Missing

"Rasanya tidak ada yang tahu berapa kali aku memikirkanmu tiap hari."

- Rean Kainand -

🍀

Rean gelisah karena beberapa hari tidak ada kabar dari Feya. Nomornya sulit dihubungi, mendadak ia jadi orang yang sulit dicari.

Rean berdiri di depan kelasnya, memperhatikan murid kelas X-3 berhamburan keluar kelas. Tidak ada Feya, Rean tidak menemukan suara Feya di kelasnya. Ini sudah hari ketiga.

Eza baru keluar dari kelasnya. Ia sedang membenahi posisi tali ranselnya. Eza menoleh kepada Rean.

"Apa Feya pernah menghubungi kamu?" tanya Rean mendapat kerutan di dahi Eza.

"Kenapa? Kalian berantem?"

"Jawab aja, iya atau engga."

Eza kesal dengan sikap culas Rean. "Nomorku kan diblokir karena kamu. Sejak hari itu Feya ga pernah chat lagi sama aku."

Rean buang muka, ia tahu perihal itu tapi berharap Eza menenangkan gelisahnya sedari pagi.

"Apa sih, emang Feya ga ada kabar atau gimana?" Eza berubah penasaran.

"Gak tahu!" jawab Rean sinis.

"Mau aku bantuin ga, sih?" tawar Eza berbaik hati. Tapi Rean malah bersikap tidak mau tahu. "Yaudah, aku pulang." Tapi belum juga Eza beranjak barang satu langkah, Rean sudah memanggilnya lagi.

"Za, tanyain Yicky!" pinta Rean merajuk.

 Eza sedikit menarik ujung bibirnya melihat ekspresi Rean yang meminta tapi gengsi.

"Kenapa ga kamu tanyain langsung?" Eza menyilangkan kedua tangan di dadanya.

"Aku ga punya nomornya."

Eza memutar bola matanya. Entah karena Rean takut atau karena gengsinya yang kepalang tinggi, sampai tidak meminta nomor Yicky. Padahal laki-laki ini sering bolak-balik ke rumah Feya.

Eza bantu menelepon nomor Yicky. Nihil, panggilan yang dimaksud sedang tidak aktif, sama seperti milik Feya. Eza mengendikkan bahu sebagai tanda kekecewaannya.

"Sejak kapan Feya ga ada kabar? Biasanya dia ga bisa sehari tanpa kamu," Eza bantu menginterogasi Rean agar mengingat.

"Terakhir waktu keluar dari ruang guru ketemu bu Kimmy, Feya ga ada di halte. Aku kira dia pulang duluan. Ditelepon ga aktif, waktu ku chat juga ga dia baca," jawab Rean seadanya.

"Aneh, bukan Feya yang biasanya." Eza menggaruk-garuk dagu nampak sedang berpikir. "Tanya Sanny coba, mungkin dia tahu sesuatu."

"Kamu yang tanya."

Eza celingukan mencari Sanny di antara murid kelas X-3 yang berhamburan keluar untuk pulang. Kebetulan Sanny baru keluar dari kelasnya. Eza memanggil. Sanny mengernyit, ia melihat tangan Eza melambai padanya. Kemudian Eza memberi isyarat agar Sanny mendekat padanya.

"Feya masuk ga?" serbu Eza tanpa basa-basi.

"Engga. Justru aku mau tanya sama Rean. Feya ngasih kabar atau engga ke kamu? Temen sekelas ga ada yang tahu alasan Feya ga masuk," tanya Sanny kemudian.

Rean mengangkat bahunya sekali. Sanny cukup mengerti walau laki-laki berwajah datar itu tidak mengatakan apapun.

"Kamu lagi ga berantem sama Feya, kan? Feya itu meskipun setiap hari meledak-ledak, tapi kalo udah beranten sama Rean moodnya langsung down. Mungkin aja Feya sama kamu ada salah paham atau gimana yang bikin Feya down dan ga masuk kelas," Sanny coba menerka, namun mendapat kerlingan mata tajam dari Rean.

"Ga ada yang kaya begitu antara aku sama Feya," imbuh Rean membuat Sanny memutar bola matanya.

"Kamu udah ke rumahnya belum, Rean?" tanya Eza lagi.

"Engga. Chat-ku ga dibales buat apa ke rumahnya."

"Astaga, anak ini harga dirinya mahal banget. Katanya suka, katanya sayang. Giliran berkorban gitu aja rewel banget, sih. Tahu gitu udah kularang Feya pacaran sama kamu. Mending sama aku aja."

"Jangan sok deh, kamu!"

"Kamu tuh yang sok."

Dua laki-laki itu jadi tersulut amarah. Sanny yang berada di tengahnya menggeleng kepala karena dua orang ini belakangan jadi sering ribut karena hal sepele.

"Bisa ga sih, untuk sekarang kalian ga ribut dulu. Serius, aku cemas sama Feya," bentak Sanny menghentikan perang tatapan tajam di antara dua laki-laki itu.

Dialog mereka terpotong karena Izal tiba-tiba datang. Ia terpancing menghampiri karena mendengar nama Feya disebut-sebut.

"Kalian ngomongin si Feya, ya?" tanya Izal membuat ketiga orang itu menoleh serempak padanya.

"Iya, Kak Izal tahu sesuatu?" tanya Eza.

"Tahu lah, gue lihat dia waktu di gerbang sekolah," jawab Izal. "Gila... epic banget sumpah. Pake acara terobos jalan raya gitu, mana mobilnya kenceng-kenceng lagi."

"Maksud kamu apa?" kalimat Rean tidak ramah. Ia tidak suka basa-basi.

"Ya, gitu. Si Feya lari dari halte ke seberang jalan. Waktu itu ada cowo di sana, si Feya pake acara peluk-pelukan sama dia."

"Cowo?" sekarang Sanny yang angkat suara. "Kak Izal tahu siapa cowo itu? Yicky bukan?"

"Bukan lah, Yicky mah gue kenal."

"Terus?" Sanny penasaran.

"Hmm... gimana ya bilangnya. Dia kaya Rean, tapi bukan Rean. Cowo itu mirip Rean, tapi lebih dewasa, lebih tinggi, ada jambangnya juga."

"Mirip aku?" Rean mengernyitkan kening.

"Iya, lu punya kembaran ga? Atau kakak mungkin, atau sepupu?" Rean menggeleng untuk semua pertanyaan Izal.

"Terus udah itu Feya ngapain?" selidik Eza.

"Feya mewek kalo ga salah. Udah gitu dia ikut cowo itu pergi deh pake mobil. Udah, itu doang yang gue tahu."

Rean bergeming. Ia menimang sesuatu, sampai akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Rean hendak ke rumah Feya. Rean beringsut dan tidak memperdulikan yang lain. Dan ternyata Eza juga Sanny memikirkan hal yang sama. Mereka bergantian beringsut dari depan kelas XI IPA 2 ke parkiran motor dan melaju ke rumah Feya. Meninggalkan Izal yang dibiarkan keheranan di tempatnya.

🍀

Tiba di depan rumah Feya. Rean, Sanny dan Eza masuk ke pagar rumah yang tak digembok. Sanny yang mengetuk pintu. Rean berjalan ke halaman belakang rumah Feya. Sedangkan Eza keluar pagar untuk menanyai tetangga sebelah rumah Feya.

Tidak ada respon apa-apa saat pintu diketuk, Rean pun kembali ke teras membaur bersama Sanny. Ia menggelengkan kepala karena tidak mendengar tanda-tanda ada seseorang di dalam rumah. Kemudian Eza baru kembali dari rumah tetangga. Ia menghampiri dua temannya di teras.

"Tetangganya bilang, Yicky dan Feya ke rumah sakit sejak tiga hari lalu," terang Eza.

"Siapa yang sakit?" tanya Sanny cemas.

"Ga tahu, dia cuma bilang ke rumah sakit. Makanya rumah dibiarkan gelap."

"Emm... jadi gimana sekarang?"

Eza diam dan berpikir. Ia menoleh pada Sanny kemudian pada Rean yang sedari tadi menunduk.

"Karena Feya ga ada di rumahnya juga, lebih baik kita pulang. Udah sore, aku antar kamu pulang, Sanny. Nanti ayahmu cariin. Aku akan coba terus hubungi Yicky, nanti kalo ada kabar aku langsung kasih tahu kalian," Eza bertindak sebagai pemimpin yang bantu mencetuskan solusi.

"Kalian pulanglah, aku di sini sebentar lagi," ujar Rean.

"Oke deh, kabari aku kalo ada perkembangan."

Rean mengangguk. Eza menepuk bahu Rean. Menitipkan kalimat penenang lewat gestur tubuhnya. Eza tahu, saat ini yang paling khawatir adalah Rean.

Eza dan Sanny berpamitan pulang pada Rean yang memutuskan diam di teras. Rean duduk di tangga teras. Mengosongkan pikirannya dan menghela napas panjang.

Hingga senja akhirnya menyingsing. Langit telah berubah warna menjadi hitam pekat siap menyambut malam yang dingin.

Dan saat itu, Rean mendengar suara langkah kaki di luar pagar rumah Feya. Rean bisa menebak pemilik suara barusan. Yicky. Orang itu kini berdiri di depan pagar dan memperhatikan Rean yang menunggunya di teras.

Yicky masuk ke halaman rumah dan mengabaikan Rean yang menatapnya tajam.

"Dimana Feya? Apa yang terjadi sama dia?"

Yicky membuka kunci rumahnya. Ia mencoba mengabaikan pertanyaan Rean.

"Aku lagi bicara sama kamu, Yicky. Dimana Feya?"

"Tenang sedikit napa, jangan teriak-teriak. Lu tunggu di sini, gue mau bawa sesuatu."

Yicky masuk ke dalam rumahnya. Rean ditinggalkan cukup lama di teras rumah. Tapi Rean masih setia menunggu.

Kemudian Yicky kembali. Tangannya memegang satu kantong penuh berisi pakaian Feya. Yicky kembali mengunci rumahnya. Dan ia berbalik pada Rean.

"Ikut gue!" perintah Yicky tanpa ba-bi-bu.

Tetangganya benar, Yicky dan Feya pergi ke rumah sakit. Yicky sekarang membawa Rean ke rumah sakit yang dimaksud. Rean memarkirkan motor tepat dipinggir motor milik Yicky. Mereka tidak bicara apapun, Rean hanya mengikuti kemanapun Yicky pergi. Mereka masuk ke lift dan berhenti di lantai 5. Yicky keluar diikuti Rean di belakangnya. Mereka berjalan di lorong yang terbilang sepi. Bau obat bius menyeruak di hidung Rean.

Lalu Yicky berhenti di depan kamar. Ia menghela napas panjang kemudian melirik Rean.

"Rean, apapun yang lu denger nanti, gue harap lu bisa berpikir positif."

Rean membisu. Jujur saja, ia tidak mengerti maksud Yicky.

Yicky membuka pintu kamar. Di atas kasur sana ada Feya yang tertidur. Lalu, ada seorang pria memakai kaus V-neck duduk di kursi yang menghadap kasur. Pandangan Rean teralihkan dan matanya terbelalak. Bagaimana tidak, ia seperti melihat dirinya di cermin. Pria itu cocok dengan gambaran yang diceritakan Izal tadi.

Pria itu menyalami Rean. Tersenyum tanggung dengan mata sayu dan berkantung.

"Kamu... pasti Rean Kainand," suaranya teduh dan menenangkan. "Yicky udah cerita soal kamu pacarnya Feya. Juga alasan dia pilih kamu."

Rean menghunuskan tatapan tajam. Benar-benar tidak mengerti dengan situasi sekarang. "Aku ga ngerti, kamu siapa?"

"Aku Kaharu Kent, panggil aku Aru. At least, aku kakaknya Feya."

"Hah?"

"Yicky udah bilang tentang itu, kan? Kalo Feya punya kakak laki-laki. Orang itu aku, Oniichan-nya Feya."

"Terus, wajahmu..."

"Hm... kamu mau bilang kenapa wajah kita mirip?" ucap Aru, untungnya dengan seringai senyum, jadi Rean tidak terlalu tegang.

"Serius, kita harus bicara empat mata. Ayo keluar, aku ga mau ganggu tidur Feya," ajak Aru seraya bangkit dari duduknya dan menuju luar kamar. Eza mengekor.

"Sebelumnya aku akan bercerita tentang ayahmu, Urky Kainand. Aku minta kamu diam dan dengarkan." Aru memulai ancang-ancang dengan sikap santai. Kedua tangan masuk ke saku jaket dengan kepala sedikit miring ke kiri.

Rean tidak pernah setegang ini sebelumnya. Ia menuruti Aru untuk diam dan memerhatikan. Aru menghela napas panjang dan siap menceritakan kisah yang harus diketahui oleh seorang Rean Kainand.

🍀

F I N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top