Bab Lima: Ancaman Reza!
AKU nggak ganteng. Nggak cute juga kayak kebanyakan uke-uke di cerita Wattpad. Perutku membuncit karena pola makan yang sembarangan, dan wajahku ditumbuhi jerawat karena jam tidur yang nggak teratur. Jerawatku sekarang memang nggak sebanyak dulu karena semenjak kerja aku sudah tahu tentang skin care dan rajin membelinya tiap kali gajian, tapi bekas jerawat di wajahku masih banyak dan membentuk bopeng-bopeng yang membuat wajahku nggak mulus. Di awal hubungan kami, Reza selalu bilang it's okay walaupun wajahmu banyak jerawat, tapi seenggaknya kamu punya senyum yang manis. Dulu Reza selalu membuatku merasa percaya diri dengan wajahku yang nggak menarik ini, tapi sejak dia mulai mengontrol segalanya, kepercayaan diriku perlahan-lahan memudar.
Saat istirahat makan siang dan aku lagi makan bareng Tiara di tempat makan mi ayam langganan kami, aku buka Instagram dan melihat story Putra yang isinya repost-an dari sebuah akun. Aku membaca apa yang tertulis di post itu yang ternyata adalah artikel tentang toxic relationship. Aku mengklik tautan di bawah post itu dan cuma membaca setengah artikelnya karena aku nggak tahan. Apa yang ditulis di sana persis seperti apa yang Reza lakukan pada hubungan kami. Mengontrol segalanya.
Tiba-tiba nafsu makanku hilang. Terima kasih, Putra sialan. Aku benci ketika orang lain berusaha mencampuri kehidupanku.
"Lah, nggak dihabisin?" tanya Tiara melihat isi mangkokku masih banyak.
Aku menggeleng tanpa menjawab apa-apa.
Tiara sepertinya paham aku nggak nafsu makan karena apa yang kulihat di layar hape, karena sesudahnya dia bilang, "Pasti baca chat dari Reza Anjing. Kenapa? Dia nyakitin lo lagi?"
"Bukan Reza," jawabku malas-malasan dan memasukkan hape ke kantong. "Putra."
"Putra gemesh? Kenapa dia? Nyakitin lo juga?"
Aku menggeleng. "Udah abisin aja mi ayam lo, gue lagi males cerita."
"Tapi gue pingin denger cerita hubungan lo dengan Putra. Udah sejauh mana?"
Aku mentoyor keningnya. "Sejauh mana, sejauh mana! Lo kira gue lagi ngegebet dia! Dia straight kali, Cong."
"Straight tapi perhatian banget ngasih lo makan siang waktu lo sakit kemarin," cibirnya.
Aku cemberut. "Kan gue udah bilang, itu cuma karena dia mau balas budi karena kemarin lusa gue beliin dia nasi sayur ayam dari warung sebelah kantor. Sialnya, ternyata ceweknya udah lebih dulu ngirimin McDonald's."
Tiara terkejut, untungnya nggak keselek mi ayam. Matanya melotot. "Demi apa lo?! Jadi, makan siang yang lo beliin gimana?"
"Dibuang mungkin, atau dikasih ke temannya, nggak tahu deh," kataku sambil angkat bahu. "Udahlah biarin aja, gue lagi males bahas cowok."
Selesai makan kami balik ke kantor. Di lantai dua, aku menyuruh Tiara naik dulu sementara aku harus bertemu dengan Putra sebentar. Tiara mengangguk sambil tersenyum paham, lalu mengacungkan jempol seolah memberi semangat. Aku memandangi meja kerja Putra, tempat cowok gemesh itu lagi fokus ke layar komputer. Aku ragu untuk menuntut penjelasan darinya, tapi aku nggak mau—dan nggak suka—dengan story IG-nya yang seolah-olah postingan tentang toxic relationship itu sengaja dia buat untuk menyindirku. Sialan, memang itu pasti untuk menyindirku.
"Bisa kita ngobrol sebentar?" kataku tanpa basa-basi lagi setelah sampai di samping mejanya.
Dia tampak terkejut, mendongak menatapku, ekspresinya kebingungan. "Oh, hm ... oke, mau ngobrolin apa nih?"
Aku nggak menjawab. Aku jalan duluan, turun ke lantai satu dan berdiri di luar dekat pintu utama gedung kantor. Putra menyusulku nggak lama kemudian.
"Penting banget kayaknya nih sampe harus maksa gue nurunin tangga satu lantai," kata cowok gemesh itu.
"Apa yang lo tahu tentang hubungan gue kemarin, gue udah bilang gue nggak mau lo ikut campur," kataku langsung, mengabaikan basa-basinya.
"Gue nggak ikut campur," katanya santai.
Aku memutar bola mata. "Gue lihat apa yang lo posting di IG story, dan gue nggak suka lo posting itu tepat setelah lo tahu tentang masalah gue dengan cowok gue."
"Itu cuma postingan, Lung. Kalau lo nggak ngerasa, kenapa harus repot-repot ngajak ngobrol sampai turun tangga segala?"
Aku geram dengan nada santainya seolah-olah itu bukan masalah. "Gue nggak suka orang lain mencampuri urusan gue!"
"Gue nggak mencampuri urusan lo, oke? Gue cuma posting apa yang menurut gue layak untuk gue posting. Lo suka atau nggak, itu bukan urusan gue. Lagian emangnya kenapa, sih? Lo takut orang lain tahu tentang keburukan pacar lo?"
Bukan, jawabku dalam hati. Aku takut orang lain tahu kalau aku lemah. Tapi yang kuucapkan ke Putra, "Intinya gue nggak mau lo ikut campur ya, Putra. Gue nggak peduli lo mau punya temen cewek yang hubungannya sama kayak hubungan gue atau apalah, tapi yang jelas, ini hubungan gue, gue yang jalanin, dan gue nggak mau orang lain ikut campur."
Putra mengangkat kedua tangan seperti menyerah. "It's okay. Rileks, Bro. Nggak ada yang mau ikut campur urusan lo dan cowok lo. Just go on ... lanjutkan. Selagi bersamanya buat lo bahagia, lanjutkan. Lo yang lebih tahu tentang kebahagiaan lo sendiri."
Aku nggak tahu harus mengucapkan apa lagi, jadi aku berbalik masuk ke dalam gedung. Sampai di meja kerjaku, Tiara mengerutkan kening heran, mungkin dia bingung kenapa mukaku jadi kayak pembalut bekas setelah ngobrol dengan Putra. Dia sudah berdiri untuk mendekat ke arahku dan pastinya menuntutku untuk cerita, tapi aku menggeleng dan dia pun paham. Tiara duduk lagi, lalu kami mulai kerja lagi.
Pukul tiga sore Reza menelepon. Perutku melilit melihat namanya muncul di layar hape. Dia menelepon tiga kali, tapi satu pun nggak ada yang aku jawab. Aku fokus kerja lagi.
Jam empat lewat, Reza nelepon lagi. Kali ini dia menelepon lima kali, lagi-lagi nggak ada yang aku jawab. Beberapa menit kemudian Tiara memanggilku dari mejanya. Aku menoleh ke sana, dan dia berseru, "Reza nelepon gue!"
Reza anjing! Dia mau apa, sih?!
Tiara berderap mendekati mejaku cuma untuk mengatakan, "Bagus, jangan diangkat! Gue nggak mau temenan sama lo lagi kalau lo angkat!" Lalu dia balik lagi ke mejanya.
Oke, aku nggak bakal menjawab telepon dari Reza. Oh, sekalian saja aku matiin hapenya. Fiiiuuuhhh, legaaaaa. Aku akan biarkan hapeku mati sampai malam nanti. Sampai Reza lelah sendiri untuk menghubungiku. Tapi entah kenapa, semakin kuat tekadku untuk menjauhi Reza, rasa takut justru makin menjelma di hatiku.
"Lo matiin hape, ya?" seru Tiara dari mejanya, membuat beberapa karyawan yang lain menegur kami berisiiiiikkkk, mending lo samperin deh si Alung! Jadi Tiara menghampiriku. "Bagus. Dia dari tadi neleponin gue. Pertahankan, Alung. Lo selangkah lebih maju untuk melupakan dia." Tiara seolah-olah diselimuti api kebencian yang berkobar untuk Reza.
Aku tersenyum, tapi hatiku gelisah. Reza nggak akan tinggal diam. Dia paling nggak suka kalau aku mengabaikannya.
Kenapa ya hatiku gelisah banget, pikirku sambil membuat laporan harian, nggak biasanya aku segelisah ini. Semua kegelisahan ini bermuara ke Reza. Aku takut dengan apa yang akan terjadi karena aku mengabaikannya. Selama hubungan kami, aku cuma pernah sekali mengabaikannya, dan itu pun bukan karena sengaja, tapi karena hapeku memang dalam mode pesawat. Saat itu aku sedang ikut menghadiri rapat bersama Pak Trimo dan beberapa orang penting yang jabatannya di atas Pak Trimo yang pada saat itu sedang kunjungan dinas ke cabang kami. Karena ini rapat bersama orang penting, otomatis hape aku buat mode pesawat supaya nggak ada yang menginterupsi. Rapat kami saat itu kurang lebih 4 jam, dan aku nggak tahu sama sekali kalau Reza saat itu lagi demam dan dia butuh aku untuk menemaninya karena dia di rumah sendirian—orangtuanya saat itu lagi dinas ke luar kota dan kakak-kakaknya pergi bekerja—jadi ketika aku menghidupkan hape, pesan WA dari Reza lanjung membanjiri notifikasi. Aku meneleponnya saat itu juga, dan Reza langsung ngamuk-ngamuk mengancam akan membeberkan hubungan kami ke orangtuaku, dia juga mengancam akan menunjukkan semua isi chat kami di hapenya yang nggak pernah dia hapus hanya karena aku nggak merespons chat-nya saat dia membutuhkanku. Sontak aku ketakutan, dan aku langsung minta maaf dengan cara mengemis-ngemis, seperti biasanya. Akhirnya Reza memaafkanku setelah aku minta maaf sambil menangis.
Aku menggeleng keras-keras. Nggak. Kali ini aku harus berani. Aku nggak boleh cengeng lagi. Aku nggak boleh takut sendirian lagi. Reza bukan yang terbaik buat aku. Cowok macam apa dia yang malah menyakiti tanganku ketika aku lagi sakit? Justru malah Putra yang membelikanku makan siang. Ah, tapi Putra juga berengsek. Dia beliin aku makan siang cuma karena mau balas budi, bukan karena dia benar-benar peduli. Sial, sial, sial.
Setelah laporan harian kukirim ke Pak Trimo, aku bersiap-siap untuk pulang. Kegelisahanku masih belum mau hilang, dan malah makin jadi. Aku memandangi iPhone 8-ku, berniat untuk menghidupkannya dan menghadapi Reza anjing, tapi aku menahan diri kuat-kuat. Aku bisa! Aku pasti bisa keluar ari toxic relationship ini!
"Kalau dipandangin, emangnya tuh hape bakal bisa berubah jadi iPhone 11?" tanya Putra yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah muncul di hadapanku.
Aku mengerutkan kening. "Muncul dari mana lo?"
"Dari kendi ajaib," jawabnya ngasal sambil menyatukan kedua telapak tangan kayak lagi nyembah."Gue jin yang akan mengabulkan permintaan lo. Sebutkan 3 permintaan."
Ini anak ngapa suka banget bercanda. Nggak tahu apa hatiku lagi gelisah. "Gue mau lo pergi dari hadapan gue sekarang," kataku.
Dia cemberut. "Permintaan ditolak. Gue mau ajak lo makan malam."
Apa ini? Kenapa cowok gemesh ini mendadak jadi baik setelah tadi siang membuatku kesal dengan postingannya yang sok ikut campur?
"Lo nggak dijemput siapa-siapa kan hari ini?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Bagus."
Lalu begitu saja, dia turun ke lantai bawah, dan aku ditinggalkan dengan kegelisahan bercampur excited yang membuatku kebingungan. Kenapa sih dia?
"Aw aw aw, kencan lagiii," goda Tiara sambil mendekati mejaku. Dia sudah menjinjing tas dan memakai jaketnya. "Dia bahkan nggak ngajak gue loh! Basa-basi juga nggak! Artinya dia cuma mau makan berdua sama lo!" Tiara kelihatan lebih excited daripada aku.
"Dia straight dan dia punua cewek. Dia straight dan dia punya cewek," rapalku seolah-olah itu mantra.
Tiara tertawa. "Straight curious, kalau gitu. Ayolah, zaman sekarang cowok-cowok straight kan gampang belok ke arah belakang."
Aku mengerti maksudnya, dan aku geli mendengar istilahnya. "Lo mau cowok lo belok ke arah belakang?"
"Dih, amit-amit. Jangan sampe," katanya sambil ketok-ketok meja dan kepala. "Maksud gue zaman sekarang cowok-cowok straight, kecuali cowok gue kan gampang belok ke arah belakang."
Aku tertawa. "Dah sana lo pulang, cowok lo yang 'straight dan nggak bakal belok ke belakang' pasti udah nggak sabar pingin VC-an." Tiara dan pacarnya LDR. Cowoknya kerja jadi PNS di kantor lurah di kampungnya, sementara Tiara jadi budak korporat di kota. Nanti rencananya setelah nikah Tiara bakal balik ke kampung dan jadi gadis desa. Gadis desa rasa metropolitan, katanya waktu itu.
Setelah pamitan Tiara menghilang di bawah tangga.
Aku sekarang sendirian di ruangan. Kutimang-timang hapeku dengan gelisah. Hidupin nggak, ya? Aku mendapat firasat kegelisahan ini sumbernya dari hape ini, karena aku mematikannya. Hidupin, nggak, hidupin, nggak, hidupin.
Ya sudah, aku hidupin.
Kutekan tombol power sampai muncul logo apel keroak. Jantungku berdebar-debar, kegelisahanku makin parah. Ya ampun, kenapa sih aku?
Putra muncul dari bawah tangga. "Lung," katanya, "udah siap?"
"Sebentar," ucapku.
Kupandangi hapeku yang sudah masuk ke home screen. Seperti yang sudah kuduga, nggak ada semenit kemudian banjir notifikasi pesan WA dari Reza. Jariku gemetar ketika mengeklik pesannya. Reza mengirim sebuah video beserta kata-kata yang dia tulis dengan capslock. Hurufnya besar-besar.
Putra melangkah mendekatiku.
Jantungku berdetak hebat. ABAIKAN AKU SEKALI LAGI, VIDEO INI AKU SEBAR KE SEMUA ORANG YANG KENAL SAMA KAMU. Aku klik video itu, dan mataku membelalak lebar melihat wajahku, terpampang jelas di layar, sedang asik menjilati kelamin Reza.
Tanganku tremor. Hapeku tergelincir jatuh ke lantai. Benturannya terdengar seperti mimpi buruk. Mendadak tubuhku jadi seringan kapas. Aku jatuh ke lantai, tersungkur karena kakiku kehilangan kekuatannya. Lalu aku memejamkan mata, mungkin aku pingsan, tapi aku masih bisa mendengar suara panik Putra yang berlari menghampiriku.
"Lung, astaga ... gue kira lo beneran nggak punya epilepsi!"
Bandar Lampung, 19 Juni 2021 -- 19.00
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top