuat Feya leluasa berpindah-pindah ke depan, ke belakang, kanan, kiri, yang terakhir tiba di samping sopir bus yang berumur setengah baya.

"Pak, pak... Kencana Resident yang itu bukan, pak?" Feya menunjuk di sebuah gapura besar dengan tulisan balok terpajang di pintu masuknya. Pak sopir terkekeh, belum pernah selama hidupnya direcoki gadis berwajah japannese tentang rute jalan.

Bus menurunkan kecepatan. Perlahan badan bus dibawa ke pinggir jalan, tepat ke depan gapura bertuliskan Kencana Resident. Setelah telak berhenti, pintu terbuka memuntahkan Feya yang turun dengan cara melompat. HUP!

"Ja ne~ arigatou gozaimasu!" Feya melambai dengan penuh energik. Tanpa sadar energi positifnya menular pada pak sopir juga kondektur yang terkekeh melihat tingkahnya. Bus menghilang di jalanan padat pengendara.

Feya membeberkan peta seukuran postcard. Menandai tulisan Gapura dengan telunjuknya sebab ia ada di sana, sebagai titik awal.

Peta hanyalah coretan garis biasa tanpa didampingi kemampuan navigasi. Feya memiringkan kepala melihat peta tersebut, menggaruk lehernya dan kemudian matanya pusing. Padahal dia yang buat, tapi ia lupa setelah gapura lalu arah selanjutnya kemana.

Cukup lama Feya memutar-mutar peta seukuran postcard mencoba paham. Nihil, satu menit sudah lewat dan Feya tidak mengerti sama sekali.

Uuh, wakaranai~ (1)

Feya hempaskan peta ke tas kecilnya lagi. Sekarang tinggal memanggil nalurinya untuk mencari. Toh, perumahan ini punya ujung, yang pasti rumah Rean ada di antara rumah-rumah tersebut.

Telepon Kaichou?

Ii yo, betsuni~ (2)

Kepercayaan diri Feya muncul. Justru akan bagus kalau Feya bisa menemukannya sendiri. Jodoh tak akan lari, bukan?

Feya mulai berjalan, langkah kakinya ringan seperti sedang menari. Pemandangan sekitar tak luput dari indera penglihatannya.

Kawasan cluster di sana terbilang cukup elit dengan view pegunungan juga pohon-pohon cemara yang masih asri. Jalannya beraspal, rumah satu dan lain terpisah oleh pagar pembatas, juga pohon pinus yang berjajar di pinggir jalan.

Huf! Sudah sampai sejauh ini Feya hanya bisa menarik napas panjang. Dalam hati ia berdoa datang keajaiban dan bertemu Rean atau Eza, atau pak Irdan. Yang mana saja.

Salah satu pagar terbuka dan menampilkan sosok pemuda telanjang dada sedang mencuci motor. Feya mendekat, memperhatikan bagian belakang tubuhnya. Bukan badan milik salah satu laki-laki yang ingin dijumpainya, tapi apa salahnya bertanya.

"Sumimasen!" (3) Feya bicara lantang sampai pemuda itu menoleh ke belakang.

"Ano~ apa kamu tahu rumah Rean-kun?"

"Siapa?"

"Rean-kun, maksudku... Rean Kainand!"

Pemuda itu bangkit, ia menaruh sponge untuk membasuh motornya ke ember. Entah disengaja atau tidak, pemuda itu malah mengencangkan ototnya hingga perut ABS menjadi pemandangan panas. Pemuda itu bahkan menghampiri Feya di pintu pagar.

"Siapa katamu tadi?" tanyanya sembari memasang angle 45 derajat mirip fotomodel beraksi.

"Re-Rean..." Feya terbata sebab pemuda itu melancarkan kedipan sebelah mata, berniat menggoda.

"Eeeh, atau rumah pak Irdan deh," Feya tidak termakan serangan otot bisep, perut ABS, ataupun kerlingan mata genit. Ia ngotot bertanya rumah Rean.

"Owhh, rumah pak guru? Aku tahu rumahnya," ucap pemuda itu.

"Hontou ka?"

"Mm... kamu... orang Jepang? Manis juga."

Pemuda itu maju selangkah, tangannya terjulur menuju pipi Feya, untungnya Feya sigap dan mundur dua langkah.

"Mau aku kasih tau ga?"

"Eeehh, eng.. engga usah deh," Feya mulai merasa risih.

Feya merasa tidak nyaman, terlebih pemuda itu mencoba makin dekat. Mata Feya membulat, sinyal bahaya nampak jelas di matanya. Feya menghitung dalam hati merencanakan pelarian dari si pemuda perut ABS.

1... 2... 3...

Feya tancap gas, kaki mungilnya lincah bertolak dari tempat tersebut. Si pemuda bahkan tidak diberi kesempatan untuk menangkapnya. Feya kabur. Larinya sangat cepat. Wussshh!!

Tidak sadar karena terus melihat ke arah si pemuda, Feya bertabrakan dengan seseorang di trotoar. Badan kecilnya terpental beberapa senti ke belakang. Feya spontan berteriak.

"Feya?" panggil orang itu.

Feya mendongak. "Irdan sensei~" teriaknya girang.

"Rumah kamu di sekitar sini, Feya?"

Feya menggeleng. "Engga, aku mau ke rumah Irdan sensei!"

"Rumahku?"

"Heem, mau ketemu Rean-kun!" ucapnya polos.

Pak Irdan tersenyum. "Rean?"

"Sou desu, Irdan sensei!" Feya mengangguk cepat. Pak Irdan tertawa kemudian. Ini bukan kali pertama ia tahu kalau Feya menyukai ponakannya. Gadis ini cukup agresif mendekati laki-laki yang pendiam semacam Rean.

"Pagi gini Rean pasti belum bangun. Kamu mau tunggu dia bangun?"

"Mauuuu!" mata Feya berbinar.

"Yaudah, ayo ke rumah!"

Mereka jalan berdampingan menuju rumah yang Feya cari-cari. Hingga tibalah pada sebuah rumah dua tingkat berwarna abu-abu. Pagarnya tinggi menjulang, tak ada yang bisa melihat keadaan halaman rumah.

Pak Irdan membuka pagar dengan cara geser. Pemandangan di balik pagar mulai terungkap. Halamannya luas, terpasang paving block sampai ke depan pintu. Pohon-pohon bonsai dari ukuran kecil sampai besar terpajang di sana. Sangat alami.

"Ayo masuk!" ajak pak Irdan.

Feya berkeliling di sekitar ruang tamu. Tidak banyak yang terdapat di sana kecuali sofa, meja, dan satu lemari kecil tempat piala juga beberapa foto berpigura.

"Bapak ambilkan minum dulu ya," pamit pak Irdan seraya berjalan menuju dapur.

"Eeto~ Irdan sensei... dimana Rean-kun?" dari tadi kalimat itu yang ingin ia tanyakan.

"Di atas, di kamarnya!" pak Irdan mengacungkan telunjuk ke arah sebuah kamar.

"Emm... aku mau ke kamar Rean-kun, boleh?"

Pak Irdan tertawa. "Silahkan, selagi Rean masih tidur. Kalau dia udah bangun dia pasti marah besar."

"Wakarimasu~ aku ga akan mengeluarkan suara apapun. Aku akan jadi ninja."

Pak Irdan mengangguk sekali, kemudian melanjutkan perjalanan ke dapur.

Tentu saja, setelah dapat izin dari empunya rumah, Feya melesat naik ke lantai atas. Ia menghampiri kamar dengan cat abu-abu. Kalau ia mujur, kamar itu tidak terkunci dan Feya leluasa mengintip di sana.

Yatta! Kamarnya terbuka.

Feya membuka perlahan. Pelan sekali hingga menampilkan sosok Rean diatas ranjang. Feya tersenyum sumringah. Sungguh pemandangan langka bisa melihat Rean tidur di atas ranjangnya. Sisi kotornya bahkan membayangkan Rean tidak mengenakan apapun saat tidur. Tidak, Rean tidak segila bayangannya.

Feya berjinjit untuk melihat close up wajah Rean di samping ranjang. Gerakannya sepelan mungkin takut Rean terbangun dan mengusirnya.

Ia telah sampai. Wajah Rean kini jadi pemandangan tunggal baginya. Pipinya merona, ia merasa jadi wanita paling bahagia di dunia.

Memang, melihat langsung dengan hasil difoto sangat jauh berbeda. Meskipun Sairudi memberinya ratusan foto, tetap yang terindah adalah wajah Rean yang asli.

Mata Feya terpancing untuk menyapu sekeliling ruangan. Ada yang bilang, pribadi seseorang terletak pada kamarnya. Makin berantakan menandakan kurangnya kedisiplinan dari si pemilik kamar.

Kamar Rean terbilang rapi untuk ukuran seorang laki-laki tanpa ibu. Lemari, meja belajar, rak buku, gantungan baju, semua tertata apik di tempat-tempat semestinya.

Satu yang jadi penarik perhatian Feya yaitu sebuah foto yang dipigura besar-besar. Letaknya sangat strategis sehingga dari sisi manapun foto itu akan terlihat menonjol.

Foto dua anak berdiri berdampingan dan akrab. Salah satunya merangkul anak yang lain. Senyum yang polos milik keduanya menandakan jelas bahwa dua orang itu amatlah dekat.

Tidak sulit untuk mengenali dua anak tersebut sebagai Rean dan Eza. Garis muka mereka sama bahkan saat masih bocah.

Feya miris. Baru tahu, hubungan dua laki-laki yang sekarang saling dingin itu, dulu sangat intens. Poin terbaiknya adalah ternyata Rean masih menganggap pertemanan itu. Buktinya foto itu masih melekat di dinding kamar Rean. Di tempat yang mulia, terbaik dari segala posisi.

Kegiatan menjelajah Feya telah usai, ia kembali pada wajah Rean yang masih terlelap.

Saat itu pula, kelopak mata Rean mengernyit. Sebuah mimpi mengganggu tidur nyenyaknya. Seperti dapat tusukan Rean mengerang sambil membalikkan badannya hingga terlentang.

Feya hanya menyaksikan. Bola matanya membulat, kaget karena gerakan yang tiba-tiba, juga karena Rean mengangkat tangan hingga ketiaknya terlihat. Menurut Feya itu sangat seksi. Pemuda dengan perut ABS tadi kalah mutlak oleh Rean.

"Owh!!" Feya mendesah tanpa bisa dikontrol.

Tentu saja, suara itu kedengaran oleh Rean. Ia membuka matanya, menangkap basah Feya yang sedang menutup mulut karena suara barusan.

"Heh, kenapa kamu di sini?" marah Rean.

Ia bangkit dan duduk di ranjangnya. Gestur tubuhnya menjelaskan bahwa ia tidak suka ada Feya di sana. Di teritori miliknya.

"Aaa~ ohayou!!"

Feya malah cengengesan melihat Rean yang keningnya bertautan.

"Ngapain kamu?" suara Rean meninggi.

Bukannya menjawab, Feya malah menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

Rean bangkit dan mendorong Feya jauh keluar pintu. BLAM!! Suara debuman keras pintu membuat Feya terhenyak. Ia membalik dan berusaha memutar kenop, sayangnya Rean sudah mengunci itu. Rupanya ia tidak mau kecolongan yang kedua kalinya.

Huh, baka dayou~ (4)

Feya turun karena pak Irdan memanggilnya. Suara debuman itu menjadi bukti kalau Feya baru saja diusir.

"Rean udah bangun?" tebak pak Irdan lalu mendapat anggukan kepala dari Feya. Pak Irdan tersenyum melihat bibir Feya mengerucut seperti bebek.

"Feya suka sandwich? Daripada manyun, kita sarapan sandwich dulu yuk!" tawar pak Irdan.

"Mau!" Feya turun tangga dengan cara melompat-lompat seperti kuda. KETEPROK KETEPROK! suaranya bahkan mirip.

Pak Irdan menyajikan sandwich isi telur di atas meja makan. Feya duduk tepat di depan piring sandwich tersaji. Tanpa pikir panjang langsung menyabet dan melahapnya dengan nikmat.

"Ittadakimasu~" (5)

Pak Irdan duduk di seberang kursi Feya. Tidak seperti Feya yang lahap dengan makanannya, pak Irdan lebih memilih menyesap kopi robusta. Pak Irdan melirik kamar Rean, dan kemudian berteriak.

"Rean, turunlah! Aku buatkan sandwich telur kesukaan kamu," katanya setengah berteriak. Mendengar itu Feya bersemangat. Itu artinya mereka akan satu meja. Bertatapan.

Ponsel Feya berdering, sebuah pesan masuk.

Eza Harudi : Feya, kamu dimana?

Oh, Feya lupa soal Eza. Buru-buru ia membalas setelah menjilati jari-jarinya dari minyak.

Feya Ryuuna : Gomen ne Kaichou, aku udah di rumah Rean-kun.

Eza Harudi : Kok bisa? Pergi sendiri? Sekarang lagi di sana?

Feya Ryuuna : Haik!

Eza Harudi : Nyasar ga tadi? Rean ada di rumah? Ada pak Irdan ga?

Feya Ryuuna : Kaichou kesini aja, nih aku dikasih sandwich sama sensei

Eza Harudi : Yaudah tunggu, aku ke situ sekarang

"Siapa?" tanya pak Irdan setelah menaruh cangkir berisi kopi ke meja.

"Kaichou, katanya mau kesini."

"Oh ya? Ng... udah berapa lama ya sejak terakhir dia ke sini. Mmm... kalau ga salah waktu kelulusan SMP deh."

"Sensei, Rean-kun dan Kaichou itu dulunya teman dekat ya?"

"Ya, dari SD mereka sama-sama terus. Sayangnya setelah terapi Rean, mereka agak merenggang. Bapak prihatin."

Feya sudah mendengar perkara itu dari Eza. Entah dasar motivasi apa Feya merasa harus masuk di antara keduanya. Syukur-syukur bisa memperbaiki keadaan.

Pintu kamar Rean terbuka kemudian. Sosok Rean muncul dan menuruni tangga. Feya yang melihat itu bersorak girang, karena ia bisa melihat Rean berjalan di tangga bak model si atas catwalk.

"Rean-kun!" suaranya selalu histeris.

"Kenapa cewe itu masih di sini?" suara bass Rean mengintimidasi.

"Loh kenapa, sandwich nya kan ada banyak. Bagi-bagi lah," ucap pak Irdan.

Pak Irdan bangun dan menghampiri Rean. Didorongnya halus punggung Rean yang menatap Feya tajam. Pak Irdan mendudukkan Rean di sebelah kiri kursi Feya. Semenjak bokong Rean menempel kursi, Feya bayangi dengan senyum merekah.

"Rean-kun, itadakimasu!" Feya antusias.

"Jangan berisik!" ujar Rean galak.

Feya menutup mulutnya dengan cara manis. "Haik, wakarimasu~"

Detik yang sama seseorang membunyikan bel. TING TONG!

"Oh, itu pasti Kaichou," Feya berdiri dari kursi. Tapi pak Irdan hentikan dengan tangan terangkat yang artinya 'biar aku saja.'

Memang Eza-lah yang muncul. Basa basi terdengar dari pak Irdan dan Eza. Sejurus kemudian Eza muncul di ruang tengah, mendapati Feya dan Rean duduk di satu meja.

"Hai, Kaichou!" girang Feya.

Seperti ada jarum di kaki Eza, melihat Rean di meja makan membuat ia terhenti. Pak Irdan lagi-lagi mendorong pundak seperti yang barusan ia lakukan pada Rean. Juga, mendudukkan Eza di samping Rean.

"Santai aja Za, sandwich-nya masih banyak kok!"

Kecanggungan mulai hinggap di antara ketiga orang itu. Rean seolah tidak peduli, hanya makan dengan wajah datar. Eza memandangi Rean tapi tidak berucap apa-apa. Sedangkan Feya, memperhatikan kedua laki-laki yang sedang melangsungkan perang dingin.

Untuk kemudian Eza bangkit berdiri dan berkata, "Feya, ayo pergi ke rumahku?"

"Iie, aku mau sama Rean-kun," tolak Feya.

"Di rumahku ada kucing dan anjing," Eza tidak berhenti membujuk.

"Aaa~ hontou ka?"

Mendadak Eza tidak tenang. Entah apa yang dipikirkannya, ia serius meminta Feya pergi. Ia bahkan menyeret Feya paksa hingga berada di belakang tubuhnya.

"Aaaa~ chotto matte, Kaichou!" Feya menarik lengannya lemah. Kepalanya memutar ke arah Rean. "Matta ashita, Rean-kun!" Feya menambahkan kecupan jarak jauh sebagai perpisahan.

Rean bergeming. Masih asyik dengan sandwich-nya. Hanya pak Irdan yang mengantarkan ke pintu. Sedangkan Rean memandang punggung kecil itu setelah mereka menghilang dari pintu.

Aneh, mendadak ia merasa ingin lebih lama dengan gadis itu. Rean menghela napas panjang.

🍀

F I N


Kamus :

(1) Wakaranai = Aku ga tahu
(2) Ii yo, betsuni = Ga apa-apa, ga masalah
(3) sumimasen = maaf
(4) baka dayou = dasar bodoh
(5) Ittadakimasu = selamat makan

=================


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top