Story of Sanny (part 1)
"Kalau tidak bisa menyenangkan, jangan menyusahkan."
- Ariasanny -
🍀
Ini cerita tentang Sanny. Jauh sebelum ia mengenal Feya juga SMA, masa-masa transisi dari anak-anak ke masa remaja. Klise.
Sanny lulusan Elementary School di Aussie. Karena beberapa hal, ia dan ayahnya diharuskan pindah ke Indonesia dan menetap di sana.
Sanny tergolong gadis introvert, pemilih, tidak banyak tingkah. Sebagian menjulukinya ratu es, dingin dan angkuh. Karena itulah sulit baginya mendapat teman. Terlebih ayahnya mengharuskan Sanny pulang pergi memakai jemputan mobil. Tidak ada waktu untuk bergaul seperti anak-anak kebanyakan.
Sejak masuk SMP, Sanny ditandai oleh beberapa orang. Sepele, karena warna rambutnya kuning keemasan, berbeda dengan warna rambut dominan orang Asia, hitam pekat.
Perihal rambut ini sudah bikin Sanny jengah, pasalnya berkali-kali ia diminta menghitamkan rambut menyalanya, alih-alih agar tidak mencolok diantara murid lainnya.
But sorry to say, Sanny bukan tipikal penurut hanya karena semua mata risih dengan warnanya. Ini warna asli rambutnya, kenapa pula semua orang mesti risih.
Untuk yang kesekian kali, Sanny dipanggil oleh kakak kelasnya. Siang itu ia disudutkan sekitar empat orang di tembok belakang sekolah. Mereka berkacak pinggang dan tatapan mata sinis seperti pemeran antagonis sebuah drama televisi.
"Heh, bule! Ga bosen ya ditegur beberapa kali. Dikiranya kita kaleng rombeng apa, hitamin tuh rambut, pengen bikin mata kita silau emangnya," nyinyir seseorang yang mengaku sebagai ketua geng.
Seorang di kanannya mendorong bahu Sanny. Keras dan provokatif.
"Nyari perhatian lu, seneng dipanggil bule kece ya lu?" katanya.
Sanny menghela napas. Sumpah, Sanny malas menanggapi hal macam ini. Buang-buang tenaga.
Makian demi makian Sanny anggap angin lalu. Air mukanya tidak berubah, tenang seperti biasa. Makanya gerombolan kakak kelas itu geram, sikap Sanny membuat mereka makin menjadi. Salah satunya mulai berani menjambak rambut Sanny. Tentu saja, dengan tarikan seperti itu siapapun akan berteriak, kecuali ia bisu.
Aaaakkhhh!!!
Detik yang sama, seorang pria secara tidak sengaja melintas di hadapan mereka. Itulah kali pertama Sanny melihat laki-laki itu.
Laki-laki itu memandang kejadian di depan matanya dengan muka datar. Entah karena terbiasa, atau sesuatu menghalangi kacamatanya.
"Kalian lagi," laki-laki itu berseru. "Ga bosen apa ngerjain adik kelas terus?"
Si ketua geng mencebik, baginya laki-laki itu mengganggu.
"Ga usah ikut campur deh, lu!"
"Gimana ga ikut campur, jelas jelas aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalian melabrak gadis ini. Kalian kurang beruntung karena aku yang datang, sebab aku bisa laporin kalian ke guru BK."
"Cih, ngancam kamu?!"
"Menurutmu? Apa aku kedengaran seperti mengancam?"
Tatapan laki-laki itu tajam, tidak ada gentar di hatinya. Rahangnya yang mengeras membuktikan bahwa ia tidak patut disepelekan.
"Aku tahu kalian punya catatan hitam dari guru BK karena kedapatan merokok di toilet, jangan sampai catatan kalian bertambah karena hal ini," lanjutnya lagi.
Bergantian, keempat pasang mata itu saling menatap satu sama lain. Sedangkan Sanny tidak lepas memandang laki-laki di hadapannya itu. Batinnya membenak, laki-laki itu adalah penyelamat.
"Ugh, kamu lagi beruntung, bule!"
Sekarang geng wanita itu mendorong kepala Sanny. Sekenanya, sebagai ungkapan kekesalan karena terganggu.
Sanny merapikan rambutnya, membuang ludah ketika geng wanita itu lari terbirit-birit takut pada si laki-laki penyelamat.
Bukan Sanny namanya kalau harus melunak dan berterima kasih, ia tidak minta, laki-laki itu kebetulan lewat.
Sanny tidak berucap apapun, melengos melewati pundak si laki-laki dengan papan nama Eza Harudi di dada kanannya.
"Hei!" Eza memanggilnya dengan nada bass yang khas. "Serius, kamu sebaiknya ga berkeliaran dengan penampilan seperti itu."
"Apa? Kamu mau mengatai aku juga karena rambutku kuning?" nada Sanny meninggi.
"Rambut? Aku ga bicara soal rambut." Eza menunjuk rok Sanny yang lima senti di atas lutut.
"Sekarang geng cewe, mungkin nanti geng laki-laki yang bakal menyerangmu. Sumpah, rok kamu pendek banget," komentar Eza pedas.
Sanny menutup lututnya dengan telapak tangan. Tiba-tiba merasa malu. Dan lagi-lagi ia gengsi untuk mengaku. Ia buang muka seperti tidak peduli.
Eza memperhatikan gelagat Sanny yang canggung. Ia tertawa tanpa suara, hanya senyuman mengulas di bibir Eza. Sanny menangkap moment itu. Dan... untuk pertama kali dadanya terasa meledak, bukan jenis yang menyesakkan tapi hangat. Kedua pipi merona, hangatnya mulai mampir di sana.
"Apa cewe-cewe itu melabrakmu karena rambut? Memangnya kenapa dengan rambutmu?"
Belum puas Eza membuat pipi Sanny hangat, sekarang laki-laki itu memiringkan kepalanya dengan pose bak foto model.
"Tau ah!" jawab Sanny galak.
Sanny tidak mau terbawa suasana, ia meninggalkan Eza yang berkerut dahinya. Sebenarnya ia ingin melarikan diri dari debaran di jantungnya. Bukan debaran yang normal. Orang awam bilang kalau itu artinya jatuh cinta.
🍀
Belakangan Sanny tahu laki-laki itu adalah kakak kelasnya. Ia populer sebagai laki-laki berkacamata yang tampan. Coba tanya seluruh murid perempuan di SMP-nya, pasti semua setuju menunjuk Eza Harudi sebagai kandidat terkuat laki-laki tampan.
Eza terbilang aktif di ekskul musik, ia juga wakil ketua OSIS dengan nilai pelajaran patut diacungi jempol. Semakin Sanny mengenal Eza, makin banyak rentetan hal yang hebat darinya.
Karena tahu fakta itu, Sanny menarik diri untuk mengurusi perasaannya. Hati kecilnya berkata Sanny menyukai Eza, tapi akal sehatnya menyanggah, ia tidak boleh terlibat lebih banyak dengan laki-laki itu. Kecuali siap patah hati karena Eza mendeklarasikan tidak suka berpacaran. Prinsipnya, pelajar untuk belajar, melekat tegas di jidatnya. Tidak bisa diganggu gugat.
Tapi, siang itu... jam istirahat sekolah. Eza khusus menemui Sanny di kelasnya. Ia duduk di depan kursi Sanny. Senyuman seribu watt miliknya tersungging tanpa paksaan.
"Hai!" sapa Eza membuat pupil mata Sanny mengecil. "Ganggu ga?"
"E-engga..." Entah kenapa Sanny jadi gugup. Tatapan Eza mencengkeramnya, membuat siapapun tidak ingin beranjak dari sana.
"Cuma mau kasih tahu, pulang sekolah nanti datang ya ke gerbang sekolah. Ada yang mau dibicarakan."
"A-aku?"
"Iya lah, kamu... si rambut kuning yang pipinya selalu merona."
Eza bangkit dari duduknya. Sanny menyayangkan pertemuan singkat itu. Rasanya ia ingin menarik tangan yang besar itu untuk menghentikannya, tapi lagi-lagi ia kalah dengan gengsi.
"Emangnya mau apa? Kalau ada perlu omongin aja sekarang," ini salah satu cara menghentikan Eza walau cuma satu detik.
"Ga bisa, ga di depan banyak orang gini. Saranku sih, lebih baik pulang sekolah nanti kamu berdandan, karena bisa jadi hari ini bakal kamu catat ke buku diary sebagai hari bahagia."
"Apa maksud kamu?"
"Ada yang mau menyatakan perasaan cinta."
Pipi Sanny sempurna memerah, bahkan sampai ke telinga. Dan yang menjadi biang keroknya malah tertawa sambil berlalu pergi.
Oh, apa rasa sukaku berbalas?
Sanny tidak bisa tenang di pelajaran selanjutnya sampai jam pulang istirahat berbunyi nyaring. Ia tidak lantas datang ke gerbang seperti pinta Eza. Dadanya merasakan euforia yang tidak bisa dikontrol. Sanny mesti menenangkan beberapa menit sampai kedua kakinya berhenti gemetaran.
Sungguh, Sanny sangat senang. Kemarin ia menatap Eza dari kejauhan, mengikuti setiap akun media sosialnya, juga tak lepas mengagumi. Sekarang dia mau menyatakan cinta padanya? Serius? Perasaannya tersampaikan padanya?
Fuuuu... haaaaahhh....
Sanny butuh lebih banyak udara untuk menenangkan dadanya. Setelah merasa cukup barulah ia beranjak ke gerbang sekolah seperti yang dijanjikan.
Langkah kakinya berat, pelan-pelan ia sampai ke sana. Menarik napas panjang, dan kemudian celingukan mencari laki-laki yang ia sukai.
Tapi... eh?
Seorang laki-laki dengan rambut pirang dan mata amber tiba-tiba menghampirinya. Wajahnya terlihat gugup, langkah kakinya seperti diseret untuk sampai di hadapan Sanny.
"Ariasanny!" panggilnya kemudian.
Sanny akui laki-laki di hadapannya ini tak kalah tampan dengan Eza. Hanya kesan liar melekat padanya. Ia juga tak pandai menarik bibirnya untuk tersenyum, seolah tidak dirancang untuk melakukan hal itu.
"Ya, aku? Kenapa?"
Terserah bagaimana dengannya, Sanny hanya ingin menyudahi pertemuan dengan laki-laki ini, pikirnya Eza akan menunggu di balik tembok sana.
"Apa Eza udah memberitahumu sebelumnya? Tentang janjian denganku di gerbang sekolah?"
Tunggu, jangan bilang kalau...
"Aku... ada yang mau kubicarakan sama kamu, Sanny!"
Jadi bukan Eza?
Sungguh?
Aku memberitahu untuk laki-laki ini?
Dasar bodoh!
"..."
"Sanny... a-aku suka kamu..."
🍀
F I N
=====================
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top