Bab Lima Belas: Reza Menyesal?!

"Lung, kamu baik-baik aja?" Suara Reza tenang, dan untuk nyaris sekejap saja aku merindukannya.

Aku tahu ini salah, tapi aku nggak punya tempat lain untuk berkeluh kesah. Tiara dari tadi nggak bisa ditelepon, hari Minggu begini dia pasti lagi ciuman sama cowoknya.

"Kamu kenapa suaranya kayak lemes gitu?" tanya Reza lagi.

"Aku nggak apa-apa. Lagi capek aja sama kerjaan."

"Bukannya ini Minggu? Emang nggak libur?"

"Kamu kan tahu hari Minggu juga kadang aku masih ngurus kerjaan."

Reza diam, aku pun diam. Aku sekarang lagi ada di lobby hotel, duduk sendirian setelah meninggalkan Putra di depan hotel tadi. Sekarang cowok itu kayaknya ada di dalam kamar, karena tadi aku melihatnya naik ke lift. Aku nggak mau peduli sama dia walau sebenernya aku masih pingin banget sama dia. Putra bajingan yang katanya peduli sama aku tapi ternyata dia takut sama aku. Dia ternyata nggak lebih baik dari orang-orang lain di kantor yang baik cuma di depanku aja, tapi sebenarnya dalam hati dia takut sama aku. Bedanya orang-orang itu nggak ngomong langsung di depan mukaku, yang membuatku terlihat tampak menyedihkan dan memalukan.

"Kamu udah maafin aku, kan?" kata Reza.

"Aku nggak tahu, Za. Yang kamu lakukan itu beneran fatal ..."

"Aku tahu." Dia terdengar menyesal. Aku bisa membayangkan raut wajahnya yang gemas kayak anak kecil ketahuan nyolong permen. "Aku sadar, tapi aku juga nggak ngerti lagi dengan diriku sendiri, Lung. Aku sakit. Kamu benar. Mungkin udah seharusnya aku pergi ke psikolog."

Aku pernah menyarankan Reza pergi ke psikolog beberapa bulan setelah aku sendiri pergi konsultasi, karena aku merasa ada kecemasan berlebihan yang terasa salah dalam kepalaku dan menurutku Reza juga butuh ke psikolog, karena orang waras macam apa yang tega membiarkan pacarnya disetubuhi tiga pria asing di rumah kosong cuma demi memuaskan nafsu birahinya?

Sengatan rasa sakit karena teringat kejadian di rumah kosong itu mendadak membuatku terdiam lebih lama, dan aku seharusnya nggak bicara dengan Reza saat ini. Seharusnya aku nggak membiarkannya masuk ke kehidupanku lagi. Dia sudah menghancurkan harga diriku. Aku sudah hancur sampai harusnya nggak ada lagi yang tersisa dariku untuk Reza, tapi kesendirian karena penolakan Putra di kafe tadi sore benar-benar menyakitkan dan aku butuh teman, aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Aku butuh seseorang untuk membuatku merasa bahwa aku diinginkan. Dan cuma Reza-lah yang saat ini bisa membuatku merasa diinginkan.

"Setelah pulang dari Jakarta, kamu mau temenin aku pergi ke psikolog?"

Kenapa suara Reza terdengar seperti anak kecil yang memohon untuk diberi permen?

"Za, aku takut semuanya udah terlambat—"

"Nggak ada yang terlambat, Lung. Kamu sendiri yang pernah bilang ke aku bahwa nggak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Aku bisa ngerti kalau kamu nggak mau balik lagi jadi pacarku, dan aku minta maaf karena apa yang udah aku lakukan ke kamu di rumah kosong itu, tapi please untuk sekali ini aja bantu aku? Aku nggak bisa kayak gini terus—"

Reza menangis.

Kubiarkan cowok itu menyelesaikan tangisnya. Aku nggak berniat untuk menenangkannya karena sejujurnya aku nggak tahu apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.

"Lung, aku nggak pernah menyesal sampai nangis-nangis kayak gini. Kamu tahu aku, kan? Aku paling gengsi nangis di depan kamu, tapi sekarang—"

Tangisnya pecah lagi.

"Za, aku masih nggak bisa lupa dengan kenangan buruk itu—"

Aku juga mau nangis karena ingatan rumah kosong itu lagi-lagi membuat dadaku terasa sakit. Kenapa sih aku begini? Di satu sisi aku membenci Reza dan nggak seharusnya aku bicara dengannya lagi, tapi di sisi lain aku butuh dia yang menginginkan aku.

"Aku minta maaf banget, Lung. Banget banget banget. Kalo perlu sujud di kaki kamu supaya aku bisa nebus rasa sakit itu dan membuat kamu lupa dengan semuanya, aku bakal lakukan. Aku menyesal, Lung. Aku baru sadar sekarang ternyata aku sayang sama kamu. Aku butuh kamu, Lung."

Sebagai orang dengan love language Words of Affirmation, ucapan Reza benar-benar membuatku senang. Gila memang.

"Kenapa kamu sadarnya baru sekarang?" Aku baru sadar aku menangis ketika mbak-mbak di meja resepsionis mendekatiku dan menyodorkan sekotak tisu. Dengan malu aku menarik tisu dari kotaknya dan membuang muka dari si mbak. Akhir-akhir ini, entah karena terlalu sering, aku suka nggak sadar kalau air mataku sudah membanjir.

"Aku kangen Mama, dan aku sadar cuma kamu satu-satunya yang tahu aku sayang banget sama Mama."

Mama kandung Reza meninggal setahun lalu sebelum cerita ini dimulai, dan aku yang ada di sana untuk menenangkannya. Papanya nyaris nggak pernah ada untuk Reza setelah kematian mamanya, dan lebih parahnya nggak ada dua bulan setelah kematian istrinya beliau tahu-tahu menikah lagi dengan istri barunya yang lebih muda sehingga membuat Reza marah besar karena papanya menikah tanpa minta persetujuan darinya, dan Reza nggak bisa berbuat apa-apa karena pernikahan itu sudah terlanjur terjadi. Reza sama kayak aku, anak tengah di keluarganya, tapi hubungannya dengan kakak dan adiknya nggak terlalu dekat. Adiknya lagi sibuk kuliah dan KKN jadi mereka jarang ketemu dan ngobrol, sedangkan kakaknya kerja dari pagi sampai ke malam sehingga Reza yang kerjanya freelance dari rumah selalu ditinggalkan berduaan dengan mama tirinya. Memang sih mama tirinya nggak jahat, tapi Reza benci banget sama perempuan itu karena papanya menikahi dia tanpa izin darinya.

Jadi bisa dibilang hubunganku dan Reza mungkin sebenarnya sama-sama saling menguntungkan walaupun sebenarnya nggak sehat: aku butuh dia untuk membuatku merasa diinginkan dan nggak kesepian, dia juga butuh aku untuk alasan yang sama. Cuma, yang aku nggak suka dari Reza adalah kebiasaannya yang suka selingkuh dan otoriter, seolah-olah aku nggak cukup, seolah-olah dia nggak butuh aku, seolah-olah karena aku membutuhkannya jadi dia berhak melakukan apa saja denganku.

"Mama juga sayang sama kamu, cuma kita berdua yang sayang sama Mama. Kalo Mama masih hidup, mungkin hidupku nggak akan sekacau ini."

Dia sudah nggak nangis, tapi suaranya terdengar hampa. Aku ingat Reza pernah di fase ini sekitar hampir setahun yang lalu nggak lama setelah mamanya meninggal. Kukira dia sudah nggak bersedih lagi tentang mamanya karena dia nggak pernah membahasnya secara langsung, cuma kadang-kadang dia suka merenung dan bergumam "kangen mama" yang kupikir cuma rasa kangen biasa, bukan kesedihan yang sangat dalam seperti ini. Apakah aku juga sebenarnya salah karena nggak terlalu peduli dan nggak terlalu mengerti dia?

Aku menggeleng. Bukankah ini yang Reza inginkan dariku, membuatku merasa bersalah, padahal satu-satunya yang bersalah di sini adalah dia? Tapi tangisnya terdengar tulus, dan sekarang aku bingung karena Reza memang nggak bisa bohong kalau bahas tentang mamanya. Jadi, apakah sebaiknya aku memaafkannya? Memberinya kesempatan sekali lagi? Tapi jujur aja, aku sudah lelah memberinya kesempatan.

"Aku mungkin bisa nemenin kamu ke psikolog, tapi nggak lebih dari itu, ya. Aku nggak bisa lebih dari itu, Za."

"Ya, Lung, aku tahu. Aku cuma tiba-tiba ngerasa hampa karena kangen Mama dan nggak punya siapa pun saat ini yang bisa nemenin aku."

"Za ..."

"Aku mau mati aja, Lung. Aku merasa nggak berguna banget karena udah nyakitin kamu satu-satunya orang yang peduli sama aku di saat aku lagi kangen Mama kayak gini."

Aku membenci diriku sendiri karena termakan ucapannya. Entah dia cuma pura-pura atau nggak, tapi aku beneran tersentuh dengan ucapannya, dan jauh di dalam hatiku ada bisikan yang mengatakan kalau dia beneran menyesal.

"Za, jangan ngomong kayak gitu. Kamu cuma lagi di fase terpuruk, tapi bukan berarti duniamu harus berakhir sekarang. Masih ada papa, kakak, adik kamu. Aku tahu mereka sebenarnya sayang sama kamu walaupun kelihatannya mereka nggak peduli sama kamu."

"Aku udah dewasa, Lung. Aku tahu dan aku bisa ngerasain sendiri kalo emang mereka sayang sama aku harusnya mereka bisa lebih peduli sama aku, atau minimal sebagai keluarga kita bicara dari hati ke hati, lah. Tapi sejak Mama meninggal, kita semua jadi kayak menarik diri dan sibuk dengan dunia masing-masing, nggak peduli satu sama lain. Yang lain mungkin nggak masalah dengan kepergian Mama, tapi aku yang paling terpuruk karena aku yang lebih dekat dengan Mama!" Mendadak Reza ngoceh dan nadanya berubah jadi marah-marah.

"Kamu harus tenangin diri kamu. Aku janji bakal temenin kamu pergi ke psikolog. Aku bakal temenin kamu nyembuhin semua kesedihan dan kecemasan yang kamu rasakan itu," kataku untuk menenangkannya.

Dia diam, yang kudengar di ujung telepon hanya suara embusan napasnya. Dia pasti sedang menenangkan diri.

Tahu-tahu, Putra muncul dari dalam lift. Dia melihatku lalu menghampiriku. Raut wajahnya terlihat kesal, dan aku kaget ketika tiba-tiba dia merebut ponselku dari telinga. "Jangan pernah ganggu Alung lagi! Dia lagi sama gua sekarang!" Putra bicara kepada Reza di telepon.

Aku berdiri untuk merebut kembali ponselku, tapi Putra mencegahku. Reza sepertinya ngomong sesuatu, karena Putra kemudian bicara lagi: "Kalau memang lo sayang sama dia, nggak seharusnya lo buat dia nangis! Lo tahu nggak sekarang air matanya udah banjir sampai ke lantai? Lo tahu sekacau apa keadaannya sekarang? Oh, lo nggak tahu karena lo nggak peduli sama sekali dengannya!"

"Put! Balikin hape gue!" Aku berusaha merebut ponselku lagi, tapi Putra melotot galak ke aku sementara dia kayaknya lagi dengerin Reza ngomong dari ujung telepon.

"Udah ya, gue nggak suka lo gangguin dia ketika dia lagi sama gue. Jangan pernah gangguin Alung lagi, atau lo bakal terima sendiri konsekuensinya!" Tuts. Putra memutuskan panggilan. Tapi dia nggak langsung menyerahkan ponselku. Dia masih memegangnya, sambil matanya melotot ke aku.

"Lo gila, ya!" katanya, mengomeliku. "Lo kenapa balik lagi ke dia, sih? Setelah apa yang dia lakuin ke lo? Walaupun gue nggak tahu apa yang udah dia lakuin ke lo, tapi gue yakin pasti dia melakukan sesuatu yang buruk ke lo, karena kalo nggak, lo pasti nggak akan nangis terus-terusan kayak gini."

"Bukan urusan lo!" kataku, sambil mengusap air mata. "Balikin hape gue!"

"Nggak! Gue nggak akan biarin lo berhubungan lagi sama dia."

"Putra!" Aku memekik, membuat mbak-mbak resepsionis yang memberiku tisu tadi menoleh ke arah kami. "Gue nggak mau lo ikut campur urusan gue!"

"Lo lagi sama gue sekarang! Gue nggak mau lo nangis-nangis drama sementara lo lagi sama gue!" Dia lalu melengos pergi, masuk ke dalam lift.

Aku mengejarnya, tapi pintu lift sudah keburu ketutup.

Sial, maunya dia apa sih?





***
Bandar Lampung, 7 Oktober 2024


INI ALUNG GOBLOK APA GIMANA DAH MASIH AJA MAU DENGERIN REZA?!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top