Bab Sebelas: Dipeluk Putra?!
SEUMUR hidup, aku nggak pernah tahu rasanya begitu diinginkan oleh orang lain, bahkan oleh Reza sekalipun. Dulu aku yang pertama suka sama Reza karena dia gembul dan menggemaskan, dan butuh waktu nyaris setengah tahun lamanya sebelum Reza akhirnya balik suka sama aku. Aku sadar diri dengan kondisi wajahku yang nggak terlalu tampan dan kulitku yang nggak secerah boti-boti lain, tapi tetap saja rasanya menyesakkan karena aku ingin sekali saja merasa diinginkan.
Jadi, ketika Reza menelepon memohon-mohon kayak tadi, dalam hati aku sebenarnya senang karena dia menginginkan aku. Tapi aku tahu itu adalah perasaan yang salah, dan nggak seharusnya aku merasa senang setelah apa yang dia perbuat padaku malam itu di rumah kosong.
Aku menggeleng kuat-kuat menyingkirkan pikiran negatif itu. Saat ini aku lagi berada di sekitaran Monas bareng Putra dan Habib (yang ganteng banget, sumpah) dan kami sekarang lagi bingung mau ke mana karena kami sudah selesai makan, sudah selesai foto-foto. Tapi bingungnya nggak lama, karena kemudian Habib menyarankan kami untuk pergi ke sebuah klub malam.
Kami mendatangi sebuah klub di daerah Jakarta Pusat. Aku agak norak karena sebelumnya nggak pernah masuk ke klub kayak gini, jadi ketika Putra dan Habib memesan meja dan beberapa jenis botol alkohol, aku malah minta jus alpukat yang membuat Habib dan Putra terkekeh geli. Lalu kami duduk di tengah hamparan lampu warna-warni yang membuatku pusing. Jadi ini yang namanya klub?
Pukul sebelas malam meja-meja sudah mulai ramai ditempati orang-orang. Putra dan Habib sudah meminum beberapa gelas alkohol, walaupun kayaknya mereka belum mabuk berat. Mereka menawariku tapi aku menolak karena aku nggak suka alkohol, sakit di tenggorokan ketika diminum. Meja-meja disusun menghadap ke panggung kecil yang sekarang berisikan band lokal sedang melantunkan lagu yang sialnya adalah lagu aku dan Reza.
Yeah, aku dan Reza punya lagu kami sendiri, yaitu Day 1-nya HONNE. Pokoknya setiap kali lagu ini diputar di mana pun, kami akan ingat dengan kenangan manis selama awal-awal kami pacaran. Sekarang, saat band menyanyikan lagu itu dengan indahnya membuatku jadi kepikiran Reza lagi, kangen lagi, dan aku mau nangis lagi. Tuhan, kenapa sih aku cengeng banget? Aku sayang Reza, tapi Reza jahat banget sama aku!
Mukaku pastinya kusut dan kelihatan sedih banget, karena Habib yang tadinya duduk di seberangku mendadak jadi berada di sebelahku sambil membawa gelas alkoholnya. Dia ganteng banget, subhanallah. Bulu matanya yang lentik dipadu dengan tatapannya yang indah dan wajahnya yang cerah nyaris tanpa cela sedikit pun membuat jantungku berdegup kencang. Habib duduk terlalu dekat denganku sehingga aku bisa mencium aroma parfumnya yang manis.
"Kak Alung kayaknya lagi sedih, ya? Dari tadi aku lihat kayak gelisah mulu." Kukira akan mencium bau alkohol dari mulutnya, tapi ternyata nggak. Bibirnya yang merah muda menggoda untuk digigit.
"Aku baik-baik aja," jawabku sambil menggeleng.
"Dia bohong," kata Putra di seberang kami. "Dia jelas-jelas tadi abis berantem sama cowoknya. Lo pasti sekarang lagi galau kan, Lung?"
Habib menatapku dalam-dalam, dan aku luluh. Aku pun mengangguk.
Habib dengan segera menuang alkohol ke gelasku yang jus alpukatnya sudah habis, lalu dimasukkannya juga empat es batu. Dia menyerahkan gelas itu padaku. "Ayo minum, Kak. Ini bisa mengurangi kesedihan Kak Alung."
Aku memandangi gelas berisi cairan bening yang di dalamnya ada empat es batu mengambang itu. Aku pernah minum alkohol, makanya aku berani bilang nggak suka karena rasanya nggak enak di tenggorokan. Tapi mungkin waktu itu yang kuminum memang jenis alkohol abal-abal versi murah yang nggak enak rasanya. Dan kalau dilihat dari tampilan bar ini yang kayaknya mahalan, juga botol alkohol yang dituang Habib tadi kelihatannya nggak murahan, mungkin alkohol yang satu ini rasanya enak. Vodka ya, kalau nggak salah?
"Coba, Lung. Nggak apa-apa sekali-kali minum biar lupa sama kesedihan sendiri," saran Putra.
Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan Habib menyorongkan gelas alkohol itu ke mulutku, lalu kutenggak isinya. Hmm ... nggak terlalu buruk. Rasanya memang agak membakar di tenggorokan, tapi setelahnya meninggalkan rasa manis yang bertahan cukup lama. Eh, kok enak. Kupegang sendiri gelas itu, lalu kuminum lagi. Dua teguk. Enak. Tiga teguk. Ih sumpah enak. Aku mengabaikan Putra dan Habib yang berpandangan melihatku minum alkohol kayak minum air putih.
"Pelan-pelan aja, Lung, nanti keburu naik."
Aku nggak ngerti naik yang dia maksud tuh apa. Aku minta Habib mengisi gelasku lagi setelah gelasku kosong. Ternyata alkohol yang ini enak. Walau perutku terasa panas, tapi aku suka.
"Jangan banyak-banyak, gue nggak mau dia jackpot," kata Putra saat Habib tengah menuangkan alkohol dari botol ke gelasku.
Habib menurut.
Jadinya kami bertiga minum alkohol bersama-sama. Kukira setelah berhasil membuatku minum alkohol Habib bakal pindah lagi duduk di sebelah Putra, tapi ternyata nggak. Dia menemaniku duduk sambil kami ngobrol ringan soal kerjaan dan kehidupan pribadi kami, ditemani sama alkohol.
Habib ternyata benar keturunan Timur Tengah. Bapaknya ada darah keturunan Palestina, sedangkan ibunya ada keturunan India. Dia anak ketiga dari empat saudara, dan semua saudaranya cewek.
"Pasti saudara lo cantik semua," komentarku.
Habib cuma nyengir.
Setengah jam kemudian aku mulai merasakan pusing. Putra juga kelihatannya sudah agak mabuk, kepalanya goyang-goyang ikut alunan musik sambil memejamkan mata, tapi Habib masih kelihatan segar. Aku meraih gelas alkoholnya yang sisa setengah, kupaksa dia habiskan semuanya. Dia nurut, lalu tertawa. Dan aku agak kaget ketika dia merangkulku, melingkarkan lengannya ke bahuku. Duh.
Sejam kemudian, aku mulai mabuk. Putra benar. Alkohol bisa membuatku lupa dengan kesedihanku. Yang kurasakaan saat mabuk hanyalah pusing, ingin joged, dan ... aneh nggak sih kalau aku pingin ciuman? Jadi dengan lantang aku berteriak ke telinga Habib, karena musik sudah mulai memekakkan telinga, "Bib, aneh nggak sih kalau gue pengen ciuman pas lagi mabuk gini? Apa efek mabuk memang kayak gini?"
Habib tertawa, lalu dia memajukan kepala, yang kukira dia akan menciumku, tahunya dia cuma mau ngomong ke telingaku, "Wajar, kok. Alkohol juga bisa bikin seseorang tiba-tiba jadi pengen hal-hal yang romantis."
Pipiku panas sekali. Well, bukan cuma pipi sebenarnya, tapi seluruh tubuhku rasanya panas sekali.
Aku melihat ke Putra yang tersenyum lebar banget, dan mendadak dia jadi kelihatan 1000x lebih menggemaskan di mataku. Apakah alkohol juga punya efek magis yang bisa membuat seseorang yang kita suka jadi kelihatan lebih tampan dan menawan? Karena dalam keadaan mabuk ini, Putra kelihatan mirip Randy Pangalila.
Aku nggak tahu jam berapa tepatnya ketika musik mulai berubah jadi lebih nge-beat dan asyik banget. Aku jadi ingin joged. Kulihat meja di sekitar kami, orang-orangnya sudah berdiri dan mulai joged mengikuti musik DJ. Oh, asyik sekali. Aku mau berdiri juga, tapi Habib dan Putra masih duduk.
"Mau joged, Kak?" bisik Habib, dan aku mengangguk.
Habib mengajakku berdiri, tapi Putra masih duduk.
"Put, ayok!" kataku, menarik Putra untuk bangun juga, yang akhirnya dia bangun sambil senyum-senyum.
Aku nggak tahu apa yang lebih menggairahkan: melihat Putra joged dengan asyiknya sampai keringat muncul di keningnya yang membuatnya terlihat seksi, atau melihat Habib yang ganteng luar biasa nggak pernah berhenti tersenyum sambil menatap mataku.
Nggak lama kemudian Habib mengajakku turun ke lantai dansa. Di sana ramai orang. Aku nurut, dan kami langsung berbaur ke orang-orang yang sudah hanyut oleh musik DJ yang semakin mengasyikkan.
Awalnya Habib memang menemaniku joged, tapi lama-lama banyak cewek-cewek dan cowok-cowok yang mengajaknya joged bareng sehingga aku tersingkirkan. Sial. Akhirnya aku cuma joged sendirian, melihat Habib dikelilingi cewek dan cowok yang pastinya suka sama Habib karena dia ganteng dan wangi, dan lagi mabuk pula, jadi incaran semua orang.
Habib diinginkan semua orang karena dia ganteng. Aku nggak ganteng, dan aku nggak diinginkan. Mendadak, bahkan lagi joged pun, aku sedih. Aku nggak tahu kenapa aku di sini. Kukira alkohol menumpulkan semua kesedihan, tapi kenapa menyadari fakta bahwa aku nggak pernah diinginkan oleh siapa pun membuatku sedih dan pingin menangis? Aku nggak berguna.
Tepat di saat aku ingin menyingkir dari lantai dansa, seseorang memegang lenganku. Putra.
"Mau ke mana?" katanya.
Aku menggeleng.
"Sini, sama gua." Putra menarikku kembali ke lantai dansa.
Kami joged berdua. Aku agak sempoyongan karena pusing dan beberapa kali hampir jatuh, tapi Putra memegangi pinggangku sehingga aku nggak jatuh ke lantai. Setiap kali dia menyelamatkanku supaya nggak jatuh, aku tersenyum, yang dibalas dengan senyuman manisnya.
Nggak kayak Habib, Putra ketika didekati cewek dan diajak joged bareng justru menolak. Dia tetap menemaniku. Perempuan cantik berambut panjang yang cuma pakai crop top kelihatan sangat menggiurkan, dan semua cowok straight seharusnya nggak menolak ajakannya, tapi Putra dengan tegas menggeleng ketika cewek itu berusaha menarik perhatiannya. Lalu Putra kembali ke aku, dan tangannya lagi-lagi memegangi pingganku ketika aku sempoyongan dan hampir jatuh.
"Lo kenapa?" kataku, berteriak di tengah gempuran musik DJ yang memekakkan telinga.
"Apanya yang kenapa?" Dia balas teriak.
"Cewek tadi cantik dan seksi, kenapa nggak joged sama dia?"
"Dan ngebiarin lo sendirian di sini? Nggak dulu. Kalo lo jatuh, gue yang malu."
Walau ucapannya menyakitkan, tapi aku tahu dia sebenarnya bercanda.
Aku tahu seharusnya aku menyingkir dari lantai dansa dan berhenti joged karena beberapa kali aku hampir jatuh saking pusingnya, tapi kalau aku diam justru pusingnya lebih kerasa. Ada mungkin nyaris dua jam aku di lantai dansa, dan selama itu pula Putra menemaniku terus. Aku terlalu asyik dengan joged sampai nggak peduli apakah meja kami ada yang jagain? Tas dan semua barang berhargaku ada di sana. Tapi bodo amat deh. Joged bareng Putra dan tangannya sesekali memegangi pinggangku jauh lebih berharga daripada apa pun.
Ketika lagi joged aku melihat seorang cewek melingkarkan kedua lengannya ke leher cowoknya, lalu cowok itu menarik si cewek mendekat sehingga payudaranya menyentuh dada cowok, dan sedetik kemudian mereka berciuman. Aku mengalihkan pandang ketika bibir mereka menyatu. Banyak banget yang ciuman. Aku kan pingin juga.
Lalu, entah nekat entah gila, aku melingkarkan kedua lenganku ke leher Putra, persis seperti yang dilakukan cewek itu. Kukira Putra akan memarahiku, ternyata nggak. Dia malah tersenyum. Oh, aku suka efek alkohol.
Mendadak Putra memajukan badannya sehingga dada kami bersentuhan. Kukira dia akan menciumku, ternyata dia berkata di telingaku, "Happy?"
Aku mengangguk.
"Jangan sedih lagi, Lung. Lo bisa pilih mau bahagia, atau menderita selamanya. Kalau cowok lo nggak bikin lo bahagia dan bisanya cuma nyakitin, lo bisa tinggalin dia. Lo punya hak untuk ninggalin dia."
Aku nggak tahu harus komentar apa. Aku menyukai tubuh kami yang seerat ini. Putra memelukku.
"Temen gue juga punya masalah yang sama kayak lo. Dia lebih parah, cowoknya mengancam bakal menyebar video mesum mereka ke orang-orang kalau dia nggak mau balikan ke cowoknya itu."
Ya ampun. Kenapa masalah teman Putra sama banget dengan masalahku.
"Gue nggak mau lo juga kayak gitu, Lung. Gue nggak mau lagi ada korban dari kebejatan lelaki kayak gitu."
Aku cuma bisa mengangguk. Lalu, aku mengeratkan pelukan. Putra diam saja ketika aku memeluknya erat-erat, dan kemudian aku menangis. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan kami. Putra mengusap punggungku. Aku ingin berhenti menangis, tapi alkohol membuat air mataku tumpah semua. Tubuhku bahkan sampai bergetar. Aku nggak pernah dipeluk seerat ini oleh orang lain, dan ketika Putra melakukannya aku merasa aman.
"Nggak apa-apa," kata Putra setelah beberapa menit lamanya aku menangis. "Tangisin aja biar lega."
Ada mungkin lima belas menitan aku menangis hebat sebelum akhirnya Putra membawaku pergi dari lantai dansa. Dia memegang pergelangan tanganku, dan dibawanya aku duduk di kursi di meja kami. Habib nggak kelihatan di mana-mana.
"Efek alkohol luar biasa, kan?" kata Putra, nyengir. Kami duduk lemas di kursi, sebelahan.
Aku mengangguk setuju sambil mengusap mata yang masih basah.
"Sini, sekali lagi." Putra memelukku lagi. Kali ini pelukannya nggak seerat tadi, tapi tetap saja terasa nyaman dan aman. Aku nggak tahu amalan apa yang pernah kulakukan sehingga bisa pelukan dengan Putra yang badannya gempal gemuk gemoy menggemaskan ini. "Jangan takut lagi, ya. Lo aman sama gue."
Aku nangis lagi. Duh, emang dasar aku cengeng. Aku memang nggak pernah diinginkan oleh siapa pun, tapi ketika bersama Putra aku merasa seolah-olah aku diinginkan.
Mendekati pukul tiga pagi dan DJ sudah hampir selesai, Habib datang mendekati meja kami. Di pipinya ada bekas lipstik. "Hai. Aduh, kepala gue pusing." Lalu dia ambruk ke kursi.
Aku dan Putra bertatapan, lalu kami tersenyum, sama-sama mabuk.
I love alcohol.
Bandar Lampung, 14 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top