Story of Sanny (part 3)
"Marah lebih masuk akal daripada putus asa."
- Eza Harudi -
🍀
"Aku suka kamu, Eza!"
Kalimat itu meluncur tanpa bisa tertahankan. Kali ini Eza mendengarnya dengan baik. Saking jelasnya, ia hanya bisa termangu menatap binar mata Sanny.
"Apa?" Eza hanya memastikan. Berharap ia salah dengar. Karena bila benar, Sanny benar-benar gila.
"Aku suka kamu. Dari awal kita ketemu aku memilihmu jadi laki-laki yang aku mau," jawab Sanny sembari memilin ujung bajunya.
"Sanny... kamu sadar ga apa yang kamu bilang ini..."
"Tahu, aku tahu. Mungkin ini ga adil buat Rean, tapi aku terima dia karena aku ingin dekat sama kamu. Tujuanku adalah kamu, Za!"
Eza buang muka, menggeleng berkali-kali. Ini bukan kali pertama ia dapat pernyataan cinta, biasanya selalu ia selesaikan dengan mudah. Masalahnya adalah orang yang menyatakan cinta kali ini adalah pacar Rean. Sahabatnya sendiri.
"Engga, kamu pasti lagi bercanda," gumam Eza kemudian.
"Aku serius Eza."
"Sanny... kamu pacar Rean."
"Terus kenapa? Memang, aku bersalah karena memanfaatkan Rean. Tapi perasaanku ga bisa dibohongi."
Eza mengeraskan rahangnya. Tidak lagi muncul senyum ataupun mata teduh dari wajahnya. Eza sempurna merasa harus menegaskan satu hal.
"Kamu tahu, Sanny... Yang kamu lakukan sekarang itu bukan cuma menyakiti hati Rean, tapi kamu juga akan menghancurkan persahabatanku sama Rean."
Eza berubah serius. Ia kehilangan ketenangannya kini. Sosok laki-laki baik mendadak raib dalam detik air mata menggenang di sudut mata Sanny.
"Oke, sekarang Rean ga di sini. Tapi nanti dia akan tahu, lalu setelah itu kamu berhasil membuat skenario terburuk buat kami berdua."
Sanny mulai menitikkan air mata. Ia kecewa laki-laki idamannya berubah drastis dan menyerangnya. Mana Eza yang dia kenal?
"Sanny... Rean sangat menyukai kamu. Pertama kali dalam hidupnya ada perempuan yang buat dia jatuh cinta. Aku kecewa karena perempuan itu justru menyia-nyiakan rasa suka dia yang tulus."
Sanny menunduk, ia mulai terisak. Eza tidak berhenti mencecar, sekali lagi butuh penegasan.
"Lupakan perasaan kamu ke aku, Sanny. Ini belum terlambat. Jangan berharap aku akan balik suka sama kamu, sampai kapanpun hal itu ga akan pernah terjadi."
Sakit... hati Sanny sangat sakit.
Sanny mendongak, ia menatap laki-laki yang mendadak tidak ia kenali ini. Ia menahan emosinya, menahan isakan yang akan membuat suaranya sumbang.
"Aku kecewa, kamu ga sebaik yang aku kira. Kamu... apa selalu seperti ini sama cewe yang nembak kamu?"
"Ga!" Eza menatap tajam. "Cuma kamu."
Air mata Sanny meleleh lagi. Seluruh badannya bergetar, kata demi kata Eza berhasil menghujam jantungnya tepat sasaran.
Bila tadi langit semarak bertaburan warna warni kembang api, sekarang semua seolah mengejek keputusan Sanny. Bila tahu akhirnya akan begini, ia lebih memilih terus bungkam. Masa bodoh dengan sandiwara.
Sanny berbalik dan pergi. Bahunya naik turun seirama dengan isakan yang memilukan. Eza melihatnya setiap langkah demi langkah. Tiba-tiba merasakan kebas di dadanya melihat punggung yang rapuh itu makin mengecil, makin menjauh.
Eza menghela napas panjang. Otaknya berputar cepat untuk mengingat-ingat lagi apa yang barusan ia katakan pada Sanny. Dadanya mendadak sakit. Ia menyesal.
Tak lama setelah itu, Rean datang. Langkah kakinya ringan, sorot mata tajam seperti akan memangsa, serta kedua tangannya mengepal di samping tubuh.
"Rean?" belum selesai Eza menyebutkan namanya tahu-tahu bogeman mentah melayang ke pipi mulus Eza.
BUAKKK!!!
Eza tersungkur ke tanah, kacamatanya lepas karena gagang yang patah hasil bogeman yang keras.
Eza melirik Rean yang tidak beranjak di posisinya. Tatapan yang tidak pernah Eza temui mampir di mata Rean. Antara kebencian dan rasa ingin membunuh beda-beda tipis.
Tidak ada dialog diantara keduanya. Hanya tatapan lemah Eza menangkap maksud Rean bergeming, bahwa ia mendengar pembicaraan dengan Sanny.
Eza menyeringai, mulutnya terasa asin. Rupanya gusi Eza sobek, darah mengucur ke sekitar mulut. Eza meludah untuk mengurangi cairan darah yang mulai terasa pahit.
Rean berada di puncak rasa emosi. Pelan-pelan telinganya berdenging nyeri. Ia meninggalkan Eza yang mulai sibuk dengan darah di mulutnya.
Rean menarik napas, mencoba mengontrol emosi sekaligus dengungan di telinganya. Bukan hanya telinganya yang sakit, tapi hatinya telah berlubang dan sesak.
Tidak ada yang tahu setiap jengkal kakinya menuju rumah, semakin dekat ia dengan petaka itu. Karena malam yang sama ibunya memutuskan mengakhiri hidup dengan menggantung diri.
🍀
Keesokan harinya, muncul kabar tentang ibu Rean yang bunuh diri. Eza yang syok pertama kali, apalagi katanya Rean dibawa ke rumah sakit karena telinganya berdengung hebat.
Tidak butuh izin untuk Eza berlari ke rumah sakit yang diberitahu pak Irdan. Meskipun gusinya masih berkedut-kedut sisa semalam, tapi kekhawatiran pada Rean mengalahkan segalanya.
Eza dihadang oleh sebuah mobil hitam di perempatan jalan. Seseorang menurunkan jendela mobil. Itu Sanny. Ia memberi isyarat agar Eza naik ke mobilnya. Bukankah akan lebih cepat sampai ke rumah sakit daripada berlari tak karuan.
Sejurus kemudian mereka sampai di kamar Rean. Keadaannya kacau balau, Rean sedang ditenangkan oleh dua dokter penjaga. Badannya menggelinjang di kasur, tepi-tepi sprei tersikap nyaris jatuh. Rean terus saja berteriak. Kedua tangannya menempel ke telinga. Nampak sangat kesakitan.
Para perawat panik dan beragumen bahwa obat bius satu-satunya jalan agar Rean tenang. Tapi sulit menyuntikkan obat bius pada Rean yang selalu bergerak. Apalagi ia mulai mengayunkan kepalan tangannya pada siapapun yang mendekat.
Sontak Sanny menangis, ini pemandangan pertama yang brutal dari seorang Rean. Sementara itu Eza mematung di dekat pintu, bola matanya melotot seperti akan copot. Mereka baru tahu tentang penyakit Rean saat itu.
Seorang perawat berteriak karena Rean tiba-tiba saja berlari dan menyergap Sanny. Rean mendorong tubuh Sanny ke tembok. Ia mencekiknya dengan sekuat tenaga. Sanny memukul-mukul lengan Rean karena cekikannya mulai terasa menyakitkan.
"HENTIKAN SUARA JANTUNGMU!"
Rean berteriak sambil tetap mencekik Sanny. Yang lain terutama Eza berusaha melepaskan tangan Rean. Sorot mata Rean mirip seperti psikopat dan serius ingin menghentikan napas Sanny. Sanny terbatuk-batuk.
Entah darimana kekuatan Rean berasal, empat orang yang berusaha melepaskan cekikan Rean tidak bisa mengalahkannya.
"REAN, SADAR REAN! ITU SANNY, KAMU SEDANG MENCEKIK SANNY!" Eza berteriak lantang di telinga Rean.
Beberapa detik Rean lengah, cekikannya terlepas dan ia diapit perawat dengan tubuh kekar. Saling adu otot dipertontonkan saat itu.
Eza menghampiri Sanny yang menggelosor di lantai. Mengelus bahu Sanny dan menyisipkan kalimat penenang di sana.
Sementara itu Rean masih berjuang dengan kesakitan di tubuhnya. Matanya memerah, urat-urat hijau mencuat di kulit putihnya, suaranya makin serak, terdengar memilukan.
"Rean... maaf..." lirih Sanny dengan air mata mengalir deras. "Maafkan aku... aku yang salah... maaf... maaf... maaf!"
Aneh, Rean sedikit merespon dengan suara Sanny. Teriakan yang tadinya lima oktaf, turun jadi tiga oktaf.
Eza yang menyadari perubahan itu. Ia meminta Sanny untuk bicara lagi.
"Sanny, ucapkan lagi sesuatu! Rean cuma merespon suaramu."
Sanny menelan ludah. Lehernya mulai terasa sakit saat air ludah turun melewatinya.
"Rean... Rean..." Sanny terus mengulang-ulang satu nama seperti kaset rusak. Dan benar, Rean merespon. Ia tak lagi menggunakan ototnya, ia membiarkan lututnya ditarik gravitasi dan terkulai di lantai. Pelan-pelan teriakan Rean mulai menipis, tinggal desahan seperti orang kelelahan.
Sanny menghampiri Rean. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Rean. Panggilannya tidak berhenti di sana. Saat itulah dokter sigap menyuntikkan obat bius ke lengan Rean. Cairan penenang itu berhasil masuk ke tubuh Rean. Tinggal menunggu waktu Rean akan terkulai lemas dan kehilangan kesadaran. Rean pingsan.
🍀
Mereka diberitahu Rean menderita Hyperacusis yaitu sensitivitas terhadap suara. Pendengarannya akan peka berkali-kali lipat ketika emosinya meningkat atau stres.
Semua suara sekecil apapun akan terdengar besar di gendang telinga Rean. Karena semua suara terdengar keras, otomatis telinga akan berdenging bahkan sampai menarik syaraf di sekitar kepala.
Karena itu, Rean harus menjalani pengobatan berupa terapi perilaku dan terapi suara. Harapan untuk sembuh begitu besar. Rean digembleng selama enam bulan bersama psikiater di Singapura. Ia dilatih untuk mengendalikan emosi juga menipiskan trauma tentang ibunya.
Dan selama itu pula pak Irdan memberitahu kalau terapi yang dijalani Rean mempengaruhi perubahan sikapnya. Ia tidak lagi punya emosi yang sama seperti orang kebanyakan. Bisa dibilang Rean harus menekan rasa marah, benci, senang, gundah, takut, bahkan rasa sukanya. Rean diperbolehkan pulang setelah dinyatakan bisa mengontrol emosinya dengan baik.
Tidak ada yang menduga bahwa saat Rean kembali ia sudah menjadi orang lain. Rean sudah kehilangan sosok dirinya di masa lalu.
Demi kebaikannya, Rean mesti mengubur dalam-dalam bagian yang menyesakkan. Termasuk melupakan Eza dan Sanny. Sebab merekalah awal mula rasa sesak itu dimulai.
🍀
F I N
===================
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top