Izal Senpai

"Kalau urusannya tentang basket, gue ikut. Kalau untuk taruhan, jangan bawa-bawa gue."

- Izal Setian -

🍀

Di waktu istirahat, seperti biasanya Izal dan teman-temannya bermain di sekitaran kelas. Bercanda lepas tidak memikirkan ujian yang buat sebagian orang kepayang. Mereka benar-benar bebas. Pasrah pada otak yang pas-pasan.

Seorang teman menyikut lengan Izal, sedangkan pandangan matanya berlari pada sosok wanita yang berjalan ke arah mereka. Seorang diri dengan langkah setengah terseret. Salah satu dari mereka berkelakar. "Siapa yang dapet nomor teleponnya, kutraktir!" tantangnya. Tentu saja, Izal ikut bertaruh. Siapa takut!

Izal kenal gadis itu. Si gadis Jepang yang tempo hari bernyanyi di festival. Izal tidak memperhatikan jelas, tapi desas desusnya gadis itu sangat memesona. Koran sekolah dan mading bahkan memberitakan dia. Meski Izal tidak tahu daya tariknya, selain rambut berombak dan kulit putih susu.

"Siapa duluan?" teman Izal mulai melakukan gencatan.

"Gue!" tangan Izal mengacung. Izal selalu suka taruhan. Jadi yang kedua adalah hal menyebalkan untuknya.

Belum dimulai rayuan-rayuan gombal Izal padanya, gadis itu berhenti melangkah. Ketukan kakinya tepat di hadapan kumpulan anak-anak kelas XII. Sekilas membuat mereka terdiam memerhatikan.

"Izal senpai?" (1) tanyanya.

Izal menganggap hal itu sebagai keajaiban. Pasalnya tidak ada gadis yang menyapanya duluan. Dengan panggilan Senpai pula.

"Ada Izal senpai? Katanya di kelas ini?" sahut Feya menunjuk kelas XII IPS 2.

"Apaan Senpai?" bisik Izal pada teman di sampingnya sambil garuk-garuk kepala.

"Gitu aja ga tahu, senpai itu artinya kakak kelas, bodoh!"

"Hahai gue dipanggil senpai. Iya neng cantik, gue Izal... Ada apa ya?"

Teman-teman Izal berakting muntah mendengar perkataan Izal dengan nada manja.

Izal menggeser badannya hingga berada cukup dekat dengan si gadis. Badannya pendek, hanya sampai leher Izal. Gadis itu mendongak, mata bulatnya kelihatan cemerlang.

"Namaku Feya Ryuuna," perkenalan singkat terlontar darinya. "Ano~ Izal senpai bisa main basket?"

Izal mulai bisa mengira apa maksud tujuannya datang. Feya mendengar kabar entah dari siapa, tentang prestasi Izal di bidang basket. Kapten tim SMA. Meskipun setengah tahun lalu ia mengundurkan diri. Sebagian karena alasan sudah kelas 3 dan mesti fokus belajar, sebagian lagi karena bosan bergabung bersama tim basket yang cuma tahu belajar men-drible atau passing setiap pertemuan.

"Hontou desu ka?" ia menepuk tangannya. Mata bulatnya makin besar. Berbinar.

"Euh, tolong jangan ngomong bahasa Jepang. Gue gak paham," ucap Izal jujur.

"A a a, gomen. Ah, maksudku maaf!" Feya menunduk.

"Nah, begitu lebih baik, kan?"

"Aku punya permintaan," ia membedakan nada bicara dari sebelumnya. Mulai serius.

"Aku minta Izal senpai bergabung di tim basket Rean-kun!"

"Hah?" kening Izal berkerut. Meminta Feya mengulang kata-katanya.

"Rean-kun terlibat taruhan bermain basket sama seseorang. Kupikir Rean-kun bisa menang kalau ada orang yang kuat di dalam tim. Orang-orang bilang senpai sangat jago basket, jadi..."

"Bentar... jadi lo temuin gue karena Rean? Buat tim basketnya?"

Feya mengangguk, rontokkan euforia yang sedari tadi buat Izal berbunga. Sekaligus membuat teman-teman di belakang berteriak, kali ini mengejek.

"Lu bercanda? Kenapa gue harus ikut taruhan. Itu masalah si pria sombong Rean."

Izal kenal Rean Kainand sebagai si cassanova yang minim etika. Bukan sekali dua mereka beradu tatap. Namun Rean selalu memberikan pandangan dingin tak bersahabat.

"Onegai shimasu, senpai!" Feya menangkupkan kedua tangannya. Sedangkan Izal merengut, buang muka dan sok jual mahal.

"Apa untungnya gue ikut coba?" ketus Izal.

"Mmm... senpai bisa menghabiskan energi lewat basket, kan sehat tuh."

"Keuntungan macam apa itu. Ga ah, gue ga tertarik," keputusan Izal bulat.

Izal meninggalkannya dibelakang tubuh. Feya keras kepala. Ditariknya ujung kemeja Izal. Lalu memberondong Izal dengan kalimat cerewetnya.

"Aku akan beri senpai hadiah. Apapun yang senpai inginkan," tawarnya tanpa keraguan.

"Hadiah?" Izal sedikit tertawa mendengar tawarannya. Sungguh tawaran berani untuk ukuran seorang gadis. "Maksud lu hadiah kayak gimana? Kalo ga menarik gue ga mau."

"Em, apa ya?" Feya menaikkan sebelah alisnya. Berpikir. "Apa yang senpai suka? Topi? Sepatu? Atau..."

"Gue ga mau yang kaya gitu, sesuatu yang lain. Misalnya... kencan."

"Eee~" wajah kagetnya lucu. Ditambah dengungan seperti suara anak anjing.

"Ya, kencan berdua. Cuma lu sama gue, ke tempat yang gue suka. Kalo ga mau yaudah, gue ga ikut gabung tim."

Feya tidak langsung menjawab. Ia berpikir dengan caranya sendiri. Ia mengerucutkan bibir, nampak telah siap dengan keputusannya.

"Haik, wakatteru! Apa dengan itu senpai mau bergabung sama tim Rean-kun?"

"Yah, sebenarnya gue ga ngerti kenapa lu sangat memaksa hanya untuk si sombong itu. Tapi gue laki-laki, laki-laki pantang ingkar janji!"

"Ooo sugoi~"

Feya berjingkrak girang. Ia menangkap kedua tangan Izal dan menggoyang-goyangkan di depan perutnya. Itu tanda perjanjian tidak tertulis antara mereka telah di sepakati.

"Gue minta nomor lu, biar kontekannya lebih gampang.

Sejurus kemudian, Izal sudah dapat nomor Feya di ponselnya. Feya melambaikan tangan dan beranjak pergi. Rupanya ia ditunggu seseorang gadis bule yang bersandar di tembok. Dari tadi ia melihat mereka dengan mata sinis.

Kemudian Izal berbalik dan membusungkan dada pada temannya.

"Jadi, siapa tadi yang bilang mau traktir?"

🍀

Pikiran Rean tak menentu, belakangan ia jadi sering melamun. 'Ayah' jadi semacam kata kunci untuk menguak masa lalunya kembali. Ia jadi tidak bisa tenang dan rasa penasarannya tinggi.

Feya memperparah mood-nya dengan mengatakan sudah mengajak Izal dari kelas XII untuk bergabung di tim-nya. Rean tahu Feya tulus memikirkan kemenangan untuknya. Tapi dasarnya Rean sedang tidak enak hati, ia membentak Feya dan membuatnya sempat bergidik oleh kata-kata emosi.

"Aku udah bilang, jangan ikut campur urusanku!" marah Rean.

"Demo.. Rean-kun.. aku juga mau bantu. Aku ingin Rean-kun menang. Izal senpai bisa membantumu menang," lirih Feya.

"Aku yang menentukan siapa-siapa yang jadi tim-ku. Kamu diam aja dan jangan sok tahu."

Kalimat itu sukses membuat Feya bungkam. Bibirnya merengut, ekor matanya tertarik ke bawah nyaris menangis.

"Gomenasai!" nadanya defensif.

Feya tak lagi bersemangat seperti saat pertama mengatakan berhasil mengajak Izal bergabung. Ia menunduk dan memilin ujung rok abu-nya.

"Ano~ Rean-kun..." gadis itu menatap mata Rean dengan lirih. "Apa buatmu ga apa-apa kalo kita putus?"

Seperti diingatkan, Rean lupa poin itu, isi kepalanya hanya tentang 'Menang dan dapatkan informasi tentang ayah.' Ia lupa sisi taruhan yang lain kalau ia harus putus. Rean menarik napas panjang. Matanya menelusup ke bola mata Feya yang mulai tergenang air mata.

"Hanaretakunai! "(2) ucap Feya pelan dan lemah. Rean mengerti, dia bisa bahasa Jepang karena ayahnya sering bergumam dengan bahasa itu. Tapi ia berpura-pura tidak mengerti, sampai Feya menggigit bibir bawahnya dan menggelengkan kepala.

"Haa~ gomen... Kalo gitu aku akan dukung Rean-kun dari tempatku. Asal kamu tahu, aku selalu di pihakmu. Gambare!" (3) Feya terdengar menyedihkan karena tidak seperti kalimatnya, raut wajah Feya malah seperti ingin menangis.

Feya menarik diri, tanpa pamit ia berlari menuju kelasnya. Rean memperhatikan gestur tubuh Feya yang kecewa. Desah napas Feya terdengar berat, bukan suara yang ingin Rean dengar.

Kali itu rupanya Sanny memperhatikan dialog mereka. Ia mendekat, begitu Feya tidak terlihat di lorong tempat mereka kini berada.

Sanny bukan datang untuk berdamai, sebaliknya ia datang untuk menghakimi Rean yang sudah membuat Feya-nya menangis.

"Dia udah susah payah ngajak Izal gabung sama tim-mu, dia bahkan menjanjikan kencan sama Izal supaya dia benar-benar mau. Tapi lihat tingkahmu.. ga bisakah kamu menerima atau menghargainya?" Sanny mulai berceramah.

Rean diam saja. Pemandangan langka, Sanny bisa mengucapkan banyak kalimat, dan yang diucapkannya adalah tentang Feya, gadis yang sudah Rean pilih untuk tidak ia abaikan.

"Masa bodoh dengan ayahmu, aku cuma ga mau kamu kalah dan Feya harus pindah dari sini," lanjut Sanny. "Dia temanku, dan selamanya aku ada di pihaknya. Jadi berbaik-baiklah dengannya," ancam Sanny.

Mata mereka bertautan. Tidak ada lagi bentuk cinta yang sempat mewarnai hari-hari indah mereka. Peran Sanny hari ini sebagai teman yang memarahi pacar temannya yang tidak becus, atau sebagai kakak yang membela adiknya.

"Menanglah, dan jangan jadi pengecut."

Sanny menancapkan kalimat terakhirnya sambil lalu. Rean tahu, Sanny akan menghampiri Feya untuk menghiburnya. Gadis ini tahu bagaimana menenangkan hati sahabatnya.

Dan detik Sanny mengetukkan kaki untuk pergi, Rean menghela napas panjang. Ia menyesal. Tak bermaksud membuat Feya menunjukkan wajah muram padanya. Ia jadi mulai mengambil keputusan. Ia harus menang. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Dengan menang ia bisa dapat informasi tentang ayahnya, juga... ia tidak harus berpisah dengan gadis yang telah merebut hatinya kini.

🍀

Rean menghampiri Izal di kantin. Ia merasa perlu bicara dengannya. Bukan lewat Feya, tapi harus dirinya sendiri. Rean tahu perihal kehebatan Izal mengenai basket. Mengajaknya bergabung adalah keputusan yang benar.

"Oke, gue udah bilang setuju waktu pacar lu minta. Cara dia meminta lebih baik daripada lu yang sekarang dengan wajah nyebelin kaya ngajak berantem ini," celoteh Izal begitu Rean selesai mengatakan maksudnya.

Izal menyilangkan tangan depan dada. Tinggi badan mereka nyaris sama, tapi otot Izal lebih berisi, tulang-tulangnya lebih berat, lebih macho.

"Lu butuh tim, kan? Gue udah hubungi temen gue di SMA Unggul, mereka lebih bisa diandalkan daripada anak basket sini yang kemampuannya ecek-ecek," kata Izal.

Rean tidak memberikan ekspresi apapun, tapi Izal tahu kalau Rean tentu setuju dengannya. Kalau memperhatikannya dengan seksama cukup mudah membaca Rean. Saat itu yang ditangkap Izal adalah Rean sedang mengucapkan terima kasih, tanpa suara, tanpa ekspresi.

"Pulang sekolah gue kenalin lu sama Jeff dan Theo. Mereka akan buat lu menang, apapun taruhannya," ucapnya lagi.

Perbincangan mereka dianggap selesai. Ada waktu janji temu, ada kesepakatan, dan apalagi yang harus membuat mereka bertatap lebih lama.

Tinggal satu orang lagi, Rean kekurangan seorang anggota tim. Ia tidak mencari ke tempat lain. Selalu orang itu yang ia cari untuk menutupi kekosongan. Eza Harudi.

Eza yang pertama mengajaknya berbincang. Ia memberitahukan pesan dari Yicky tentang waktu pertandingan dan segala detailnya. Pertandingan akan berlangsung hari selasa begitu kelas telah usai. Dan sampai saat itu tiba, Rean diminta berlatih dengan keras karena Yicky tidak akan main-main.

Setelah selesai urusannya, Eza beringsut pergi. Rean menghentikan langkah kakinya yang ketiga.

"Eza!" panggil Rean tanpa menoleh ke arah Eza. "Kau... bergabunglah denganku!"

Eza sempat terdiam. Dinding es yang Rean ciptakan telah rubuh dengan sempurna. Eza melakukan euforia dengan menyunggingkan senyum yang dijuluki 'senyum seribu watt.'

"Tentu saja, tanpa kamu bilang pun, udah pasti aku masuk tim-mu."

Tatapan mereka bersinggungan. Tidak lama hanya dua detik. Bel tanda istirahat berakhir telah melengking keras dan mengharuskan mereka kembali ke bangku masing-masing.

Rean bersedekap di bangkunya.

Ia tersenyum.

🍀

F I N

Kamus :

(1) Senpai = panggilan untuk kakak kelas
(2)Hanaretakunai! = aku ga mau putus denganmu
(3) gambare = semangat

========================


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top