Meet You

Setengah tahun, banyak hal yang terjadi. Bohong kalau Rean sudah melupakan seratus persen. Tidak pernah ada yang benar-benar pergi. Masih membekas, sama seperti saat ditinggalkan.

Orang bilang, waktulah yang mengobati. Waktu dijadikan pegangan, menunggu sampai kenangan mengering. Nyatanya waktu jugalah yang menyakiti pelan-pelan. Karena menjadi seseorang yang ditinggalkan, letak penderitaannya beda dengan yang meninggalkan. Selamanya ia akan berada di jurang bernama takut kehilangan.

Untungnya Rean tidak melampiaskan rasa sedih ke dalam study. Nilai-nilainya cemerlang meskipun tidak bisa mengalahkan Eza. Di perlombaan piano, Rean-lah yang jadi wakilnya. Ia menyabet seluruh thropy dan mengambil hati para juri yang jadi penggiat musik. Nama Rean Kainand melesat sebagai kandidat musisi di masa depan. Terlebih statusnya sebagai anak dari Urky mulai terendus massa.

Hari itu Rean pulang cepat karena kepalanya pening. Sepulang sekolah Rean selalu mendapat serangan dahsyat di kepala, terutama saat keluar pintu kelas dan pemandangan kelas X-3 mengusik seluruh inderanya untuk ingat Feya lagi.

Rean meminimalisir pertemuan dengan siapapun yang berkaitan dengan Feya, terutama Eza.

Pintu pagar Rean digeser perlahan menimbulkan bunyi khas milik pagar pembatas. Rean berjalan malas ke halaman lalu ke depan pintu. Rean diam sesaat, telinganya menangkap sesuatu dari dalam rumah. Alunan piano.

Rean sangat yakin pak Irdan belum pulang dari sekolah. Seseorang berada di rumahnya dengan atau tanpa permisi pada si pemilik rumah.

Rean berubah waspada ketika kenop pintu digerakkan dan tidak terkunci. Mirip seperti adegan horor, Rean mengendap-endap di rumahnya sendiri. Alunan piano masih kedengaran di ruang musik. Bahkan suaranya makin keras ketika satu-satunya penyambung ke dalam dan luar rumah dibukakan Rean.

Ludah tertelan dramatis, Rean merasa perlu datang dan melihat sendiri siapa pemain musik indah tersebut. Permainan yang sempurna, tanpa cacat, terlebih irama nan empuk bagaikan sedang disuguhi makanan kelas atas dan wine.

Rean ada di sana, menyaksikan siluet dari si pemain piano di rumahnya. Tidak perlu memutar otak untuk bisa menebak siapa laki-laki yang duduk di depan piano dengan jari-jari menari di atas tuts piano.

Laki-laki itu sadar, ia menoleh pada Rean yang mematung di dekat pintu dengan mata melotot seperti melihat hantu.

"Ah, tunggu sebentar. Sampai lagu ini selesai, ya?" katanya tanpa menghentikan dentingan indah yang ia ciptakan.

Ya... laki-laki itu adalah ayah Rean, Urky Kainand. Si pemilik mata biru dan garis tawa mempesona. Rean tak habis pikir, tidak ada yang berubah dari ayahnya sejak terakhir kali ia berpisah.

Urusan Urky dengan musiknya sudah selesai. Ia memutar kursi santainya dan menghadap Rean kini. Rean masih di posisi sama, masih menganga dan mematung.

"Nah... " Urky menengahi kesunyian di ruang musik tersebut. "Apa aku harus bertanya kabarmu? Gimana kabarmu, Rean?"

Rean masih bergeming. Ia mesti mengumpulkan nyawa untuk sadar bahwa tidak sedang bermimpi seperti pikirnya.

"Hmm... baiklah, biar ayah yang mulai. Kabar ayahmu baik-baik aja. Enggak pernah sebaik ini sebelumnya. Dan... oh, ayah suka ruang musik ini, agak kecil tapi hangat. Pianonya juga masih layak pakai, padahal ini hadiah Irdan waktu dia masih kecil. Apa dia jadi guru musik yang bagus? Kamu masih memainkan musikmu, Rean?" Urky bicara panjang lebar. Setidaknya memberi waktu agar Rean menghela napasnya dengan baik.

"Ayah?" ucap Rean pelan.

"Ya, Rean?"

"Apa yang ayah lakukan di sini?"

Urky tak lantas menjawab. Sorot matanya meneduh. Ia tahu akan disuguhi pertanyaan semacam itu. Tujuh tahun tentu bukan waktu yang sebentar baginya pergi dari rumah.

"Memang apa yang harusnya ayah lakukan di rumah sendiri?"

"Ini bukan rumahmu lagi sejak kamu memutuskan pergi. Ayah macam apa kamu, seenaknya datang dan pergi," Rean membentak. Sudah lama ia ingin mengatakan hal itu, terlebih saat ibunya meninggal.

"Re, apa kamu dididik jadi cowok yang bicara kasar seperti itu. Nadamu mengerikan, loh!"

Urky malah terdengar santai menanggapi Rean yang makin meninggi.

"Ayah gak berhak berkomentar tentangku. Keluar dari sini, keluar dari ruang musikku!" Rean mengusirnya.

Urky menghampiri.

Satu yang Rean sadari, mereka punya tinggi badan yang sama. Tatapan mereka sejajar, Rean tidak perlu lagi mendongak untuk melihat wajah ayahnya.

"Rean, berapa usiamu sekarang?" Urky berkacak pinggang.

"Jangan alihkan pembicaraan, aku sedang menyuruhmu pergi."

"Tujuh belas tahun, benar? Usiamu pasti 17. Kamu sangat mirip denganku sewaktu muda dulu."

Urky mengacak rambut Rean. Ada wangi parfum dari urat nadi di pergelangan tangannya. Wangi yang sama seperti sebelumnya. Ia tidak pernah benar-benar berubah.

"Terserah kamu mau marah sama ayah atau melakukan apapun, ayah udah memutuskan akan tinggal di sini," kata Urky.

"Apa?"

"Ayah udah berhenti mencari. Ayah gak mendapatkan apa yang ayah mau di luar sana. Ayah menyesal sudah meninggalkanmu dan ibumu."

Rean mengatupkan mulut.

"Hm, kamu gak mau ayah tinggal di sini? Kamu gak rindu ayah, Rean?"

Urky mengatakan hal yang menurut Rean konyol sambil membentangkan tangannya setinggi dada. Rean menepis, mendengus sesadis mungkin agar ayahnya mengerti kalau ia pernah menderita karena ulahnya.

"Enyah dariku!" Rean menggunakan kata itu.

"Kamu ini... kata-katamu sangat mengkhawatirkan, tahu?" Urky menggeleng-geleng.

"Ayah pikir karena siapa aku begini, karena ka... "

Tanpa tendeng aling-aling Urky memeluk Rean dengan bentangan tangannya yang lebar. Ia mengunci tubuh Rean hingga tak bisa berkutik.

"Iya, iya, ayah tahu kamu marah. Ayah akan membayarnya, ayah akan menebusnya dengan tinggal seumur hidup sama kamu. Im promise!"

"Aku gak mau, lepaskan aku!"

"Enggak akan ayah lepas, pokoknya sampai Rean berhenti marah gak akan ayah lepaskan."

Aneh, seharusnya Rean marah. Bisa saja ia menghajar punggung Urky dengan kepalan tangannya. Tapi... Rean menangis.

Bau tubuh Urky yang sempat hilang selama bertahun-tahun. Pelukan yang paling hangat melebihi siapapun. Semua itu berhasil menjatuhkan air mata Rean dengan sangat kekanakkan.

"Ayah bodoh! Ayah tahu aku sangat benci ayah," Rean mengucapkannya sambil menangis. Urky mengelus punggung Rean sambil mendesis.

"Iya, ayah tahu. Maafkan ayah, Rean!"

Setelah itu Rean menangis sampai beberapa menit. Urky tidak melepas pelukannya. Dia terus menyerukan mantra yang selalu ingin Rean dengar.

Hakuna Matata.

🍀

Eza sudah dengar tentang Urky pulang. Ia berlari ke rumah pak Irdan. Langsung menerobos rumah yang tak dikunci itu. Lalu mencari tubuh Urky dan memeluknya dengan ganas.

Memang dari dulu Eza sudah menganggap Urky seperti ayahnya sendiri. Kerinduannya mengalahkan rindu yang dipunya Rean.

"Aku senang kau pulang, Urky!" ucap Eza dengan senyum mengulas di bibir.

"Aku juga senang ketemu kamu, Eza. Kamu makin ganteng ya?" Urky mengacak rambut Eza seperti pada anak anjing. "Apa kamu masih terus bermusik?"

"Ya, aku gak pernah meninggalkan musik seperti Rean. Aku selalu setia, sama seperti janjiku padamu."

Urky tersenyum, ada garis tawa yang khas dan tak pernah berubah.

"Thank you, Eza. Aku percaya kamu orang yang selalu memegang teguh janji. Janji untuk terus bermusik dan selalu jadi teman Rean."

Anak yang dibicarakan itu bahkan sedang berpangku tangan karena melihat Eza berubah manja pada ayahnya.

"Aku gak berteman sama dia, cih!" cerocos Rean membuat Eza mengerutkan keningnya.

"Ya, dia benar. Aku mencoba sabar jadi temannya. Asal kau tahu, Rean berbakat jadi tukang pukul. Berkali-kali wajahku jadi korbannya," timpal Eza meyakinkan Urky.

"Hm, apa Rean sedang puber. Laki-laki yang puber emosinya selalu labil," Urky mengerlingkan mata pada Rean.

"Bukan cuma puber. Laki-laki ini jatuh cinta dan... "

"Za!" Rean memotongnya.

Mereka tahu, kisah Feya bukan hal yang harus diceritakan. Meskipun tanpa perjanjian resmi tapi mereka sepakat untuk mengubur dalam-dalam memori tentang gadis itu.

Urky menangkap gelagat aneh itu. Sebenarnya ia punya rahasia juga. Beberapa tahun ke belakang Urky sudah pulang ke Indonesia. Ia memberitahu Irdan dan menyuruhnya berjanji tidak memberitahu Rean dulu.

Urky selalu memperhatikan Rean dari jauh. Selama ini ia ada di sekitarnya, termasuk saat ia merenda kasih dengan Feya, anak Yumi.

Urky paham benar dengan apa yang dialami anaknya ini. Karena itulah ia kembali, ia tidak ingin anaknya berakhir sepertinya. Mencari cinta semu yang mengoyak dada. Tugasnya adalah berada di samping Rean. Menemaninya mengikis kenangan sebelum terlambat.

"Hei, diantara kalian siapa yang lebih jago main Hitomi wo Tojite?" Urky menantang dua genius musik itu.

Dan benar, keduanya tertantang. Setelahnya mereka melakukan duet, sama seperti waktu kecil dulu. Karena percaya atau tidak, mereka kembali ke titik awal. Seperti saat Urky masih berada di antara mereka. Saat hati mereka masih polos dan hanya tahu mencari kesenangan lewat musik.

Urky melipat kedua tangannya di dada. Ia memperhatikan seksama.

Pikiran Urky berlari jauh pada satu anaknya yang lain, Aru.

Ia menyadari sesuatu setelah bertemu dengan anak itu di New york. Aru adalah bentuk gabungan dari Rean dan Eza. Wajahnya sangatlah Rean, tapi sifat seperti Eza.

🍀

F I N

Yihuuuuiii mendekati ending nih
Boleh cerita dong,
hal apa yang kamu sukai dari kisah ini???
Tulis di kolom komen ya...
Aku suka kalau kamu suka
Terima kasih banyak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top