Pear
"Dari semua orang aku paling tidak mau memusuhimu."
- Ariasanny -
🍀
Tidak biasanya Feya melamun. Sapaan pagi tidak terlontar darinya. Tatapan mata Feya kosong, tidak memperhatikan mata pelajaran. Bu guru menangkap basah kegiatan melamun Feya. Ia berdehem dan menegur Feya. Semua mata tertuju padanya.
"Feya Ryuuna?"
Feya masih melamun. Pada panggilan ketiga barulah Feya sadar dan memperhatikan gurunya yang menyilangkan tangan di depan dada.
"Ha-haik, sensei?" jawab Feya spontan.
"Kamu melamun?"
"Eeto~ gomenasai sensei." Feya menggaruk-garuk belakang lehernya.
"Kita lagi belajar bahasa Inggris, bisa kamu tinggalkan dulu bahasa Jepang-mu?"
"Ha-haik, eh... maksudku... yes sir!"
"Kamu memperhatikan pelajaranku, Feya?"
"Yes sir!"
"Apa yang kita bahas?"
Kedua mata Feya menerawang, berpikir. Feya tidak menemukan jawaban sebab ia memang sedang melamun dari tadi. Feya menggigit bibir bawahnya.
Bu guru menghela napas panjang. Ia membuka halaman buku paketnya.
"Coba kamu baca paragraf 2 halaman 145, lalu artikan!" perintah bu guru lagi.
Feya membuka halaman yang diminta. Diam beberapa menit lalu menggaruk lehernya lagi. Dahinya mengernyit, ia memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri, lalu menyodorkan sederet gigi rapi pada bu guru yang terbakar emosi.
"Ano~ yang ini dibaca e-nuh atau e-nog?" gumam Feya untuk kata enough.
Ada serangan tawa dari teman sekelasnya. Sanny menepuk jidat dan menggeleng kepala.
Bahu bu guru naik turun, ia beranggapan Feya sedang mempermainkannya. Ia sangat marah sekarang.
"Jangan bercanda. Artikan kalimat itu, Feya!" nada bu guru menanjak.
Feya menelan ludah saat mata bu guru menyipit siap menghukumnya. Lalu, diam-diam Sanny menepuk jari Feya pelan. Telunjuknya berisyarat agar melihat buku catatan yang sengaja ia simpan di tengah meja. Sanny baru saja menolong Feya dengan memberitahu arti dari paragraf yang diminta.
Tanpa kesulitan Feya membaca tulisan Sanny di buku catatan. Jelas dan lantang. Bu guru diam sesaat, ia melirik bukunya kemudian melirik Feya. Bau kemarahan sedikit memudar.
"Good job, Feya!"
Pelajaran dilanjutkan. Sanny bertopang dagu dengan tangan kanan, tangan satunya lagi memutar-mutar pulpen dengan jemari. Feya memperhatikannya sampai beberapa detik. Kemudian ia tersenyum.
🍀
Bel berbunyi. Waktunya istirahat.
Sanny hendak keluar kelas, tapi Feya menahannya sebentar. Feya mengeluarkan buah pir yang ia bawa dari rumah. Lalu menyerahkannya pada Sanny yang berdiri di samping meja.
"Apa ini?" tanyanya.
"Ini... buah pir!" jawab Feya polos.
"Aku tahu ini pir, maksudku kenapa kamu kasih ini sama aku?"
"Ooh, eeto~ aku tertolong karena Sanny-chan tadi. Anggap aja pir ini sebagai tanda terima kasih."
"Apa kamu selalu melakukan hal ini untuk ucapan terima kasih? Kali ini hanya hal kecil, kalo aku membantumu hal yang besar, apa kamu akan memberiku hadiah barang yang besar juga?"
"Eeeh engga, maksudku... ya ga selalu kuberi hadiah..."
"Kalau gitu sebaiknya ga usah kau iming-imingi pertolongan orang dengan hadiah. Gimana kalau orang lain memanfaatkan itu dan menolong kamu cuma karena pamrih."
"Aku ga bermaksud gitu."
"Lebih baik kamu ambil aja pir-mu. Aku ga mau menerimanya."
Feya cemberut dan menundukkan kepala. Sanny menghela napas. Ia menepuk bahu Feya.
"Ada sesuatu kan, yang mau kamu tanyakan sama aku?" Sanny bersikap peka melihat raut wajah Feya yang menekuk. Feya mengangguk.
"Tanya aja! Aku kesal dari pagi kamu melamun terus kayak bukan Feya yang kukenal," gumam Sanny.
Feya mengangkat wajahnya, menatap Sanny lekat-lekat.
"Kemarin itu... apa setelahnya Rean-kun baik-baik aja?" Feya memulai. "Apa telinganya udah sembuh? Dia ga sakit kan?"
Sanny memutar bola matanya. Ia menarik napas dan berhati-hati menggunakan kalimatnya.
"Rean dibawa pak Irdan pulang, katanya dia diberi penenang dan konsul sama dokternya waktu itu. Aku ga terlalu tahu secara detail soalnya aku ga ikut ke rumahnya," jelas Sanny.
Feya bergeming. Ia mengatupkan bibirnya, memilih diam.
"Feya... kamu pasti bertanya-tanya, ada hubungan apa antara aku sama Rean kan?"
Feya mengangguk pelan.
"Perlu kuingatkan satu hal sama kamu. Aku ga punya hubungan apa-apa lagi sama Rean. Dia sakit, aku cuma datang karena suaraku obat buat Rean. Kalo kamu jadi canggung karena menganggap aku ada rasa sama Rean, kamu salah. Kami udah berakhir."
"Demo, (1) Sanny-chan... jujur padaku..." nada suara Feya lirih. "Apa Sanny-chan suka Rean-kun?"
Sanny diam cukup lama. Kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Engga. Aku suka laki-laki lain."
"Hontou ka?" (2)
"Iya. Jadi berhenti menganggap aku sainganmu. Aku ga akan merebut laki-laki kesayanganmu. Aku ga pernah menyimpan hati sama Rean."
"Kalo Rean-kun yang suka, gimana?"
"Kutolak!" jawab Sanny tegas. "Sebab rasa suka kamu lebih besar daripada punya siapapun. Dulu kamu pernah bilang kan, kalo kamu melakukan hal baik, suatu saat akan ada yang jadi pengikut setiamu. Aku pengikutmu, Feya. Meskipun kedengaran bodoh, tapi aku lebih memilih berteman denganmu dibanding apapun."
"Sanny-chan..."
"Jadi... mulai sekarang, bisa kamu berhenti menatap aku dengan mata itu?" ujar Sanny. "Aku perlu Feya yang dulu periang dan ga bisa diam."
Mata Feya nanar, ia menangis. Feya menunduk menahan air matanya.
"Jangan nangis, aku ga tahu harus apa kalo kamu nangis."
Feya memeluk Sanny. Ia senang karena tidak usah memusuhi sahabatnya. Hanya ada Sanny untuknya. Kalau harus kehilangan Sanny, entah bagaimana ia menghadapi hari-harinya di kelas.
"Sanny-chan, kamu benar-benar ga mau menerima buah pir-ku?"
🍀
Ada dua mitos yang dipercaya sebagian orang.
Orang Cina kuno percaya bahwa buah pir adalah simbol keabadian. Dalam Tiongkok Xiang Li artinya pir dan pemisahan, dan untuk alasan ini, tradisi mengatakan bahwa untuk menghindari pemisahan, teman dan pecinta tidak boleh membagi pir antara mereka.
Sedangkan di Eropa, pir dipercaya sebagai 'hadiah dari Tuhan.'
Yang mana yang kau percayai?
Tapi ingatlah... itu hanya mitos.
🍀
F I N
======================
Dont forget like and comment
See you tomorow
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top