Back to Music, Again...
"Mendiamkan bukan berarti tidak peduli."
- Eza Harudi -
🍀
"Rean... Rean Kainand?" pak Irdan mengabsen nama dari catatan.
Ini sudah panggilan yang ketiga kalinya, dan orang yang dipanggil-panggil tidak menyahut juga.
"Ah, apa dia ga masuk kelasku lagi? Ada yang tahu dia dimana?" pak Irdan masih bertanya.
Seperti terbiasa dengan kejadian macam ini, pak Irdan mendengus kesal. Para murid termasuk Eza cuma bisa melarikan tatapan, pura-pura tidak tahu.
Pak Irdan mencoret-coret catatannya di atas meja guru. Sesuatu yang pastilah bukan hal baik.
Sesi absen selesai dengan cepat. Pelajaran musik pun dimulai. Mereka sedang membahas permainan piano Mozart Piano Sonata no 6. Pak Irdan memainkan piano secara piawai dan bercuap-cuap menerangkan.
Sementara itu, Eza melamun memandangi jendela ruang musik yang menampilkan gudang peralatan olahraga. Eza dengar dari Dhani, bahwa Rean biasanya tidur di sana selama pelajaran musik.
Pak Irdan menangkap basah kegiatan melamun Eza. Sepertinya ia keliru mengira Eza tidak memperhatikan pelajarannya. Sebab, setelah itu Eza dipanggil pak Irdan.
"Eza Harudi, kau bisa bantu mainkan lagu ini?"
Eza mendorong batang kacamatanya. Perasaannya sedikit tidak tenang. Ia segera berdiri dan menjawab perintah pak Irdan.
Ia berjalan ke podium dengan sebuah piano terpajang di sana. Pak Irdan bangkit lalu mempersilahkan Eza duduk di kursi piano.
"Lanjutkan sampai bait yang bapak mainkan tadi," pak Irdan bermaksud menyudutkan. Sepertinya ia benar-benar mengira Eza tidak memperhatikannya.
"Bagian mana, first movement atau second movement? Bapak memainkannya sampai tengah-tengah."
Gelombang gumaman 'Wooo~' kedengaran dari mulut teman sekelas. Pak Irdan tidak habis pikir, ia menyilangkan tangan di depan dada. Gelagatnya mengartikan ia bangga atas ucapan murid terpintarnya barusan.
"Mainkan saja dari awal!" perintahnya sambil menepuk bahu Eza pelan.
Pak Irdan menyuruh yang lain memperhatikan permainan piano Eza. Tapi, Eza tidak akan bisa berhenti bila sudah memulai sesuatu. Ia memainkan tuts piano dengan jari lincah. Eza tidak menganggap musik adalah perintah atau sebuah hukuman, ia menikmati tiap lantunan nada yang keluar.
Diam-diam ia panggil lagi masa lalu saat memainkan nada yang sama dengan seseorang. Sayangnya orang itu tidak ada di sana.
🍀
Pak Irdan memberikan sinyal lewat lambaian tangan agar Eza ikut ke ruangannya begitu pelajaran musik selesai. Eza malas menerka, selama di perjalanan menuju ruang guru pikirannya kosong. Tidak bisa berpikir logis kenapa ia dipanggil.
Pak Irdan menyuruh Eza duduk di hadapannya. Sedangkan pak Irdan bersandar pada mejanya yang penuh tumpukan kertas. Suasana ruang guru lumayan sepi, hanya ada guru sejarah yang kali itu tidak ada jam mengajar.
"Apa di pelajaran lain Rean selalu membolos seperti ini?" pak Irdan to the point.
"Emm... Enggak! Kurasa cuma di pelajaran musik aja Rean membolos," komentar Eza jujur.
"Kamu tahu kemana dia membolos?" pak Irdan menurunkan suaranya agar tidak kedengaran guru sejarah di dekat pintu sana.
"Enggak tahu, pak?" Eza bermaksud menyelamatkan Rean dengan berbohong. Meskipun ia yakin Rean tidak akan peduli walau tempat persembunyiannya digerebek pak Irdan.
"Hmm... gitu ya?" dagu pak Irdan naik.
Pak Irdan terbilang guru muda, ia satu-satunya guru yang masih melajang. Tapi umur bukanlah penilaian jitu pekerjaan seseorang. Buktinya ia bisa menjadi wakil kepala sekolah. Dan nilai plusnya adalah... ia tampan.
"Apa cuma itu, pak?" Eza mengangkat pantatnya dari kursi, bersiap kalau pak Irdan memberi ancang-ancang supaya pergi. Tapi pak Irdan malah memintanya duduk lagi dengan satu gerakan jarinya yang turun.
"Duduklah, bapak mau minta tolong sesuatu."
Eza kembali duduk. Pak Irdan sempat menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya lagi.
"Tolong, bawa Rean kembali bermusik," pintanya dengan mata nanar. "Kau satu-satunya orang yang dekat dengan Rean. Kau juga yang tahu alasan perubahan sikap Rean seperti sekarang. Sebagai paman atau sebagai gurunya, bapak engga berhasil membuat Rean mencintai musik seperti dulu lagi."
Eza menghela napas, tidak berani mengatakan apapun selain mengangguk tanpa arti.
"Kalian masih berteman, kan?" pertanyaan pak Irdan menggaung di telinga. Butuh lima detik sampai telinga Eza terbiasa mendengar kata 'teman' darinya.
"Entahlah, aku ga tahu."
Eza ingat-ingat lagi hubungan mereka selama ini. Ia membuang muka terus menerus, dan Rean yang tidak mempedulikan sosoknya. Apa semacam itu masih terbilang hubungan teman?
Pak Irdan duduk di kursinya. Ia memberi isyarat bahwa perbincangan mereka sudah berakhir. Ia menukasnya dengan sebuah basa basi.
"Baiklah, kamu boleh kembali ke kelas."
Eza berjalan gontai. Rutenya ke kelas sedikit memutar, bagaimanapun ia penasaran tentang rumor Rean dan gudang peralatan olahraga.
Eza telah sampai dalam hitungan menit. Diperhatikannya pintu gudang yang sedikit terbuka. Eza mengintip, hanya sedikit, hanya sampai ia bisa melihat sosok Rean benar ada di sana. Laki-laki itu sedang tidur terlentang dengan tangan menghalangi mata. Tubuhnya sulit kelihatan karena tertutup tumpukan bola basket di keranjang.
Eza membuang muka. Ditutupnya pintu pelan-pelan. Sampai tidak ada celah yang bisa mengintipnya.
FUH!!
Eza berjalan menuju kelasnya. Sepanjang jalan pikirannya semrawut. Suasana hatinya juga sedang tidak nyaman. Ia butuh ditenangkan.
Di hadapannya sana, ada keributan berasal dari seberang kelasnya. Yang tidak lain adalah kelas Feya, X-3. Eza mengernyitkan dahi, kerumunan apa yang membuat para laki-laki bertumpuk di pintu kelas Feya.
Eza hanya perlu berjalan semakin cepat, lalu datang untuk mencari tahu. Dengan mata kepalanya sendiri.
🍀
"Kyaaaaaaaaa~"
Sudah yang ke tujuh kali di hari ini. Semenjak Sairudi memberikan selembar foto pada Feya, ia jadi sering berteriak tiba-tiba. Feya menepuk-nepuk pipinya, bertindak heboh saat potret Rean dipandanginya lekat-lekat.
"Dasar gila, kau mau buat telingaku pecah?" protes Sanny.
"Habis... habisnya Sanny-chan, foto Rean-kun kakoi (1) banget deh!"
"Fey, serius... lama-lama kamu jadi gila ya."
"Biarin, aku gila sama Rean-kun kok, kyaaaaa~"
Feya berteriak lagi dan lagi. Sanny hanya bisa menutup telinga dengan kedua tangan.
Tiba-tiba selembar foto yang dikagumi Feya sedari tadi melayang begitu saja. Bukan karena angin, melainkan sebuah tangan mengambilnya dengan paksa. Feya terhenyak. Itu ulah Giria.
"Ah, lihat ini, bukankah ini foto si tampan Rean dari kelas 2. Gimana kamu punya fotonya?" cibir Giria.
"Berikan padaku!" Feya merebahkan tangan.
Feya berjinjit-jinjit. Badan Giria memang lebih tinggi, tangannya juga panjang. Sangat mudah menaruh foto di tangannya tanpa dikenai Feya yang pendek.
"Biar kutebak, kau diam-diam memotretnya, kan? Haaahh, dasar si pencuri foto!" Giria makin menjadi.
Sanny menghentak meja, berdiri dengan tiba-tiba sampai kursinya terdorong ke belakang.
"Giria, taruh foto itu dan pergi sana!" Sanny mengatakannya dengan lantang. Giria bahkan melotot pada Sanny.
"Diam kamu, bodyguard!" desis Giria sarkatis.
"Bodyguard?"
"Iya, kamu itu bodyguardnya si Feya. Dasar si pemurung yang ga tahu diuntung. Diam aja sana dipojokkan. Kamu kira karena ada teman sebangku yang bodoh kayak Feya, kamu bisa berulah? Kamu itu dibenci tahu, ga ada teman yang mau sama wanita kaya dan sombong sepertimu, kamu itu cuma..."
PLAK!
Kejadian itu begitu cepat. Suara tamparan keras melayang di pipi Giria. Dan yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan Feya. Giria sedikit menganga tidak percaya, pipi mulusnya kini berubah warna jadi merah.
"Kamu... apa-apaan..." sentak Giria tidak terima.
"Lihat, kau menekuk fotoku. Aku ga akan mengampunimu kalau foto itu sampai rusak."
"Heh, Feya! Kamu nampar aku karena foto? Kamu pikir siapa yang lagi kamu tampar ini, heh?"
"Apa? Aku juga akan menggigit dan mencakarmu, kalau kamu melakukan sesuatu sama fotoku. Kembalikan!"
"Kau ini benar-benar. Kubakar saja sekalian foto sial ini."
"Kyaaaa jangan!"
Terjadi perebutan. Bukan hanya menekuk tapi foto Rean melipat di sana sini. Giria meremasnya dengan kekuatan penuh. Bahkan menyobeknya menjadi dua. Tentu saja, Feya marah. Dia menggigit lengan Giria. Karena kesakitan barulah Giria melepas foto Rean.
Saat itulah para laki-laki berkerumun di depan kelasnya. Menonton perkelahian gadis-gadis cantik karena selembar foto.
"Gila, kamu udah gila!" teriak Giria sambil dipisahkan oleh teman sekelasnya yang lain. Giria dibawa keluar kelas.
Feya terisak meratapi foto Rean. Kedua kakinya menghentak di lantai, lalu mengacak-acak rambutnya sampai kusut.
"Huweeeeee... bagaimana ini, foto Rean-kun..."
"Jangan nangis, nanti minta lagi aja sama Sai." Sanny menepuk pundak Feya yang bergetar.
"Ga mau... foto Rean-kun... huweeee~"
Kemudian Eza datang. Eza menghampiri Feya dan Sanny. Ia bertanya lewat isyarat mata pada Sanny. Sanny menunjuk foto Rean yang sobek sebagai jawaban.
"Kamu... berantem dan nangis cuma karena foto?" ucap Eza sedikit emosi.
"Bukan 'cuma'... itu foto Rean-kun. Huweeee~"
Eza mendengus. Kentara sekali ia kelihatan kesal.
"Kenapa harus foto kalau orangnya ada di sekitar sini," nada Eza menanjak.
"Tapi kan..."
"Ikut aku!"
Eza menyeret tangan Feya. Seperti kejadian sebelumnya, Eza membelah kerumunan. Bedanya, Sanny menangkap lengan Eza. Menghentikan Eza.
"Mau dibawa kemana Feya?" sahut Sanny.
"Bukan urusanmu, lepaskan tanganmu!" balas Eza kasar.
"Urusan Feya, jadi urusanku juga."
Beberapa detik mereka saling pandang.
"Oke, biar kamu ikut juga. Kita ke tempat Rean. Selesaikan obsesimu sama Rean. Itu lebih bagus ketimbang kamu tergila-gila sama foto kan?"
"Demo, Kaichou~"
Eza menarik lengan Feya lagi. Membawanya melewati lorong, sampai ke gudang peralatan olahraga. Eza membuka paksa. Menyeret Feya sampai ke tempat Rean tertidur. Karena bising, Rean membuka kelopak matanya. Terbangun.
"Bangun Rean, ada yang harus cewe ini katakan sama kamu," ketus Eza.
"Kaichou... aku engga..."
Feya dihadapkan pada Rean yang duduk selonjoran di matras. Feya terdiam ketika melihat mata sayu Rean mendelik padanya. Eza melepas lengan Feya. Meninggalkan Feya di dalam gudang peralatan olahraga bersama Rean.
Mata mereka bertemu, yang satu dengan mata sayu tak bergairah, yang satunya lagi membulat penuh dan nanar.
"Ano~ gomenasai Rean-kun!"
🍀
F I N
Kamus :
(1) Kakoi : keren
========================
Dont forget like and comment
See you tomorow
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top