Karma
Desas desus merebak seantero sekolah. Selalu begitu, sesuatu yang buruk bisa terendus secepat kilat, bahkan dinding ikut berbisik, yang tidak tahu menjadi tahu.
Entah mana yang benar, mana yang salah. Berita itu sudah masuk ke telinga Eza. Ia wajib mendengar kabar itu dari orang terpercaya, valid dan bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Berita kalau Feya keluar dari sekolah karena gila.
Eza sudah berada di ruangan pak Irdan sebagai wali kelas X-3, meminta penjelasan lebih atas desas desus yang entah bermula dari mana.
"Jangan melebih-lebihkan, walinya cuma bilang Feya keluar sekolah karena harus tinggal dengan keluarganya di New York," jelas pak Irdan mematahkan desas desus sadis dari mulut-mulut dengki.
"Kenapa New York, bukannya Feya dari Jepang?" Eza bertanya.
"Loh, kamu belum tahu? Kakak Feya sekarang tinggal di New York. Keluarga Feya yang di Jepang cuma ibunya. Ibunya meninggal sebelum Feya datang ke Indonesia."
"Ah, aku baru tahu."
Ya, Feya memang tidak banyak menceritakan tentang dirinya. Waktu yang dipakai Eza bersamanya hanya mendengar tentang Rean dan Rean, tidak tentang kisahnya. Eza sedikit kecewa kenapa ia tidak bertanya lebih tentang ini.
"Za, beberapa hari lalu Rean kumat lagi. Dia tidak bilang alasan kumatnya karena apa. Dia memang bisa menanganinya, tapi bapak curiga ini ada hubungannya sama Feya," ucap pak Irdan memposisikan diri sebagai pamannya, bukan sebagai gurunya.
"Ya, aku tahu. Dia memang pernah cerita kalau malam itu dia ketemu Yicky dan Feya di rumah sakit. Tapi dia ga bilang apa yang terjadi," kata Eza menambahkan.
"Maaf kalau bapak harus minta tolong lagi. Rean bisa keluar dari dirinya yang dulu karena Feya, tapi kalau Feya yang buat dia terpuruk lagi satu-satunya yang bisa menolongnya cuma kamu."
"Jangan berharap terlalu banyak, pak Irdan. Aku ga sebaik itu."
"Tapi kamu masih peduli, kan?"
Eza diam beberapa saat. "Tentu, bagiku selamanya dia adalah temanku."
Senyum lega terpancar dari wajah pak Irdan. Mereka menyudahi perbincangan di waktu istirahat itu. Pak Irdan mempersilakan Eza kembali ke kelasnya menghabiskan waktu yang tersisa.
Eza berbelok ke ruang musik. Beberapa hari ini Rean bersembunyi di sana. Tidak memainkan apapun, hanya tiduran di atas tuts piano.
Kali ini pun Rean memang di sana. Tidak sedang tiduran di atas tuts piano memang, tapi duduk melamun di kursi yang menghadap jendela. Rean tidak bereaksi ketika Eza mengeluarkan suara dari pintu yang didorong. Eza juga berdehem, namun Rean masih diam di posisinya.
Akhirnya Eza mengambil kursi lain dan duduk di sebelah Rean, menatap jendela yang sama dimana ada pemandangan pohon mangga dari sana.
"Rean... kamu masih ingat ga, waktu kecil dulu kamu punya jam tangan yang bisa menyala dalam gelap. Aku suka jam tangan kamu, aku juga ingin punya satu dan minta sama bunda.
"Tapi waktu itu, ekonomi keluargaku lagi ga bagus. Bunda ga kasih aku jam tangan yang sama, sebagai gantinya aku dikasih jam tangan bekas dan jelek.
"Aku sempat kesal sama kamu, karena dengan sombongnya kamu bilang kalau jam tangan itu dari ayahmu, hadiah karena bisa memainkan Hitomi wo Tojite tanpa cacat.
"Aku pikir, aku beda sama kamu. Kamu terlalu sempurna. Keluargamu lengkap, kamu kaya, kamu juga punya musik. Sejak itu aku merasa ga pede setiap kamu duduk di sebelah mejaku.
"Lalu, di hari kenaikan kelas. Aku ga didampingi siapapun untuk ambil raport, padahal aku rangking satu.
"Kamu ingat apa yang kamu lakukan sama aku? Kamu minta ayahmu jadi wali aku juga. Kamu juga kasih aku jam tangan yang serupa sebagai hadiah rangking satu. Katamu enteng 'biar samaan, biar yang keren ga cuma aku doang.'
"Waktu itu... aku bersumpah dalam hati. Selamanya akan jadi teman kamu. Aku bahkan berjanji sama ayahmu, akan mendukung apapun yang kamu pilih. Dan selamanya berada di samping kamu."
Rean bergeming. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Hanya matanya yang terus mengedip sepersekian detik.
"Rean... apapun yang terjadi sama kamu, satu yang harus kamu tahu, kamu ga sendirian. Masih ada aku."
Rean memberikan respon, hanya tarikan bibir beberapa milimeter.
"Thanks, Za!" ucap Rean pelan. Eza menepuk bahu Rean dan melayangkan senyum seribu watt-nya. Rean terpancing untuk menarik bibirnya juga, tidak secerah milik Eza, setidaknya senyum itu mampir setelah seminggu ia bergumul dengan pilu.
Karena tidak ada lagi dialog diantara mereka berdua, dan kemudian canggung yang melintas di benak keduanya. Eza memutuskan berdiri dari sana, pamit kembali ke kelas. Tapi Rean menghentikannya saat Eza berada di ambang pintu.
"Eza... sori..." serunya.
"Tentang apa?"
"Waktu itu... waktu Sanny nembak kamu dan kamu menolaknya, aku minta maaf aku menghajarmu sampai berdarah."
Eza memutar bola mata, mencoba mengingat. Ya... dia ingat. Tidak mungkin momen itu terlupakan dari otaknya.
"Aku tahu Sanny suka kamu, jauh sebelum hari itu. Aku juga pergi dari taman karena sengaja ingin kasih kalian waktu berdua," jujur Rean.
"Aku bisa dengar saat Sanny akhirnya berani bilang sama kamu. Tapi... aku tiba-tiba emosi, karena kamu lebih pilih gimana menjaga perasaan aku daripada memikirkan Sanny yang susah payah bilang sama kamu."
Eza menyimak. Sebenarnya ia juga ingin tahu, alasan sebenarnya dari Rean.
"Seandainya kamu menerimanya, aku ga akan semarah itu. Aku udah memikirkan gimana caranya mundur pelan-pelan. Tapi kamu bodoh, sangat bodoh. Kamu buat Sanny nangis dan ga berpikir buat mengejarnya."
Mata kedua orang itu bertautan. Mereka sadar, mereka salah paham. Hal itu tidak pernah diucapkan, menguap begitu saja di udara. Namun kali ini Rean memutuskan untuk menghentikan salah paham tersebut. Seperti kata Eza, selamanya akan menjadi teman.
"Maaf!" giliran Eza yang mengucapkannya. "Aku ga mikir sampai sana," nada Eza tenang seperti biasanya.
Rean menghela napas panjang, ia hembuskan seolah sedang menanggung beban berat di pundaknya.
"Za, apa kamu suka Feya?" tanya Rean tiba-tiba.
Eza tahu kemana arah perbincangan mereka. Sedikitnya ia juga tahu Feya membuat Rean patah hati. Kalau tidak, tidak mungkin tatapan Rean akan sekosong ini dengan kalimat defensif dan putus asa.
"Iya!" jawab Eza singkat dan tegas.
Rean tersenyum asimetris. "Seandainya aku ga membuka hatiku buat Feya. Seandainya aku tetap menganggap dia pengganggu. Apa kamu akan jadi pacarnya?"
"Mungkin, aku ga tahu."
"Seandainya, kamu yang jadi pacarnya, semuanya akan jadi mudah, kan?" lirih Rean.
"Aku ga ngerti maksudmu. Ngomong-ngomong, kamu belum cerita tentang apa yang terjadi antara kamu dan Feya."
Rean mengeraskan rahangnya. Mata ambernya mengedip perlahan, seolah menahan tangis.
"Za... kamu percaya, Feya ga pernah benar-benar melihatku sebagai Rean."
Eza mengerutkan kening, tidak mengerti.
"Seharusnya aku tahu, dia cuma suka wajahku. Ga lebih," nada Rean lemah.
Ia memikirkan hal itu bolak balik, merasakan telinganya berdengung dan memberi sinyal bahwa ia dilanda stres. Namun Rean bisa mengatasinya, ia jadi pandai mengontrol kelebihannya.
"Belakangan aku memikirkan hal ini. Aku ga pernah berhasil setiap menyukai seorang wanita. Mungkin aku kena karma, dari ibuku di masa lalunya," ucap Rean lagi.
"Emang apa yang ibumu lakukan?"
"Aku ga akan cerita, dia terlalu menyedihkan."
Eza mengatupkan bibir. Tidak setuju dengan pemikiran Rean barusan.
"Rean, aku ga ngerti apa yang kamu bicarakan. Tapi bunda bilang, ibumu adalah orang terhebat yang pernah dia kenal. Dia sangat menyayangi keluarganya, dia sangat memanjakanmu. Jadi jangan pernah kait-kaitkan kejadian sekarang dengan karma yang kamu maksud. Itu ga sebanding sama apa yang ibumu perjuangkan."
"Dan tentang Feya. Aku memang menyukainya. Lihat dia tersenyum aja aku udah senang. Dan sumber senyum Feya itu kamu, Rean. Kamu ga bisa menyangkal kalo yang dia suka itu kamu."
Rean menyeringai. "Bukan, bukan aku... Sedikitpun Feya ga pernah suka sama aku."
Eza sempurna membisu. Mata Rean nanar, untuk pertama kali pertahanannya runtuh. Rean memaksakan diri menahan sakit di kepalanya. Cerita tentang Feya memang selalu memicu dengungan di telinga Rean, lagi dan lagi.
"Eza... tolong aku... gimana caranya melupakan Feya?"
🍀
F I N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top