Bab Sepuluh: Diselamatkan Putra!
PELATIHAN hari pertama berlangsung nggak terlalu lama karena ini Sabtu yang cerah dan semua orang seharusnya sudah berada di tempat mana pun di dunia ini selain di ruang 15x18 meter yang menjadi tempat pelatihan kami. Aku nggak ngerti deh kenapa pelatihan hari pertama malah dimulai weekend. Kan hari-hari kerja lain ada lima, kayak balon. Tapi karena aku digaji sama perusahaan ini, jadi unek-unek itu aku simpan dalam hati aja.
Pelatihan selesai pukul dua siang dan Putra yang duduk semeja denganku langsung mengajakku keluar. Di luar kami bertemu beberapa peserta yang datang dari cabang lain. Putra mengenal beberapa orang karena dia kan anaknya ramah ke siapa pun dan mudah berkenalan, jadi dia menyalami beberapa orang dan ngobrol-ngobrol singkat dulu dengan mereka. Aku menunggu dengan melipat tangan di dekatnya.
"Kak Alung, ya?" Seseorang mendekatiku.
Oh, ini seseorang yang dari awal pelatihan sampai selesai tadi aku lihatin terus karena dia ini cakep bangetssss. Mukanya campuran antara Arab dan India, dengan hidung mancung, alis lebat, bibir merah tipis, dan kulit sewarna madu. Jambangnya yang tipis melintang di sepanjang garis rahangnya yang tirus, menyatu dengan janggut dan kumis tipisnya yang menambah kesan maskulin. Aku suka banget lihatin anak ini dari tadi. Kalau nggak salah namanya Habib, ya?
"Iya, hai." Aku langsung salah tingkah. Gini deh kalau ada cowok ganteng yang nyapa duluan, aku suka salah tingkah.
"Dari Lampung, kan? Aku Habib, dari Serang." Dia mengulurkan tangan, yang segera aku sambut. Tangannya dipenuhi bulu-bulu halus yang agak lebat. Duh, aku langsung mikir dadanya pasti banyak bulu juga.
Putra selesai ngobrol dengan orang-orang tadi dan dia mendekati aku dan Habib.
"Hai. Habib ya, kalau nggak salah?" kata Putra, menyalami Habib.
Habib tersenyum, lalu menjabat tangan Putra. Duh, nggak tahu kenapa deh ya aku melihat dengan jelas banget binar-binar di mata Habib waktu dia salaman dengan Putra. Kayak ada bintang-bintangnya gitu. Jangan bilang Habib naksir Putra, dan dia nyapa aku duluan tadi karena sebenarnya dia mau nyapa Putra tapi Putra lagi ngobrol sama orang-orang ? Astaga Alung, stop overthinking! Aku memarahi diri sendiri.
Habib ternyata nggak punya teman. Dia ke sini sendirian, sedangkan cabang lain datangnya berdua-berdua. Partnernya yang seharusnya datang ke sini nggak bisa datang karena sehari sebelumnya dia jatuh dari motor dan sekarang kakinya terkilir. Habis cerita dia sudah mencoba berteman dengan pasangan dari cabang Bandung tapi mereka jelas-jelas nggak mau banget ngajak Habib, jadi Habib mendekati kami karena dia melihat Putra kayaknya ramah ke semua orang jadi dia pikir mungkin Putra mau jadi temannya. Dan memang benar Putra langsung akrab gitu dengannya.
"Kalian habis ini mau ke mana?" tanyanya.
"Mau makan dulu," jawab Putra. Dia menoleh ke aku. "Mau makan dulu apa balik hotel dulu, Lung?"
"Terserah deh, gue ngikut," jawabku.
"Kalo lo mau ke mana?" tanya Putra ke Habib.
"Ngikut kalian aja, boleh?"
Nggak boleh! Aku marah dalam hati. Soalnya malam ini aku sama Putra rencananya mau ke Monas berduaan aja. Habis itu mau jalan-jalan motoran ke sekitaran Jakarta pakai motor sewaan. Kalau ada Habib kan nggak bakal kesampaian. Hih! Ada aja loh pengganggunya! Pengganggunya macam Habib yang ganteng pula. Aku mau marah tapi nggak bisa.
Akhirnya kami sepakat untuk balik ke hotel dulu. Hotelnya Habib terletak nggak jauh dari hotel kami, jadi setelah mandi dan beres-beres kami akan ketemuan di dekat hotel kami, lalu setelah itu kami akan pergi ke mana pun kami ingin pergi. Aku cemberut di dalam Grab selama perjalanan balik ke hotel karena Putra dan Habib yang duduk di kursi tengah mobil asyik banget ngobrol soal game dan segala macem, sedangkan aku duduk di sebelah sopir diem aja kayak orang bego. Begitu sampai hotel—aku dan Putra sampai duluan—aku langsung turun tanpa ngomong apa-apa ke Habib, lalu naik ke kamar tanpa nungguin Putra.
Di kamar barulah Putra ngomel, "Lo emang senyebelin itu ya sama orang baru?"
"Apa sih?" kataku, gusar. Nggak tahu deh, padahal aku juga sadar aku yang salah.
"Habib sampe bilang lo mungkin ada masalah makanya sikap lo nyebelin kayak gitu."
"Nggak usah komentarlah, gue capek!" Aku menutupi muka dengan selimut, lalu nangislah aku.
Sampai berhenti menangis pun aku nggak tahu alasan kenapa aku menangis. Yang aku tahu, aku cuma capek. Aku sakit hati, aku terluka di dalam, aku dilecehkan dan itu luka yang nggak akan pernah bisa disembukan oleh siapa pun, dan melihat Putra yang lebih akrab dengan Habib malah membuat luka itu terasa lebih menyakitkan. Seakan-akan semua orang memang sengaja melakukannya untuk menyakitiku, untuk membuatku merasa lebih nggak berguna lagi. Setelah lelah menangis aku jatuh tertidur.
Ketika bangun, hari sudah menjelang maghrib. Putra lagi nonton Netflix dari tabnya ketika aku bangun. Dia nggak pakai baju, hanya dibalut selimut dari perut sampai ke bawahnya. Aku berpikir, apakah sebaiknya aku masih marah sama dia? Lalu setelah kupikir-pikir nggak ada manfaatnya, dan mengingat malam ini kami mau jalan-jalan (bareng Habib juga, sebel banget), kuputuskan untuk minta maaf dengannya. Jadi aku menoleh ke kanan. Dia menoleh ke arahku.
"Apa?" katanya.
"Jutek amat. Masih marah?"
"Nggak," jawabnya, lalu lihat ke layar tab lagi.
"Nonton apa?"
"Netflix."
"Judulnyaaa?"
"Duh, males liat judulnya. Udah kunci layar."
Aku cemberut. Iseng, aku bangkit dari kasur lalu merebut tabnya. Dia nonton film action. Dia marah, lalu merebut tab dari tanganku. Selimut tersingkap, dan Putra dari pinggang ke bawah cuma dibalut celana pendek sepaha yang memperlihatkan dengan jelas tonjolan di selangkangannya. Tuhan, kenapa sih dia nggak sopan banget pakai begitu di depan homo menggemaskan macam aku?
"Rese' lo ganggu orang lagi asik!" dumelnya, lalu kembali rebahan dan menarik selimutnya lagi.
Aku duduk lagi di ujung kasurku. "Put, gue mau minta maaf."
"Minta maaf untuk ape?" tanyanya, tapi matanya masih ke layar tab.
"Untuk yang tadi siang. Gue nyebelin banget, ya?"
"Minta maafnya ke Habib, jangan ke gue. Kasihan dia Lung sendirian nggak ada partner. Coba bayangin kalau gue nggak ikut lo ke sini, lo bakal punya teman nggak?"
Ucapannya membuatku berpikir, dan dia benar juga. Aku yang pemalu dan susah berkenalan dengan orang pasti bakal sendirian di pelatihan tadi kalau nggak ada Putra. Ah, aku memang perlu mempertanyakan kedewasaanku.
"Malem ini kita jadi jalan sama dia?"
"Ya, habis maghrib. Atau habis gue selesaiin film ini dulu. Dah diem, lagi seru. Ganggu aja gue lagi nonton!" Putra balik ke kanan membelakangiku.
Lalu kuputuskan untuk mandi karena ini sudah pukul setengah enam sore, dan kayaknya main dengan Habib bakal dimulai jam tujuh.
Selesai mandi Putra masih asik dengan tabnya, jadi aku menunggunya selesai dan membuka TikTok, scroll-scroll layar. Lagi enak-enak scroll, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Kujawab panggilan itu.
"Halo?"
"Lung, ini aku."
Mati aku. Itu suara Reza Anjing. Aku mematung. Jantungku otomatis berdebar-debar takut selayaknya jantung manusia yang bertemu dengan anjing super galak.
"Lung, kok diem? Kamu marah ya? Kamu nggak kangen aku? Aku kangen kamu. Lung, kamu di Jakarta ya? Kata Tiara kamu di Jakarta sama cowok gendut yang kamu sukain itu? Kamu ngapain sama dia di sana? Tiara bilang kamu lagi honeymoon? Aku nggak percaya, Lung. Nggak mau. Nggak boleh. Nggak ada yang bisa mencintai kamu sebaik aku, Lung."
Mati. Aku mati. Badanku mulai gemetar. Rasa sakit itu muncul lagi. Reza, kenapa kamu muncul lagi?
"Lung, ngomong dong? Kamu masih sayang sama aku, kan? Aku mau minta maaf untuk semuanya. Maaf karena apa yang aku lakuin waktu itu. Aku sebenernya juga dipaksa sama mereka. Kalau kamu mau dengar dulu penjelasanku—"
Dengan segenap keberanian, aku memekik, "Penjelasan apa lagi, Reza? Semuanya udah jelas di sana!"
Suaraku yang memekik membuat Putra menoleh. Dia mengerutkan kening. Aku meliriknya, lalu aku menyesal karena sudah memekik.
"Lung, aku sebenarnya juga nggak mau kita begitu, Lung. Aku tahu hubungan kita nggak sehat. Aku sakit. Jiwaku sakit. Tapi, tolong, denger dulu. Aku beneran sayang sama kamu, Lung. Maafin aku, Lung." Apakah aku menangkap suara tangis dalam suara Reza? Ah nggak mungkin. Dia pasti sedang berpura-pura.
Kulirik Putra mematikan tab, lalu dia bangkit dari kasurnya. Sial, pas dia berdiri mataku malah fokus ke tonjolan di selangkangannya. Gede banget.
"Lung? Kamu masih dengerin aku, kan? Aku sayang kamu, oke? Aku minta maaf untuk semuanya. Aku sadar apa yang aku lakuin ini salah dan aku siap untuk menebusnya, tapi tolong jangan tinggalin aku? Lung aku lagi terpuruk. Aku—"
Aku tidak lagi mendengar suara Reza karena ponselku tiba-tiba direbut paksa oleh Putra. Cowok gendut itu melihat layar ponselku, lalu dengan lantang dia bicara: "Alung lagi sibuk sama gue, jangan pernah ganggu dia lagi!" Lalu tuts. Panggilan dimatikan oleh Putra. Dia melempar ponselku ke kasur, ke sebelahku. Aku cuma bisa terdiam menatapnya.
Putra menatapku dalam-dalam. "Jangan ditangisin cowok bajingan kayak gitu, buang-buang waktu."
Setelah dia mengatakannya, aku baru sadar air mataku sudah membanjir. Buru-buru aku menghapus air mataku. Nggak lama kemudian ponselku berdering, panggilan masuk dari nomor tadi. Aku ingin mengangkatnya, karena kebiasaanku dulu kalau Reza nelepon nggak diangkat dia akan marah dan bisa berbuat yang macam-macam. Tapi Putra menahanku. Dia melotot, lalu meraih ponselku. Ditolaknya panggilan Reza, lalu hapeku dimatiin.
"Matiin aja. Malam ini lo sama gue, nggak usah ngurusin cowok itu lagi."
Aku nggak pernah melihat Putra semarah ini sebelumnya. Dia berbalik membelakangiku, kembali rebahan di kasurnya, dan melanjutkan nonton di tabnya seolah-olah dia nggak pernah menyelematkanku.
Bandar Lampung, 6 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top