Bab Tiga Belas: Penolakan?!
AKU bermimpi lagi nonton pertunjukan tong setan di pasar malam yang suara knalpot motornya berisik banget sampai membuatku terjaga dari tidur, tapi ternyata suara itu berasal dari suara ngorok Putra di sebelahku. Kepalaku masih berada di dada berbulunya, sedangkan dia tidur telentang. Ngoroknya gede banget, berisik. Aku agak menggoyangkan badannya sedikit supaya ngoroknya reda, tapi itu malah membuat Putra memiringkan badan ke kiri, lalu dia mendekapku seperti dia mendekap guling. Sumpah, nyaman banget. Hangat banget berada dalam pelukan Putra, padahal AC sudah setelan paling rendah. Selanjutnya aku memejamkan mata, menyukai aroma tubuh Putra yang khas, dan aku tertidur lagi.
Kali kedua aku bangun, Putra sudah nggak ada di sampingku. Dia kayaknya lagi di kamar mandi, karena aku bisa mendengar suara air mengucur dari dalam sana. Habib masih berada di kasur, tidur tanpa selimut. Kelamin Habib yang kayaknya lagi morning erection tercetak jelas dari balik celana dalamnya. Buset, gede banget. Tapi aku nggak mau peduli ah. Kan wajar kalau cowok morning erection. Aku juga tadi pas bangun ngaceng kok. Aku memejamkan mata lagi, berharap bisa tidur lagi, tapi ternyata nggak bisa. Jadi aku cuma berbaring di kasur, menarik selimut menutupi tubuh supaya dinginnya AC nggak membuatku menggigil.
Putra keluar dari kamar mandi nggak lama kemudian. Handuk meliliti bagian bawah tubuhnya, dadanya berbulu basah, rambutnya basah, bibirnya terlihat lebih merah. Mendadak jantungku berdebar nggak keruan melihat wajahnya yang secerah mentari pagi. Aduh, ini cowok straight yang semalaman memelukku mesra. Dia melihatku, lalu tersenyum. Tuh, kan. Senyumnya aja berhasil membuatku salah tingkah.
"Suara ngorok gue ganggu lo nggak?" tanyanya.
Aku menggeleng, agak kecewa. Nggak ada kecanggungan sama sekali dalam suaranya. Apakah semalam dia nggak merasakan apa-apa ketika memelukku? Maksudku, kita tuh kayak orang pacaran loh! Lengannya mendekapku sangat erat, aku dibiarkannya mendengarkan detak jantungnya, dia mencium keningku ... semua itu adalah hal-hal yang nggak biasanya dilakukan cowok straight ke cowok lainnya.
Putra lantas memakai pakaiannya dan aku disuruhnya mengalihkan muka ketika dia pakai sempak. Setelahnya dia kembali berbaring di sebelahku, wangi sabun dan shampoo menusuk hidungku. Aku berharap dia akan merangkulku, membiarkanku berbaring di lengan gemuknya tapi ternyata nggak. Dia cuma rebahan di sebelahku doang. Dia meraih remote TV, menghidupkannya. Layar menampilkan film barat yang nggak pernah aku tonton sebelumnya.
Aku tergoda ingin sekali menanyakan apakah dia mengingat apa yang dia lakukan semalam? Tapi keinginan itu kutahan kuat-kuat. Semalam mungkin dia memang cuma lagi mabuk. Orang mabuk kan memang suka melakukan hal-hal yang di luar kehendak mereka, sama kayak Habib yang menciumi pipiku di kamar mandi.
Habib bangun beberapa menit kemudian. Dia menggeliat, lalu ketika sadar dia cuma pakai celana dalam, buru-buru dia menarik selimut, padahal yang ngelihatin dia cuma aku. Putra matanya fokus ke layar TV.
"Morning," sapa Habib.
"Morning," jawab Putra, menoleh padanya. "Mantap semalem?"
Habib tertawa kecil, mengusap muka, lalu melirik jam dinding. "Udah jam delapan aja ternyata. Sorry ya Kak Alung, Kak Putra, aku malah jadinya tidur di sini."
"Santuy. Tadi malam lo malah mau dibungkus om-om gendut," kata Putra. Aku tertawa.
"Hah? Serius? Tapi untungnya nggak jadi ya? Males banget dibungkus om-om."
Aku dan Putra cuma saling pandang sambil tersenyum.
Setelahnya aku dan Habib gantian ke kamar mandi, tapi aku nggak mandi, cuma cuci muka doang. Sambil membasuh air dingin ke muka, aku memandangi cermin. Bayanganku di cermin tersenyum, dan senyumku lebar banget. Walaupun Putra kayaknya lupa dengan apa yang dia lakukan tadi malam, tapi aku nggak akan pernah lupa. Aku memejamkan mata, menghirup napas dalam-dalam, dan samar-samar aku bisa merasakan aroma tubuh Putra yang masih nempel di kulitku. Untung banget pagi ini aku nggak mandi.
Setelah aku dan Habib selesai cuci muka, kami turun untuk sarapan, dengan membayar sedikit tambahan biaya karena jatah sarapan kami cuma untuk aku dan Putra doang.
Ketika lagi sarapan, Habib mulai ngoceh halu. "Padahal tadi malem aku tuh harusnya pulang sama cewek di sebelah meja kita, dia yang nyekokin aku minum banyak banget sampe teler. Eh malah dia pergi sama orang lain."
Aku sama Putra cuma berpandangan lagi, sambil tersenyum, sama-sama paham. Padahal tadi subuh dia sendiri yang mengungkapkan rahasianya, tapi dia juga yang mengarang ceritanya.
Selesai sarapan Habib pamit balik ke hotelnya, tapi Putra mencegah. Katanya, "Tidur aja dulu di sini sampai siang, kepala lo pasti masih pusing." Tapi Habib menolak, dan Putra nggak mencegahnya dua kali. Akhirnya setelah Habib naik ke mobil Grab, tinggal kami berduaan lagi di kamar.
Saat kembali ke kamar, aku tahu Putra pasti akan balik ke kasurnya, dan aku akan tidur sendirian lagi di kasurku. TV menayangkan film kartun, tapi mata kami nggak menuju ke sana. Kami sibuk dengan ponsel kami masing-masing.
"Lung?" Putra memanggilku.
Aku menoleh. Dia sedang memiringkan badannya ke kiri, menghadap ke kasurku. Jadi aku memiringkan badan, menghadap ke arahnya. Kami berhadapan seperti tadi malam, tapi kali ini terpisah oleh jarak meja kecil di tengah-tengah dua kasur kami yang terpisah.
"Kalo cowok lo nelepon lagi, reject aja," katanya.
"Gue nggak tahu, Put. Reza kadang bisa nekat."
"Memangnya dia mau apa lagi, sih?" Aku berharap mendengar sentilan nada cemburu dalam suaranya, tapi nggak ada sama sekali. Dia ngomong gitu karena dia memang kepingin ngomong gitu aja, bukannya cemburu sama Reza.
"Dia emang selalu begitu setiap kali kami berantem. Mohon-mohon, sebelum akhirnya melakukan kesalahan lagi."
Putra diam sambil menatap ke mataku. Aku suka sekali menatap matanya di pagi ini. "Lo sadar hubungan lo tuh nggak sehat, kan?"
Aku nggak mengangguk, tapi nggak menggeleng juga. Untuk pertanyaannya, aku sadar banget hubunganku dan Reza nggak sehat, tapi gimana dong? Walaupun benci Reza, tapi ada bagian dari diriku yang kangen dia juga. Dan aku benci dengan diriku sendiri karena setelah apa yang Reza perbuat padaku malam itu, aku masih berharap dia akan mencari dan memohon-mohon lagi kayak yang dia lakukan kemarin, karena jauh di dalam lubuk hatiku aku menyukai rasanya diinginkan dan dibutuhkan.
"Lo pasti bisa menghindari dia—"
Ucapan Putra terpotong karena ponselnya berdering, ada panggilan masuk. Dia melihat layar ponselnya sejenak, menekan tombol power, lalu dia letakkan lagi benda itu di sampingnya.
"Lo pasti bisa—"
Ponselnya berdering lagi, dia melihat ke layarnya lagi, lalu menekan tombol lagi, dan meletakkan ponselnya kembali.
"Intinya," dia melanjutkan, "lo pasti—"
Lagi-lagi dia nggak bisa melanjutkan ucapannya karena ponselnya berdering nyaring. "Ih anjing!" umpatnya, lalu dia menekan tombol power agak lama sampai ponselnya mati total, lalu membuang ponsel itu ke belakang tubuhnya.
"Siapa sih?" tanyaku, penasaran. "Kolektor pinjol?"
"Mana ada gue makek pinjol," dumelnya. "Cewek gue."
"Cewek lo nelepon tapi nggak lo angkat?"
"Biarin aja. Gue lagi males diganggu."
Aww. Apakah aku harus berbunga-bunga mendengarnya? Putra nggak mau diganggu ceweknya karena dia lagi sama aku? Ih, aku kepedean sih kayaknya. Bisa jadi mereka memang lagi marahan, karena tadi malam kan dia curhat katanya dia curiga ceweknya selingkuh. Aku ingin bertanya lebih jauh tentang hubungannya, tapi kemudian nggak jadi karena aku aja nggak suka hubunganku ditanya-tanya, masa aku nanya hubungan dia?
Mungkin kesal karena ceweknya dari tadi neleponin terus, Putra nggak jadi melanjutkan omongannya dan dia berbalik membelakangiku. Aku juga nggak berniat melanjutkan obrolan itu, jadi aku juga berbalik membelakanginya. Beberapa menit kemudian, kami berdua kayaknya sama-sama jatuh tertidur.
Ketika aku bangun, tahu-tahu sudah pukul setengah empat sore. Putra langsung menyuruhku mandi dan siap-siap karena sore ini dia mau ngajak aku jalan-jalan keliling Jakarta pakai motor sewaan, melanjutkan rencana kami kemarin yang sempat nggak jadi karena ada interupsi dari Habib. Dengan hati berbunga-bunga karena akan berboncengan mengelilingi Jakarta bareng Putra, aku buru-buru mandi dan siap-siap.
Ternyata Putra menyewa sebuah motor NMax dari tempat penyewaan motor yang terletak nggak jauh dari hotel kami dengan jaminan KTP dan sejumlah uang muka. Jadi sore itu, sekitar pukul lima, aku dan dia sudah berada di atas motor. Dan ... NYESEL BANGET! Motoran di Jakarta nggak enak, anjir! Macet gila. Apalagi helm yang diberikan si Penyewa adalah helm bulat jelek warna putih kayak sukro yang nggak ada kacanya, alhasil debu dan polusi membuatku batuk-batuk. Tapi aku menahan diri untuk nggak marah-marah ke Putra, karena seenggaknya dia sudah berusaha menciptakan momen ini.
Akhirnya Putra sendiri yang merasa nggak enak. "Sorry, gue kira kalau pakai motor nggak bakal kejebak macet!"
"Mungkin kalo kita tahu jalan tikus, nggak akan kejebak macet separah ini," kataku.
Akhirnya dengan berbekal Google Maps ke suatu kafe yang berada di rooftop sebuah bangunan, kami pun motoran menuju ke sana. Menjelang maghrib dan langit mulai menggelap, perjalanan kami nggak terlalu buruk. Lampu-lampu gedung mulai bercahaya, dan kemacetan sudah mulai nggak terlalu parah. Well, mungkin karena aku dan Putra sebelumnya nggak pernah motoran di Jakarta, dan karena di Lampung macetnya nggak sepadat di sini, jadi kami bisa dibilang norak banget ketika menghadapi kepadatan di kota ini. Tapi lama-lama, apalagi setelah matahari terbenam dan mendekati pukul tujuh malam, Jakarta mulai menampakkan keindahan warnanya.
Kami sampai di sebuah gedung tinggi dan parkir di basement, lalu naik lift sampai ke lantai paling atas karena kata Putra kami akan makan malam di kafe yang berada di rooftop gedung tinggi ini. Di dalam lift, sepanjang kami naik ke atas otakku liar memikirkan makan malam romantis berdua dengan lilin dan taburan kelopak bunga mawar ...
Kafenya bagus banget! Ruang terbuka yang menyuguhkan pemandangan indah lampu warna-warni dari gedung-gedung tinggi Jakarta di sekitarnya, juga warna-warna lampu di jalan raya di bawah. Putra memilih meja yang berada di ujung, dekat ke pinggiran. Aku kecewa karena nggak ada lilin dan taburan kelopak bunga mawar, tapi nggak apa-apa, pemandangannya bagus banget. Bulan berbentuk sabit di atas langit dengan dua bintang kecil di kedua sudut runcingnya seolah membentuk emot tersenyum kepada kami. Langit cerah malam ini, dan Tuhan jahat banget kalau tiba-tiba hujan turun di saat aku lagi kesenengan kayak gini.
Kami duduk. Aku sebenarnya agak malu karena meja-meja di sini kebanyakan diisi pasangan cowok-cewek, tapi ah siapa peduli? Putra juga kayaknya nggak ambil pusing dan langsung membuka buku menu.
"Mau apa?" tanyanya, menunjuk ke buku menu di depanku yang belum kubuka.
Aku membuka-buka menu. Harganya mahal-mahal banget, beda ih sama warung Mak Nyak. Untung banget biaya makan kami selama di Jakarta bisa di-reimburse sama perusahaan, jadi aku nggak terlalu ambil pusing melihat daftar harganya yang bikin kantongku menjerit. Aku memilih Spaghetti Aglio Olio with Truffle Oil yang kayaknya enak deh, sama mocktail mereka yang bernama Ala Cumba dan sebotol mineral water yang harganya delapan belas ribu. Nangis banget, air putih botolan aja hampir dua puluh ribu. Aku nggak dengar Putra pesan apa, nama makanannya kebarat-baratan gitu, tapi pilihan dessert-nya dia pesan Es Puding Saus Durian dan Durian Musang King with Choco Crumble.
"Gue tahu lo suka durian," katanya sambil mengedipkan sebelah mata ketika memesan itu.
Aku tersipu malu kayak gadis perawan. Kok dia bisa tahu, sih? Padahal kayaknya aku nggak pernah cerita langsung ke dia. Dan itu durian Musang King loh, yang merupakan jenis durian paling enak.
Setelah memesan, kami berdua diam. Putra menoleh ke samping, memandangi lampu warna-warni gedung, sementara aku memandanginya. Dia cakep banget deh malam ini. Kalau saja dia pakai kemeja, mungkin ini bakal terasa kayak kencan beneran. Sayangnya dia cuma pakai kaos, dan perutnya yang gemuk itu tampak menonjol menggemaskan.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat ke layar. Nomor tanpa nama. Aku melihat Putra sudah mengerutkan kening, lalu dia menggeleng.
Kalau kemarin-kemarin aku akan mengabaikan Putra, tapi sekarang sih nggak lagi. Aku menolak panggilan di ponselku dan aku sengaja mematikan ponsel karena nggak mau makan malam yang indah ini diganggu oleh Reza anjing.
Putra tersenyum, manis banget. "Malam ini kita dua jomblo yang nggak mau diganggu oleh siapa pun."
"Eh?" kataku. "Lo jomblo?"
Dia mengangkat bahu. "Gue matiin hape karena nggak mau cewek gue neleponin terus, dan lo juga matiin hape supaya cowok lo itu nggak ganggu, jadi ya udah ... kita nikmatin aja malam ini."
Aku tersipu malu lagi. Anjir, Putra! Nikmatin malam ini kayak mana maksudnya? Satu-satunya yang ingin gua nikmati adalah lu! Gue pingin banget menikmati perut lu yang gembul itu!
Makanan kami datang, dan aku kelaparan sangat jadi aku langsung melahap semuanya. Aglio Olio-nya enak beudt, sumpah. Apalagi Musang King-nya, yawlah mau meninggal. Kalau keluargaku makan durian ini, kami semua bisa meninggal bersamaan saking keenakannya. Aku memasukkan tempat ini ke daftar tempat yang akan aku kunjungi nanti bersama keluargaku kalau kami libur ke Jakarta.
Selesai makan, kami ngobrol. Putra memesan segelas bir dan menawarkanku satu tapi aku tolak karena aku habis makan durian takut reaksinya nggak bagus di lambung. Putra meminta tolong waiters yang kerja di sini untuk membereskan meja kami, lalu minta dibawakan sebotol bir dan seporsi kentang goreng.
"So," katanya setelah waiters pergi, "are you happy?"
Aku mengangguk, tersenyum. Gimana mungkin nggak happy, diajak makan di tempat seindah ini dengan makanan seenak ini. "Lo?"
"Sedikit," jawabnya.
"Kok sedikit?"
"Soalnya alkohol gue belum dateng. Alcohol is my happiness," candanya.
Aku putar bola mata, dan dia tertawa.
Nggak lama kemudian waiters datang, dan setelah dia pergi lagi, Putra langsung ngomong ini:
"Oke, let's talk about last night."
Jantungku rasanya mau copot. Apa yang mau diomongin tentang semalam, anjir? Apakah dia mau meluruskan arti ciuman di kening itu? Bahwa dia hanya mabuk, dan dia cuma terbawa suasana? Bahwa sebenarnya dia jijik sudah menciumku dan menyesal sudah melakukannya? Oh, aku takut sekali dia akan menyesal sudah melakukan itu, padahal aku nggak pernah memintanya.
"Jangan tegang gitu, dong. Santai aja," katanya, setelah melihat mukaku yang mungkin panik.
Aku nyengir. Aku sudah mengalami banyak sakit hati dan trauma, dan penyesalannya hanya akan membuatku tambah sakit hati lagi. Tapi belum juga dia ngomong apa-apa, aku sudah mikir yang nggak-nggak. Oke, santai Alung, santai.
"Gue nggak akan bilang yang semalam itu kesalahan atau kekeliruan. Gue secara sadar memang melakukan apa pun yang gue lakukan ke lo semalam, dan ... yeah, nggak ada penyesalan."
Mataku pasti membelalak lebar.
Dia nyengir. "Aneh, ya? Gue straight tapi melakukan hal kayak gitu ke lo. Maksud gue, normalnya cowok straight kan nggak kayak gitu ke cowok lain, tapi bukannya gue nggak normal, cuma gue ini jenis orang yang nggak mau ada batasan ketika berteman. Paham nggak?"
Aku menggeleng. Aku nggak paham.
"Begini," dia memajukan badannya, "kalau lo lihat cewek sama cewek gandengan tangan di mal atau di mana pun, apa yang pertama terlintas di pikiran lo?"
"Lesbian?" kataku.
"Hish! Bukan, Goblok. Pasti orang-orang mikirnya mereka bestie. Cewek sama cewek gandengan tangan di mata orang-orang wajar, nggak tabu sama sekali. Coba kalau cowok sama cowok?"
Aku mengangguk. "Oke, i get it."
"Nah, gue jenis orang yang mau berpikiran terbuka. Kalau cewek sama cewek gandengan tangan adalah hal yang wajar, terus gue meluk lo untuk memberikan semangat memangnya nggak boleh dianggap wajar juga?"
Aku nggak menjawab.
"Cewek-cewek biasanya berpelukan ketika memberikan semangat ke sahabatnya, memangnya cowok nggak boleh melakukan itu juga ke sahabatnya? Kayak yang gue lakuin ke lo semalam di lantai dansa, waktu lo nangis, masa gue nggak boleh meluk lo? Beberapa orang menatap gue jijik, bahkan kayaknya ada yang ngira kita pasangan gay karena pelukan, padahal posisinya lo lagi nangis dan gue meluk lo karena gue meluk sahabat gue yang lagi sedih.
"Intinya gini," dia berusaha membuatku paham, "apa pun yang gue lakukan ke lo semalam, itu murni karena gue peduli sama lo ... sebagai sahabat. Kalau cewek-cewek boleh tidur seranjang dan memeluk sahabatnya yang lagi sedih, kenapa kita cowok-cowok nggak boleh melakukannya juga?"
Tapi ... lo mencium kening gue, kataku dalam hati. Apakah cewek-cewek suka mencium kening sahabatnya ketika lagi sedih? Kurasa nggak. Dan yang membuatku sedih adalah kenapa dia menjelaskan ini semua kepadaku? Untuk menunjukkan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah murni karena persahabatan, tanpa ada unsur romantisme sama sekali? Dia takut aku akan mengira ada romantisme di pelukannya semalam, makanya dia perlu menjelaskan ini semua? Tiba-tiba ini membuatku sakit hati. Memangnya aku segampang itu? Memang sih aku suka sama badan gembulnya, tapi kan aku juga nggak bodoh dan selama ini, tanpa dia harus menjelaskan sedetail itu, aku sudah paham bahwa memang nggak akan pernah ada romantisme di antara kami. Penjelasannya hanya membuatku terlihat makin memalukan di hadapannya.
"Put, lo nggak perlu menjelaskannya sedetail itu. Gue paham kok," kataku, sedih.
"Lung." Dia menangkap kesedihan dalam suaraku. "Gue cuma nggak mau lo salah menafsirkan semuanya."
Aww, itu menyakitkan. Sumpah. Memangnya aku ada bilang dia suka sama aku? Memang sih aku suka kepedean mengira dia suka sama aku karena perlakuannya itu padaku, tapi kan aku cuma menyimpan itu semua dalam hati, dan aku mati-matian menyadarkan diriku sendiri bahwa dia straight dan dia nggak akan mungkin suka sama aku. Kenapa dia malah menjelaskannya di depan mukaku seakan-akan kalau nggak dia jelaskan aku bakal kelewat batas? Sumpah, aku nggak tahu kenapa ini malah membuatku sakit hati.
"Put, lo nggak perlu melakukannya kalo lo takut gue bakal salah ngira," ucapku.
Putra terlihat kebingungan sekarang.
"Gue nggak pernah minta lo meluk gue, jadi kalo lo takut gue bakal salah ngira arti pelukan lo semalam, lo nggak perlu repot-repot melakukannya." Aku sadar mataku berkaca-kaca. Kenapa sakit banget, sih? "Jangan membuat gue terlihat seolah-olah bodoh dan gampang baperan. Oke, gue nyaman waktu lo meluk gue, tapi lo nggak perlu repot-repot menjelaskan kalau pelukan itu nggak ada apa-apanya, karena gue juga udah tahu, Put. Gue tahu banget dan gue nggak sebodoh itu yang mengira lo suka sama gue! Penjelasan lo malah menegaskan kalau semua gay pasti bakal baper kalau dipeluk sama semua cowok." Anjir, rasanya kayak benar-benar ditolak, cuma bedanya aku nggak pernah mengungkapkan apa-apa kepadanya.
"Sorry kalo gue salah ngomong," katanya sambil menyesap birnya. "Yeah, gue memang nggak seharusnya menjelaskan sedetail itu. Gue harusnya tahu lo pasti paham. Sorry ya, Lung. Gue cuma nggak mau ada dusta di antara kita."
"Lo nggak mau ada dusta di antara kita? Oke biar gue jelasin satu hal ke lo: dari awal gue nggak pernah minta lo untuk ikut campur urusan pribadi gue, oke? Gue nggak pernah minta apa-apa dari lo, Putra!"
Putra terdiam di tempat, mungkin memikirkan kata-kataku.
Aku menghapus air mata yang sudah membasahi pipi. "Kita pulang aja deh. Di sini udah nggak enak lagi."
"Lung," Putra berusaha ingin memperbaiki apa pun yang masih bisa dia perbaiki dari jalan-jalan sore yang indah ini, tapi sudah nggak ada lagi. Dia sudah menghancurkan semuanya.
Aku berdiri dari kursi. "Biar gue yang bayar," kataku, lalu melangkah dengan hati terluka ke kasir.
Bandar Lampung, 11 Oktober 2023
Aduh, si fuck boy mulai menunjukkan jati dirinya hahahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top