The Voice I Missed
"Berapapun, aku tidak mau membayar untuk rindu seseorang."
- Rean Kainand -
🍀
Ada yang berbeda dengan Rean. Sejak kecil ia punya kelebihan yang didapat dari ayahnya. Yaitu peka terhadap suara. Ia bisa mendengar dengan jelas suara sekecil atau sejauh apapun.
Meskipun itu seperti bakat untuknya, tapi Rean benci itu semua. Tak jarang ia memikirkan cara untuk menutup rapat telinganya agar tidak dengar apapun. Cara seperti memasang headset sudah berkali-kali ia lakukan. Namun yang ia tangkap selanjutnya adalah suara desahan napasnya sendiri, juga degup jantung yang menurutnya lebih mengerikan.
Cara satu-satunya yang aman menurut Rean adalah tidur. Tidak akan ada yang didengarnya saat tertidur. Itulah kenapa di setiap kesempatan Rean selalu memilih untuk tidur.
Dunia terlalu berisik. Terlalu banyak suara yang tak penting. Deru motor di jalanan, suara menguap, suara cekikikan, gesekan sol sepatu ke lantai, ataupun burung gereja yang bercicit. Suara yang sama. Monoton. Membosankan.
Diantara semua suara yang ia dengar, yang paling dibenci adalah suara dari ruang musik. Segala sesuatu yang terdengar dari sana membuat Rean sesak. Bukan takut, lebih kepada menekan bagian dada saat sebuah melodi sampai ke gendang telinganya.
Rean tidak mau dan tidak akan pernah mendekat sejengkalpun dari ruangan tersebut. Semua bunyi-bunyi dari sana membuat kepalanya pening, mabuk, terkadang merasa ingin muntah.
Tapi kemarin itu lain. Rean sedang tidur di gudang olahraga. Sayup-sayup suara nyanyian Feya tertangkap telinganya. Sebisa mungkin Rean menutup telinga, berguling resah ketika telinganya semakin peka hingga jantung berdebar cepat. Ia ingin menghentikan sumber suara, tapi kebenciaannya pada ruang musik menghalangi.
Satu-satunya cara, ia harus menghentikan siapapun yang bernyanyi, meski itu artinya ia harus menginjakkan kaki ke tempat yang dibenci.
Langkah kakinya terasa berat, medan gravitasi seolah melarangnya mendekat ruang musik. Nyanyian itu makin membahana, kemudian Rean tertegun saat sadar lagu yang sedang mengalun.
Hitomi wo Tojite.
Dari jutaan lagu di dunia yang paling dibencinya adalah lagu itu.
Rean tidak bisa tenang, lagu itu berhasil membawa kenangan buruk yang ingin dia lupakan. Napasnya naik turun, giginya gemetrukan. Rean dilahap amarah.
Dan amarah itu memuncak ketika Rean melihat laki-laki itu yang mengiringi piano.
Ya, Eza...
Ia sangat ingat bagaimana laki-laki itu pernah besar di kepalanya dan menyandang gelar sebagai sahabat. Ia juga ingat pernah mengatakan pada Eza arti lagu itu untuknya. Sekarang laki-laki itu di depan piano sana. Jari-jarinya lincah memainkan musik terlarang untuknya.
Sialan!!
Rean membanting pintu, dicarinya kerah baju Eza dan bogeman mentah melayang ke wajah mulus si Ketua OSIS.
Perkelahian itu terjadi. Dua laki-laki yang dulu saling tertawa memainkan tuts demi tuts, kini saling memaki, menghajar, tidak kenal rasa kasihan.
Bagian terburuknya adalah pukulan Rean mengenai Feya. Tidak ada yang lebih buruk dari menghajar seorang wanita. Sangat pengecut.
🍀
Rean merebahkan diri di kasurnya yang empuk. Kejadian tempo hari menghantui malam-malamnya. Langit-langit kamar sekarang mendominasi indera penglihatan. Putih bersih dan membosankan.
Tak lama kemudian handphonenya berbunyi nyaring. Sebuah nada khas dari Whatsapp. Bukan sekali, nada itu bertubi-tubi mencemari telinga Rean.
Rean menghela napas. Nampaknya ia tahu siapa yang melakukan chat sebanyak itu.
Diraihnya handphone, layar menunjukkan chat sebanyak 20 lebih dari nomor tidak dikenal. Namun dari foto profil saja Rean bisa tahu. Si gadis Jepang itu.
"Rean-kun~ konbanwa~"
"Coba tebak aku dapat nomornya dari mana? Haik, Irdan sensei yang kasih aku.. Yatta!!"
"Eeto~ tentang kejadian kemarin, gomen ne... aku ga tahu kalo Rean-kun ga suka lagu itu, harusnya aku ga nyanyi, aku ga mau bikin Rean-kun marah... :(("
"Kalo Rean-kun minta aku diam, aku akan diam... kalo Rean-kun minta aku pergi, aku akan pergi..."
"Asal jangan benci sama aku... aku udah kecanduan Rean-kun. Asalkan bisa lihat Rean-kun setiap hari aja aku udah bahagia."
"Rean-kun ga usah melakukan apapun, cukup berada di sekitarku aja, itu cukup..."
"Ano~ tolong balas chat ku sekali aja, setelah itu aku akan tidur nyenyak."
"Rean-kun... Aitakatta!!" (1)
Cukup lama Rean terdiam. Suara detak jam memburu bersamaan dengan tarikan napasnya. Rean menatap langit-langit kamar, menerawang. Pikirannya berlari pada kejadian kemarin siang.
Rean menatap layar handphone lagi. Kemudian jari-jarinya menekan huruf demi huruf menjadi kata, dan menekan tombol send...
"HEH!!"
Ada jeda sekian detik sampai layar handphone menampilkan tanda 'sedang menulis.'
Feya_Ryuuna : "Nani? (2) Rean-kun balas chat aku? Kyaaaa~ yokatta ne! (3)"
Kainand Rean : "UDAH KUBILANG JANGAN GANGGU!"
Feya_Ryuuna : "Eee~ aku ga mimpi kan, ini beneran Rean-kun? Cubit aku kalo ini bukan mimpi. Kyaaaa~"
Kainand Rean : "Kamu mau aku pukul lagi."
Feya_Ryuuna : "Jangan. Hehehe~ aku maunya disayang bukan dipukul :p"
Kainand Rean : "HOEK!"
Feya_Ryuuna : "Rean-kun... Kenapa ga masuk sekolah? Rean-kun sakit? Mau aku jenguk? Aku bawa obat ya, aku urus deh!"
Kainand Rean : "Aku ga sakit."
Feya_Ryuuna : "Terus kenapa ga masuk?"
Kainand Rean : "Males."
Feya_Ryuuna : "Males sekolah?"
Kainand Rean : "Males ketemu kamu, bego!"
Feya_Ryuuna : "Nani? Kan aku ga ganggu Rean-kun."
Kainand Rean : "BISA GA SIH SEHARI AJA GA BERISIK."
Feya_Ryuuna : "Oke deh, kalo ketemu Rean-kun aku ga akan berisik."
Kainand Rean : "Aku ga mau ketemu kamu."
Feya_Ryuuna : "Diam-diam deh, asalkan aku lihat Rean-kun."
Kainand Rean : "Kamu gila."
Feya_Ryuuna : "Gila sama Rean-kun. Chuuu~"
Kainand Rean : "BERHENTI CHAT AKU. ATAU AKU BLOKIR."
Feya_Ryuuna : "Eee~ dame... Aku masih mau ngobrol sama Rean-kun, meskipun cuma lewat chat tapi aku seneng. "
Kainand Rean : "UH, MASA BODO!!!"
Rean sudah lelah. Lewat satu tombol saja ia leluasa memblokir nomor si gadis Jepang. Ia tidak peduli lagi. Menanggapi gadis berisik itu sama saja menyiksa indera pendengarnya.
Dan malam itu Rean sempurna menutup hari dengan tidur meringkuk seperti bayi dalam kandungan.
Ajaib, malam-malam sebelumnya Rean tidak pernah bisa tidur walau cuma sekejap. Suara di masa lalu selalu berhasil membangunkan. Tapi malam ini lain. Ia terlelap dalam buaian mimpi. Di mimpinya ada gadis Jepang itu. Ia sedang tersenyum menawan dan mendendangkan kata yang sama berulang-ulang.
Rean-kun...
🍀
Feya selalu mengganggu. Setiap saat, ia muncul dengan heboh dan mendendangkan kata-kata dengan bising. Rean-kun! Rean-kun! Energinya tidak pernah habis. Gadis itu dikaruniai tenaga yang tidak masuk akal, terutama di mulutnya.
Awalnya Rean acuh, tapi lama-lama gadis itu semakin menjadi. Suara melengkingnya membuat Rean paranoid. Mengancamnya seperti pertemuan pertama tidak membuahkan hasil. Gadis itu keras kepala. Tidak takut pada Rean yang membentaknya atau melotot tajam tak ingin diganggu.
Rean tidak punya pilihan selain menghindar. Dalam radius bermeter-meter suara Feya ditangkap telinganya, Rean akan mencari tempat persembunyian. Meminimalisir pertemuan.
Seperti kali ini, bel istirahat sekolah telah berbunyi dan Feya menunggu Rean di depan kelasnya. Siapa sangka Rean harus repot-repot melompat dari jendela samping mejanya untuk kabur dari Feya.
Berhasil, tidak ketahuan. Namun suara berdebum di lantai menarik perhatian Feya. Langkah kaki gadis itupun kedengaran di telinga Rean, berlari menuju sumber suara. Dengan kata lain menemukan jalan kabur Rean. Rean mempercepat larinya. Berbelok ke lorong kelas XI.
Rean bisa menangkap suara napasnya yang terengah-engah. Ia kesal karena suara jantungnya pun ikut memburu, berdetak seiring langkah kaki.
Rean tak tahu lagi, ia asal mendorong pintu ruang UKS yang sepi. Menutup dan mengunci pintu setelah seluruh tubuhnya resmi masuk ruangan. Rean menggelosor di bawah pintu, menyembunyikan sosoknya dari jendela di samping pintu.
Rean mengenali suara langkah kaki Feya. Langkah yang pendek tapi cepat.
TAP! TAP! TAP!
Feya tidak sadar Rean masuk ke salah satu ruangan. Feya melewatinya dan pergi.
Rean bisa bernapas lega sekarang. Ia membenamkan wajah dan mengacak rambutnya. Rean tidak habis pikir. Gadis Jepang itu sungguh gila. Selalu saja sosoknya ada dimanapun.
Dibanding suaranya, yang paling menakutkan adalah tatapan matanya. Sekali ia menatap wajah Rean, ia akan mengunci pandangannya tanpa berkedip dengan bola mata bulat dan besar. Rean merasa aneh dengan tatapan itu. Seperti ada arti tersembunyi. Bukan sekedar tatapan gadis yang sedang jatuh cinta. Lebih dalam dari itu.
Rean tidak sadar di ruangan itu ada orang lain selain dirinya. Bagaimana tidak, orang itu tertutupi tirai mengelilingi ranjang tidur. Ia sedang berbaring saat Rean masuk tadi. Sekarang, karena beberapa hal orang itu terbangun dan membuka tirai di atas ranjangnya.
SREK!!!
Kontan Rean menoleh.
Pupil mata Rean sedikit membesar ketika menyadari yang sedang berbaring itu adalah orang yang dikenalnya. Seorang gadis dengan rambut pirang dan hidung mancung. Wajahnya pucat seperti menahan sakit, kedua tangannya melingkar di perut, sumber sakitnya ada di sana.
Gadis itu melihat Rean juga. Tanpa sepatah katapun ia turun dari ranjang. Membuang muka dan menghampiri pintu. Selama gadis itu berjalan, tatapan Rean tak lepas darinya.
"Minggir!" itu saja kata darinya. Dari gadis dengan papan nama Ariasanny di dada kanannya.
Rean mematung. Bukan apa-apa. Suara gadis itu, meskipun hanya sedikit dan pelan, tapi membuat Rean mati rasa. Karena sejujurnya dari semua suara yang ada di dunia, hanya satu yang Rean sukai. Suara milik gadis yang sekarang berada di hadapannya ini.
Sanny tidak berucap lagi, hanya mendelik. Sanny tahu perihal kesukaan laki-laki ini pada suaranya. Detik itu Sanny membungkam mulutnya. Ia memilih diam. Enggan untuk didengarkan pada pria di masa lalu yang sudah menyakiti hatinya. Untuknya, Sanny lebih memilih bisu. Diam seribu bahasa.
Detik itu Rean memanfaatkannya untuk merekam suara Sanny. Suara degup jantungnya, desahan napas yang tak beraturan. Juga detak jam seakan mengisi kekosongan diantara mereka. Bagaimanapun ia merindukan suara Sanny. Rean merindukan gadis ini.
Alih-alih melakukan sesuatu, Rean hanya bisa menunduk. Teringat lagi kejadian di masa lalu yang membuatnya malu untuk sekedar menatap bola mata Sanny.
Meskipun Rean sangat ingin mendengar suara Sanny, ataupun sangat merindukannya, tapi ia tidak bisa apa-apa. Selain menghindar dari pintu. Mempersilahkan Sanny keluar dari ruangan.
Sanny tetap tidak berucap sampai sosoknya menghilang di ujung lorong. Seperti sengaja sedang menghukum laki-laki yang rapuh ini.
🍀
F I N
Kamus :
(1) Aitakatta : Aku kangen
(2) Nani : Apa
(3) Yokatta : Syukurlah!
====================
Follow IG @liani.april_ untuk tahu kabar terupdate dari F.E.A.R
Dont forget like and comment
See you~
Happy reading
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top