One Step Closer

"Kita semua makin dewasa tanpa ada yang menyadarinya."

- Yicky Samriza -

🍀

Yicky memandangi bangunan abu-abu mantan SMA-nya sepuluh tahun lalu. Sudah banyak yang berubah. Terutama taman kecil yang disulap menjadi tempat parkir yang bersih.

Luar biasa, seperti baru kemarin Yicky keluar dari lingkungan sekolah. Tiap inchinya ia ingat baik-baik. Lantai keramik, pintu kayu berwarna abu, kursi-kursi di depan kelas, pohon-pohon berjejer, semua punya kenangan tersendiri yang membuatnya tergelitik senyum.

Tujuan Yicky ke sana untuk menjemput Feya. Sebelumnya ia diberitahu bahwa kelas X sedang melakukan psikotes, makanya pulang terlambat. Yicky sengaja datang awal, ia rindu dengan lapangan basket tempatnya dulu menghabiskan banyak waktu dibanding bangku kelasnya.

Yicky mendatangi lapangan basket, kebetulan di sana ada Eza sedang melakukan lay up shoot. Yaitu suatu teknik dimana kaki akan melangkah dua kali, kemudian melakukan lompatan sambil melempar bola ke keranjang dengan dorongan tumit. Yicky sangat mahir melakukan itu. Dan kemungkinan masuk ke keranjang adalah seratus persen.

Tapi Eza tidak terlalu mahir, berkali-kali dia melakukannya dan gagal. Lama-lama Yicky tergugah untuk memberinya tips.

"Konsentrasi, tenang, jangan buru-buru. Turunkan tumit, trus lontarkan bola perlahan dengan telapak tangan!" saran Yicky mendapat perhatian Eza.

Eza menangkap bola di atas perutnya, kaku di bawah keranjang basket yang tidak tersentuh.

Memang, tidak ada keharusan dia mendengarkan Yicky. Toh, Eza sedang iseng dengan basketnya.

Tapi, Eza mengambil ancang-ancang, berlarian sampai ke bawah keranjang, dan... SRUK! Kali ini dia berhasil.

"Tuh, kan!" puji Yicky.

Eza menarik ujung bibirnya. Seperti lepas dari beban yang ia bawa sedari tadi.

"Kukira Feya bohong waktu dia bilang kamu atlet basket nasional," katanya.

"Ya bener lah," ujar Yicky. "Lo anak basket? Semoga bukan. Permainan lo payah, bikin malu gue sebagai alumni klub basket aja," cibir Yicky.

"Ha ha ha, bukan. Aku cuma main buat pelampiasan aja."

Eza mendekati Yicky di pinggir lapangan. Mereka melakukan high five dengan saling menabrakkan bahu.

"Kak Yicky mau jemput Feya?" tanya Eza.

"Ho-oh. Baru pulang dari camp basket langsung ke sini. Beres tanding sama timnas Aussie, gue dikasih libur panjang. Pengen ngajak Feya makan enak."

Eza tersenyum sambil mengangguk-angguk.

"Lo mau ikut? Gue traktir deh," ajak Yicky.

"Ga usah. Daripada aku, mending kak Yicky ajak pacarnya Feya."

"Pacar Feya? Sejak kapan dia punya pacar?"

"Eh? Emangnya kak Yicky belum tahu?"

"Ga tau gue, seminggu full gue di camp ga komunikasi sama Feya. Siapa pacar Feya?" nada Yicky tidak santai.

"Emmm... kak Yicky tahu kok, dia laki-laki yang kuceritain dulu."

"WHAT??? Rean Kainand?"

Eza tidak mengangguk ataupun menggeleng. Dari gestur tubuhnya saja Eza bisa tahu kalau Yicky tidak suka dengan jawaban itu. Seperti tersulut api, Yicky mengencangkan urat hijau di pelipisnya.

"Gue kan udah bilang sama lo, jangan biarin Feya deket sama cowo itu. Kenapa sekarang mereka jadi pacaran?"

"Ya... merekanya saling suka kenapa harus kularang."

"Dimana kelas Feya? Gue mesti bicarakan ini sama dia."

Selagi Yicky dan Eza berbincang, kegiatan psikotes kelas X memang telah usai. Para murid berhamburan keluar kelas, bersiap untuk pulang. Dan saat itu, Yicky bisa menangkap sosok Feya yang baru keluar dari kelasnya. Diikuti Sanny yang sedang membetulkan tali tas yang melorot.

"Feya!" Yicky memanggilnya dengan nada tinggi. Feya menoleh dan melambaikan tangan. Ia belum tahu panggilan untuknya adalah satu bentuk kemarahan Yicky.

Yicky menghampiri, disusul Eza yang khawatir amarah Yicky akan meledak.

"Yicky-niichan, kapan pulang?" sapa Feya polos.

"Lo pacaran sama Rean Kainand?" sembur Yicky tanpa mempedulikan sekelilingnya yang ramai oleh murid kelas X yang selesai psikotest.

"Eh... mmmm.... i-iya..." Feya tergagap.

"Kita udah bahas ini kan, kalo lo masih ngotot ngejar si Rean, gue pindahin lo dari sekolah ini," Yicky berapi-api mencecar Feya dengan suara kerasnya. Feya mengkeret, ada butir air mata yang siap menetes kapan saja.

Eza tidak tinggal diam, ia menarik bahu Yicky dan memintanya jauh dari Feya yang mulai gemetaran. Eza merasa perlu melindungi Feya di balik punggungnya sebelum air mata Feya meluncur di pipi.

"Hei kak Yicky, bisa kan bicarakan ini baik-baik," lerai Eza.

"Ini gue lagi baik-baik." Yicky mendengus. "Ayo pulang Feya, kita selesaikan ini di rumah."

Yicky mencari pergelangan tangan Feya, mencoba menariknya dengan paksa. Feya menolak dengan perlawanan. Ia menggeleng, ada ketakutan di mata Feya yang nanar.

"Iie, Yicky-niichan... Aku ga mau pulang," Feya menangis.

"Pulang, atau gue paksa!" Yicky terus saja membentak.

Lalu... seorang laki-laki yang mengamati dari kejauhan mulai menghampiri kekacauan di depan kelas Feya.

"Hei!" katanya dengan suara bass namun mendominasi.

Semua orang menoleh, begitupun Yicky.

Mata Yicky membelalak, itu pertemuan pertamanya dengan laki-laki bernama Rean Kainand. Bola mata Yicky menyapu tiap sudut wajah Rean. Bulu kuduknya berdiri karena keajaiban yang baru saja dia temukan.

Gila, ga mungkin orang itu kan? Mata, alis, bibir, sampai warna rambut benar-benar sama. Hanya satu yang berbeda, dia lebih muda.

Yicky belum sadar benar dari perjalanan rasa takjubnya, begitu Rean menepis tangan Yicky dari Feya barulah Yicky tersadar. Ia mengeraskan rahangnya.

"Hooo... jadi lo yang namanya Rean Kainand?" Yicky mencebik.

Rean mengernyitkan kening. Sedetik kemudian menghunuskan tatapan tajam dan mengintimidasi.

Yicky mengambil ancang-ancang dengan kepalan tangannya, kemudian... BUK! Yicky menghajar wajah Rean tanpa aba-aba. Untungnya tidak sampai membuat Rean tersungkur, hanya tubuhnya terpental beberapa senti dari tempat semula. Feya berteriak karena pukulan tersebut.

"Yicky-niichan!!" teriak Feya sambil bantu Rean menegakkan badannya lagi.

"Anggap itu balasan karena lo udah bikin wajah adik gue babak belur waktu itu," jelas Yicky sambil meludah.

"Astaga, itu kan udah lama, Yicky-niichan!" Feya protes.

Rean mendorong tubuhnya hingga berada sejajar dengan Yicky. Gestur tubuhnya menandakan ia siap bertarung meskiYickypunya otot di lengan ataupun tinggi badan yang ekstrem di antara mereka. Rean tidak takut pada Yicky.

"Mau sekalian kita saling pukul? Aku ladeni kau," Rean menyuguhkan tatapan paling seram yang ia punya.

"Oh, wow! Ternyata lo jagoan?"

Sekarang perhatian Yicky sepenuhnya pada Rean. Ia memerhatikan dari ujung kaki ke ujung kepala Rean.

"Denger ya, jagoan. Gue ga suka, lo pacaran sama adik gue," ujar Yicky penuh penekanan.

Rean menarik sudut bibirnya ke atas. "Aku ga perlu minta ijinmu."

"Jelas perlu, gue kakaknya."

"Bukan kakak kandung."

"Secara biologis emang bukan, tapi Feya masih tanggung jawab gue."

Rean mendengus, bola matanya memutar. Menganggap remeh ucapan Yicky.

"Hei, gue beritahu lo. Jangan terlalu senang. Feya ga bener-bener suka sama lo," kalimat Yicky mendapat perhatian penuh dari Rean. Dan spontan Feya membelalakan mata. Tangannya membekap mulut Yicky meski harus bersusah payah berjinjit.

"YICKY-NIICHAN!" potong Feya di waktu yang tepat.

Itu teriakan pertama dari seorang Feya Ryuuna. Wajahnya berubah serius. Kepolosan dan riang yang melekat pada Feya seakan sirna saat teriakan itu terdengar di lorong kelas.

"Kenapa? Lo belum bilang sama dia tentang alasan sebenarnya suka sama cowo ini?"

Tentu saja, siapapun yang melihatnya jadi heran. Rean, Eza, Sanny dan teman-teman sekelasnya yang saat itu menguping.

Rean menatap Feya tajam. Berbeda dengan sebelumnya, Feya tidak menanggapi bola mata Rean. Berulang kali Feya menghindar dari tatapan Rean.

"Apa maksudnya?" Rean berusaha mengkonfirmasi. Matanya terus saja mempelototi Feya tanpa berkedip.

"Gomen ne, Rean-kun! Ini cuma salah paham," katanya tanpa melihat ke arah Rean.

"Salah paham apa?" nada Rean menanjak.

"Heh, santai dong lo!" Yicky mendorong bahu Rean. Rean menyambutnya dengan tepisan tangan bersiap menghajar. "Anjrit!" Yicky berada di puncak amarah.

Eza menengahi keduanya. Ia memisahkan kedua bahu orang itu sampai terpisah beberapa senti.

"Hei, aku ga mengizinkan ada perkelahian di sini," lerai Eza pada kedua orang yang saling menghunuskan tatapan benci. Aura Eza mendominasi hingga dua laki-laki itu tidak punya pilihan selain menarik diri.

Yicky melemaskan otot, bersikap mengalah dengan menurunkan tensinya pertama kali.

"Oke, bicara baik-baik mungkin ga mempan buat orang kaya lo. Kita lakukan pake cara gue. Kita taruhan basket," usul Yicky.

Rean mencebik. Bola matanya memutar, ada gestur seolah meremehkan. "Cih, basket itu mainan anak kecil."

Yicky mengepalkan tangan bersiap untuk membogem mentah wajah sombong Rean. Dia baru saja menghina hobinya sekaligus menjelekkan profesi Yicky.

"Baiklah, gue anggap lo setuju tentang taruhan basket ini. Kita bertaruh, kalo gue menang, gue minta lo putus dari Feya dan jauhin dia. Dan kalo lo yang menang... "

Yicky sengaja memberi jeda pada kalimatnya. Rean dan semua orang di sana menunggu perkataan Yicky.

"Gue akan beritahu dimana ayah lo berada."

Eh???

Serempak mereka keheranan. Yicky tidak merubah garis mukanya. Ia tidak sedang bercanda.

"Apa? Tahu apa kamu soal ayahku?" Rean protes.

"Gue tahu. Gue kenal siapa ayah lo. Denger nama lo aja, gue tahu kalo lo anak Urky Kainand. Musisi berbakat dari Juliard yang pergi tanpa jejak," jelas Yicky.

Yicky menaikkan ujung bibirnya dan tersenyum sinis. "Lo harus bersujud sama gue, karena gue tahu apa alasan ayah lo pergi."

Rean mengepalkan kedua tangannya. Tidak mungkin. Ayahnya pergi tanpa pesan, tanpa alasan, dan kali ini tiba-tiba Yicky berkata ia tahu dimana ayahnya berada, dan alasan ia pergi? Konyol. Rean tidak percaya.

"Jangan sembarangan. Memangnya siapa kamu, sampai tahu tentang ayahku."

"Gue ga akan bilang, sampai lo setuju buat taruhan basket. Kalo lo penasaran, lo harus menang. Tapi inget, kalo lo kalah, lo harus putusin Feya."

Rean tidak bisa mengatur napasnya dengan baik. Pembicaraan hari ini tidak ada yang masuk di otaknya. Kalau saja ia tidak bisa menahan emosinya, ia bisa kehilangan kontrol pendengarannya lagi.

"Ayo pulang, Feya!"

Tidak seperti sebelumnya, Feya menerima ajakan Yicky. Feya mengekor sambil menunduk di belakang tubuh tinggi Yicky. Selama Feya pergi, semua mata tertuju padanya. Dengan berbagai pemikiran, dengan kesimpulan masing-masing.

Yicky membalikkan badan tiba-tiba.

"Kaichou, lo yang atur pertandingannya. Gue akan bawa tim, dan pastikan si Rean juga punya tim yang tangguh. Gue harap dia bukan laki-laki pencundang yang kabur dari pertaruhan."

Eza mengangguk. Yicky bisa mempercayainya melebihi siapapun. Kemudian dua orang itu pulang dan meninggalkan pertanyaan besar bagi Rean, Eza dan Sanny. Hati mereka tak menentu.

🍀

"Ga seharusnya Yicky-niichan bilang begitu sama Rean-kun," lirih Feya begitu mereka sampai rumah.

"Gue tahu alasan lo suka sama Rean," Yicky membentak.

Feya mengatupkan mulut. Ia bergidik karena dapati wajah Yicky mengeras dan marah.

"Udah gue bilang berkali-kali, jangan permainkan perasaan orang lain. Dia bukan orang itu!"

Feya tentu paham maksud Yicky. Melihat wajah Rean yang mirip dengan orang itu, sekilas saja Yicky bisa menyimpulkan. Feya menyukai wajahnya, orang yang benar-benar mirip. Hanya tinggal masalah waktu dia menyadari kesalahannya, kalau Rean bukan orang itu.

🍀

F I N

=======================


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top