In Wedding
Rean tidak mengenal kata jet lag. Semenjak awal karirnya ia terbiasa pulang pergi dengan pesawat untuk menggelar konser di beberapa negara.
Pagi-pagi ia berangkat dari New york. Perjalanan dari JFK New York sampai ke Bandung menghabiskan waktu 48 jam, dua hari. Pesawatnya sempat transit dua kali di Frankfurt dan Singapore. Di waktu luang itu, Rean membeli beberapa barang untuk ia hadiahkan pada pasangan mempelai.
Rean tiba pukul 7 malam, beristirahat sejenak di hotel, kemudian menyewa taksi ke gedung Wisma Wanita yang letaknya tak jauh dari mantan SMA-nya dulu.
Malam hari di Bandung tidak sebising New york. Telinga Rean mengenali sekelibat suara yang ditangkapnya melalui jendela taksi yang terbuka. Semua nampak sama, tak ada yang berubah sejak terakhir kali ia meninggalkan kota tersebut.
Rean tidak pernah mau kembali, seperti mengoyak lagi luka yang sudah kering. Demi Eza, ia menerobos janji yang tidak tertulisnya. Sebab pria itulah yang selamanya akan menyandang kata sahabat. The other half-nya.
Taksi berhenti di pelataran gedung berhiaskan janur kuning. Selesai urusan dengan taksi, Rean berjalan mantap memasuki gedung yang telah ramai orang.
Rean disambut para penerima tamu yang bersanggul dan kebaya. Rean menyerahkan bungkusan kado sebagai hadiah untuk mempelai. Ia mengisi daftar hadir, menuliskan dengan bangga bukti kedatangannya.
Rean Kainand from NY.
Di dalam gedung telah ramai tamu. Rean membenak, ada berapa orang yang diundang Eza. Apa ia seterkenal itu sampai harus mengundang siapapun di hari pernikahannya?
Rean mengabaikan pikiran yang menggelitik di otaknya. Mata Rean berlari pada Eza yang berada di podium pelaminan. Ia nampak gagah dengan tuksedo hitam dan kemeja putih menyembul diantara leher kurusnya. Di sampingnya telah berdiri dengan anggun seorang wanita berhiaskan mahkota dan gaun putih panjang bak putri dari kahyangan.
Rean memperhatikan mereka berdua dari jauh. Eza menyiratkan senyum bahagia, dan wanita di sampingnya pun sama. Pandangan mereka saling bertautan, tidak ada keraguan lagi, mereka saling jatuh cinta. Mereka membuat iri seluruh tamu yang hadir. Mereka-lah raja dan ratu malam hari ini.
Rean berjalan menghampiri podium yang mulai sepi dari tamu yang ingin bersalaman. Rean berlari kecil, kehadirannya disadari Eza. Dan dalam satu lompatan mereka sudah saling berpelukan. Tentu saja, mereka rindu. Jarak membuat mereka tidak bisa sesering dulu untuk bertegur sapa.
Lima detik, Rean dan Eza saling menghidu bau satu sama lain. Tidak ada yang benar-benar berubah. Eza tetap beraroma jasmine, dan Rean peach. Sudah seperti parfum permanen mereka, dan tanpa diduga itulah yang jadi feromon keduanya.
"Aku tahu kamu pasti datang," ucap Eza setelah melepaskan pelukan dengan Rean.
"Ini ga gratis, sebagai balasannya kamu harus datang ke konserku," Rean memberi syarat.
Keduanya tersenyum. Nampaknya podium pernikahan bukan tempat yang tepat untuk melepas rindu. Ada banyak antrian yang menunggu Rean di belakang. Tapi karena pria ini spesial, Eza memberi tanda pada pengatur tamu agar Rean bisa sedikit lebih lama dibanding yang lain.
"Kapan kamu pulang ke New york?" tanya Eza.
"Lusa, aku ga bisa lama-lama."
"Aku tahu, konsermu, kan?" Eza mengangguk-angguk. "Kamu harus ambil libur beberapa hari dan main di sini."
"Yah, mungkin lain kali."
Setelahnya mereka melakukan senyum dengan porsinya masing-masing. Sungguh, ada rasa rindu yang kental mengalir dari keduanya. Sulit diungkapkan kata-kata, namun mereka merasakannya.
Eza memperkenalkan istrinya, wanita berbalut gaun nan anggun itu sedikit membungkuk dengan tarikan senyum manis. Melihat senyumnya membuat Rean terpancing melakukan senyum juga. Wanita itu adalah simbol keindahan yang Tuhan ciptakan untuk seorang Eza Harudi. Keduanya nampak serasi, jodoh memang selalu begitu, terlihat cocok dan mirip.
Mereka menyudahi aksi kangen-kangenan itu. Antrian tamu yang ingin bersalaman sudah mengular panjang. Rean undur diri, ia pamit turun dari podium.
"Kau bisa ketemu yang lain, mereka udah datang," seru Eza di sela langkah Rean yang turun podium. "Have fun. Enjoy the party!" tambahnya lagi. Rean membalasnya dengan senyum.
Ia membaur di antara tamu-tamu yang sebagian besar tidak ia kenali. Pandangan Rean mengedar ke seluruh penjuru gedung berharap menemukan seseorang yang ia rindukan.
Untunglah seseorang memanggil Rean. Itu Sairudi dengan pacarnya, Ayumi.
Berbeda dari Sairudi yang biasa nampak santai dengan dandanan fungky, kini dia lebih rapi mengenakan tuksedo biru navy sewarna dengan gaun selutut milik Ayumi.
"Hai, kak Rean!" suara Sairudi masih seriang dulu. Dia pria yang paling riang sejauh yang Rean kenal. "Baru datang, ya?"
Rean mengangguk sambil menarik sedikit ikatan dasi, sesaat ia merasa tercekik.
"Tuh, di sana udah ada kak Dhani dan Sanny. Kalo kak Izal lagi antri makan zuppa zuppa," terang Sairudi sambil menunjuk-nunjuk.
Sebenarnya, Rean mengharapkan satu nama disebut, tapi tidak. Sairudi sudah mengganti tema pembicaraan tentang Eza dan istrinya. Rean tidak begitu menyimak, ia melamun tanpa sebab. Ia dan pacarnya asik saja membahas pemandangan di atas podium pelaminan.
"Hoi!" seseorang menepuk pundak Rean. Ia terhenyak, lamunannya spontan berhenti. Dia adalah Dhani dengan hidung mancungnya yang jadi ciri khas.
Di belakangnya ada Sanny yang mengenakan gaun hitam dengan bagian bahunya terbuka. Sanny nampak glamour dan mencolok di antara backround serba putih. Seolah dialah bintang di atas lantai.
Sanny mengulum senyum satu senti pada Rean yang dibuatnya terpana tanpa berkedip. Sadar pacarnya sedang diperhatikan secara berlebihan, Dhani menarik Sanny agar berada di belakang tubuhnya. Dhani memasang badan, menyembunyikan intan permata hanya untuk dirinya sendiri.
"Mata lu woles dong, bro. Gue tahu lu sempet pacaran sama Sanny. Tapi sekarang dia punya gua," desis Dhani.
Rean menyeringai, ia menggeleng tak percaya. Dhani baru saja cemburu padanya.
"Dhan, kamu ga lucu!" protes Sanny.
"Habisnya, gua ga mau Rean terpesona sama lu. Kalo lu balikan sama mantan gimana? Gua kudu ngapain?"
Sanny menghela napas. Sepertinya itu bukan kali pertama Dhani bermanja-manja dan posesif. Rean malah tertawa tanpa suara.
"Rean, kamu udah ketemu Eza?" Sanny berusaha mengabaikan Dhani. Rean mengangguk sekali.
Lagi, matanya seperti sedang mencari. Setiap wanita dengan rambut gelombang tidak lepas dari sapuan mata Rean. Sanny mengerti. Ia merasa perlu memberitahu.
"Dia belum datang, atau mungkin ga akan datang," ucap Sanny.
Rean menoleh pada Sanny yang menatapnya tajam.
"Aku ga berharap dia datang," sangkal Rean.
Sanny mendengkus. "Ayolah, aku tahu kamu rindu padanya. Feya udah sembuh. Kamu bisa mengulangnya lagi dari awal."
"Ga ada yang harus aku ulang."
Sanny memutar bola matanya, seperti lelah memberitahu anak kecil yang keras kepala.
"Terserah. Aku ga mau ikut campur lagi urusan kalian." Sanny marah. Ia menghentakan kakinya ke lantai kemudian pergi. Dhani mengekor dari belakang setelah memberi pelototan ringan pada Rean.
Kemudian, Rean dikejutkan oleh sebuah pelukan dari tangan kecil di kakinya. Seorang anak perempuan sedang mendongak menatap Rean. Kontak mata tidak begitu lama, sebab ayah dari anak itu akhirnya datang menghampiri.
"Hara, jangan nakal... eh... " ayah dari anak itu adalah Yicky. Kecuali jambangnya, Yicky banyak berubah dibanding siapapun yang Rean temui. Rambut kuningnya sudah berubah warna jadi hitam, kantung mata makin menghitam, dan sorot matanya sedikit teduh.
Yicky meraih anak perempuannya yang berusia dua tahun. Menggendongnya seperti sedang membawa bola basket.
"Gue kira lu ga akan dateng," terka Yicky.
Tak lama, seorang wanita muncul dan menghampiri Yicky. Ia menggendong anak perempuan itu, mengecupnya penuh sayang.
"Ah, ini istri gue, Kara! Kara... dia Rean, temen lama," kenal Yicky.
Keduanya membungkuk, tidak ada salam tangan sebab istri Yicky sedang menggendong anaknya. Kerepotan.
"Hara biar sama mama aja, kalo papa mau ngobrol sama temennya, silahkan!" istri Yicky berbaik hati memberikan privasi. Yicky mengucapkan terima kasih dengan cara mencium kening istrinya lembut. Rean memperhatikan.
"Lo ga keberatan kan, kita keluar gedung. Di sini berisik," usul Yicky mendapat anggukan dari Rean.
Mereka berjalan bersama keluar gedung, bersandar pada tembok penghubung gedung. Yicky menyalakan rokok, menyesapnya sampai asap mengepul ke udara.
"Lo ngerokok?" tanya Yicky. Rean menggeleng. Ia belum pernah menyentuh benda itu sama sekali.
"Bagus, lebih baik jangan ngerokok. Ini ga sehat. Kalo gue, biarin aja, udah tanggung."
"Bukannya atlet dilarang merokok?"
"Gue udah bukan atlet lagi," Yicky meniup asap di mulutnya. "Urat archilles gue putus waktu pertandingan lawan Maroko, salah jatuh. Meskipun dirawat, tapi kaki gue udah ga sama kayak dulu. Makanya gue putuskan gantung sepatu."
Rean menatap wajah Yicky pilu. Rean paham, butuh ketegaran untuk mengucapkan kalimat tersebut. Di antara semua orang Yicky-lah yang paling menggebu tentang mimpi basketnya.
"Hidup terus berjalan, gue ga bisa terus mengeluh. Satu yang gue sadari setelah sempat berhenti, kalo hidup ternyata sama menyenangkan meskipun kita jalan santai. Banyak yang bisa gue perhatikan lebih teliti daripada saat gue berlari," nasehat Yicky.
Asap terus mengepul dari bibir Yicky yang tipis. Yicky menoleh pada Rean.
"Gimana sama lo? Gue denger lo jadi musisi terkenal di New york sana, lo pasti super sibuk."
Rean menggeleng. Dia memang sibuk, tapi tidak ada yang dia sesalkan. Sebab itulah yang ingin ia kejar selama ini, kesibukan membuatnya sedikit lupa pada Feya.
"Rean... sori! Dulu gue pernah nyuruh lo lupain Feya. Gue nyesel!"
Rean mengerutkan kening.
"Feya itu, ga pernah benar-benar bahagia dalam hidupnya. Dia dipisahkan dari Aru, ditekan ibunya agar melupakan obsesi. Dia ga gila tapi dimasukan ke rumah sakit jiwa sama ibunya. Feya harus pura-pura baik biar bisa keluar rumah sakit jiwa. Makanya dia bisa bersandiwara dan menipu semua orang. Feya selalu menyimpan perasaannya dalam hati.
"Tapi... pertama kalinya gue lihat Feya benar-benar bahagia saat pacaran sama lo. Dia bisa jujur, dia bisa menikmati hari-harinya jadi orang yang dicintai.
"Rean... gue salah. Feya suka sama lo. Elo juga alasan Feya berusaha buat sembuh. Gue diberitahu Aru, kalo Feya penggemar berat lo. Dia selalu nonton konser lo di manapun. Dia suka sama lo di tempat tersembunyi."
Rean sedikit tidak percaya. Ia mengerutkan kening, menatap Yicky berusaha menangkap maksud perkataannya.
"Rean... gue minta sama lo. Bahagiakan Feya. Cuma lo yang bisa," permintaan Yicky membuat Rean menunduk. Seketika merasa tidak percaya diri.
"Jangan terlalu berharap banyak dariku. Feya gak akan sama dengan yang dulu," keluh Rean.
"Siapa bilang?" Yicky membuang puntung rokoknya, satu batang sudah habis dihisapnya. "Hari ini Feya datang sama Aru. Katanya sedikit terlambat, mungkin sekarang mereka udah datang."
Bola mata Rean membulat. Tiba-tiba saja dadanya berdebar, belum bertemu saja jantungnya sudah bertalu-talu. Hatinya memaksa untuk bertemu, ia rindu.
"Gue masuk duluan, anak dan istri gue udah nunggu," pamit Yicky.
Tubuh tinggi tegap itu menghilang ke dalam gedung. Rean masih diam di posisinya. Batinnya membenak antara menemui Feya atau pergi saja.
Ingatan Rean menyeruak masuk tanpa diundang. Ia ingat masa-masa pacaran dengan Feya. Ketika Feya tersenyum dan mendendangkan nada Rean-kun, ketika jemari mereka bertautan, ketika langkah kaki mereka seirama, juga... ketika Rean memeluknya.
Rean tahu Feya tidak berbohong waktu itu. Senyumnya yang tulus, perkataan yang jujur. Andai ia punya waktu, ia ingin memastikan sekali lagi.
Rean berlari ke dalam gedung. Matanya mengedar ke segala penjuru. Setiap orang tidak lepas dari penglihatannya. Rean ingat-ingat lagi wajah yang ia rindukan. Wanita yang membuatnya frustasi karena sangat mencintai.
Di sana, tepat di hadapan Rean. Berdiri seorang wanita mengenakan gaun putih selutut. Bahunya terbuka menampilkan leher tirus berhiaskan kalung perak yang berkilau. Rambut keemasan ia ikat dengan poni panjang menjuntai sampai ke pipi. Bibirnya merah merona, matanya bulat mempesona.
Wanita itu adalah Feya.
Pertama kalinya setelah kejadian di rumah sakit, Rean menatap Feya secara langsung. Beda dengan sebelumnya, kali ini Feya tersenyum. Bibir tipis itu melengkung seperti bulan sabit. Itu Feya yang Rean rindukan.
F I N
Yasss~ satu part lagi F.E.A.R tamat.
Aku pasti bakal kangen banget sama mereka.
like dan komen ya...
terima kasih terus mengikuti kisah Feya dkk...
i love you pokoknya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top